HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Rabu, 2024/03/28 12:03 WIB
Harvey Moeis Suami Sandra Dewi Tersangka Korupsi Timah, Pakai Rompi Pink
-
Senin, 2024/03/27 13:00 WIB
Klarifikasi Pihak Teuku Ryan soal Minta Nafkah Anak pada Ria Ricis
-
Selasa, 2024/03/22 11:14 WIB
Stevie Agnecya Meninggal Dunia, Selebritas Berduka dan Tak Percaya
-
Senin, 2024/03/27 11:39 WIB
Raffi Ahmad Rela Nggak Dibayar untuk Jadi MC Pernikahan Rizky Febian dan Mahalini
-
Rabu, 2024/03/28 12:33 WIB
Penampilan Ammar Zoni Berjenggot Saat Tiba di Kejari Jakarta Barat
-
Rabu, 2024/03/28 12:52 WIB
Lolly Pulang ke Indonesia, Nikita Mirzani: Dia Dideportasi dari Inggris
|
Thread Tools |
11th January 2015, 13:11 |
#2311
|
Mania Member
|
Pengalaman mereka masuk televisi
TAK ada artis penyanyi yang gampang membantah peran televisi bagi kemajuan karier mereka, hingga dikenal masyarakat. Anehnya, ada di antara mereka yang tak sempat menonton penampilan pertama mereka di televisi.
Mus Mulyadi (saat itu 44 tahun), mengaku pertama musik TVRI tahun 1964, bersama grup Ariesta Birawa. “Saya waktu itu sebagai pemain band, memegang bass gitar bersama Zainal, Udin Syah, Muhammad Yusri, dengan penyanyi Nani Suwandi,” kata penyanyi yang dikenal sebagai ‘king of Keroncong’ (terutama di Suriname) ini berkisah. Tak ingat dalam acara apa, Mus Mulyadi hanya ingat bagaimana pertama dan disyut kamera. “’Nervous’, grogi. Pokoknya takutnya lebih besar. Setelah itu saya pengen lagi tampil tapi malu kalau ngomong, hehehe,” mantan penyanyi Favourite’s ini tersenyum. “Saya nonton penampilan pertama saya itu di penginapan,” tuturnya. Dan setelah tiga kali tampil, ia bisa tanpa perasaan-perasaan grogi atau takut lagi. 1994, mengaku kangen kalau lama tidak tampil di televisi. Terutama, kalau lihat teman-teman muncul. Penyanyi keroncong lain, Waljinah, pertama kali muncul di TVRI tahun 1965. “Saya waktu itu ikut festival Bintang Radio. Masih ingat lagunya Kembang Kacang,” penyanyi yang dikenal dengan Walang Kekek (1969) dan Jangkrik Genggong (1970) ini bercerita. Perasaan penyanyi asal Solo ini? “Wah saya senang sekali waktu itu, tapi bingung dan salah tingkah. Ditunjukin harus begini atau begitu,” ia tersenyum mengenangnya. Dan yang membuat ia lucu, gara-gara mau muncul di televisi, mendadak anaknya membelikan pesawat televisi baru, karena kebetulan belum punya. Kalau lama tidak muncul di televisi, Waljinah mengaku bingung lagi. “Pengen sekali tampil di televisi, hehehe,” ia tersenyum malu-malu. Lain lagi cerita Ernie Johan (waktu itu 42 tahun), penyanyi Teluk Bayur ini, justru tidak merasa grogi saat tampil pertama di TVRI. “Malah, yang gugup orangtua saya. Takut saya salah, kali hehehe,” eh tertawa renyah. Mengapa tak grogi? Kemunculannya di TVRI tahun 1963 atau 1964, itu justru bukan penampilan pertama, ia muncul pertama di televisi Singapura (SBC) tahun 1962, saat usia Ernie lima tahun, pada pembukaan televisi negeri itu. Tak aneh, Ernie baru tinggal di Indonesia pada usia 12 tahun (1969). Ayahnya, F Djohan Bakhawrudin, adalah seorang diplomat yang pindah dari satu negara ke negara lain. “Dan rekaman pertama saya malah di Singapura, dengan lagu Surya Gemilang ciptaan Syaeful Bachri,” kisah Ernie. Perasaan pertama muncul di televisi Singapura? “Oh, saya tidak ada perasaan apa-apa, mungkin masih terlalu kecil untuk merasa bangga,” katanya yang menyanyi sambil didudukkan di atas piano. Kalau belakangan jarang muncul di televisi, Ernie Johan tetap menjawab bahwa dirinya malah rada-rada malas tampil di televisi. “Saya selalu jelek terlihat di televisi, nggak ada bakat di kamera. Malah kata teman-teman saya bagus kalau di panggung,” alasan yang dikemukakan ibu tiga anak ini. Gito Rollies (waktu itu 40 tahun), mengaku tidak