Mania Member
Join Date: Jan 2008
Location: Somewhere Over The Rainbow
Posts: 4,043
|
MILAN STORY "ROAD TO ONE CENTURY" Part 4 -Tamat-
Era 1990-an merupakan masa “revolusi” sepakbola Eropa. Banyak stadion dibangun atau direnovasi. Beberapa peraturan baru dibuat FIFA. Antara lain, larangan kiper memegang bola operan rekannya (1992), diperbolehkannya dua kiper cadangan (1994), dan memperkenalkan poin tiga bagi tim pemenang (1995). Tahun 1997, Piala Champions diubah jadi Liga Champions.
Milan yang tak tampil di pentas Eropa, bisa konsentrasi memperbaiki performa mereka di kompetisi lokal. Capello, mantan salah satu punggawa terbaik Milan, dinilai sebagai pelatih ideal. Musim pertamanya, ia sukses membawa “Il Diavolo Rosso” juara Seri A dengan mengungguli Juventus, runner-up, delapan poin.
Sukses tersebut membuat Silvio Berlusconi dengan ringan memenuhi permintaan Capello membeli sejumlah pemain. Musim 1992/1993 ini Milan membangun “The Dream Team II” dengan mendatangkan Jean Pierre Papin, Dejan Savicevic, Zvonimir Boban, Stefano Eranio dan Sebastiano Rossi.
Namun, langkah yang dianggap paling fenomenal adalah pembelian Gianluigi Lentini. Nilai transfernya -US$ 21,5 juta (sekitar Rp 215 miliar)- merupakan rekor Italia, saat itu. Pembelian ini sempat menimbulkan protes dari tifosi Torino.
Ternyata, harga gelandang jangkung itu tak sebanding dengan kontribusinya. Permainan Lentini tidak secermelang di Torino. Konon, karena ia tak mampu menyesuaikan diri dengan suasana Milan yang penuh persaingan. Tapi ada juga yang menyebut Lentini merupakan korban “pengkarbitan”.
Yang jelas, dengan tim penuh bintang itu, Milan kembali merebut scudetto. Hal sama terjadi musim berikutnya. Kali ini, plus juara Piala Champions dan Piala Super Eropa.
Total, selama tiga tahun menangani Milan, Capello mempersembahkan tiga gelar kampiun Lega Calcio, satu kali Piala Champions, sekali Piala Super Eropa, dan tiga kali Piala Super Italia.
Sayangnya, apa yang pernah terjadi dengan Sacchi diulangi Capello. Lantaran sukses memberi banyak gelar, pelatih yang kini menangani Juventus itu tak mau mendengar kritik.
Ia, antara lain, bersikukuh mempertahankan skuad lama dalam dua tahun berikutnya. Pembelian paling menonjol Cuma George Weah dan Roberto Baggiom –kendati pemain terakhir ini dinilai gagal-.
Pada musim 1995/1996, “Tim Merah Hitam” memang tetap juara Liga Italia. Tapi, diajang Eropa, mereka rontok. Kabarnya, penampilan buruk ini karena Berlusconi sibuk berpolitik. Posisinya, sebagai Perdana Menteri Italia mulai digoyang lawan-lawannya.
Tanpa dukungan penuh dari bos besar itulah posisi Capello jadi sulit. Ia kerap bentrok dengan pemain dan tifosi Milan yang tak kenal ampun. Capello akhirnya memilih pergi ke Real Madrid. Ia ingin membuktikan masih tetap salah satu pelatih terbaik Eropa.
Oscar Washington Tabarez menggantikannya. Sayangnya, pelatih asal Uruguay ini mengawali musim 1996/1997 dengan buruk dan tak mempersembahkan kemenangan. Setelah kalah dari Piacenza, Tabarez terpaksa mundur.
Sebenarnya, pelatih yang baru dipecat dari Cagliari ini bukan “bencana” bagi Milan. Menurut banyak pengamat, tak seorang pun akan sukses menangani Milan dalam situasi psikologis tak menguntungkan.
Berlusconi sepakat bahwa Tabarez tak salah. Menurutnya, Milan yang sedang jatuh hanya bisa ditolong oleh pelatih bertangan dingin. Dan itulah Sacchi. Ia seolah tak peduli pria botak itu juga baru gagal menangani tim nasional Italia.
“Sacchi sudah mengenal baik Milan dan sebaliknya”, Berlusconi menjelaskan “Ia boleh saja gagal di timnas, tapi saya kira itu hanya insiden”.
Jika dulu Sacchi dibantu trio Belanda, kini ia mendatangkan Edgar Davids –kini di Tottenham Hotspurs- dan Michael Reiziger –Middlesbrough-. Lalu, membeli Christophe Dugarry -eks Birmingham- dan Jesper Blomquist –eks Everton-.
Namun, bukan sukses yang diperoleh, melainkan kegagalan. Milan terpuruk di peringkat 11 –posisi terburuk dalam sepuluh tahun terakhir-. Sacchi dianggap gagal total.
Lagi-lagi, Berlusconi bermimpi membangkitkan nostalgia dengan memanggil pulang Capello. Ia tampaknya percaya, sukses Capello membawa Real Madrid juara Liga Spanyol musim 1996/1997 pasti menular ke Milan.
Ternyata harapan tinggal harapan. Milan tetap tak bisa bangkit dan terpaku di papan tengah. Periode 1996-1998 merupakan masa terburuk “Si Setan Merah” dalam 10 tahun terakhir.
Desember 1997, Fabio Capello mengontak Oliver Bierhoff. Pelatih AC Milan ini mengharap penyerang Udinese tersebut mau bergabung, pada paruh musim kedua. Saat itu “Rossoneri” memang tengah bergulat mengatasi problem sulit menang dan mental pemain yang jatuh.
Secara prinsip, Bierhoff setuju ke Milan, tapi usai musim 1997/1998. Namun, ketika pemain asal Jerman itu datang –dengan transfer 8,5 juta pound (sekitar Rp 170 juta miliar)-, Capello justru sudah tak betah disana. Bos Silvio Berlusconi memecatnya karena dinilai tak mampu mengembalikan kejayaan Milan.
Berlusconi malah sekalian menarik Alberto Zaccheroni, pelatih yang baru saja sukses menyulap “tim pinggiran” Udinese jadi disegani. Zac, panggilannya, juga dianggap sebagai orang dibalik penampilan cemerlang Bierhoff –top score dengan 27 gol-.
Banyak yang salah duga. Orang menyangka Bierhoff datang karena diajak Zac. “Padahal saya lebih dulu dikontak Capello” Bierhoff menjelaskan.
Yang jelas, Berlusconi memang sudah lama ingin melihat Milan tampil denga sepakbola menyerang –sekaligus menang-. Dan itulah yang ditawarkan Zac.
Untuk mewujudkan ude tersebut, Zac juga membawa serta Thomas Helveg, pemain yang banyak menyuplai bola bagi Bierhoff. Lalu membeli sejumlah pemain muda dengan karakter menyerang. Antara lain Massimo Ambrosini -Vicenza-, Luigi Sala –Bari-, dan Andres “Guly” Guglieminpietro.
Pembaharuan yang dinilai paling radikal adalah mengubah pola lama 4-4-2 menjadi 3-4-3. Zac menempatkan tiga penyerang sekaligus, Bierhoff-George Weah-Maurizio Ganz.
Perubahan itu ternyata tak bisa cepat diserap pemain, sehingga sempat menimbulkan polemik panjang antara pemain lama dengan pelatih. Weah, Ganz dan Ibrahim Ba malah sempat mengancam pergi.
“Mengikuti strategi Zaccheroni tak ubahnya buang-buang waktu”, kata Weah. “Saya rasanya tidak mampu dan hal ini dirasakan juga Ganz”.
Namun Zaccheroni menanggapi semua kritik dengan tenang. Ia malah gantian menggertak dengan mempersilakan mereka yang tak cocok untuk pergi “Lebih baik mereka bekerja lebih keras daripada bicara terlalu banyak,” mantan pelatih Bologna itu menegaskan. “Tim ini perlu mental juara”.
Sebenarnya tak sepenuhnya Zac menerapkan pola 3-4-3. Dalam banyak kesempatan, ia memodifikasi jadi 3-4-1-2, dengan menempatkan Leonardo atau Zvonimir Boban menggantung di belakang duet penyerang.
Target Zac tak muluk-muluk. Dalam masa kontraknya yang dua tahun, ia membaginya dalam dua periode. Tahun pertama membangun tim tangguh. Baru pada musim berikutnya Milan ditargetkan juara.
Untungnya, Berlusconi mendukung penuh ide-idenya. Perdana Menteri Italia itu juga tak menuntut Zac secepatnya memberi gelar scudetto. Ia maklum, dua musim terakhir Milan terpuruk dan perlu waktu untuk membangkitkan kembali semangat pemain.
“Desember 1999 nanti Milan genap seabad”, kata Berlusconi. “Saat itulah saya ingin tim ini kembali berjaya”.
Perjalanan Milan pada pekan-pekan awal cukup mengesankan. Bahkan perjalanan Milan oleh Paolo Maldini dan rekan-rekannya tak pernah lepas dari 5 besar, 10 diantaranya dibuat dengan selisih gol tipis –satu gol-. Ini merupakan rekor kemenangan paling irit dalam 10 tahun terakhir.
Catatan tersebut sekaligus menunjukkan konsep tridente Zac ternyata lemah dalam urusan menjebol gawang lawan. Tapi, disisi lain, sekaligus menunjukkan Milan tim paling efisien.
“Bagi mereka, jumlah gol tak penting”, harian La Gazzetta de lo Sport mengulas “Yang penting menang”.
Boleh jadi, memang itulah pilihan Zac. Dalam situasi kerjasama tim yang belum padu, kemenangan setipis apapun merupakan sukses tersendiri.
Perlahan-lahan “Tim Merah Hitam” mengejar Lazio, favorit juara. Dan selisih poin delapan. Milan kemudian menyalip “Biancoceleste” untuk memimpin klasemen.
Perebutan scudetto berlangsung mendebarkan. Pada pertandingan terakhir Demetrio Albertini dan kawan-kawan unggul satu poin dari Lazio. Untungnya lawan mereka Perugia, tim yang tengah berjuang agar tidak terdegradasi. Sementara Alessandro Nesta dan kawan-kawan bertemu Parma.
Kedua tim sama-sama mengalahkan lawannya. Artinya, Milan tetap unggul satu poin. Dan pesta menyambut gelar scudetto ke-16 pun mereka rayakan di Stadion Renato Curi, milik Perugia. Esoknya Berlusconi membikin lagi pesta serupa di Stadion Giuseppe Meazza kebanggan Milan.
Kritik tajam yang sempat dialamatkan kepada Zac seolah sirna. Malah berganti puja-puji. “Ia pelatih dengan prinsip kuat dan pendekatan bijak, namun tegas”, kata Il Capitano, Maldini.
Zac menjadi pelatih kelima yang pada musim pertamanya langsung membawa Milan juara. Empat lainnya, Giuseppe Vianni (1956/1957), Nereo Rocco (1961/1962), Arrigo Sacchi (1987/1988), dan Fabio Capello (1991/1992).
“Ini kebahagiaan tiada tara”, Berlusconi mengakui. “Kami tak berharap juara musim ini, tapi Zac telah memberikannya”.
Kado ulang tahun indah, menjelang usia seabad -18 Desember 1989 ke 18 Desember 1999- Apalagi, musim tersebut Milan masih bagus prestasinya, berkat pembenahan yang tak kenal henti.
“Milan tim besar dengan sejarah panjang”, kata Zac. “Setiap orang ingin berada disini”.
|