HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Minggu, 2024/04/18 11:55 WIB
Klarifikasi Idham Masse Soal Mobil Untuk Ibu Catherine Wilson Mau Ditarik Leasing
-
Minggu, 2024/04/18 11:48 WIB
Ogah Disebut Nganggur, Ferry Irawan Ngaku Ada Proyek Film dan Dicalonkan Jadi Bupati
-
Selasa, 2024/04/14 11:47 WIB
Sandra Dewi Hilang di Instagram, Keluarga Lakukan Hal Ini
-
Sabtu, 2024/04/17 14:39 WIB
Melody Prima Baru Ungkap Alasan Bercerai Setelah Setahun Berlalu
-
Jumat, 2024/04/16 14:20 WIB
Olivia Nathania, Anak Nia Daniaty Bebas dari Penjara Kasus CPNS Bodong
-
Selasa, 2024/04/14 11:42 WIB
Soal Kabar Adopsi Bayi Perempuan, Ini Kata Raffi Ahmad
|
Thread Tools |
21st September 2011, 14:36 |
#81
|
Addict Member
|
“Aku jelas sedang serius sekali, Tommy.”
“Bagaimana? Bagaimana?” “Bagaimana aku selamat?” Opa meneruskan pertanyaanku, “Itu adalah salah-satu keajaiban dalam hidupku, Tommy. Nah, biar aku lanjutkan ceritanya agar kau tahu.” Kali ini, dadaku hendak meletus oleh antusiasme. Belum pernah aku setertarik ini mendengar cerita-cerita lama Opa. Aroma lezat masakan Tante Liem seperti luruh ke lantai, terabaikan. Opa salah-satu dari anak itu, bagaimana mungkin? “Nah, setelah empat korban telah terpilih, Mata Picak menyuruh centengnya memasukkan kami ke dalam empat guci tembikar berukuran besar. Usiaku saat itu sepantaran kau, anak-anak tumbuh remaja, tidak terbayangkan badanku disirami air kembang yang baunya busuk, dimasukkan paksa ke dalam guci, lantas guci ditutup, disegel dengan mantra. Orang-tuaku juga tidak bisa berbuat apa-apa, siapa yang bisa melawan? Setidaknya mereka tidak dibuat bisu, buta atau dibunuh oleh Mata Picak. “Tapi ada rahasia kecil yang tidak diketahui banyak orang, saat tahu Mata Picak dan centengnya sedang berkeliling kampung mencari korban, beberapa saat sebelum mereka tiba di rumah, Ibuku menyeretku ke dapur. Dia menyuruhku menyimpan air di dalam mulut. Aku ingat sekali wajah Ibu saat itu, ‘Jangan banyak tanya, Nak. Kau ingat pesan ibu, jangan ditelan, jangan dikeluarkan. Apapun yang terjadi, biarkan air itu ada di dalam mulut kau. Paham?’ Ibu mencengkeram bahuku. Aku mengangguk, gemetaran oleh rasa takut. Aku belum mengerti kenapa Ibu menyuruhku menyimpan air dalam rongga mulut, sementara Mata Picak bisa saja membunuh orang tanpa menyentuhnya. “Mata Picak tiba di rumah kami. Dia menyelidiki wajahku, mengerikan sekali menatap cekung tanpa bola mata di wajahnya dengan jarak sedekat itu, belum lagi mata putihnya terus memeriksa, ludahnya terpercik saat bicara, busuk sekali, aku hampir saja menelan air yang tersimpan di mulutku. Tapi aku meneguhkan diri, mencengkeram lutut, mengingat pesan Ibu. Dua menit memeriksa, Mata Picak memilihku, orang-tuaku hanya bisa tersungkur tanpa bisa protes, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Salah-satu centeng menggendongku kasar, membawa pergi. “Kami berempat dimandikan air kembang. Mata Picak membaca mantra entahlah, murid-muridnya berjingkrak senang. Aku hampir mengeluarkan air di mulutku saat dipaksa masuk ke dalam guci, kepalaku ditekan kasar. Mereka menutup guci dengan anyaman rotan. Mata Picak menyegelnya dengan mantra, tiga anak lain langsung tertidur setelah mantar dibacakan. Dan ternyata itulah gunanya pesan Ibu. Konsentrasiku mati-matian menjaga air di dalam