View Single Post
Old 30th June 2008, 15:17
#26748  
LunES
Mania Member
LunES is offline

LunES's Avatar

Join Date: Jan 2008
Location: Somewhere Over The Rainbow
Posts: 4,043
LunES Super LegendLunES Super LegendLunES Super LegendLunES Super LegendLunES Super LegendLunES Super LegendLunES Super LegendLunES Super LegendLunES Super LegendLunES Super LegendLunES Super Legend

Default Milan Story "road To One Century" Part 1

Menyorot AC Milan periode 1960 sampai pertengahan 1970-an, tak bisa tidak, harus membicarakan Gianni Rivera. Jatuh-bangun klub “Merah Hitam” ini, sedikit-banyak, tergantung pada penampilan gelandang temperamental tersebut.

Rivera sendiri, merupakan salah satu pemegang rekor pemain terlama memperkuat Milan 501 kali, dibelakangnya menyusul Franco Baresi 470 pertandingan.

Pria kekar dan jangkung ini pula yang bisa memaksa empat presiden Milan untuk terus memakai pelatih Nereo Rocco. Ibarat dua sisi mata uang tak terpisahkan dalam sejarah Milan pada periode tersebut.

Rivera pemain kontroversial sekaligus “fenomenal”. Ketika ia berulah dengan memusuhi siapapun di klub, tak ada yang berani memecatnya. Bahkan Felice Riva terkena “tulah” karena berniat menjualnya ke Juventus dan Vicenza. Presiden AC Milan itu malah dituntut mundur publik Stadion San Siro.

Presiden baru, Luigi Carraro, dan Pelatih Arturo Silvestri setali tiga uang. Keduanya terjungkal karena tak memberi tempat selayaknya kepada Rivera, anak emas Milan.

Pada musim 1967/1968, ia menuntut Milan menarik kembali Rocco yang dipecat dua musim sebelumnya. Sudah jadi rahasia umum, hanya kepada Rocco ia tunduk.

Rocco langsung melakukan pembenahan secepatnya. Antara lain mengangkat Rivera jadi kapten, sekaligus untuk meredam emosinya yang kerap meledak. Ia juga mendatangkan empat pemain baru. Yang paling menonjol Nevio Scala –mantan pelatih Parma dan Borussia Dortmund- dari AS Roma.

Hasilnya, Milan scudetto untuk ke sembilan kalinya dan juara Piala Winners untuk kali pertama. Lalu, musim berikutnya, kampiun Piala –kini Liga- Champions untuk kedua kalinya.

Rocco dinilai jago strategi, keras dalam soal disiplin, tapi pandai mengambil hati siapa saja. Satu-satunya “keburukan”nya, ia hanya memilih pemain yang bisa bekerjasama dengan Rivera.

Awal era 1970-an merupakan masa paling sulit dan penuh kekerasan di Italia. Pergolakan politik muncul dalam bentuk pertikaian bersenjata antarfaksi. Italia juga mengalami krisis ekonomi.

Masa itu juga merupakan periode terburuk bagi sepakbola “Negeri Pisa”, tak terkecuali Milan. Seolah membenarkan ramalan pengamat, temperamen Rivera kembali memuncak. Ia bukan saja kembali berkonflik dengan pemain Milan, melainkan juga berulah di tim nasional.

Di “Azzurri”, Rivera sempat membuat geger dengan mengancam pulang ke Italia, menjelang final Piala Dunia 1970 –lawan Brasil-. Pasalnya, pada pertandingan sebelumnya, ia cuma dimainkan tujuh menit.

Karuan pelatih Ferruccio Valcareggi kalang-kabut. Soalnya, tanpa Rivera, lini tengah Italia dinilai lumpuh. Terpaksa ia memanggil Rocco ke Meksiko untuk meredakan suasana panas.

Pada Piala Dunia berikutnya di Jerman Barat, peristiwa serupa terjadi. Ini sebenarnya kesalahan Valcareggi. Ia ngotot menyatukan Rivera dan Sandro Mazzola. Padahal, keduanya bermusuhan: saling merasa sebagai pemain terbaik Seri A. Mazzola adalah penyerang Inter Milan.

Bermula dari rencana Valcareggi membangkucadangkan Rivera pada pertandingan ketiga lawan Polandia. Gelandang Milan ini tak terima dan mengultimatum pulang ke Italia.

Begitulah Rivera. Jika ada hal yang tidak sejalan dengan keinginannya, ia akan melemparkan tuduhan pada semua orang. Tak peduli ia benar atau salah.

Diajang Seri A, musuh bebuyutannya adalah Concetto Lo Bello. Setidaknya tiga kali ia bertengkar dengan wasit paling tegas itu. Hasilnya total Rivera tak boleh bermain dalam lima pertandingan.

Begitu tak terkendalinya perilaku Rivera sehingga Milan sempat meminta rohaniawan Eligio untuk memberi bimbingan kepadanya. Eligio dikenal sebagai guru spiritual pesepakbola Italia kala itu.

Eligio pula yang menyelamatkan Rivera dari ancaman hukuman penjara, gara-gara menuduh wasit Seri A dikuasai mafioso. Saat itu, musim 1972/1973, Milan yang membutuhkan tiga poin untuk menggaet scudetto ke-10, dikalahkan Verona.

Kegagalan itu membuat Milan mengalami krisis kepemimpinan dan pelatih. Sialnya, setelah era Albino Buticchi, sejumlah presiden pengganti dinilai lemah dalam konsep pengembangan klub.

Seiringnya pergantian pemilik ini membuat banyak pelatih “angkat tangan” untuk menangani Milan. Terpaksa. Pada musim 1975/1976, mereka memanggil Giovanni Trapattoni –kini pelatih VFB Stuttgart- jadi pelatih sementara.

Sebagai mantan gelandang, Trap, panggilannya, lebih memprioritaskan pembenahan lini tengah. Antara lain mendatangkan Fabio Capello dari Juventus. Capello –kini pelatih Juventus- pernah sekali memenangkan Copa Italia bersama Roma dan tiga kali scudetto di Juventus.

Kelak, karir Capello makin meroket kendati permainannya dianggap “foto copy” Trapattoni. Ia bahkan juga mengikuti jejak seniornya jadi asisten, lalu pelatih Milan.

Trap sendiri Cuma dua musim menangani Rossoneri. Ia kemudian digantikan Filippo Marchioro –juga berstatus pelatih sementara. Permainan Milan pun berubah dari mengandalkan lini tengah ke sistem permainan daerah (zona marking).