menonton penampilan pertama dirinya di TVRI tahun 1968, bersama grupnya The Rollies, dengan membawakan judul lagu ‘Whorm’. Perasaan waktu itu? “Senang saja ditonton orang di rumah, ditonton orang sekampung. Tapi, waktu itu tidak boleh pakai rambut panjang, maka saya rambutnya diikat di belakang, hahaha,” ih lebar sekali kalau tertawa. Mengapa tidak nonton penampilan pertama, Git? “Soalnya perasaan saya biasa-biasa saja, tidak merasa bangga laur biasa. Lagian di rumah belum ada TV hihihi.. Tapi, kalaupun mau nonton khan bisa di tetangga,” Gito Rollies cepat meralat. Ia terlalu cuek untuk membanggakan penampilannya. Ditanya perasaannya jika tidak tampil di TV dalam jangka satu hingga dua bulan, Gito malah tidak risau atau ada rasa kangen. “Biarin saja, ntar juga ada panggilan buat tampil, tenang saja. Lagian saya banyak kegiatan lain selain tampil di TV,” mimik Gito serius. Berbeda dengan penyanyi dangdut Herlina Effendi (waktu itu 37 tahun), yang kerap kagnen kalau lama tidak muncul di televisi. Penyanyi sintal menggoda ini, pertama masuk TVRI tahun 1968 atau 1969 lewat lagu Wajah Menggoda. Ia masih ingat acara yang diikuti adalah Gambang Kromong. “Perasaan saya, wahh, kacau. Dag-dig-dug. Wah, pokoknya bangga saya mau jadi artis,” tutur Herlina. Saat itu menurut ceritanya, kalau penyanyi belum muncul di TV, belum dianggap artis. Kebanggaan wanita itu tiada terkira. Lebih-lebih, ketika teman-temannya bilang, “Ih, kamu jadi artis yah? Gimana gitu, saya heran sendiri,” ucapnya meniru ucapan temannay sambil menggambarkan betapa perasaannya saat itu yang sulit digambarkan lagi. Herlina masih ingat juga, saat itu ia pinjam baju ibunya. “Oh ya, saya sempat sakit mules. Mungkin saking nggak tentu perasaan saya. Padahal syuting mau dimulai,” Herlina tertawa mengenang cerita masa lalunya. Adalah kisah Arie Koesmiran, begitu ingat kenangan pertama kali tampil di TVRI yang katanya masih hitam putih. Diingatnya, muncul tahun 1970 dalam acara Kamera Ria dengan judul lagu yang dibawakan Kenangan Desember. “Saya saat itu masih belo’on, nggak tau mau diapain, rambut pun masih diponi hehehe,” Arie tertawa geli. 1994, manakala jarang tampil di televisi, Arie malah mengaku tidak terlalu kangen. “Saya sudah memikirkan keluarga ketimbang hobi saya di dunia nyanyi. Kondisi sekarang (1994) beda. Jadi, tidak terlalu sering pun nggak apa-apa. Memang, sebagai seniman, mencari kepuasan itu nggak ada habis-habisnya. Justru, itulah saya harus mengerem sendiri,” begitu panjang lebar Arie Koesmiran menuturkan argumennya. Baik Arie ataupun Herlina, Mus Mulyadi, Waljinah, Ernie Johan, Gito Rollies, ataupun penyanyi lainnya sama-sama mengatakan, rasa bangga, senang, atau segala romantisme pertama kali muncul di televisi hanya berlangsung sampai tiga kali tampil. “Setelah itu ya biasa saja,” ujar mereka tampil senada. Dok. Pikiran Rakyat, 28 Agustus 1994, dengan sedikit perubahan |
11th January 2015, 13:11 |
#2312
|
Mania Member
|
TALARAGA TERPAKSA MENYESUAIKAN DIRI (TVRI BANDUNG - RABU, 14 SEPTEMBER 1994 Pkl: 21.3
JIKA tidak berubah dari jadwal yang sudah ditentukan, acara musik produksi TVRI Bandung, Talaraga, rencananya (waktu itu) akan ditayangkan Rabu (14/9/94) pukul 21.30 WIB. Sementara itu, artis pengisi acara di bulan September 1994 ini, cukup bervariasi. Misalnya, ada Nini Bonce (Bulan Merah), almh. Nike Ardilla (Biarkan Cintamu Berlalu), Whizzkidf (Gadis Kecil), Elva Marlia (Cincin Kenangan), Mia Eldabo (Kekasih dan Sahabatku), Dwiki Dharmawan (Hati Seluas Samudera), Tetty Barokah (Takkan Kucabut Sumpahku), Yopie Latul (Kusesali), Nia Daniaty (Masih Ada Cinta), Renny (Bagai Ular Putih), dll. Warna musik pun cukup lengkap antara warna pop, rock, slowrock, dangdut, maupun irama pop, biasa bersaing ketat.
