View Single Post
Old 1st December 2010, 02:18
#27  
Hafilova
Mania Member
Hafilova is offline

Hafilova's Avatar

Join Date: May 2009
Posts: 1,481
Hafilova is a divo/divaHafilova is a divo/divaHafilova is a divo/divaHafilova is a divo/divaHafilova is a divo/divaHafilova is a divo/diva

Default

V for Vendetta (2006)



V: " Remember, remember, the fifth of November, gunpowder treason and plot. I see no reason why the gunpowder treason should ever be forgot "

Alan Moore, nama komikus tua satu ini mungkin masih kalah tenar jika dibandingkan Stan Lee dengan Marvel Comics-nya, namun bukan berarti komik-komik yang ditulisnya kalah dalam hal kualitas. Sebagai seorang penulis komik, pria nyentrik asal Inggris ini telah menghasilkan beberapa karya hebat, yang meskipun jumlahnya tidak banyak namun hampir semuanya berhasil mendapatkan pengakuan dunia, sebut saja From Hell, The League of Extraordinary Gentlemen dan Watchmen yang kesemuanya berhasil dibuat versi live actionnya oleh Hollywood dalam media film, termasuk salah satunya yang paling fenomenal, V for Vendetta.

Film ini sendiri sebenarnya tidak mendapat restu dari Alan Moore karena sang empunya cerita terlajur kecewa dengan buruknya kualitas From Hell dan The League of Extraordinary Gentlemen yang dibuat versi filmnya, tidak membuat dua bersaudara Wachowski, Lary dan Andy yang sebelumnya sukses dengan trilogi The Matrix-nya bergeming untuk mengangkat kisah Vicious Valiant Vigalante bertopeng dengan rupa Guy Fawkes ini. Lary dan Andy sendiri adalah penggemar berat komiknya, walaupun tidak terjun langsung menyutradarai film yang didistribusikan oleh Warner Bros. ini dan menunjuk James McTeigue yang sebelumnya pernah bekerja sama dalam trilogi The Matrix, namun mereka jelas tidak mau ketinggalan untuk ambil bagian dengan menulis skrip film ini. Naskahnya sudah mereka tulis jauh sebelum The Matrix dibuat, dan mendapatkan dukungan dari David Lloyd sang ilustrator komiknya.

V for Vendetta buat saya pribadi adalah sebuah adaptasi komik terbaik yang pernah saya tonton. Duo Wachowski dan James McTeigue jelas telah melakukan pekerjaan mereka dengan sangat-sangat baik, ketiganya berhasil mentransfer semangat dan pesan yang ingin disampaikan Alan Moore dalam komik aslinya. Sebuah semangat perjuangan, keadilan dan kebebasan totalitarian oleh sosok misterius V (Hugo Weaving), seorang vigalante, freedom fighter, atau juga bisa disebut seorang villiant dan teroris bagi rezim pemerintahan totalitarian Inggris dalam masa depan imajiner yang dipimpin dengan tangan besi oleh seorang konselor bernama Adam Sutler (Jhon Hurt).

Kisah yang disajikan oleh V for Vendetta memang sangat apik dan menarik, layaknya yang menjadi ciri khas kisah-kisah komik milik Alan Moore, tema yang diangkat pun meyimpang dari yang adaptasi komik mainstream yang kebanyakan hanya bertema good vs evil yang kelewat jelas. Melalui V for Vendetta, penonton akan diajak masuk ke dalam setting dunia dystopia yang kelam, penuh dengan intrik-intrik politik, kekerasan, ambiguitas moral, dan tema balas dendam yang kental, jelas sebuah tema yang tidak kita temui dalam film-film adaptasi buatan Marvel. Temanya provokatif nya pun terasa pas jika dipararelkan dengan keadaan dunia saat ini, sebuah rezim fasis (ingat Patriot Act yang kontroversial di Amerika sana), serangan teroris ( ingat peristiwa 9 September, bom Madrid, bom London, bahkan bom Bali), pejabat kuat yang berkolusi (ingat mantan Wapres Dick Cheney dengan kontroversinya?) dan bendera merah dengan garis vertikal horizontal (ingat bendera Nazi?), warga negara yang dikekang dan ditahan dalam kamp konsentrasi (ingat skandal penjara Abu Ghraib atau Guantanmo?).

Lebih menariknya lagi sosok kharismatik V pun terkesan digambarkan sebagai sosok 'abu-abu' yang menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak penontonnya. Apakah tindakan 'terorisme' yang dilakukannya layak membuat sosok tanpa alter-ego ini pantas di sebut pahlawan? apakah kekerasan bisa dibenarkan untuk mencapai suatu keadilan dan tindakan mulia? seperti sebuah yang kalimat yang diucapkannya di saat karakter Evey Hammond yang diperankan oleh Natalie Portman bertanya kesugguhannya meledakan gedung parlemen Inggris, " A building is a symbol, as is the act of destroying it. Symbols are given power by people. A symbol, in and of itself is powerless, but with enough people behind it, blowing up a building can change the world " ya, sebuah kalimat menarik yang juga menjadi sebuah bahan perenungan bagi para penontonnya.

Ya, V memang adalah karakter superhero yang spesial, penuh misteri, tanpa masa lalu, bahkan jika anda sudah membaca komiknya sekalipun. Yang diketahui hanyalah ia adalah seorang tahanan kamp konsentrasi Larkhill yang berhasil bertahan hidup dari kebakaran hebat. Ia mendapatakan kemampuannya dari sebuah eksperimen dimana akhirnya membuat tubuhnya lebih kuat dan intelegensianya lebih cerdas dari manusia normal, sebuah kemampuan yang harus dibayar mahal dengan dendam kesumat kepada orang-orang yang telah membuat hidupnya menderita. Namun siapapun V itu sebenarnya ia tidak hanya sekedar sebuah sosok dibalik topeng dan jubah Guy Fawkes-nya, V juga menjadi sebuah ide atau simbol, sebuah simbol perjuangan, simbol kebebasan, simbol keberanian yang jelas tidak akan mati, seperti yang dikatakan Evey Hammond pada awal film, " because a man can fail. He can be caught, he can be killed and forgotten, but an idea can still change the world. I've witnessed first hand the power of ideas, I've seen people kill in the name of them, and die defending them... "

Karakter V yang kharismatik, jenius dan tangguh ini berhasi di suarakan dengan sempurna oleh aktor asal Australia, Hugo Weaving yang sebelumnya juga sukses membawakan karakter Agent Smith dalam The Matrix. Natalie Portman yang memainkan karakter Evey Hammond, love interst V mengingatkan saya akan perannya sebagai Mathilda dalam Leon, di kedua peran ini Portman sama-sama memberikan sebuah transformasi karakter yang kuat, walaupun harus diakui karakter Evey Hammond yang dibawaknnya masih terasa sebagai sebuah 'pajangan' jika dibandingkan karakter dalam komiknya yang memiliki peranan jauh lebih besar.

Sebagai sebuah film, efek dahysat memanjakan mata mungkin tidak sebanyak trilogi The Matrix, namun tetap saja kemuculan adegan-adegan aksi pemacu adrenalin tersebut muncul disaat yang tepat dan tidak terlalu berlebihan sehingga membuat segalanya menjadi terasa pas. Dan akhir kisah perjuangan kebebasan ini berhasil ditutup oleh sebuah adegan dahysat yang menyisakan pesan moral bagi penontonnya.

8,5/10
Reply With Quote