View Single Post
Old 12th October 2010, 02:18
#2  
zhouenlai
Banned
zhouenlai is offline

Join Date: Jun 2008
Location: Nowhere to run
Posts: 940
zhouenlai is a celebrityzhouenlai is a celebrity

Default Sekutu permanen Rusia-China.

Oleh:
Wawan Kurniawan
Pendiri Kajian Internasional Strategis (KAINSA)

Untuk pertama kali dalam sejarah, Rusia dan China mengadakan latihan militer bersama (joint militray exercises). Latihan dengan nama “Misi Perdamaian 2005 yang diselenggarakan selama seminggu (18-25 Agustus) itu diikuti sekitar 10 ribu tentara (8200 tentara China dan 1200 tentara Rusia) serta 140 kapal perang.

Medan perang simulasinya meliputi Semenanjung Jiadong dan Laut Kuning, termasuk pangkalan Armada Pasifik Rusia Vladivostok. Jiadong menjadi alternatif setelah pilihan tempat Xinjian dan Zhejiang (bersebelahan dengan Taiwan) ditolak karena dianggap terlalu provokatif.

Meskipun nominal partisipasinya sedikit, Rusia mengikutsertakan mesin-mesin perang yang berteknologi canggih, seperti TU 22M3 Bear dan TU 95S Backfire. TU 22M3 merupakan pesawat pembom jarak jauh, sementara TU95S merupakan pembom strategis. Kedua mampu membawa bom konvensional dan bom nuklir. Rusia juga melibat pesawat tempur Sukhoi 27SM yang dipersenjatai dengan rudal udara ke permukaan (air to surface) AS-15. AS-15 didesain khusus untuk menghancurkan kapal perang dalam jangkauan 3000 km.

Unit-unit Armada Pasifik Rusia meliputi kapal serbu BDK-11, kapal antikapal selam Marshal Shaposhnikov, dan destroyer Burny bergabung dengan armada China dalam simulasi invasi melalui pendaratan amphibi di pantai-pantai Jiadong.

Kedua negara melalui Jenderal Liang Guanglie dan Jenderal Yurii Baluyevskii mengganggap latihan bersama itu sebagai usaha menguatkan kapabilitas militer dan melindungi stabilitas keamanan regional mereka. Baluyevskii menambahkan sebagai kesiapan menghadapi perubahan-perubahan Asia Tengah dan dunia.

Bagi Rusia sendiri, latihan itu bisa dijadikan media promosi efektif bagi industri persenjataannya. Rusia juga ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka masih mampu memproduksi mesin-mesin perang canggih. Dan China dengan anggaran militer 30 miliar dolar (dicanangkan pada 4 Maret 2005) merupakan pasar yang potensial karena pada saat yang sama, China ingin memperkuat militernya. Di samping itu, Rusia ingin menegaskan dukungan terhadap One China Policy melalui latihan perang itu.

Setelah usaha Uni Eropa untuk menembus embargo senjata mengalami kegagalan karena ditentang keras AS, China terpaksa menoleh kepada kawan seideologi, yakni Rusia. Senjata-senjata produksi Rusia cukup mumpuni menambah kapabalitas militer China. Jauh hari sebelumnya, Rusia telah menjual mesin-mesin perang canggih semacam destroyer kelas Sovremenny, kapal selam kelas KILO, dan pesawat Sukhoi 27 dan 30 (Erich Marquardt, Taking the Initiative: Washington in Central Asia, The Power and Interest News Report, 18/09/03). Ekspansi kekuatan militer merupakan cara terbaik bagi China untuk memperkuat posisi bargaining di Asia Tengah dan Timur Jauh.

China, secara khusus, ingin lebih familar dengan teknologi Rusia. Kelihatnnya, China ingin memperkuat armada lautnya jika melihat tipe-tipe persenjataan yang digunakan dalam latihan perang bersama itu. Kekuatan laut menjadi sangat penting mengingat rival-rival utama China berada di seberang lautan. Terlebih lagi dengan AS yang memiliki sembilan armada tempur laut.

Latihan perang itu juga menjadi unjuk kekuatan (show of force) kepada Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan yang acapkali bersatu melawan kepentingan China.

Rivalitas di Asia Tengah

Kerjasama kedua negara besar itu bisa diapresiasikan sebagai usaha menampilkan kekuatan alternatif dunia. Selain sebagai tanda kepercayaan dan persahabatan bagi aliansi kedua negara tersebut, latihan militer itu merupakan tanda peringatan bagi Amerika Serikat (AS) (Philip Bowring, Russian-Chinese maneuvers send a message, International Herald Tribune, 20/08/05). Masa hegemoni dan unilateral akan segera berakhir.

Secara geopolitik, China dan Rusia ingin membatasi eksistensi AS di Asia Tengah. Bagi mereka, kehadiran AS di wilayah strategis ini tidak dapat ditolerir lagi. Indikasi keterlibatan AS dalam pergantian rezim di Georgia (Revolusi Tulip), Ukraina (Revolusi Orange) dan Kyrgystan (Revolusi Merah Muda) membuat mereka menyadari tujuan sebenarnya AS.
Lahirnya Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) yang digalang Beijing-Moskow didasari atas ketidaksukaan terhadap intervensi politik AS. Pada pertemuan Juli lalu di Kazakhstan, SCO meminta AS agar menetapkan deadline penggunaan fasilitas militernya di Asia Tengah. AS memiliki pangkalan militer di Uzbekistan, Tajikistan, dan Kyrgystan. Ketiga pangkalan itu menopang operasi AS dan NATO di Irak dan Afghanistan. Latihan Misi Perdamaian 2005 itu sendiri merupakan kelanjutan latihan anti terorisme di Kyrgyzstan (2002), Kazakhstan (2003),dan China (2003).

Sebelum itu, yakni pasca 9/11, China dan Rusia “membiarkan” operasi AS karena irisan kepentingan yang sama; membatasi fundamentalisme Islam Asia Tengah, termasuk Taliban dan Al Qaeda (Ebon Lee, Central Asia’s Balancing Act Between Terrorism and Interventionism, The Harvard International Review 2005). AS, Rusia, dan China memiliki kepentingan bersama (common interest) dalam Global War on Terrorism (GWOT) jika substansi GWOT ditujukan menekan ekskalasi militan Islam. Rusia memiliki konflik dengan Muslim Chechnya. China pun bermasalah dengan daerah utara (Muslim Xinjiang) yang terus bergolak.

Pemantauan AS

Latihan militer ini menarik perhatian negara-negara tetangga sekitar seperti Jepang dan Taiwan. Amerika Serikat (AS) yang turut berkepentingan, mengamati dengan seksama latihan itu. Hubungan Beijing dengan Moskow yang semakin erat mengkhawatirkan Washington, terutama bila Moskow mentransfer teknologi militernya. Menteri pertahanan AS Donald Rumsfeld seringkali menyatakan keprihatinannya menyikapi perkembangan hubungan kedua negara besar tersebut (The US is wary of China’s military ties with Russia, Aljazeera, 20/07/05).

Jepang dan Taiwan menyatakan juga kekhawatirannya. Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan merupakan sekutu-sekutu AS di kawasan Pasifik dan Asia Timur. Ketiganya memiliki perjanjian dengan AS untuk saling membantu dalam bila salah satu negara terlibat perang. Bahkan, AS juga menempatkan sejumlah pasukan di Jepang dan Korea Selatan untuk batas waktu tak terhingga.

Reorientasi kebijakan luar negeri China pasca 1990-an yang kini bertumpu pada keamanan bersama (common security) dan kerjasama global (globalized cooperation) (Yong Deng dan Thomas G. Moore, China Views Globalization: Toward a New Great Power Politics, The Washington Quarterly Summer 2004) mengharuskan China mencari teman seiring dalam vis a vis dengan unilateralisme AS.

Presiden China Jiang Zemin menyatakan dalam koran Xinhua (10/04/02), “Hanya dengan penguatan kerjasama internasional, kita dapat berhubungan efektif dalam menghadapi tantangan keamanan dunia.”
Reply With Quote