Dari keseluruhan lagu yang masuk, mayoritas video klip. Ini berarti kru tidak lagi sibuk mengadakan syuting di Bandung. Ambil contoh, misalnya penyanyi rock Mia Eldabo dan Tetty Barokah (dangdut) yang masih diusahakan untuk tetap syuting secara langsung. Selebihnya, mau tidak mau Talaraga harus menyesuaikan diri menayangkan musik video klip. Pemutaran hasil kerja klip ini mau tidak mau, harus diterima kehadirannya, mengingat kesibukan para produser kaset semakin tinggi frekuensinya. Beberapa artis penyanyi pun, belakangan itu mulai memilih cara yang lebih praktis. Yakni mempercayakan penggarapan syuting untuk TV dengan video klip yang dikerjakan para pemilik PH (‘production house’). Demikian pula pihak produser, nampaknya juga mulai menikmati cara praktis ini. Menurut sumber di toko-toko kaset di Bandung, permintaan kaset bisa tinggi di pasaran, setelah mereka melihat video klip yang ditayangkan lewat televisi berulang-ulang. Apalagi, penggarapan klip itu dikerjakan dengan teknik cukup baik. Lalu bagaimana dengan acara-acara musik di TV yang tetap memegang peraturan agar artis tetap syuting dan penggarapannya dikerjakan oleh pihak iru? Sudah barang tentu, terpaksa harus menyesuaikan diri. Untuk kota Jakarta, barangkali masih mudah dilakukan mengingat hampir semua artis berdomisili di Jakarta. Tetapi, jika syuting di luar Jakarta, baik produser maupun artis, barangkali lebih aman dengan mengusulkan memutar klip hasil kerja PH. Timbul pertanyaan, bagaimana dengan acara musik, seperti Talaraga yang syuting juga di Bandung? Ini memang problem, yang harus dicari solusinya. Karena pada kenyataannya akhir-akhir itu, produser lebih aktif mengirimkan klip ketimbang mendatangkan artisnya secara langsung. Padahal, jauh-jauh hari sudah diwanti-wanti untuk tidak mengirim klip. Ambil contoh untuk paket Talaraga edisi September 1994 ini, sampai tulisan ini diturunkan, yang masuk di meja Talaraga, nama-nama artis yang siap tayang justru mayoritas berbentuk video klip. Nampaknya, memikirkan alternatif penayangan klip ini perlu digarisbawahi, karena bisa saja suatu waktu, semua materi sajian terdiri dari hasil video klip. Ini hanya satu alternatif jika ingin tetap mempertahankan sajian acara musik. Karena bagaimanapun, pada kenyataannya produser saat itu tengah jatuh hati pada hasil kerja PH. Jika Talaraga mau tetap eksis, mau tidak mau terpaksa harus menyesuaikan diri dengan gejala yang ada. “Walau demikian, kami tetap usahakan seoptimal mungkin untuk mendatangkan artis agar ada yang syuting di Bandung. Tetapi, jika tidak berhasil, kami kembalikan pada kebijakan pihak TVRI Bandung,” demikian sumber yang diperoleh dari pihak koordinator acara Talaraga. Dok. Pikiran Rakyat, 11 September 1994, dengan sedikit perubahan |
11th January 2015, 13:12 |
#2313
|
Mania Member
|
Sinetron komedi di televisi swasta, memprihatinkan
ADA beberapa sinetron komedi yang ditayangkan televisi swasta. Di antaranya, bahkan menjadi buah bibir masyarakat penonton, misalnya Si Doel Anak Sekolahan dan Lika-Liku Laki-Laki, yang keduanya ditayangkan RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Namun tampaknya, alternatif hiburan yang lebih aman ketimbang film-film Si Doel Anak Sekolahan layar lebar ini pun, ternyata belum mengkondisikan kita untuk menarik nafas lega. Mengapa?
Jika mengaku pada pengertian komedi yang sesungguhnya, sinetron komedi ataupun drama komedi yang ditayangkan televisi swasta kita itu ternyata masih memprihatinkan. Komedi dari “sono”nya belum dimaksudkan sehingga media hiburan untuk membuat orang tertawa. Akan tetapi, komedi (seharusnya) mengemban “sesuatu” yang sangat serius. Ia bisa bertutur tentang kemalangan manusia, yang sepak terjangnya terkadang menimbulkan “kelucuan”. Dari sanalah, tertawa yang “ikhlas” bisa hadir, sebagai pelepasan dari sesuatu yang kita ciptakan. Sama hasilnya dengan menetesnya air mata, manakala kita menonton drama tragedi. Toh, komedi bahkan setingkat lebih tinggi dari tragedi. Memang, ada sinetron komedi kita yang mengacu pada pengertian komedi yang “asli” di atas, meskipun tercatat tak lebih baru dua judul saja. Itu pun ditayangkan televisi pemerintah (TVRI) dan bukan serial Nasib dan Nujum Pak Belalang. Sementara sinetron “komedi” yang kebanyakan masih digarap asal jadi dan bahkan telah “keliru” sejak awal. Artinya, sejak awal pembuatannya sinetron “komedi” tersebut memang dipersiapkan sebagai hiburan untuk memancing tawa penonton (seperti lawak), sinetron “komedi” semacam inilah yang secara rutin ditayangkan berbagai stasiun televisi kita belakangan itu. Padahal, tak kurang dari Jaya Suprana yang membedakan secara tegas, antara komedi dengan lawak. Komedi bukan dimaksudkan untuk mengundang gelak-tawa pemirsa, namun lawaklah yang dimaksudkan untuk itu. Ironisnya, banyak acara “lawak” (baik di televisi swasta maupun TVRI), yang justru tidak lucu. Tak berlebihan, apabila Jaya Suprana yang juga humorolog ini menyatakan, bahaw lawak adalah seni yang paling tinggi. Melucu menurutnya adalah akting yagn paling sulit, ada kalanya yang “mampu” pun bisa gagal. Toh, secara awam pun kita sendiri sering menyaksikan “kelucuan” para pelawak dalam acara lawak televisi kita yang seolah dipaksakan untuk melucu (namun gagal). Akibatnya, yang ditertawakan bukan gerak slapstik dan materi lawakannya, melainkan justru ketidakmampuan pelawak untuk melucu. Ironis, memang. Belum dewasa Di sisi lain, dengan masih mengkhawatirkannya kualitas sinetron “komedi” (terutama) yang ditayangkan televisi swasta, Putu Wijaya bahkan melihat ada “bahaya” yang tersirat bagi pemirsanya. Sinetron komedi yang keliru sejak awal itu, memang terkesan membodohi pemirsa. Betapa tidak, pemirsa seakan-akan disuruh tertawa, bahkan terbahak-bahak (tertawa tok), lewat media sinetron “komedi” yang tak “bermuatan” apa-apa alias nihil itu. Dengan demikian jelas, sinetron komedi yang digarap asal jadi, dan “ngawur” itu mendidik masyarakat pemirsanya untuk memiliki citarasa yang gampangan. Toh, seni yang kacangan pun akhirnya akan “dilahap’. Bahkan pada gilirannya, akan dianggap wajar sebagai ciri khas karya seni bangsa ini. Jika ini terjadi, akan sangat menyakitkan, memang. Bagaimanapun, dengan berterimanya film-film seks layar lebar atau kenyataan disukainya sinetron komedi asal jadi, membuktikan masih belum “dewasa”-nya kita secara budaya. Toh, jika suatu bangsa tingkat apresiasi (seni)-nya telah tinggi, kecil kemungkinannya untuk dengan gampang menerima (bahkan menyukai) karya seni yang tidak berkualitas. Terlebih lagi, dan ini sangat parah, kebanyakan pemirsa kita justru “tergila-gila” pada (misalnya) serial yang paling buruk, sekalipun itu dapat kita lihat pada kasus Renegade (RCTI), yang senantiasa dirindukan kehadirannya oleh jutaan pemirsa Indonesia. Padahal, di negeri asalnya, serial ini justru dikecam habis-habisan! Sementara serial (komedi) semacam The Cosby Show dan Roseanne (keduanya TVRI), (yang mengemban “misi” humanisme yang tidak jelas, tidak “ngawur”, sebagaimana sinetron “komedi” kita), ternyata disambut biasa-biasa saja. Bahkan terhadap Roseanne, tanggapan pemirsa Indonesia cenderung “dingin”. Rendahnya tingkat apresiasi (seni) pemirsa televisi kita ini sepatutnya “dibantu” oleh para pengelola televisi nasional. Namun sayang (terutama) televisi swasta, bahkan ikut “menghanyutkan diri” ke dalam arus pasar. Raihan iklan nampaknya masih menjadi prioritas utama di atas yang lain-lain. Termasuk juga terhadap tanggung jawab moral, mempertinggi tingkat “melek” budaya pemirsa Indonesia, yang seharusnya disadari oleh seluruh pengelola televisi nasional, sebagai bagian dari program kesetiakawanan sosial. Dan pada gilirannya nantinya, jika tingkat apresiasi pemirsa telah cukup tinggi, dengan sendirinya citra serta eksistensi televisi nasional kita akan turut terangkat, (bahkan) di mata dunia. Memang diakui oleh para pengelola televisi swasta, bahwa mereka menghidupi dilema yang sulit. Di satu sisi, mereka dituntut secara moral untuk menciptakan “melek” budaya, namun di sisi lain TV swasta harus tetap “hidup”. Sementara iklan sulit “masuk” pada tayangan yang (meskipun) bermutu, namun tak disukai. Di sinilah tampaknya dibutuhkan peran serta pemerintah untuk mencarikan jalan keluarnya. Bagaimanapun kita tidak mengharapkan “paceklik” hiburan bermutu, khususnya sinetron komedi produk negeri sendiri, berkepanjangan. Dok. Pikiran Rakyat, 28 Agustus 1994, dengan sedikit perubahan |
11th January 2015, 13:13 |
#2314
|
Mania Member
|
PAKET TEMBANG DAN MODE BELUM BERUBAH (TVRI BANDUNG - MINGGU, 11 SEPTEMBER 1994 Pkl: 2
AGAKNYA, belum ada perubahan yang mendasar dari pola penayangan paket musik/hiburan di TVRI Stasiun Bandung. Meskipun ada, dilaksanakan secara perlahan. Belakangan, ada acara produksi TVRI Stasiun Bandung yang memiliki nafas baru, misalnya Bintang Nusantara. Lebih dari itu, paket-paket lama yang mengandalkan kerjasama dengan pihak produser, baik langsung maupun tak langsung, masih merupakan acara andalan yang cukup menonjol. Tentu saja, hal ini memiliki bobot komersial yang masih perlu disesuaikan dengan nilai apresiasi pemirsa.
