View Single Post
Old 10th February 2017, 00:53
#4441  
MrRyanbandung
Mania Member
MrRyanbandung is offline

Join Date: Mar 2012
Posts: 5,580
MrRyanbandung is a new comer

Default PENDIDIKAN: UNTUNG ADA SARASEHAN (RCTI/SCTV)

Bicara terbuka memang sulit. Apalagi mengkritik. Akibatnya, pendidikan politik semakin kaku. Tapi, kehadiran acara Sarasehan (RCTI/SCTV) cukup menjanjikan.

MULANYA, pembicaraan berlangsung tenang. Namun, begitu muncul pertanyaan tentang dominasi militer terhadap sipil, diskusi pun jadi alot dan menarik. Sanggah-menyanggah terasa sangat berisi. Pemirsa di rumah pasti bertambah wawasan. Suatu warna baru (waktu itu) dalam era program televisi Indonesia telah hadir, walaupun baru di Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI).

Sarasehan adalah nama program yang dipadu sebagai media pendidikan politik. Ditayangkan sebulan sekali, berbagai isu nasional disajikan dengan kemasan dialog yang lugas. Dan kali ini, Sarasehan ke-10, menyajikan tema "kewaspadaan nasional". Hadirnya pakar politik DR. Burhan Magenda dan direktur khusus LEMHANAS Bpk. Alex Dinuth, sebagai pembicara, membuat acara ini semakin menggigit.

Apalagi ditambah dengan suara generasi muda (waktu itu) yang diwakili oleh Cyrillus Kerong (ketua umum DPP PMKRI) dan Rima Novianti (mahasiswi FISIP UI). Sebagai moderator, hadir Ir. Rully Chairul Azwar yang terlihat sibuk mengatur jalannya diskusi. Sedangkan sebagai presenter, yang juga merangkap pengarah lapangan, adalah Drs. M. Ade Haryadi Anwar. Acara yang digelar atas kerjasama antara Yayasan Swadharma Eka Kerta dan RCTI ini, memang (kala itu) merupakan terobosan baru.

Mengapa tidak? Dalam sarasehan kali ini, isu-isu yang berkaitan dengan "kewaspadaan nasional" dibahas. Pertama kali, dipertanyakan masalah konsep ancaman pembangunan yang bermula dari paham "komunisme". "Komunis sebagai sistem sudah mati, tapi sebagai ideologi belum mati," ujar Pak Alex. Tapi apa benar? Rima, yang terlihat begitu antusias, justru melihat kesenjangan sosial sebagai ancaman, bukan lagi komunis.

Ini dipertegas dengan pernyataan Pak Burhan, "Tidak usah khawatir dengan ideologi-ideologi lain seperti komunis atau liberal. Kita punya pengalaman dengan itu." Solusinya, adalah bagaimana mengoperasionalisasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Diskusi pun berlanjut.

'Security approach' dari ABRI dibahas. "'Security' tidak hanya milik ABRI tapi nasional," kata Pak Alex lagi. Tapi, mengapa muncul dominasi militer terhadap sipil dalam kekaryaan? Rima mempertegas, "ABRI ditempatkan di tempat sipil yang "strategis". Bukankah itu kekhawatiran ABRI atas ketidakmampuan sipil?" Pertanyaan yang polos gaya mahasiswa.

Cyrillus lalu menambahkan, "Pendekatan kesejahteraan lebih penting dari pendekatan keamanan." Dan lagi-lagi Pak Burhan yang 'low profile' meluruskan, "ABRI menentukan dalam masa depan bangsa." Diskusi pun lancar kembali, walaupun terasa ada yang mengganjal. Dan ini wajar saja.

Yang patut diingat, "Sarasehan" digelar di media televisi. Ini yang jarang terjadi. Biasanya diskusi politik terbuka sering ada batasan. Tapi batasan itu agak luntur di "Sarasehan". Kritikan terhadap ABRI meluncur lancar, dan tanggapannya cukuplah. "Acara ini memang untuk pendidikan politik," ujar Mas Haryadi Anwar, pemrakarsa "Sarasehan".

Rupanya, media televisi sangat proporsional untuk pendidikan politik, terutama generasi muda. Dan agaknya, "Sarasehan" berakar dari kegiatan Yayasan Swadharma Eka Kerta, yang sering mengadakan latihan kaderisasi. Didirikan oleh senior FKPPI, yayasan ini rupanya punya perhatian khusus terhadap generasi muda. RCTI pun patut diberikan pujian. Keberaniannya memberikan porsi pendidikan politik di tengah sejumlah film-film asing, sangatlah berarti.

Sekali lagi, hadirnya "Sarasehan" mengobati keinginan kita untuk mengungkapkan masalah sosial secara gamblang. Tapi kapan bicara soal kebebasan pers? Mengingat pers sebagai sarana media massa, justru (waktu itu) seringkali sulit bicara gamblang? Dengan pemirsa kita yang semakin "dewasa", "Sarasehan" adalah ramuan dialog yang unik. "Pemirsa suka dengan hal-hal yang sedikit nakal tapi dinamis," tambah Mas Rully, sang moderator. Sayang, tidak seluruh pemirsa di tanah air bisa menonton.

Dok. PANJI Masyarakat - No. 733, 4-13 Rabiul Akhir 1413 H, 1-10 Oktober 1992, dengan sedikit perubahan
Reply With Quote