View Single Post
Old 13th November 2017, 09:55
#1  
hagegeh
Mania Member
hagegeh is offline

hagegeh's Avatar

Join Date: Jun 2017
Posts: 4,613
hagegeh is a legendhagegeh is a legendhagegeh is a legendhagegeh is a legendhagegeh is a legendhagegeh is a legendhagegeh is a legendhagegeh is a legendhagegeh is a legendhagegeh is a legendhagegeh is a legend

Default AR DAPAT HIDAYAH , Dulu arti Almaidah Jangan Pilih Pemimpin Kafir sekarang boleh....

JILAT LUDAH SENDIRI, AMIEN RAIS RELAKAN ANAKNYA MAJU JADI CALON WAKIL NONMUSLIM, GUBERNURNYA NON MUSLIM...

ARRAHMAHNEWS.COM, SUMATRA – Tidak ada musuh dan kawan abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi. Adagium ini sepertinya masih berlaku di dunia politik Indonesia. Kawan dan lawan bisa seketika berganti. Utamakan hasil. Proses hanyalah proses. Tak perlu dipersoalkan. Ada 1000 jalan menuju Roma dan ada 1000 jalan menuju kekuasaan. Mungkin itulah yang bisa mendasari tingkah laku politisi di Indonesia. Menjadi lawan di satu pilkada tak berarti mustahil menjadi kawan di pilkada lain. Kita ambil contoh dengan pilkada Gubernur Sumatera Utara 2018.

Panggung politik Sumatera Utara tentu tidaklah sama ketika Ahmad Mumtaz Rais berencana maju dalam pemilihan Gubernur dan Wagub propinsi Sumatera Utara 2018. Sebelumnya Mumtaz pernah menjadi angggota DPR RI periode 2009-2014 dari Partai Amanat Nasional (PAN) mewakili kabupaten Cilacap dan kabupaten Banyumas. Suami Futi Zulya Savitri, putri ketua MPR Zulkifli Hasan sekaligus ketua umum PAN. Sampai di sini tidak ada persoalan nampaknya. Namun ketika dijelaskan bahwa putra ketiga Amien Rais ini maju sebagai calon wakil gubernur mendampingi calon gubernur bernama JR Saragih dari partai Demokrat pertanyaan pun muncul: Koq bisa?

Baca: Dulu Jatuhkan Soeharto dan Gus Dur, Kini Amien Rais Bidik Jokowi.

Dari sisi politik Sumatera Utara bersatunya Demokrat (JR Saragih) dan Mumtaz Rais (PAN) memang terlihat logis. PAN dengan 6 kursi tidak mungkin maju sendirian. Sementara Demokrat dengan 14 kursi tidak mungkin maju sendirian karena tidak memenuhi batas mengajukan calon sendiri. "Perkawinan" demokrat dan pan tidaklah mustahil. Ketua Umum Partai Demokrat SBY juga besan Hatta Rajasa, ketua umum PAN terdahulu. Namun bagaimana dengan pertanyaan konsistensi?


Pertanyaan koq bisa layak diajukan dikaitkan dengan sikap tindak dan pernyataan ayah dari Mumtaz, Amien Rais. Dalam acara Milad Muhammadiyah ke-108/105 H di Panceng Gresik Jawa Timur bapak reformasi itu mengaku heran dengan ulama yang tidak mengharamkan orang kafir menjadi pemimpin. Menurut mantan ketua umum Muhammadiyah tersebut ulama yang memperbolehkan pemimpin kafir belum memahami benar ajaran agama Islam.

Baca: Isu PKI Propaganda Murahan yang Dipakai Amien Rais Untuk Jatuhkan Jokowi.

Dalam orasi damai 2410 Amien menyatakan bahwa jika kalau Allah menginginkan makar, tokoh-tokoh kafir di sisi Jokowi tidak ada artinya. Tokoh kafir di sini tentunya adalah tokoh-tokoh bukan pemeluk Islam. Namun dengan berita bahwa Mumtaz Rais akan maju pilkada Sumatera Utara 2018 sebagai calon wakil gubernur bersama dengan JR Saragih, seorang pemeluk Kristen Protestan, sebagai calon gubernur apakah kata-kata Amien sebelumnya menjadi tidak berlaku?

Konsistensi memang menjadi kunci dalam meneropong sikap tindak para politisi, termasuk politisi Indonesia. Konsistensi menurut kamus adalah ketetapan dan kemantapan dalam bertindak. Konsisten adalah tetap, tidak berubah-ubah. Seorang politikus yang tidak goyah dengan ideologi perjuangannya disebut politisi yang konsisten. Ia tidak goyah dengan godaan dan halangan. Ketika menyatakan perang terhadap korupsi ia konsisten dengan memulai dari dirinya untuk tidak korupsi. Ketika menyatakan menolak pemimpin kafir maka ia terus menerus menolak siapapun pemimpin kafir. Dan bukannya berubah ketika istri, anak, cucu atau famili maju ke pemilihan kepala daerah.

Atau memang sebetulnya konsisten untuk mencari kekuasaan tanpa urusan cara bagaimana meraihnya? [ARN]
https://arrahmahnews.com/2017/11/12/...n-cagub-kafir/

Waktu pilkada DKI AR sering mbacot soal pemimpin muslim, Al Maidah 51 diterjemahkan sebagai larangan umat Islam memilih pemimpin yang non muslim, sekarang Ahok sudah kalah, Al Maidah 51 rupanya berubah lagi tafsirannya ...



positif thinkingnya...dia sudah mendapatkan "HIDAYAH AMALIYAH"


Reply With Quote