HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Minggu, 2024/04/18 11:55 WIB
Klarifikasi Idham Masse Soal Mobil Untuk Ibu Catherine Wilson Mau Ditarik Leasing
-
Minggu, 2024/04/18 11:48 WIB
Ogah Disebut Nganggur, Ferry Irawan Ngaku Ada Proyek Film dan Dicalonkan Jadi Bupati
-
Rabu, 2024/04/20 08:59 WIB
Sah! Putri DA Resmi Menikah dengan Anak Bos Batu Bara
-
Sabtu, 2024/04/17 14:39 WIB
Melody Prima Baru Ungkap Alasan Bercerai Setelah Setahun Berlalu
-
Selasa, 2024/04/14 11:47 WIB
Sandra Dewi Hilang di Instagram, Keluarga Lakukan Hal Ini
-
Jumat, 2024/04/16 14:20 WIB
Olivia Nathania, Anak Nia Daniaty Bebas dari Penjara Kasus CPNS Bodong
|
Thread Tools |
31st October 2013, 12:27 |
#1
|
Banned
|
Karya Sastra - Cerpen - Penghias Mata
Ibuku memberi seindah nama yang membuat hatiku selalu membuka diri untuk mengikuti sepenggal riwayat. Riwayat kuno yang tersimpan dalam benak terdalam, tentang seorang kekasih Tuhan yang membawa beban kandungan suci. Kandungan itu berisikan seorang anak yang kelak menjadi orang suci tanpa hasil dari selimut lelaki yang tiap malam selalu menemani. Hatinya begitu teguh selama sembilan bulan membawa kisah tanpa sebab yang masuk akal, walau disekelilingnya berbagai perbincangan buruk dilemparkan dengan keji ke wajah dukanya, bahkan ke tubuh buncitnya, sampai akhirnya ia menghindar diri dari keramaian.
“Seperti itukah Mariah? Aku pun bernama Mariah Zaitun*. Nama yang hampir sama.” “Kisah itu yang membuat hati ibu tegar mengurusmu.” “Kenapa aku diberi nama Mariah Zaitun?” “Karena Ibu butuh nama Mariah! Ibu ingin seteguh Mariah! Kau mengerti kan?” Ibuku salah satu deretan panjang korban kebiadaban lelaki yang hidup di zaman modern. Wanita hanyalah makanan. Ibuku dimakan dengan rakus, tanpa proses jual beli yang sah, tanpa surat kelegalan jual beli, dan tanpa seizin pihak yang berkenan untuk lelaki menikmati makanan tersebut. Di jalan lengang ia dicegat. Lelaki kelaparan yang bergerombol itu menerka mangsa bersama-sama di waktu malam sehabis ia berlelah-lelah mengais beberapa rezeki. Cakar para lelaki merobek pembungkus kesucian, mencomot kain penutup kepala kehormatan. Ia bagai es krim yang terbuka pembungkusnya. Mereka menikmati es itu tanpa sungkan dengan dipenuhi jijik ludah penghinaan yang bercampur berbau busuk arak perusak moral. Es itu habis termakan, ia buang tulang-belulangnya yang sudah tak nikmat lagi. “Sungguh biadab! Terbuka atau tertutup penampilanku, semua sama! Wanita hanya jadi korban kerakusan lelaki yang lapar!” Aku hanya memandang lesu sewaktu ibu marah, menangis sendirian dalam kamarnya. Aku tak tahan melihat ibu dari kejauhan. Tak henti-hentinya air mataku meleleh. Aku hanyut dalam tangis. Tangis yang mencoba untuk tetap tertahan tak terurai keluar. Tapi tak bisa. Aku berlarian dan memeluk ibu erat-erat. Walau aku tak mengeti hati kedukaannya. Tersentak kaget mendengar seucap sendu ibu. Seorang anak yang berumur enam tahun, telah diberitakan suatu hal yang pahit. Dan kenyataan itu dari ibuku. Aku terlahir dari orang tua tunggal. “Ibu harap, kau jangan seperti Ibu...” Aku hanya menguraikan air mata. Memandanginya yang tengah menguraikan air mata. Sendu berbaur menderu, seiring tubuh menyatu erat dalam balutan kasih sayang. Tentu, seperti kebanyakan anak-anak lain-anak dari hasil hamil di luar nikah-aku mendapat cemooh dari tiap teman yang memang membenciku. Dikatakan aku anak haram, anak *******, anak jin, dan berbagai sebutan yang lainnya. Betapa duka, lara, menyelimuti hatiku di setiap kata-kata kotor itu terlontar keluar, masuk ke telingaku. Padahal mereka pun