mulut agar tidak tertelan atau keluar, membuatku tidak bisa dimantra, aku tetap terjaga. “Ritual sesembahan sungai kuning itu dilakukan malam hari, saat purnama berada di titik paling tinggi, murid-murid Mata Picak terus saja sibuk dengan teriakan, tarian dan semua prosesi. Hujan deras membungkus perkampungan, banjir semakin menggila, sungai kuning meluap-luap, suaranya terdengar hingga perkampungan, aku bisa mendengarnya dari dalam guci. Ketika Mata Picak melolong panjang, muridnya berbaris membawa empat guci itu ke bibir sungai, dan dengan satu teriakan perintah dari Mata Picak, empat guci dilemparkan, berdebum langsung ke dalam air deras. Air sungai meledak empat kali menyambut guci-guci yang dilemparkan. Opa tersenyum melihat wajah terperangah-ku. “Tentu saja aku selamat, Tommy. Aku selamat…. Aku tidak pernah berada di dalam guci itu saat dilemparkan, aku sudah melarikan diri saat Mata Picak dan murid-muridnya sedang ekstase membaca mantra. Mereka dibutakan oleh kesaktian, merasa tidak akan ada lagi yang bisa melawannya, mereka meninggalkan empat guci tanpa penjagaan. Aku dengan mudah keluar dari guci, memasukkan batu ke dalam guci agar beratnya tetap sama, lantas berlarian pulang mencari Ibu, menangis, mengeluarkan air dari mulutku di telapak tangan Ibu. Ibu balas memelukku erat-erat. “Aku berhasil kabur, sesembahan Mata Picak telah gagal. Hanya ada tiga anak yang dikorbankan. Dan seperti kebanyakan ritual animisme, gagalnya sesembahan bisa berakibat fatal, apalagi itu sesembahan puncak. Sejak malam itu, kesaktian Mata Picak luntur bagai kain berwarna berubah menjadi pias. Seminggu kemudian, saat seseorang ternyata berhasil melemparkan batu ke halaman rumahnya penuh kebencian—batu itu tidak berbalik arah seperti biasanya, maka hanya soal waktu seluruh penduduk kampung berani melawan. Perang saudara terus terjadi bertahun-tahun kemudian hingga aku tumbuh dewasa. Juga banjir besar dari sungai kuning. Tetapi cerita Mata Picak dan murid-muridnya sudah lama tutup buku setahun setelah kejadian itu, mereka dilemparkan ke dalam sungai kuning dengan kaki dan tangan terikat. Itu memang tidak pernah setimpal dengan kejahatannya. Tetapi mau dikata apa, hukuman maksimal di muka bumi ini hanyalah kematian.” Opa bersidekap, tersenyum simpul mengakhiri seluruh cerita. Aku akhirnya menghela nafas yang sejak tadi tanpa sadar tertahan. “Bagaimana, seram bukan?” Opa bertanya. Aku mengangguk. “Nah, mari kita lupakan cerita ini dengan masakan lezat Tante kau. Ayo, Tommy.” *** Komandan pasukan khusus itu hanya menemukan kursi kosong di belakang pesawat. “Bagaimana lutut kau, sakit?” Aku menyikut Rudi. “Kau gila, Thomas, kau seharusnya bilang sejak awal kita harus loncat dari pesawat!” Rudi tertatih, berlarian meninggalkan mobil pengait bagasi. Aku ikut tertawa, terus berlarian menuju jalan raya, menyetop taksi yang melintas, tentu saja kami harus loncat dari pesawat, itu satu-satunya cara kabur dari pasukan yang bersiap menembak mati di tempat. Panjang landasan pacu bandara internasional setidaknya 2.400 meter, kurang dari itu, maka tidak akan cukup bagi pesawat berbadan besar untuk mendarat atau lepas landas. Bangunan bandara lazimnya selalu berada di tengah landasan pacu sepanjang dua kilometer lebih itu. Jika sebuah pesawat akan mendarat, dia akan menyentuh