HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Jumat, 2024/03/19 14:07 WIB
Celine Diduga Mualaf usai Viral Foto Salat Subuh, Ucapan Lawas Gus Miftah Disorot
-
Jumat, 2024/03/19 11:31 WIB
Kabar Duka, Vokalis Band Sore Ade Paloh Meninggal Dunia
-
Jumat, 2024/03/19 13:24 WIB
Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid Sudah Bicara Tema Pernikahan
-
Jumat, 2024/03/19 11:51 WIB
Kiky Saputri Syuting Kembali Usai Umumkan Keguguran: Hiburan Saya Kerja
-
Jumat, 2024/03/19 14:53 WIB
Ultah ke-55 Anang Hermansyah Mau Punya Anak Lagi, Ashanty: Buat Apa?
-
Jumat, 2024/03/19 11:43 WIB
Teuku Ryzki eks CJR Ngaku Pacar Ikut Puasa Meski Beda Keyakinan
|
Thread Tools |
10th August 2017, 12:30 |
#21
|
Addict Member
|
|
14th August 2017, 07:54 |
#22
|
Addict Member
|
#6
Keesokan harinya aku memilih untuk alpa dari kantor. Rasanya aku ingin mengundurkan diri saja dari tempat ku bekerja. Aku tahu ini terdengar sangat kekanak-kanakan, tapi aku tak peduli. Aku tak ingin lagi berada di tempat yang sama dengan si jangkung. Aku tak ingin lagi berada di gedung yang sama dengan orang yang paling ingin aku hapus dari pikiran dan hatiku. Dulu aku mengira, asalkan aku bisa melihatnya diam-diam dari kejauhan, begitu saja sudah lebih dari cukup. Aku beranggapan bahwa aku sanggup untuk selalu mencintainya dengan caraku sendiri meski sikapnya hampir selalu dengan sengaja menyakiti hati dan perasaanku. Aku menyangka aku dapat berlapang dada menerima hinaan, cemoohan, gurauan yang disengaja untuk menyindirku, dan semua perilaku-perilaku tidak menyenangkan lainnya yang harus aku hadapi sebagai konsekuensiku mencintai seorang dia. Saat aku menelan harga diriku untuk menyapanya terlebih dulu dan dia membuang muka dengan sengaja, rasa sakitnya masih bisa aku toleransi. Saat aku mengajaknya makan siang bersama dan dia bukan hanya tak sudi menjawab tapi juga dengan sengaja malahan mengajak dan menggandeng perempuan lain, rasa sakitnya masih bisa aku terima. Saat aku menanyakan apakah benar kabar yang aku dengar tentangnya dan dia menganggap aku sebagai tukang fitnah, rasa sakitnya masih bisa aku telan. Meski ibaratnya dia sudah meludahiku berkali-kali, aku masih sanggup menempatkan kepentingannya diatas kepentinganku sendiri. Jika aku dan dia terdampar di gurun pasir gersang dan sama-sama kehausan, aku akan menuangkan air yang aku punya untuk diminumnya terlebih dahulu, dan baru lah aku minum sesudahnya. Secinta itulah aku padanya. Tapi untuk yang sekali ini... Untuk luka terakhir yang dia torehkan padaku... Aku sudah benar-benar tidak dapat menerimanya lagi. Aku sudah tidak sanggup menelannya lagi. Lusanya, aku memilih untuk alpa lagi. Keesokan hari setelah lusa pun, aku masih enggan menyeret kaki ku untuk menginjak kantor. Setiap kali aku teringat pada kabar yang dihembuskan oleh Pipit, dadaku terasa nyeri. Bukan sekedar kata-kata untuk mendramatisasi, tapi rasa sakit dan nyeri yang memang sungguhan kurasakan. Aku kehilangan semangat untuk melakukan apapun. Setiap hari aku memaksakan diri untuk menelan makanan meski aku benar-benar kehilangan selera. Setiap malam aku kesulitan tidur, otot-otot wajahku terasa tegang dan benakku tak mau berhenti berpikir. Benakku tak mau berhenti memutarkan kepingan-kepingan kenangan brengsek yang ingin aku buang jauh-jauh. Aku merasa ngeri sendiri membayangkan seandainya perasaan manusia benar-benar ada bentuk fisiknya dan bukan sesuatu yang abstrak dan tanpa wujud. Aku ngeri membayangkan betapa perasaanku sudah benar-benar hancur lebur dan tak dapat kukenali lagi bentuknya. Aku hancur lebih dari berkeping-keping. Aku merasa... Aku merasa selamanya aku tidak akan pernah utuh lagi. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku sungguh-sungguh merasakan sakitnya patah hati. *** Pada hari ke-empat, aku memaksakan diri untuk kembali bekerja. Malam sebelumnya Pipit menghubungiku dan mengeluhkan pekerjaannya yang semakin menumpuk karena beberapa pekerjaanku yang mendesak dialihkan padanya selama aku absen. Atas nama tanggung jawab terhadap laporan-laporan keuangan yang harus aku kerjakan, aku menyeret langkahku kembali ke kantor meski rasanya aku sudah tak ingin lagi berada di bawah atap yang sama dengan si jangkung. Ada dua akses lift dalam gedung perkantoranku, yang pertama terletak di lobby utama dan merupakan lift dengan interior kaca-kaca kinclong yang umumnya digunakan para karyawan, sementara yang ke dua adalah lift barang yang ukurannya luas tetapi hawanya sumpek dan interiornya kusam. Aku memilih menggunakan lift barang meski aku harus berjalan memutar lebih jauh. Aku sungguh berusaha menghindari kemungkinan berpapasan dengan si jangkung. Lagipula, lift lobby utama selalu meningingatkanku pada pertemuan pertamaku dengan sosoknya, dan saat ini segala sesuatu yang mengingatkanku padanya terasa sangat menyakitkan. Setelah hampir seminggu penuh rasa sakit di dada ini tak kunjung hilang dan aku mulai mengira rasa nyeri ini akan menetap untuk selamanya, aku pun mulai belajar untuk tersenyum lagi. Aku belajar untuk memungut setiap kepingan diriku yang hancur dan merekatkannya kembali. Perlahan-lahan, rasa sakitnya berkurang. Aku mencoba untuk kembali bersemangat dalam menyelesaikan pekerjaanku dengan sebaik-baiknya. Semua tempat-tempat yang aku tahu berpotensi membuatku berpapasan dengan sosoknya menjadi tempat-tempat yang paling aku hindari. Jendela-jendela favorit yang dulu aku tandai untuk menikmatinya diam-diam, aku tutup tirainya satu per satu. Aku sungguh tidak ingin melihatnya lagi. *** "Kamu yakin dengan keputusan kamu?," suara lembut Bu Nur mempertanyakan kebulatan tekadku. Aku menatap mata Bu Nur dengan penuh percaya diri dan mengangguk tegas, "Saya yakin, Bu." Bu Nur melipat kembali surat pengunduran diriku dan menghela napas sembari mengangguk-angguk pelan. "Baiklah kalau memang kamu sudah mantap dengan keputusan kamu. Tapi kamu tetap akan menunggu sampai perusahaan dapat gantinya dan kamu bersedia men-training staff baru kan?," tanya Bu Nur lagi. "Iya, Bu. Saya paham dengan kebijakan perusahaan dan saya bersedia," jawabku mantap tanpa ada keraguan sedikitpun. Setelah selesai mendiskusikan pengunduran diri ku dengan Bu Nur selaku kepala HRD, aku merasa lega dan langkahku terasa lebih ringan. Hidup kadang memang terasa lucu sekali. Seseorang yang dulunya menjadi satu-satunya alasan aku untuk bertahan di perusahaan ini, kini menjadi satu-satunya alasan aku mengundurkan diri. *** |
Last edited by la-douleur-exquise; 14th August 2017 at 20:56.. |
14th August 2017, 11:06 |
#24
|
|
Addict Member
|
Quote:
Kira-kira tokoh "aku" di cerita ini bisa move on gak yah? |
|
14th August 2017, 11:47 |
#25
|
|
Groupie Member
|
Quote:
move on lagi, broken lagi, move on lagi, broken lagi, move on lagi, broken lagi, akhirnya jadi jomblo abadi |
|
Last edited by gurita.merah; 14th August 2017 at 11:50.. |
14th August 2017, 12:24 |
#28
|
Addict Member
|
#7 Sembilan bulan kemudian; Awal musim gugur di kota London... Enam bulan sudah aku menetap di London untuk keperluan program kursus bahasa. Masih kuingat raut wajah mama yang keberatan dengan keputusanku saat ia melepasku di Bandara Soekarno-Hatta tempo lalu. "Kan cuma setahun, ma. Cuma sebentar. Kalau mama kangen kan kita bisa video call," ucapku sambil menyenderkan kepalaku di bahu nya. Mama mengusap rambutku sambil banyak-banyak menasehatiku supaya pandai-pandai menjaga diri di negara orang. Rasanya aku jadi ingin menangis tersentuh melihat bagaimana mama selalu menguatirkan dan memikirkan diriku. Dalam hidup ini, aku cuma punya mama dan mama cuma punya aku. Papa sudah meninggal dalam kecelakaan mobil sewaktu aku masih duduk di bangku TK. Aku adalah anak satu-satunya, dan sejak papa meninggal mama tidak pernah menikah lagi. Sejak itu pula mama menjadi tulang punggung keluarga dan aku pun tumbuh besar dalam kesederhanaan. Aku belajar untuk berhemat sedari kecil. Di saat teman-temanku senang membeli majalah yang berhadiah poster boyband idola mereka, aku lebih suka banyak-banyak menabung uang saku ku. Biasanya, aku meminjam majalah mereka untuk sekedar membaca artikel-artikel yang menarik dan kemudian memulangkannya. Aku tidak mempunyai artis / aktor idola, jadi iming-iming poster tak pernah mempan untuk memikatku. Aku jauh dari sosok perempuan modis yang selalu mengikuti kiblat fashion. Di saat teman-temanku sibuk berbelanja memadu-madankan baju, tas dan sepatu, aku lebih suka menggemukkan saldo rekening tabunganku. Aku juga seorang perempuan yang payah dalam urusan merias wajah. Hal ini berdampak positif pada saldo rekeningku karena aku tidak pernah tertarik dengan bujuk rayu SPG kosmetik yang mencoba menawarkan produk dagangannya. Mungkin penampilanku yang keliwat sederhana terkesan kampungan dan tidak menarik sehingga aku tidak pernah bisa menarik perhatian si jangkung? Entahlah. Mengapa pula aku masih memikirkan sosoknya? Mengapa pula hati ku masih terasa sakit setiap mengingat dirinya? Alasan utama aku berhemat dan gemar menabung adalah karena aku selalu bermimpi untuk dapat membeli sebuah rumah dengan uang hasil jerih payahku sendiri. Bukan rumah mewah dan bertingkat. Bukan rumah di kawasan bergengsi. Hanya sebuah rumah mungil sederhana yang dapat dengan bangga ku-aku sebagai milikku pribadi. Sewaktu kecil, kesulitan ekonomi membuat mama dan aku harus sering berpindah tempat tinggal. Pernah sekali waktu aku mendengar kalimat menyakitkan terlontar dari mulut sepupuku saat aku dan mama harus menumpang di rumahnya sampai kami dapat menemukan rumah kontrakan baru. "Kamu kan disini cuma numpang!!!," kalimat itu meluncur dari mulut sepupuku yang usianya sebaya denganku. Kala itu usiaku 10 tahun. Sejak itu aku bertekad suatu saat aku akan membeli sebuah rumah dengan uang ku sendiri. Jangan sampai mama dan aku harus terus-terusan terhina karena menumpang pada orang lain. Aku boleh miskin harta, tapi jangan sampai aku miskin harga diri. Uang tabunganku sedari kecil kini ludes sudah. Aku menukar mimpi ku untuk membeli rumah dengan kesempatanku berada di sini. Di sebuah negara dimana nenek moyang penduduknya pernah menjajah negaraku. Di sebuah kota yang berlokasi di sepanjang Sungai Thames. Di London. London adalah sebuah kota besar yang sangat indah. Aku menyukai kota ini. Aku sangat menyukainya. Kau dapat menjumpai gedung-gedung dengan sentuhan arsitektur klasik seperti Houses of Parliament, The Tower of London dan Buckingham Palace berbaur dengan bangunan arsitektur modern seperti London City Hall dan gedung pencakar langit Tower 42. Memasuki musim gugur, keindahan kota London semakin menjadi-jadi. Daun-daun hijau mulai berubah warnanya dan pasrah bersiap-siap untuk mati. Aku bertanya-tanya dalam hati, saat angin bertiup melepaskan helai demi helai daun yang menguning, apakah si pohon juga sedang belajar untuk melepaskan? Merelakan setiap lembaran daun yang tumbuh dan setia menempel padanya sejak musim semi, luruh satu per satu meninggalkannya hingga akhirnya ia meranggas sendirian. Telanjang. Kedinginan. Kesepian. Andai cintaku pada si jangkung hanyalah cinta semusim saja tentu rasanya tak sesakit ini. Andai perasaanku bisa seperti dedaunan yang luruh sendiri saat musim berganti, tentu rasanya tak akan sesesak ini. Andai perasaanku padanya seringan peribahasa "Patah tumbuh, hilang berganti" tentu aku tak akan lagi diam-diam merindukannya seperti saat ini. Aku jadi teringat sebaris kalimat Pablo Neruda tentang melupakan dan melepaskan, "Let us forget with generosity those who cannot love us." *** |
Last edited by la-douleur-exquise; 17th August 2017 at 22:52.. |
14th August 2017, 13:12 |
#30
|
Groupie Member
|
|
detikNews
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer