View Single Post
Old 19th February 2019, 10:11
#95  
orangered.57
Addict Member
orangered.57 is offline

Join Date: Jan 2019
Posts: 136
orangered.57 is a new comer

Default

Quote:
Originally Posted by goeloengkoming View Post
Kembali ke topik sepeda listrik.





Tentang sepeda listrik sewaan berbasis aplikasi ponsel, yakni Migo Bike, pekan lalu polisi Jakarta bergeming. Tetap melarangnya. Jakarta tak seperti Surabaya, Jawa Timur, yang sudah mengizinkan 1.000 buah sepeda listrik beredar dalam penyewaan oleh warga, dalam cakupan 100 stasiun.

"Mereka tak boleh di jalan raya karena tak ada pelat nomor kendaraan, sehingga bila terjadi kecelakaan tak bisa ditanggung Jasa Raharja," kata Kepala Sub-Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, AKBP Herman Ruswandi, kepada media.

Akan tetapi PT Migo Anugerah Sinergi, pengelola Migo sewaan, pekan lalu menyatakan tetap ingin beredar di Jakarta (h/t Kontan.co.id).

Sejak Desember 2018 Migo mengaku memiliki 500 sepeda listrik di 90 stasiun, dengan ongkos sewa Rp3.000 per 30 menit. Lalu dalam tiga bulan ada 2019 akan menjadi 2.000 sepeda listrik dan 300 stasiun (h/t WartaEkonomi.co.id)

Manajer Operasional Migo Jakarta Sukamdani dikutip oleh Kompas.com, Sabtu lalu (16/2/2019), "Kalau dari segi Polda atau dari segi Kemenhub, ini (Migo) adalah bukan sepeda listrik ya kami monggo, kami persilakan apakah harus ada tes uji, atau bagaimana, kami mengikuti saja."

Sepeda dan otopet
Sepuluh tahun silam, ketika sepeda listrik mulai memasuki sejumlah kota besar, keraguan khakayak ihwal aspek legal sudah terjawab. Tak perlu surat tanda nomor kendaraan (STNK). Artinya tak ada buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) maupun pelat nomor.

Memang sih kasusnya, waktu itu, baru berlingkup Yogyakarta. Ada sepeda listrik Trekko model Flame seharga Rp7 juta, dijual oleh UD Armada Jaya.

Riska, dari bagian penjualan, menyebutkan Trekko tak terkena kewajiban BPKB dan STNK karena kecepatannya 35 kilometer per jam, masih di bawah batas minimum 40 kpj untuk sepeda motor. Ia merujuk dokumen entah apa di Kementerian Perhubungan (Kompas.com, 13/8/2009)

Migo berkecepatan maksimum 40 kpj, dapat menempuh jarak maksimum 60 kilometer. Artinya Migo lebih bertenaga daripada Ford Ojo yang dijual Rp30 juta di toko daring. Ojo dapat melaju 32 kpj, menempuh jarak maksimum 40 kilometer.

Perbedaan kedua rupa tunggangan listrik itu adalah penamaan diri. Migo menyebut diri sepeda listrik. Ojo menjuluki diri skuter listrik.

Skuter (scooter) pada mulanya adalah penamaan untuk otopet, mainan anak menyerupai sepeda — versi vintage pakai dek dari kayu — yang harus dikayuh dengan kaki menyepak tanah. Dalam perkembangannya, sepeda motor dengan model dek di tengah dan mesin tertutup kap disebut skuter. Betul, paling terkenal adalah Vespa.

Lalu seiring kemunculan skuter matik, tabloid Otomotif pada wa 2000-an memelopori penyebutan skutik. Dan jadilah sebutan hingga kini.

Jika menyangkut skuter Ojo, Brand Manager Melotronic, Giovvani Martin, distributor Ford Ojo di Jakarta, tahun lalu bilang produk jualannya tak perlu surat-surat seperti STNK atau BPKB karena terbatas kecepatannya (h/t detikcom).

Bedanya sampai saat ini Ojo tak berada dalam sebuah sistem penyewaan untuk publik dengan berbasis aplikasi ponsel. Ojo untuk pemilikan pribadi. Ada unsur bersenang-senang. Bukan cari duit.

Harus bersuara, jangan mirip hewan
Aturan tentang sepeda motor listrik — bukan sepeda listrik — baru muncul sembilan tahun setelah pit setrum cap Trekko di Yogyakarta tadi. Hal itu termaktub dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 33/2018 tentang Pengujian Tipe Kendaraan Bermotor.

Pasal 9 aat 5 menyebut sepeda motor listrik sebagai satu dari lima kendaraan bermotor bertenaga listrik. Jenis lainnya, tapi belum jelas, menurut huruf e dalam ayat tadi adalah "kendaraan khusus listrik".

Jadi, Migo termasuk sepeda listrik atau sepeda motor listrik? Arah pelarangan Polda Metro Jaya seperti merujuk sepeda motor. Ada soal STNK, pelat nomor, dan asuransi.

Merujuk Permenhub tadi, jika Migo tergolong sepeda motor listrik harus mengeluarkan suara sesuai batas kebisingan. Misalnya pada kecepatan 10 kpj kendaraan listrik harus mengeluarkan suara paling rendah 50 desibel.

Lalu pada kecepatan 20 kpj, kendaraan listrik harus bersuara minimal 65 desibel. Tidak boleh senyap. Kalau tak bersuara halus, padahal klakson tak berbunyi, bisa bikin kaget orang, misalnya pejalan kaki.

Permenhub tersebut juga melarang kendaraan bermotor listrik bersuara menyerupai hewan. Maka buanglah angan-angan naik sepeda motor listrik bersuara derap kaki kuda dengan klakson meringkik.

Selama Migo dianggap sepeda, tunggangan itu tak terkena aturan untuk sepeda motor. Dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), soal sepeda listrik maupun sepeda motor listrik tak diatur secara spesifik.

Tapi apa kriteria sepeda listrik? Dalam pemahaman awam, kereta angin macam itu bisa dikayuh, bisa dibantu motor listrik. Sepeda hibrida.

Terkabarkan oleh sejumlah media, Migo juga bisa dikayuh.
Kenapa gak tanya ke orang yang bikin migo ajah, kenapa produk nya begitu. Dan kenapa jadi polisi nya yang di bikin repot padahal gak pake.
Reply With Quote