View Single Post
Old 31st December 2014, 02:03
#2222  
MrRyanbandung
Mania Member
MrRyanbandung is offline

Join Date: Mar 2012
Posts: 5,580
MrRyanbandung is a new comer

Default Akankah nasib fsi seperti ffi?

FESTIVAL Sinetron Indonesia (FSI) boleh terpisah dari Festival Film Indonesia (FFI) sejak tahun 1992. Kegiatan serupa yang kedua, mestinya dilaksanakan tahun 1993 dan sempat tertunda itu, akhirnya dipastikan digelar pada November tahun 1994 ini. Penegasan ini diperkuat dengan turunnya SK Menteri Penerangan No. 45/1994 tentang penetapan pembentukan Pantap FSI masa tugas selama lima tahun.

Salah satu penyebab diundurnya FSI kedua tahun 1993 lalu, karena masih adanya kekurangjelasan tentang pedoman penyelenggaraan FSI sebelumnya. Namun, untuk kali ini, pedoman tersebut sudah diperbarui.

Pada festival sebelumnya, yang menjadi sorotan terutama mengenai kategori sinetron, kriteria penilaian serta kredibilitas para juri, di samping hal-hal lainnya. Bahkan jadwal waktu kerja juri pun ikut dipertanyakan. “Kalau tidak diberikan waktu yang cukup, apakah kepekaan juri tidak akan mengendur karena kejenuhan? Karya yang akan dinilai karena begitu banyak,” ungkap seorang sutradara.

Pada akhirnya nantinya, setelah diumumkan memang selalu ada yang puas dan tak puas. Hal itu berpisah. Adanya beberapa penyempurnaan dan perubahan pada buku pedoman penyelenggaraan FSI 1994, tak lain untuk menghilangkan paling tidak untuk menjawab keragu-raguan beberapa pihak tadi. Misalnya, mengenai perubahan susunan komite seleksi yang bertugas menyeleksi karya sinetron yang layak untuk berkompetisi sebelum dinilai oleh juri.

Jika komite seleksi pada FSI 1992 lalu melibatkan unsur lembaga atau instansi tersebut, kali ini hanya melibatkan individu, yaitu para praktisi dan kritis, “Komite ini nantinya independen,” jelas Ilham Bintang, ketua III bidang Humas FSI 1994.

Gengsi

Terlepas apakah penyelenggara FSI 1994 nantinya, (saat itu) akan memuaskan banyak pihak sehingga mengurangi keraguan selama itu, ternyata sudah diupayakan berbagai penyempurnaan di sana-sini. Bagaimanapun, dengan terselenggaranya kembali FSI sebagai ajang kompetisi untuk mengukur dan memilih yang terbaik dengan penghargaan bagi bidang masing-masing, maka sepatutnyalah, kehadiran FSI disambut sebagai suatu hal yang menggembirakan.

Hanya yang setelah itu menjadi pertanyaan, akan sejauh mana manfaat maupun keuntungan yang bakal bisa dipetik dari ajang festival semacam ini bagi para peserta yang terlibat, para pemenang, maupun dunia pertelevisian itu sendiri?

Salah seorang pengelola televisi mengemukakan, bahwa semestinya FSI bisa mematikan gengsi stasiun televisi, jika sinetron yang ditayangkannya menyabet penghargaan. Cuma sebatas itukah? Untuk sementara itu, jawabnya iya!

Bagi para pelaku yang terlibat langsung dalam karya penggarapan sinetron, mungkin isinya pun tak jauh dari itu. Sebab, menyimak kenyataan hasil FSI 1992, para peraih penghargaan, tidak lantas kebanjiran order pesanan, untuk lebih banyak mendapat kesempatan menghasilkan karya yang lebih bagus lagi.

Pudar

Dilihat dari kebuktian pengisi tayangan televisi pada kondisi saat itu, kehadiran sinetron sebagai bagian dari materi acara, tak lain di samping untuk memberi hiburan bagi pemirsa, juga bermaksud meraih banyak penggemar. Bagi televisi swasta berarti pula untuk menjaring para pemasang iklan.

Apalagi saat itu, persentase tayangan sinetron pada televisi swasta per minggunya, dari jumlah jam siarannya sudah menyamai TVRI, yang sebelumnya terbilang paling banyak menayangkan sinetron, seperti dituliskan sebuah tabloid ibukota, TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) setiap minggunya menayangkan sinetron lokal sebanyak 8,95% dari seluruh jam siaran acara. RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) sebanyak 5,3%, dan SCTV (Surya Citra Televisi) sebanyak 4,35%. Sedangkan TVRI sendiri sebanyak 5,3%. Berarti kebutuhan tayangan sinetron per minggunya untuk ketiga televisi swasta (TPI, RCTI, dan SCTV) jauh melampaui yang ditayangkan TVRI.

Kebutuhan televisi swasta terhadap tayangan sinetron, terutama karena unsur bisnisnya ketimbang berebut mutu karya yang dikandungnya. “Unsur bisnis memang banyak menjadi pertimbangan, dibuatnya sebuah sinetron karena berkaitan dengan stasiun televisi yang akan menayangkannya,” ungkap Marissa *****, direktur utama PT Rana Artha Mulia Film. “Sinetron dibuat bukan lantaran akan diikutkan oleh festival,” lanjut Muhammad Boy Rivai dari Global Sarana Media Nusantara (Republika, 29/5/94).

Bukan berarti dari kedua PH tersebut, lantas mengesampingkan untuk memproduksi karya-karya sinetron bermutu PT Rana Artha Mulia Film misalnya, telah melahirkan sinetron Salah Asuhan (SCTV) yang dianggap cukup bermutu.

Jika kita teringat pada kondisi perfilman Indonesia, bisa kita temukan sedikit persamaan. Produksi film kita juga dibuat lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, bukan kebutuhan untuk festival. Sebab, yang menang di FFI malah lebih banyak yang gagal meraih keuntungan dari segi pemasukan uang.

Seandainya, karena sudah terkondisikan demikian, bahwa motivasi pembuatan sinetron lebih mengutamakan pada segi bisnisnya, (saat itu) dikhawatirkan untuk masa-masa mendatang, keberadaan FSI yang akan berkurang gregetnya yang akhirnya akan bernasib seperti FFI.

Bila FFI kegiatannya terhenti karena jumlah film peserta yang ikut hanya sedikit. Sebaliknya, sinetron yang produksi tiap tahunnya terus meningkat sesuai kebutuhan televisi, maka akan ikut menunjang penyelenggaraan FSI untuk terus berlangsung. Namun tak menutup kemungkinan gaungnya malah akan makin pudar. Kecuali memang kondisi persinetronan kita berkaitan dengan kebutuhan televisi telah berubah.

Dok. Pikiran Rakyat, 12 Juni 1994, dengan sedikit perubahan
Reply With Quote