tahu, ibuku hanyalah korban. Saat aku tumbuh remaja, kehadiranku hanya menjadi godaan lelaki yang bermoral murahan. Aku dianggap sebagai seorang anak yang akan bertubuh murahan. Padahal mereka yang bertubuh murahan. Berkali-kali aku menghindar tapi mereka mengejar. Aku menutupi badanku, menutup kepalaku, dan menutup diri dari hal yang menggoda nafsu, tapi mereka-lelaki yang bertubuh dan bermoral murahan-berusaha menelanjangi kehormatanku. Aku lari, dan berlindung di bawah kaki Tuhan. Tapi, di malam lengang sangat bernasib buruk untukaku. Aku menghadapi segerombolan lelaki yang lapar. Mereka datang ke rumah di saat keadaan lengang, hanya ada aku. Mereka seperti memasuki rumah pelacuran; tak sambut dengan salam untuk sekedar menghormati tuan rumah. Lantas, kisahku persis seperti yang ibu alami. Kejadian itu begitu menyiksaku. Tapi siapa yang tahu tentang sakit jiwaku. Aku hanya menutup diri dan berusaha memancarkan rona bahagia. Tentu pada ibuku. Dan siap menghunus amarahku untuk menyayat jiwa para lelaki. Tapi tentu tak berdaya. Hanya mampu menyayat jiwaku sendiri. Setelah itu, aku berubah tak seperti yang ibu harapan. “Maafkan aku Ibu”. Aku tak bisa menahan rasa frustasiku membayang kejadian terkoyaknya kesucianku. Hasratku berontak sendiri tanpa ada yang mau bertanggungjawab. Aku ingin lari melesat ke dunia lain yang cocok untuk wanita malang yang berhasrat garang. Aku tak bisa setabah ibuku yang tetap mempertahankan kesucian setelah kehormatannya terkoyak. Aku tak bisa. Aku ingin pergi meninggalkan ibu dengan penuh balut dosa. Aku hanya pantas melayani lelaki. Tapi, apakah itu keharusan? Sebelumnya sempat lelaki hadir mendatangiku: memakai kemeja biru, memakai kopiah putih, memakai celana panjang. Ia teman lamaku. Santun tutur katanya. Tak ketinggalan tentang ibadahnya. Ia selalu berbakti pada orang tua. Ia mencintaiku sejak lama. Ia hadir membawa cahaya cinta. Hadirnya menerangi jiwaku yang sedang redup tak terindahkan. Ia adalah penghias mata. Pancaran cahaya cintanya mengajaku untuk menuju jalinan kesucian cinta. Betapa aku bahagia. Hati berbunga-bunga. Tapi sisi lain hatiku, aku masih membenamkan aib kotor. Ia belum tahu. Bahkan ibuku pun masih tak tahu. Aku menahan tangis saat ia mengucapkan kalimat kedewasaan cinta itu; mengajakku dalam jalin pernikahan. Seketika bahagiaku sirna, lenyap tak dirasa, berubah menjadi badai yang mengoyak jiwaku. Duka kini hadir menghadap ke wajahnya. Air mata tak mau lagi tertahan. Tangis dihadapannya seakan aku menolak cintanya. “Kenapa kau menangis. Sungguh, aku ingin mengajakmu menikah. Aku mencintaimu. Kalau kau tidak suka, katakan sejujurnya. Tak perlu kau uraikan tangis.” Tak kuasa menahan aib. Lantang aku bicara tentang aibku. Dengan sejujurnya aku mengadu pilu tanpa malu. Kenapa mesti malu mengatakan? Kehormatanku pun sudah ditonton banyak orang. Terserah ia mau berkata apa. Rona perubahan pun hadir padanya. Betapa ia tak berniat lagi mengajakku dalam kesucian. Dirinya bukan lagi harapan untukku sebagai obat rasa frustasi, sebagai peringan hidup dalam membawa aib, dan sebagai penjernih pikiranku yang kotor. Kini hilang dari hadapanku. Ia pergi, tak memandang kenapa aku begini. Aku menangis, menangis tertahan. Terkurung dalam kamar. Kamar terkunci, agar ibu tak mencurigaiku. "Cinta palsu!" Aku kecewa. Ia hanya memandang rupaku, rambutku, buah dadaku, dan seluruh tubuhku. Ia tak sepadan dengan kesalehan jiwanya. Ia sama persis dengan lelaki yang lain. Melihat wanita hanya nafsu, nafsu, dan nafsu. Cintanya hanya nafsu belaka! Setelah mendengar aku telah diludahi, manisnya telah terhisap habis, nafsu makanmu hilang melihatku! Ia pergi untuk berganti selera. Lengkap sudah penderitaanku... Kini harapan kehadiran dari niat suci seorang lelaki hanyalah mimpi. Aku cuma dalam harap, niat suci lelaki itu datang walau dalam mimpi. Itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali. *** Melihat selembar kertas di atas meja. Aku raih kertas itu dengan jengah. Aku terbayang-bayang saat melihat kertas itu. Aku hampir terjerumus dalam jurang Suratku untuk ibu. “Maafkan aku Bu. Aku pergi. Mungkin lama akan kembali. Aku pergi demi Ibu. Para lelaki telah menggagahiku, sehingga aku pun sakit dan bingung dengan hidupku. Aku tak berani mengucapkan pada Ibu. Hanya lewat kalimat surat yang terucapkan untukmu, Ibu.” Hasratku sembilan kali lipat memuncak dari lelaki di saat kejadian itu bergentayangan di dalam pikiranku. Tak ada lelaki yang bertanggungjawab mengamankan keadaanku dengan kesucian. Aku relakan bila manis kehormatanku terhisap habis; dimakan lelaki yang lapar penuh rakus. Biar sempurna kehinaanku. Aku sangat jujur dengan kehinaanku. Tak seperti kebohongan wanita jadi-jadian yang berlagak dengan balut kesucian yang menganggap lumrah tidur bersama dengan matahari untuk menggapai gairah hidup. Padahal mereka sama sepertiku, ingin tidur pulas bersama selimut. Aku pergi menyusuri tempat pelacuran. Berharap ada lowongan kehinaan. Betapa diriku ingin memasuki tempat itu. Tempat yang pantas untuk menghinakan diri. Tak perlu banyak persyaratan cukup memberi ijazah bernilai merah. Bermodal tubuh yang bermoral murahan. Tak perlu banyak kesusahan. Memang tak susah untukku. Tapi, ibu mana yang tak sakit hati bila mengetahui anaknya telentang ditindih bantal guling? Aku pergi hanya untuk mengecewakan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Lebih baik aku kembali dan belajar tentang ketabahan hatinya. Belajar tentang kisah Mariah, bila aku mengandung buah kerakusan. “Ibu harap, anakmu setabah ibunya,” perkataan ibu menyadarkan lamunanku. Kini kisah Mariah terjadi pada diriku. Melahirkan anak tanpa kehadiran seorang suami yang mendampinginya. “Apakah anakku akan bernasib sama dengan kita berdua?” “Kita adalah korban dari kerakusan lelaki. Anakmu lelaki. Berharap tak akan bernasib seperti kita, Tentu. Kita tak berharap anakmu seperti lelaki yang menghancurkan kehormatan kita.” “Adakah lelaki yang mengalami pelecehan seksual?” “Sudahlah. Wanita hanya manusia lemah. Biarlah para lelaki yang merasa berkuasa untuk membahas ini.” Aku bergegas menghampiri ibu yang berdiri di sisi pintu kamar tidur. “Aduuuuuh, Ayub sayaaaang. Sini Bu, aku yang menggendong.” “Anakmu cantik.” “Ini laki-laki Bu.” “Biar saja.” “Bu, kenapa ibu memberi nama Ayub?” “Untuk mengenang penderitaan kita.” Tuhan, betapa takdirmu berulang kembali. Kini aku yang nestapa. Mariah Zaitun benar-benar merasakan kisah Mariah. *** Cirebon, Oktober 2010 ----------- * Nama diambil dari sajak Mariah Zaitun, karya W.S. Rendra. |
31st October 2013, 12:34 |
#2
|
Banned
|
Karya Sastra Cerpen : 1001* Kenikmatan Kebebasan
Kau adalah Sperma yang meliuk-liuk, bergerak bebas. Bergerak liar, memburu mangsa. kau bertarung dengan kawanmu sendiri. Walau aturan dihidangkan, kau bebas memilih. Memilih dengan mengusai kebebasan. Tiap kebebasan menurut aturanmu. Sehingga kau adalah makhluk pembebasan. Kau usulkan kebebasan kehidupan dengan aturanmu. Kau membuat patung simbol kebebasan. Tak puas, sampai kau bebas mengharapkan 1001 lebih kenikmatan, datang atas nama kebebasan kehidupan. Dan kau bebas menikmati. Bebas pula mengingkari seribu satu kenikmatan.