runaway di posisi paling ujung, terus berusaha mengerem, memperlambat laju, sebelum tiba di ujung landasan satunya, kemudian berputar arah kembali ke bangunan bandara, parkir menurunkan penumpang. Berapa jarak ujung terjauh landasan pacu bandara dari bangunan terminal? Hampir satu kilometer. Kalian tidak akan bisa melihat detail pesawat di ujung sana dengan jarak sejauh itu. Begitu pula pasukan khusus yang sedang geram, siaga total menunggu di bangunan terminal. Bagaimana aku bisa kabur dari mereka, sama seperti strategi Opa, keluar dari guci besar pada saat yang tepat. Lima menit kami bersitegang sebelum pesawat mendarat di kabin pilot. Rudi mengeluarkan tanda pengenalnya, menunjukkan pistolnya, membual tentang situasi darurat. Rudi menjelaskan ada satu gerombolan teroris yang mengaku pasukan khusus menunggu kami, dan bersiap membunuh tahanan penting, saksi pembunuhan—itu aku. Pilot ragu-ragu, mengkonfirmasi ke menara pengawas. Tentu saja itu benar, ada pasukan khusus yang sedang mengambil-alih bandara, hendak menangkap penjahat yang ada di pesawat. Rudi membentak, bilang mereka yang berada di daratlah yang sebenarnya penjahat. Pilot ragu-ragu, tetapi karena mereka mengenali Rudi pernah mengawal memindahkan tahanan transfer di penerbangan sebelumnya, pilot tidak punya pilihan, memutuskan membantu salah-satu pihak. Persis di ujung landasan, pesawat bergerak amat lambat, pilot sengaja bergerak lebih pelan dan lebih menepi di runaway, roda pesawat hampir menyentuh lapangan rumput, pramugari cekatan membuka pintu samping, lima belas detik, urusan selesai. Kalian pernah loncat dari bus yang masih bergerak tidak sabaran menurunkan penumpang? Atau kereta api? Nah, loncat dari pesawat yang bergerak, tidak ada bedanya, hanya lebih tinggi, itu saja. Aku dan Rudi adalah anggota klub petarung, lebih dari cukup terlatih untuk urusan loncat dari ketinggian dua meter, kami langsung berguling di rumput. Pramugari segera menutup pintu, pilot terus melajukan pesawat menuju terminal. Enam pasukan khusus itu, persis seperti centeng Mata Picak, tidak pernah menyadari kalau pesawat berjalan terlalu lambat saat memutar di ujung landasan, dan perintah komandannya untuk menahan pesawat lepas landas selama penyergapan, justeru membuat banyak pesawat parkir di sisi runaway, menghalangi pemandangan, melindungi aksi kami dari kejauhan, tidak terlihat. Komandan pasukan khusus itu hanya menemukan kursi kosong. Setelah bergulingan menghantam rumput di luar runaway, aku dan Rudi berlari dengan kaki masih terasa sakit, pincang, mengambil mobil pengait bagasi yang terparkir tanpa petugas, menabrakkannya ke pagar bandara, lantas menyelinap keluar dari pagar kawat yang bengkok. Persis saat komandan pasukan itu memukul kursi kosong dengan teriakan marah—seperti Mata Picak yang berteriak marah melihat sesembahannya gagal, aku dan Rudi sudah loncat ke dalam taksi, melesat menuju tempat pertemuanku dengan putera mahkota, menemui seseorang yang menjadi kunci paling penting penyelamatan Bank Semesta. Satu telepon darinya, bisa merubah seluruh keputusan rapat Komite nanti malam, dalam urusan ini, dia dan partai politiknya, bahkan lebih sakti dibanding Mata Picak beserta centeng-centengnya. *** |
Milan Forever,
|
detikNews
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer