HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Jumat, 2024/03/19 11:31 WIB
Kabar Duka, Vokalis Band Sore Ade Paloh Meninggal Dunia
-
Jumat, 2024/03/19 14:07 WIB
Celine Diduga Mualaf usai Viral Foto Salat Subuh, Ucapan Lawas Gus Miftah Disorot
-
Jumat, 2024/03/19 13:24 WIB
Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid Sudah Bicara Tema Pernikahan
-
Jumat, 2024/03/19 11:51 WIB
Kiky Saputri Syuting Kembali Usai Umumkan Keguguran: Hiburan Saya Kerja
-
Jumat, 2024/03/19 14:53 WIB
Ultah ke-55 Anang Hermansyah Mau Punya Anak Lagi, Ashanty: Buat Apa?
-
Jumat, 2024/03/19 11:43 WIB
Teuku Ryzki eks CJR Ngaku Pacar Ikut Puasa Meski Beda Keyakinan
|
Thread Tools |
7th February 2017, 07:11 |
#1
|
Addict Member
|
La Douleur Exquise
Salam kenal buat semuanya
Thread ini dibuat untuk memuat cerita pendek fiktif, maupun puisi-puisi pendek hasil karya original. Jika ada kesamaan tema, dialog, nama tokoh, maka hanyalah kebetulan semata. |
Last edited by la-douleur-exquise; 5th July 2017 at 16:22.. |
7th February 2017, 09:08 |
#2
|
Addict Member
|
To Me, You Are Perfect Pagi ini, cuaca terasa begitu sempurna. Cuaca sempurna versi ku adalah awan tebal menggayut, matahari bersembunyi, dan angin bertiup lembut menyejukkan seolah issue pemanasan global hanyalah teori konspirasi para ilmuwan dan para aktivis pecinta lingkungan. Di mataku, dia sempurna. Sesempurna cuaca pagi ini. Dia sempurna bukan karena memiliki fisik yang mampu menyaingi pesona Brad Pitt, bukan pula karena kadar kecerdasan yang menyaingi penerima Penghargaan Nobel bidang Fisika, Albert Einstein. Dia juga bukan seorang komedian terbaik yang mampu menyelipkan humor dan tawa di setiap percakapan. Dia sempurna di mataku, karena aku mencintainya. Dia sempurna di mataku, karena caraku mencintainya. Aku jatuh cinta padanya seperti aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Aku jatuh cinta padanya seperti tidak akan ada lagi cinta setelah dia. Aku jatuh cinta padanya seperti dia adalah satu-satunya definisi cinta yang ku ketahui. Aku mencintainya dengan begitu tulus. Aku mencintainya bukan karena dia sempurna di mata dunia; tapi karena aku mencintainya lah maka aku mampu menerima segala ketidaksempurnaannya dan ia menjadi sempurna di mataku. Ah.. Aku tak perduli bagaimana dunia memandang seorang dia. Di mataku, dia sempurna. Begitu saja, boleh? |
Last edited by la-douleur-exquise; 5th July 2017 at 13:10.. |
5th July 2017, 13:59 |
#4
|
Addict Member
|
Dari Balik Tembok.
#1 Aku telah sampai di sebuah babak dalam hidupku dimana aku belajar untuk mencintai seseorang seutuhnya meski tak pernah mendapatkan balasan. Aku belajar untuk menerima kenyataan bahwa perasaan bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan. Aku belajar untuk menerima bahwa suratan takdir tak akan pernah berpihak padaku dan memberiku kesempatan. Aku belajar untuk mengerti bahwa cinta tidak harus memiliki. Aku belajar untuk tetap mencintainya dari kejauhan, dari balik tembok pemisah yang tinggi dan tebal yang sebenarnya aku ciptakan sendiri. Dulu, aku dan dia pernah saling bertukar sapa. Dulu, keheningan bukan satu-satunya yang meraja. Dulu. Ya.., dulu, sebelum aku menghancurkan semuanya dan membakar jembatan antara aku dan dirinya.. Dan kini kesunyian menjadi satu-satunya yang tersisa. *** Suatu senja di batas kota, sepuluh bulan yang lalu.. Aku dan dia duduk berhadap-hadapan. Aku berhasil mengumpulkan segenap keberanian dan bertekad menyerahkan sebuah surat panjang yang berisi kejujuran isi hatiku padanya. Semalaman aku menyusun kalimat demi kalimat, menjabarkan kejujuran demi kejujuran tentang apa yang aku rasakan. "Ini untukmu," kataku padanya sambil mengulurkan sebuah amplop merah jambu. Aku tahu aku tak akan pernah mampu mengucapkan semua barisan kalimat tersebut secara langsung. Lidahku terasa kelu saat berhadapan dengannya. Aku pun tak mampu terlalu lama menatap matanya. Debaran jantungku serasa riuh berlomba hanya dengan berada di dekatnya. Aku teramat sangat menyukai lelaki itu dan reaksi tubuhku tak dapat menyangkalnya. "Apa ini?," dia bertanya padaku. Aku dapat merasakan wajahku memerah dan memanas. Rasa malu menjalar dengan cepat sehingga aku mengalihkan wajahku ke arah lain dan menghindari tatap matanya. "Kamu baca saja," jawabku dengan suara tercekat. Ekor mataku menangkap gerakan tangannya yang hendak merobek pinggir sampul surat merah jambu tersebut dan aku pun buru-buru menoleh padanya dan dengan gugup memohon, "Bacanya jangan disini ya." Ia mengangguk-angguk seolah memaklumi kegelisahan hatiku dan kemudian ia melipat amplop merah jambu yang berisi curahan isi hatiku menjadi dua lipatan dan menyimpannya ke dalam saku celana kerjanya. Aku menghela nafas lega. *** Awal September, nyaris dua tahun yang lalu.. Pagi itu aku datang sedikit terlambat ke kantor. Hujan deras di pagi hari pada jam sibuk menjadi penyebab tumpukan kendaraan yang berjubel di padatnya jalanan ibukota, lajunya semakin tersendat. Dalam hati aku mengutuk hujan pagi ini. Aku tidak terlalu menyukai hujan; terutama hujan deras yang disertai angin kencang sehingga meski aku sudah berteduh di bawah payung, aku tetap kebasahan. Aku tidak dapat mengerti bagaimana sebagian orang mengagungkan hujan sebagai sesuatu yang romantis dan puitis. Seorang bijak pernah memberi nasehat yang menurutku masuk akal. Katanya, "Jangan pernah jatuh cinta saat hujan. Karena ketika besok lusa kamu patah hati, setiap kali hujan turun, kamu akan terkenang dengan kejadian menyakitkan itu." (Dikutip dari "Hujan" oleh Tere Liye). Waktu pada mesin absensi menunjukkan pukul 09.07 WIB ketika aku tiba di kantor. Suasana hatiku seketika memburuk karena sudah menjadi kebijakan perusahaan bahwa jika kedatangan karyawan (/karyawati) terlambat lebih dari 5 menit maka uang makan hari itu akan dipotong setengahnya. "Sial," batinku dalam hati sambil menyalahkan lelaki jangkung yang dengan kejamnya menutup pintu lift meskipun dari ujung Lobby sudah tampak aku kepayahan berusaha mempercepat langkah agar dapat ikut menumpang lift tersebut. Kantorku terletak di Lantai 17 sebuah gedung bertingkat di bilangan Sudirman. Aku yakin aku dapat menghemat waktu paling tidak 3 menit jika lelaki jangkung tadi berbaik hati menungguku. Setibanya di meja kerjaku, aku segera menghidupkan komputer dan mulai berkutat dengan angka-angka yang tertera pada layar monitorku. "Eh gosipnya ada anak baru lho," celoteh Pipit membuyarkan konsentrasiku. "Oh ya?," tanyaku acuh sambil berusaha kembali menekuni angka-angka di komputer. "Iya, dan gosipnya lagi, anak baru nya ganteng lho," jawab Pipit dengan bersemangat. Peduli setan mau ganteng atau jelek tidak ada urusannya denganku, batinku jengkel karena masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan ketimbang meladeni Pipit yang terkenal sebagai biang gosip di kantor. Seandainya pekerjaanku tidak sedang dikejar tenggat waktu mungkin aku bisa berusaha untuk terlihat lebih ramah dan menanggapi obrolan Pipit, karena bagaimanapun cerewetnya penggosip yang satu ini, ia merupakan seniorku yang kadang tidak pelit menularkan ilmunya padaku. Aku sudah tidak lagi menyimak rentetan kalimat informasi tentang anak baru yang meluncur dari mulut luwes Pipit ketika tiba-tiba Pipit heboh menyikutku sambil memelankan volume suaranya dan berkata, "Tuh.. tuh.., anak baru nya lewat." Mataku dan matanya bertubrukan untuk sesaat. Aku suka sorotnya, teduh. Tingginya ku taksir sekitar mendekati 180 cm, matanya bulat, bibirnya cium-able, hidungnya tidak pesek (Sebenarnya sih aku mau memuji hidungnya mancung, tapi berhubung aku masih kesal karena dia tadi pagi menutup lift tanpa ampun maka sekian saja puja-pujiku tentang sosok dia). "Biasa aja dong ngeliatinnya," Pipit menggodaku setelah si anak baru tersebut berlalu. "Gimana? Cakep kan?," tanya nya lagi. "Biasa aja tuh," jawabku berbohong. "Biasa aja tapi kok tadi tampangnya mupeng?," goda Pipit lagi. "Iya deh, aku aku-in anak baru itu memang cakep, tapi..." "Tapi apa??," tanya Pipit penasaran dengan kalimatku yang sengaja kugantung. "Tapi gak punya perasaan," batinku dalam hati terkenang akan uang makan harian ku yang hari ini melayang separoh. "Tapi keliatannya sombong," jawabku asal hanya sekedar untuk memuaskan rasa penasaran Pipit. "Prejudice!!," sungut Pipit menyanggah opini pribadiku. Aku hanya mengangkat bahu sekilas dan kembali fokus pada angka-angka di monitor ku. Pipit yang tampaknya sudah cukup puas menyiarkan perihal anak baru pun beringsut kembali ke meja kerjanya. Pagi itu, tak sedikit pun terlintas di benakku betapa kehadiran sesosok lelaki jangkung itu kelak menjadi tokoh utama di hatiku dan ia sempurna membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya. Jatuh atas nama cinta. *** |
Last edited by la-douleur-exquise; 21st July 2017 at 10:00.. |
19th July 2017, 12:18 |
#6
|
Addict Member
|
#2
Kini hampir setahun sudah tidak ada sepatah kata lagi yang terucap dari bibirnya. Bahkan di saat hari raya pun tidak ada lagi sekedar ucapan "Selamat Merayakan Hari Raya". Hening. Sunyi. Senyap. Aku telah berhasil menyulap sesosok lelaki yang sesungguhnya senang berceloteh menjadi seorang bisu terhadapku. Voiceless. Hebat, kan? Hobinya berceloteh baru ku ketahui setelah kami berkenalan cukup lama. Kesan pertama tentang sesosok laki-laki yang cool dan pelit berkata-kata, serta hanya mengacungkan kedua jempolnya saat sepakat pada suatu hal, perlahan-lahan lumer seiring waktu. Kau harus lihat saat ia sedang kebanjiran kata-kata. Ia seperti menjelma menjadi burung cucakrawa yang dengan senang hati berkicau tiada henti sementara aku bagai pecinta burung kicau di Pasar Pramuka yang menaksir burung tapi tak punya cukup uang untuk membeli. Hanya terdiam dan mendengarkan kicauannya dengan seksama. Padahal sesungguhnya, aku adalah sejenis burung cucakrawa juga. Sama-sama hobi berkicau. Lantas mungkin kalian bertanya-tanya mantra apa yang ku rapal sehingga berhasil membungkam seorang lelaki jangkung dengan keahlian bicara 100 wpm (100 words per minute)? Jawabnya sederhana. Karena aku telah berhasil memuakkannya sampai titik tertinggi. Titik Gunung Everestnya. Singkat cerita, surat merah jambuku tempo lalu dibalas dengan sebuah penolakan tegas dan jelas. Dia tidak pernah mencintaiku. Tidak pernah secuil pun. Tidak seremahan roti, tidak pula seremahan biskuit. Tidak sama sekali. Kalau kamu pernah dicintai habis-habisan oleh seseorang yang tidak bisa kamu balas perasaannya, kamu pasti mengerti sensasi mual yang ku maksud. Pernah seorang yang kelewat percaya diri menghujaniku dengan kata kangen, peluk, dan bahkan berkalimat seolah aku ini sudah setuju dipanggil "cintaku" olehnya; sontak aku mual sejadi-jadinya dan ingin tahu apakah setiap hari orang tersebut berkaca di kuah semur sehingga tidak dapat melihat pantulan refleksi dirinya dengan jelas. Dan ironisnya kelakuan ku menjadi serupa seperti orang yang telah mengaduk-aduk perutku dan membuatku mual saat perasaanku berurusan dengan si jangkung cucakrawa yang telah mencuri hatiku entah sejak kapan. Cinta memang mempunyai kuasa meluluh-lantakkan logika, melenyapkan akal sehat, melibas habis harga diri, menurunkan ego seseorang sampai titik selfless (dan merasa totally helpless), dan tidak mengenal kata menyerah. Sungguh maha dahsyat cinta. Tak pelak bila seorang filsuf Yunani berkata bahwa cinta adalah sebuah bentuk penyakit mental yang serius, dan sayangnya belum ada obat baik sejenis Xanax maupun Prozac ataupun dalam bentuk psikotropika lainnya yang mampu menyembuhkan penyakit cinta itu sendiri. Dalam upaya menyembuhkan diriku sendiri dari penyakit cinta ini, pernah aku berusaha keras merubah perasaan ini menjadi benci. Aku berusaha membuka mataku lebar-lebar dan melihat betapa banyak sikapnya yang melukai perasaanku. Kutajamkan pula telingaku dan kuresapi berita-berita miring yang kudengar tentangnya. Banyak. Banyak sekali cerita sepihak yang tidak baik tentangnya. Diam-diam ku cermati pula kekurangan-kekurangannya. Tapi toh, hingga detik ini aku masih tetap menyayangi sosok jangkung tersebut. Bukannya aku buta dan bukannya aku tuli, hanya saja hatiku seperti luas tak terbatas ketika menyangkut si jangkung yang satu ini. Jadi meski secara kasat mata aku sudah habis babak belur dan aku mengerti sangat jelas bahwa dia melukai perasaan dan harga diriku, lubuk hatiku selalu memaafkan dan memaklumi perbuatannya. Dan hatiku masih selalu tetap menyayanginya dengan tulus. Gila, kan? Sudah habis aku dimaki bodoh oleh sahabat-sahabatku karena kelewat sayangnya aku pada si jangkung. Meski hatiku perih saat dimaki dan bulir air mata kadang lolos dari tanggul pertahananku, namun aku dapat mengerti bahwa mereka hanya berusaha menyadarkanku agar berhenti menjadi keledai. Keledai atas nama cinta. Jika aku bisa memilih kemana seharusnya hati ini berlabuh, tentu aku akan memilih berlabuh dan menambatkannya pada orang yang dapat membalas perasaanku. Permasalahannya, hati selalu mempunyai kehendaknya sendiri kan? *** |
Last edited by la-douleur-exquise; 25th July 2017 at 07:49.. |
23rd July 2017, 22:21 |
#9
|
Addict Member
|
#3
Malam ini aku rindu setengah mati padanya. Rindu. Rindu. Rindu sekali. Rindu yang hanya dapat kurasakan sendiri. Menyiksa detik demi detik di setiap helaan napasku. Betapa aku ingin menatap wajahnya. Betapa aku sangat ingin berada dalam peluknya. Betapa aku sangat ingin membisikkan di telinganya bahwa aku sangat menyayanginya. Betapa aku... Betapa aku tergila-gila padanya. Kira-kira berapa baskom muntahannya kalau dia membaca tulisanku saat ini? Dicintai sepihak habis-habisan sungguh membuat seseorang mual setengah mati kan. Rasanya aku ingin menulis di sembarang tempat ribuan sajak rindu atau sekedar memberitahunya pesan singkat, "Aku kangen." Tapi jangan lah.. lebih baik ku tahan diri. Aku tak ingin dia mual dan muntah-muntah sampai dehidrasi. Padahal sumpah, aku rindu padanya setengah mati!!! *** Kemarin aku melihat si jangkung di kantor. Hanya sekejap dan sepintas memang, tapi cukup untuk membasuh rindu ini yang sudah sungguh terlalu pasca berhari-hari ketidakmunculannya dikarenakan ia bertugas dinas ke luar kota. Sudah setahun belakangan si jangkung memang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tugas di luar kantor. Pekerjaannya sebagai orang lapangan memang mengharuskannya demikian. Untungnya aku dan dia bekerja pada divisi yang tidak saling berhubungan sehingga macetnya jalur komunikasi antara aku dan si jangkung tidak berdampak signifikan pada pekerjaan masing-masing. Kadang, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah aku tidak dapat melupakannya atau sebenarnya aku tidak ingin melupakannya. Pernah aku mendapat tawaran bekerja di perusahaan lain yang lokasinya lebih dekat dari rumahku dan gajinya sedikit lebih besar dari tempatku bekerja saat ini, namun aku memutuskan menolak tawaran tersebut. Aku membuat-buat alasan mengapa aku harus bertahan disini dan bukan mengembangkan karir disana. Aku sibuk mendustai diriku sendiri dan menyangkal bahwa sesungguhnya satu-satunya alasan aku masih bertahan di perusahaan ini adalah sosoknya. Perusahaan ini.. Kantor ini.. Adalah satu-satunya jembatan yang masih tersisa yang menghubungkan aku dengan sosoknya. Meninggalkan kantor ini sama artinya dengan secara tidak langsung mengucapkan selamat tinggal selamanya pada si jangkung. Karena itulah, dengan keras kepalanya aku masih bertahan. Bertahan (lagi-lagi) atas nama cinta. Cinta sepihak, pahitnya. Kadang, hanya melihat sosoknya diam-diam dari kejauhan saja bagiku sudah cukup. Sudah lebih dari cukup. Aku tidak pernah bermaksud untuk mengusiknya ataupun menyusahkannya. Sebenarnya sebelum perang dingin berkecamuk di antara aku dan si jangkung, ia pernah menawarkan solusi perdamaian yang aku tolak mentah-mentah dengan angkuhnya. Permintaannya sederhana namun untuk mengabulkannya tidak semudah membalik telapak tangan. Ia hanya meminta aku "membunuh"nya dari hatiku. Sederhana, bukan? Akan tetapi, bukannya menyanggupi, aku malah mati-matian memperjuangkan dan membela hak pribadiku untuk mencintai seseorang, dalam hal ini dirinya yang kumaksud. Surat yang ku tulis padanya tempo lalu adalah sebuah pengakuan panjang yang sebenarnya tidak mudah untukku. Hal terakhir yang ku inginkan sebagai balasan adalah caranya memojokkan perasaanku dan membuat aku semakin merasa hina dan tak pantas untuk mencintainya. Harga diriku yang sudah kupertaruhkan habis-habisan untuk jujur menjabarkan perasaanku dan keadaanku terasa semakin terkoyak-koyak dengan caranya berusaha untuk membatasi perasaanku. Berhenti mencintainya? Apakah aku sedemikian tidak layak nya untuk mencintai sesorang dengan caraku sendiri selama yang aku mampu (dalam hal ini, lagi-lagi dirinya yang kumaksud)? Aku tidak mendesaknya untuk membalas perasaanku dan aku pun tidak meminta sebuah kepastian dan kejelasan hubungan. Aku hanya ingin dia dapat berusaha untuk mengerti perasaanku. Tahukah kamu bahwa aku bahkan tak pernah punya cukup keberanian untuk menanyakan bagaimana perasaannya padaku? Aku hanya berani menyatakan dan tak pernah berani mempertanyakan sebuah jawaban. Aku hanya mempunyai keberanian untuk mencintai.. dan terus mencintai semampunya aku tanpa berani berharap sedikit saja dia mempunyai perasaan lebih terhadapku. Aku adalah seorang pejuang yang sangat tangguh dan pemberani serta lantang dalam hal mencintainya habis-habisan; Tapi sungguh aku berubah menjadi seorang yang paling pengecut dalam hal menghadapi perasaannya. Mungkin itu juga yang menjadi penyebab aku membangun dinding pemisah antara aku dan dirinya. Aku takut berhadapan dengan rangkaian penolakan yang lebih nyata dan menyakitkan. Aku takut semakin terluka. Sejujurnya, aku takut menghadapinya. Sangat takut sekali. Dari balik tembok tinggi dan tebal itu, aku bersembunyi darinya dan hanya mempunyai keberanian untuk menghadapi perasaanku sendiri. *** |
Last edited by la-douleur-exquise; 27th July 2017 at 06:30.. |
26th July 2017, 22:45 |
#10
|
Addict Member
|
#4
Sudah beberapa bulan terakhir Jakarta tidak turun hujan. Oksigen dan polusi knalpot asap kendaraan bermotor terasa saling berlomba mengisi paru-paru para penumpang yang sedang berdiri menunggu angkutan umum di kawasan jalan protokol. Awan tebal yang menggayut terasa menjanjikan sebuah hari pembebasan bagi uap-uap air yang terperangkap di dalamnya. Aku menyukai langit yang gelap seperti saat ini. Aku membayangkan langit gelap sebagai sosok tegar yang berusaha memeluk kesedihannya erat-erat dan sebisa mungkin menahan isaknya. Aku berharap hujan tidak lekas-lekas turun. "Kenapa sih elo masih gak bisa ngelupain dia? Kayak gak ada cowok lain aja!! Cari yang bisa membuat elo tersenyum dan bukan yang selalu menyakiti perasaan elo. Coba deh, elo tepuk tangan pake sebelah tangan doang!! Bunyi apa kagak??," suara seorang perempuan yang dari nada nya terdengar sangat gemas membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah asal suara tersebut. Berdasarkan penampilannya, aku taksir si pemilik suara barusan masih duduk di bangku kuliah. Perempuan itu tampak sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya. Untuk sesaat aku merasa tersindir oleh kalimat-kalimat yang sesungguhnya bukan ia tujukan padaku. Diam-diam aku merenungkan pertanyaannya. Aku tidak tahu mengapa aku belum dapat melupakan si jangkung sampai detik ini. Aku benci dan sangat lemah dalam pelajaran berhitung, namun harus ku akui agaknya lebih mudah mempelajari dan menjawab soal-soal yang berkaitan dengan rumus ilmu pasti ketimbang mencari jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan. Aku tahu dia bukan satu-satunya lelaki yang masih tersisa di muka bumi. Akan tetapi, hanya dia satu-satunya yang mampu menimbulkan reaksi kimia pada otakku. Hanya dia yang mampu membuat jantungku berdebar lebih cepat. Hanya dia yang mampu membuat hatiku merindu. Hanya dia yang telah sempurna membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku tahu bahwa idealnya kita harus mencari orang-orang yang mampu membalas perasaan kita, akan tetapi mengapa itu jadi terdengar seperti sebuah transaksi? Mengapa kita tidak boleh menyayangi seseorang tanpa mengharapkan balasan? Tulus dan tanpa syarat. Tanpa klausul-klausul. Mengasihi seseorang meski kita tahu persis kita tidak akan pernah menerima timbal balik apa-apa. Mengasihi seseorang meski itu tak mendatangkan keuntungan pribadi secuil pun dan malahan membuat kita merugi. Langit yang sudah semakin gelap tampaknya tak mampu lagi menahan curahan tangisnya. Aku mengusap keningku yang terasa basah oleh rintik hujan yang mulai turun perlahan satu per satu. Dalam sekejap, hujan menderas. Ingatanku melayang pada pagi dua tahun lalu saat aku separuh kebasahan dan dari ujung Lobby melihat sosoknya untuk kali pertama. Dua tahun sudah. Kini saat rintik hujan membasahi tanah yang kekeringan dan aku sibuk mengenangnya, aku tahu ia sedang terlarut dalam pikirannya sendiri akan seseorang yang lainnya. Tidak mengapa. Tidak apa-apa. Begitulah perasaan. Tidak selalu indah. Tidak perlu selalu berbalas. *** |
Last edited by la-douleur-exquise; 10th August 2017 at 09:29.. |
detikNews
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer