Quote:
Originally Posted by bakaSHINJI
Gw orang Mataraman bro, kira2 pas di tengah2 budaya Solo dan Suroboyoan, alus kagak kasar juga kagak. Lha sampeyan sendiri dari mana?
"Kowe" itu termasuk kasar tho? Biasa aja di daerah gw.
|
Yang kita bahas adalah komunikasi ngoko Bu kartini kepada suaminya, nun sekianpuluh tahun silam.
Saya "Jogya-Sala Kemeringet", dua-duanya bukan wilayah yang keseharian berbahasa "alus" dan jauh dari trah "mataraman" (atau dari sentra darah-biru seperti Ibu Kartini atau suaminya yang bupati). Yang satu dari suasana "kowek-kowek" yang satu "gandrik-diamput". Namun demikian, ga pernah saya, Alhamdulillah, dengar Emak ber-ngoko ria kepada Bapak dan sebaliknya. (Semoga jadi bagian amalan Emak-Bapak. Amin)
Sebagai manusia, saya ga bisa membayangkan bila ada isterri yang berbahasa ngoko kepada suaminya (apatah lagi bila keduanya berdarah biru dan bukan di Suriname atau di Jadel, Jawa-Deli). Lalu suami juga "nimpali" dengan bahasa yang sama, kowek-gandrik. Anak-anak bisa bengong.
Bagaimana kira-kira pandangan subordinate terhadap (kinerja, wibawa) sang bupati? Sebaliknya, adakah catatan penyapaan kepada Bu Kartini oleh para "abdi-dalem"nya? Misalnya juga disapa "kowe" dan berbahasa ngoko dikesehariannya? Sebagai muslimah, mestinya kesetaraan adalah yang di ajarkan. "Alus"-nya dua arah.)
Sebuah ilusi, yang diperingati bukan hari Kartini, tetapi hari sang bupati yang suaminya Ibu Kartini. Toleransi beliau luar biasa besar dan mendorong kesetaraan hak perempuan vs laki-laki
Kita-kita biasanya kalau di "mataraman" kemeringet timur, ga pakai "kowe" namun lainnya, misalnya yang gaul "kon". Masih ada barrier (etika) di lubuk hati, bahkan menyapa langsung nama dan belum kenal-kenal banget. (Kasar atau tidaknya "kowe" bergantung. Bonek dipastikan merasa ga demikian kalau makan nggabrul dan bayarannya dengan ngancam)