Pantaslah malaikat di atas langit merasa iri melihatmu. Kau punya surat kuasa untuk bebas merusak. Kau hanya makhluk perusak kehidupan dunia. Kau sombong. Kau berlagak berkuasa. Unggul di antara para makhluk Tuhan. “Kenikmatan sudah kau raih”. Kau terlahir. Kau telentang. Kau merangkak. Kau berjalan. Kau berlari-lari. Kau sanggupi kehidupan. Nafsumu memburu garang seiring dewasamu. Kau memburu makanan, memburu harta, memburu kuasa, memburu cinta, dan memburu segalanya. Tapi kau berhasrat memburu dunia dari sisi gelapnya. “Kenikmatan hidup kau peroleh. Kau hirup udara kebebasan hidup.” Kau lapar, makan. Kau haus, minum. Tapi kau lahap dengan kenikmatan rakus. Seolah kerakusan adalah kenikmatan. Kau pun tahu, kenikmatan tidaklah dari suatu yang berlebih dalam kepemilikan. Melainkan dari suatu yang bernilai berbagi. Perutmu butuh nilai pembagian. Jangan kau selalu isi dengan kekenyangan. Berilah kebebasan untuk kehidupan laparmu. “Masihkah kau mau menikmati?” Kau terdiam saja. Padahal kau punya kenikmatan mulut dalam berbicara. Mungkin kau bebas dalam penentuan jadwal bicaramu. Kau berhak itu dan aku hanya berhak menerima acuhmu. Lalu kau pergi. Meninggalkan aku. Bergerak bebas. Dasar Sperma! Kau hanya mengurusi kehidupanmu sendiri. Berurusan dengan orang lain hanyalah untuk kepentingan nafsumu. Malam kau membawa barang. Sembari lelah. Cemas menemani pula. Kau kucurkan keringat di tubuh. Keringkan tubuh dalam tempat teduh. Lalu kau pamerkan perhiasan yang ada pada potongan jari, dompet bercampur darah, dan celana dalam perawan berwarna kelabu. Sungguh inilah caramu mempertahankan hidup. Sperma hina semakin hina, berwarna lumpur lapindo. Betapa kau malas melongok sisi terang. Padahal kenikmatan sejati ada di dalamnya: menerangi dunia dan menampakkan keindahan di tiap bunga-bunga. Betapa kau hanyut dalam sisi gelap, di saat indah bunga tak akan berwarna tanpa cahaya. Bunga tak ada keindahan. Tak nikmat dipandang mata. seharusnya kau berpikir, tak ada kehidupan bila dunia gelap gulita. Kau bebas memakai warna kegelapan: wajah kegelapan, berbaju kegelapan, ruang nongkrong kegelapan, dan cinta dalam kamar kegelapan. “Inikah kenikmatanmu dalam hidup?” Kau hanya suguhkan kemarahan padaku. Kau tak menjawab. Kau tinggalkan pertanyaanku begitu saja, Sperma! Apakah kebebasan bersuara tak ada untukku? Untuk seorang pengagum kenikmatan terang cahaya. Sungguh, cuma dunia gelap yang bebas bersuara, bebas menyuruh orang untuk memasukinya. “Kau tak akan merasakan kenikmatan sejati bila menikmati dengan kemarahan!” Berhari-hari kau luangkan waktu hanya untuk berburu harta iblis yang maha terkutuk. Berhari-hari pula kau pamerkan hasil kegelapanmu padaku. Kau pun menyuguhkan hasil itu untukku. Tapi aku tolak, Sperma! Kau merasa senang menjual barang najis itu. Tapi entah, apa yang kau senangi terhadap barang itu. Padahal hidupmu tertekan kehidupan itu sendiri karena barang itu. “Mana ada dunia gelap yang nyaman di saat kegelapan itu menutupi kehidupan? Kau akan tertabrak, atau menabrak”. Lantas kau meningkat derajat. Nasib beruntung tetap hadir pada seorang pengagum dunia gelap. Kau tersenyum nikmat. Usaha kegelapanmu meledak sukses. Sperma mafia, kini berkuasa. Kau banyak harta. Harta banyak, berlebih, sampai di tangan bawahanmu, di selimut selingkuhanmu, di legalitas rumah pelacuran, di saku aparat, di bra bunga raya, dan di amplop penguasa politik. Sampai kau melenggang santai tak tertekan lagi tentang pemburuan itu. Kau telah punya kuasa. “Apakah hidup muliamu masih terasa nikmat di saat kemuliaan hidupmu diperoleh dari jalan kegelapan?” Kau hanya tersenyum. Lantas pergi. Sampai berhari-hari kau pergi. Kini kau kembali. Sepulangnya di rumah, kau bawakan oleh-oleh gadis cantik. Kau pamerkan ke hadapanku. Lantas kau bermain dalam kegelapan kamarmu. Terus-menerus kau selalu bawakan gadis. Kau menusuk dengan ilusi cinta sehingga mereka cucurkan darah duka atau cucurkan darah kenikmatan. Entah apa keinginanmu. Kau bertingkah dengan spermamu. Nafsu-nafsu bersarang, menyerang: dalam kelembutan atau kekerasan. Menusuk, menerobos pembatas, dan kau leluasa. Setelah itu kau bebas tak peduli. Kau nikmati sendiri. Kau tinggalkan gadis-gadis itu. lalu, gadis-gadis itu menjadi bunga raya sejati karena ulahmu. “Apakah kenikmatan bisa dirasakan sejati bila bermain kelamin?” Kau tertawa saat aku bertanya. Seolah-olah memang benar tentang perkiraanku. Dan aku melongok lagi pada keburukannya. “Siapakah yang menjual gadis-gadis?” Bukankah kegadisan hanya bisa dibeli dengan perantara penghulu, saksi dan seindah mahar?” Kau beralasan. Kau bisa beralasan. Kau seenaknya beralasan dengan kebebasan kekuasaan. Kau merujuk pada kisah para tokoh mewah yang beristri sepuluh, bahkan lebih, lewat jual-beli rahasia. Sah. kau tak perlu menutup aib-lewat jual-beli rahasia-dalam menikmati rembulan-rembulan remaja. Tak seperti para tokoh mewah lainnya. Memang, kau penganggum kegelepan hidup yang sejati. “Sialan kau, Sperma! Aku tetap tak terima!” Lihat saja para korban akibat ulahmu, Sperma. Kini akibat kesuksesanmu menguasai jagat dengan label kebebasan yang hakiki, menyebar luas tema tentang kebebasan. kerap kali kebebasan ini mengikuti kebebasan warna kehidupan gelapmu. Kebebasan sex, tapi kerap kali melakukan kebebasan pelecehan seksual. Beringas dalam melakukan kepungan terhadap mangsanya. Mengikat cincin tapi selingkuhan dimana-mana. Kerap kali memaksakan kehendak dengan muslihat: iming-iming mendapat kerja, rayuan cinta, dan dengan segala macam paksa halus di saat para korban tak mau dalam hal yang berbau sex. “Mereka sebut itu adalah kenikmatan?” Kau jawab pertanyaanku dengan mencolek dua buah kenikmatanku. “Biadab!!!” Pergaulan bebas tapi kerap kali saling hantam, saling tusuk, saling gasak, saling paksa, saling menguasai dan segala macam pergaulan bebas lainnya. “Itu bukan pergaulan bebas! Tapi kegiatan pengurungan diri dalam tempurung! Hidup mereka akan penuh mata-mata ancaman!” Plak. Plak. Plak. “Biadab! Itukah kenikmatan pergaulan bebasmu denganku?!” Kau menyumpal mulutku. Membawaku ke ruang gudang. Di situ kau seenaknya melecehkan tubuhku. Kau menghalangiku beribadah. Kau mencegahku berbicara. Kau tak memberikan pergaulan bebas untukku. Kau menutup semua jalan kebebasan. “Masih adakah tempat untuk menikmati kebebasan hidup dalam dunia terang, di saat kebebasan dunia gelap menguasaiku?” “Sialan! Aku tak terima! Aku masih ingin mengomentari kehidupanmu! Aku masih punya pertanyaan tentang kebebasan beragama untukmu, kebebasan berpikir untukmu, dan segala macam pertanyaan tentang kenikmatan kebebasan untukmu. Tolong buka!” Aku tanya dalam hati, Sperma! “Apakah aturan kebebasan gelapmu hanya untuk mendapat kenikmatan hidup semata?” *** Cirebon, Oktober 2010 ------- *1001= Jumlah kata dalam isi cerita. |
Last edited by elbuyz; 31st October 2013 at 12:37.. |
detikNews
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer