View Single Post
Old 14th August 2017, 07:54
#22  
la-douleur-exquise
Addict Member
la-douleur-exquise is offline

Join Date: Jan 2017
Posts: 691
la-douleur-exquise Super Legendla-douleur-exquise Super Legendla-douleur-exquise Super Legendla-douleur-exquise Super Legendla-douleur-exquise Super Legendla-douleur-exquise Super Legendla-douleur-exquise Super Legendla-douleur-exquise Super Legendla-douleur-exquise Super Legendla-douleur-exquise Super Legendla-douleur-exquise Super Legend

Default

#6


Keesokan harinya aku memilih untuk alpa dari kantor. Rasanya aku ingin mengundurkan diri saja dari tempat ku bekerja. Aku tahu ini terdengar sangat kekanak-kanakan, tapi aku tak peduli. Aku tak ingin lagi berada di tempat yang sama dengan si jangkung. Aku tak ingin lagi berada di gedung yang sama dengan orang yang paling ingin aku hapus dari pikiran dan hatiku.

Dulu aku mengira, asalkan aku bisa melihatnya diam-diam dari kejauhan, begitu saja sudah lebih dari cukup. Aku beranggapan bahwa aku sanggup untuk selalu mencintainya dengan caraku sendiri meski sikapnya hampir selalu dengan sengaja menyakiti hati dan perasaanku. Aku menyangka aku dapat berlapang dada menerima hinaan, cemoohan, gurauan yang disengaja untuk menyindirku, dan semua perilaku-perilaku tidak menyenangkan lainnya yang harus aku hadapi sebagai konsekuensiku mencintai seorang dia.

Saat aku menelan harga diriku untuk menyapanya terlebih dulu dan dia membuang muka dengan sengaja, rasa sakitnya masih bisa aku toleransi. Saat aku mengajaknya makan siang bersama dan dia bukan hanya tak sudi menjawab tapi juga dengan sengaja malahan mengajak dan menggandeng perempuan lain, rasa sakitnya masih bisa aku terima. Saat aku menanyakan apakah benar kabar yang aku dengar tentangnya dan dia menganggap aku sebagai tukang fitnah, rasa sakitnya masih bisa aku telan.

Meski ibaratnya dia sudah meludahiku berkali-kali, aku masih sanggup menempatkan kepentingannya diatas kepentinganku sendiri. Jika aku dan dia terdampar di gurun pasir gersang dan sama-sama kehausan, aku akan menuangkan air yang aku punya untuk diminumnya terlebih dahulu, dan baru lah aku minum sesudahnya. Secinta itulah aku padanya.

Tapi untuk yang sekali ini... Untuk luka terakhir yang dia torehkan padaku... Aku sudah benar-benar tidak dapat menerimanya lagi. Aku sudah tidak sanggup menelannya lagi.

Lusanya, aku memilih untuk alpa lagi.

Keesokan hari setelah lusa pun, aku masih enggan menyeret kaki ku untuk menginjak kantor.

Setiap kali aku teringat pada kabar yang dihembuskan oleh Pipit, dadaku terasa nyeri. Bukan sekedar kata-kata untuk mendramatisasi, tapi rasa sakit dan nyeri yang memang sungguhan kurasakan. Aku kehilangan semangat untuk melakukan apapun. Setiap hari aku memaksakan diri untuk menelan makanan meski aku benar-benar kehilangan selera. Setiap malam aku kesulitan tidur, otot-otot wajahku terasa tegang dan benakku tak mau berhenti berpikir. Benakku tak mau berhenti memutarkan kepingan-kepingan kenangan brengsek yang ingin aku buang jauh-jauh. Aku merasa ngeri sendiri membayangkan seandainya perasaan manusia benar-benar ada bentuk fisiknya dan bukan sesuatu yang abstrak dan tanpa wujud. Aku ngeri membayangkan betapa perasaanku sudah benar-benar hancur lebur dan tak dapat kukenali lagi bentuknya. Aku hancur lebih dari berkeping-keping.

Aku merasa... Aku merasa selamanya aku tidak akan pernah utuh lagi.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku sungguh-sungguh merasakan sakitnya patah hati.




***


Pada hari ke-empat, aku memaksakan diri untuk kembali bekerja. Malam sebelumnya Pipit menghubungiku dan mengeluhkan pekerjaannya yang semakin menumpuk karena beberapa pekerjaanku yang mendesak dialihkan padanya selama aku absen. Atas nama tanggung jawab terhadap laporan-laporan keuangan yang harus aku kerjakan, aku menyeret langkahku kembali ke kantor meski rasanya aku sudah tak ingin lagi berada di bawah atap yang sama dengan si jangkung.

Ada dua akses lift dalam gedung perkantoranku, yang pertama terletak di lobby utama dan merupakan lift dengan interior kaca-kaca kinclong yang umumnya digunakan para karyawan, sementara yang ke dua adalah lift barang yang ukurannya luas tetapi hawanya sumpek dan interiornya kusam. Aku memilih menggunakan lift barang meski aku harus berjalan memutar lebih jauh. Aku sungguh berusaha menghindari kemungkinan berpapasan dengan si jangkung. Lagipula, lift lobby utama selalu meningingatkanku pada pertemuan pertamaku dengan sosoknya, dan saat ini segala sesuatu yang mengingatkanku padanya terasa sangat menyakitkan.

Setelah hampir seminggu penuh rasa sakit di dada ini tak kunjung hilang dan aku mulai mengira rasa nyeri ini akan menetap untuk selamanya, aku pun mulai belajar untuk tersenyum lagi. Aku belajar untuk memungut setiap kepingan diriku yang hancur dan merekatkannya kembali. Perlahan-lahan, rasa sakitnya berkurang. Aku mencoba untuk kembali bersemangat dalam menyelesaikan pekerjaanku dengan sebaik-baiknya. Semua tempat-tempat yang aku tahu berpotensi membuatku berpapasan dengan sosoknya menjadi tempat-tempat yang paling aku hindari. Jendela-jendela favorit yang dulu aku tandai untuk menikmatinya diam-diam, aku tutup tirainya satu per satu.

Aku sungguh tidak ingin melihatnya lagi.


***


"Kamu yakin dengan keputusan kamu?," suara lembut Bu Nur mempertanyakan kebulatan tekadku.

Aku menatap mata Bu Nur dengan penuh percaya diri dan mengangguk tegas, "Saya yakin, Bu."

Bu Nur melipat kembali surat pengunduran diriku dan menghela napas sembari mengangguk-angguk pelan.

"Baiklah kalau memang kamu sudah mantap dengan keputusan kamu. Tapi kamu tetap akan menunggu sampai perusahaan dapat gantinya dan kamu bersedia men-training staff baru kan?," tanya Bu Nur lagi.

"Iya, Bu. Saya paham dengan kebijakan perusahaan dan saya bersedia," jawabku mantap tanpa ada keraguan sedikitpun.


Setelah selesai mendiskusikan pengunduran diri ku dengan Bu Nur selaku kepala HRD, aku merasa lega dan langkahku terasa lebih ringan. Hidup kadang memang terasa lucu sekali. Seseorang yang dulunya menjadi satu-satunya alasan aku untuk bertahan di perusahaan ini, kini menjadi satu-satunya alasan aku mengundurkan diri.


***




Last edited by la-douleur-exquise; 14th August 2017 at 20:56..
Reply With Quote