Salah satu paket yang masih bertahan dengan materi “gado-gado’ yang menyajikna berbagai aliran musik, mulai dari dangdut, pop, hingga rock ditambah ‘fashion-show’ adalah Tembang dan Mode. Dalam edisi bulan September 1994 ini, ditayangkan Minggu (11 September 1994) pukul 20.00, antara lain menampilkan Detty Kurnia membawakan lagu Sunda reggae, Yuni Antina menyanyikan lagu Sunda dengan irama rock, serta sebuah lagu yang biasa dinyanyikan Dewi Yull dengan versi Sunda dibawakan Nia Asterina. Selain itu, masih ada beberapa video klip kiriman dari Jakarta. Direncanakan (saat itu), paket yang ditangani oleh pengarah acara andalan TVRI Bandung, Herribertus, ini berisi 10 lagu diselingi satu materi gelar busana. Peragawati yang tampil dalam materi mode yaitu Maya (seorang model iklan), Cheryl, Nita, Novi, Rita, Kathy, dan Vivi. Mereka membawakan busana karya para perancang kondang Banudng, Anna Priana, Uunk Permana, dan lina Lea. Mereka memunculkan beragam busana untuk acara resmi sore dan malam hari. Sedangkan Lina menampilkan karya dengan tema “Egypt” yang disesuaikan dengan suasana masa 1994. Ia memadukan kombinasi coklat muda, hijau muda, dan abu muda, dalam satu kesatuan yang serasi. Sebagai aksen, ia memunculkan gambar-gambar ciri khas “Egypt” yang ditempelkan dengan bordiran warna senada. “Ini untuk menyesuaikan dengan tema,” kata Lina. Sementara itu, Anna Priana memunculkan busana praktis untuk siang maupun malam. Rancangannya bertema “Basic Black”, seluruhnya menggunakan bahan hitam dengan aksen bis dan renda-renda serta kancing gaya Cina pada gaun panjang, ‘jump-suit’ ataupun ves-transparan yang dipakai bertumpuk. Ini sedang ‘in’ di dunia mode saat itu. Sedangkan Uunk yang dikenal sebagai perancang gaun pesta, menampilkan tiga gaun pengantin dengan disain simpel, menonjolkan karakter pemakainya yang feminin dan lembut. Ia mengambil gaya Eropa. Untuk gaun pesta (‘cocktail dress’), ia menggunakan ‘lace’ hitam dengan potongan pas badan yang membentuk tubuh. Ada juga gaun warna merah yang dipermanis detil-detil benang mas, atau gaun panjang warna hijau dari bahan taffeta dengan gaya tahun 50an. Pada paket kali ini, bertindak sebagai penata rias dan rambut para peragawati adalah Dedi Sukma. Lokasi syuting tidak seperti biasanya dilaksanakan di hotel. Tapi, kali ini syuting berlangsung di sebuah rumah tinggal dengan hiasan pot-pot keramik. “Ini untuk menghindari kejenuhan, karena rasanya hampir semua hotel bintang pernah dipakai syuting. Kebetulan ada rumah ayng memiliki interior artistic dan cukup leluasa untuk pengaturan ‘setting’. Jadi syuting kami laksanakan di rumah pak Indrawan, sekitar jalan Sriwijaya,” kata Betty Anciely, koordinator mode. Ia mengharapkan apa yang ditampilkan dalam paket itu bisa menjadi inspirasi bagi kaum wanita penggemar koordinator mode. Dok. Pikiran Rakyat, 11 September 1994, dengan sedikit perubahan |
11th January 2015, 13:14 |
#2315
|
Mania Member
|
Sementara kasusnya disidangkan, sinetron dongeng dangdut ditayang ulang tpi
SEMENTARA kasus “manipulasi suara” ‘soundtrack’ sinetron serial Dongeng Dangdut (DD) disidangkan bulan September 1994 ini di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, pihak TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), yang menayangkan sientron ini 27 Januari-21 April 1994 lalu, sebanyak 31 episode, sepertinya mau memanfaatkan momen kasus tersebut. Mulai Senin (19/9/94), pukul 10.00-11.00 WIB, pihak TPI menayang-ulang sinetron tersebut. Bahkan siap diteruskan hingga episode ke-39.
Sinetron Dongeng Dangdut, diproduksi PT Citra Lamtoro Gung Persada dari divisi sinetron sekitar Maret 1993 tahun sebelumnya, dengan sutradara Dedi Setiadi yang didukung kru dari “Zoom in 2000”, sebuah PH (‘production house’) milik Dedi. Diperkuat pemain Linda Sulaiman, Ainun Azhar, Jaja Mihardja, Hetty Sunjaya, Remy Sylado, Aan Sriwidayati, dan Esayas Sadewa. Namun terakhir, adalah putra dramawan WS Rendra dari istri Ken Zuraida. Sukses dalam tayangannya, Dongeng Dangdut lantas membuat ‘soundtrack’ yang diedarkan di pasaran awal Juni 1994. Namun, justru di bulan itulah, kasus itu merebak. Kasus yang dimulai Juni 1994 lalu itu, diawali ketika kaset rekaman ‘soundtrack’ sinetron Dongeng Dangdut beredar. “Saya kaget. Ternyata suara di kaset itu bukan suara saya. Padahal saya yang menyanyikannya dan di kaset pun tercantum nama saya. Tapi, di kaset itu justru suara Maya Marissa yang muncul, yang sebelumnya hanya sebagai contoh saja ketika rekaman dibuat,” beber Linda Sulaiman mengulang kisah (PR, Minggu, 28 Agustus 1994). Dan seperti ditulis di harian ini, Dedi Setiadi dan Linda Sulaiman menuntut pihak produsen kaset tersebut. HP Record dan Insan Recording Studio Company, yang dianggap bertanggung jawab terjadinya manipulasi suara itu, ditangani DR. Budi Kelana Sosrosubroto, SH & Associates, pihak penggugat menuntut ganti rugi tsebesar Rp 4 milyar. Dedi Setiadi mengakui, tuntutannya memang tidak sebanding dengan biaya produksi kaset itu yang hanya Rp 30 juta. Tapi, bagi dirinya persoalan menjadi lain. “Kasus ini merupakan penipuan dan pelecehan bagi saya selaku sutradara sinetron Dongeng Dangdut. Penghinaan dan pencemaran nama baik bagi Linda, dan pencurian suara bagi Maya Marissa. “Ini persoalan moral,” katanya sengit. (PR – Minggu, 28 Agustus 1994). TPI membantah Sementara itu, pihak TPI yang memang tidak terlibat dalam perkara tersebut membantah menayangkan ulang sinetron musikal itu, sebagai langkah “memanfaatkan situasi”. Kebetulan saja ada momen itu. Padahal, TPI sudah lama berniat menayang ulang Dongeng Dangdut. “Pertimbangannya, rating Dongeng Dangdut memang cukup baik yang secara ‘all-people’ menempati peringkat 20, sementara dibandingkan sesama acara TPI masuk lima besar,” beber Tria Utama, staf humas TPI menjelaskan, pekan kedua September 1994 lalu, di kantor TPI, Wisma Karsa Pemuda Lt. 3, Jl. Gerbang Pemuda Senayan, Jakarta. Dan menurut Tria, karena waktu tayangan pertama (Januari-April 1994) malam hari, maka September-Desember 1994, ditayangkan setiap Senin siang. “Untuk memberi kesempatan pada penonton yang belum menyaksikan sinetron yang kami nilai cukup baik ini,” katanya tak berniat promosi. Ditanyakan, apakah pihak produser – dalam hal ini PT Citra Lamtoro Gung Persada milik Mbak Tutut yang juga direktur utama (dirut) PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia – memperoleh royalti atas pemuatan ulang (‘rerun’) sinetron Dongeng Dangdut, Tria Utama menjelaskan bahwa Dongeng Dangdut dibuat dengan jual lepas oleh produsennya ke pihak TPI. “Mungkin kalau sistem ‘sharing’, maka keuntungan harus dibagi,” ujar Tria. Dok. Pikiran Rakyat, 18 September 1994, dengan sedikit perubahan |
11th January 2015, 13:14 |
#2316
|
Mania Member
|
Bagaimana nasib oppie?
YANG paling tahu, mungkin hanya Tuhan. Sebab, Oppie Andaresta sendiri (saat itu) masih bingung dan tak tahu pasti bagaimana nasib karirnya di masa datang, setelah kasus pelesetan yang diucapkannya saat membacakan pengumuman pemenang BASF Award 1994 yang ditayangkan RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), Senin (8/8/94) malam, tiga pekan sebelumnya itu.
Padahal, kata sebuah sumber, Oppie saat itu sedang menyiapkan album barunya. “Entah bagaimana nasib album itu, kalau keadaan Oppie seperti sekarang (Agustus 1994),” ujar sumber itu ikut bingung. Yang pasti, sikap RCTI selain minta maaf kepada masyarakat, juga mencekal Oppie di layarnya sampai batas waktu yang (ketika itu) belum ditentukan. Walaupun televisi yang lain (TVRI, SCTV, TPI, dan ANteve) belum mengeluarkan pernyataan sikap (sampai detik itu) seperti dilakukan RCTI, tapi (ketika itu) diperkirakan akan sama-sama bersikap hati-hati untuk menayangkan acara yang di dalamnya ada Oppie. Peristiwa pelecehan itu sempat merebak selama sepekan di berbagai media massa. Buntutnya, reaksi keras berbagai pihak bermunculan. Oppie dihujat banyak pihak. Maka penyanyi asal Padang yang sesungguhnya beragama Islam itu lantas meminta maaf kepada masyarakat lewat faks, yang dikirimkan ke berbagai ke media cetak. “Itu merupakan pelajaran berharga buat saya, untuk langkah-langkah selanjutnya,” ujar Oppie di surat itu. Terakhir, gadis itu meminta maaf kepada ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia), KH Hasan Basri, yang ditemuinya pekan itu juga. Ia mengungkapkan persoalannya di depan KH Hasan Basri, yang sehari setelah penayangan di RCTI langsung mengeluarkan seruannya agar Oppie minta maaf. Dok. Pikiran Rakyat, 28 Agustus 1994, dengan sedikit perubahan |
11th January 2015, 13:15 |
#2317
|
Mania Member
|
Persaingan televisi swasta dan surutnya kebanggaan
MENYIMAK sejumlah komentar tentang RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), dari beberapa orang yang berbeda usia, muncul kesan bahwa anak-anak, remaja, dan orangtua mempunyai acara favorit masing-masing. Anak-anak misalnya kebanyakan menyebut film serial Ksatria Baja Hitam sebagai film favoritnya, sedangkan remaja banyak yang menyebut film Beverly Hills dengan alasan pemainnya cakep-cakep dan cantik-cantik. Mereka yang berusia 30 tahun ke atas, cenderung menyukai film serial Another World, Buletin Siang, dan Seputar Indonesia.
Tentu saja pilihan mereka itu, tidak sepenuhnya sependapat. Tapi, kalau melihat kenyataan, setidaknya tidak bisa dipungkiri kalau film Ksatria Baja Hitam termasuk film yang sangat ditunggu anak-anak (waktu itu) dibandingkan dengan film anak-anak (RCTI) lainnya, seperti Doraemon atau produk lokal Sahabat Pilihan. Ada kecenderungan, bahwa anak-anak 1994 lebih menyukai film dengan tokoh jagoan dengan teknologi canggih. Kecuali Ksatria Baja Hitam, bisa disebut juga Power Rangers (RCTI). Kecuali, ada kesan mengelompokkan diri dengan tayangan yang sesuai dengan usianya, ada juga sajian yang memang disukai segala usia. Sebagai contoh, kisah siluman ular putih White Snake Legend yang ditayangkan SCTV (Surya Citra Televisi), Mr. Bean (RCTI-SCTV), atau Si Doel Anak Sekolahan (RCTI). Khusus untuk serial sinetron si Doel, sebagai bukti bahwa sinetron itu sangat populer dan disukai pemirsa. Seperti yang diliput RCTI, sempat ada satu keluarga yang penasaran datang ke lokasi ‘shooting’ untuk menyaksikan ‘shooting’ lanjutan sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Sinetron Si Doel barangkali bisa dijadikan contoh sebagai sinetron, yang bisa diterima semua lapisan masyarakat. Tapi tetap berakar pada tradisi. Surutnya kebanggaan Perubahan perilaku masyarakat pada umumnya, seringkali dikaitkan dengan kemunculannya televisi swasta yang berebut menjadi televisi yang paling digemari. Dengan sendirinya, terjadi persaingan ketat untuk memilih tayangan-tayangan yang dianggap akan jadi favorit pemirsa. Harus diakui, dibandingkan sajian buatan dalam negeri, hingga saat itu, kebanyakan para pemirsa masih lebih akrab dengan sajian luar negeri. Hal itu disebabkan mahalnya biaya untuk sebuah produk yang dibuat sendiri dan belum tentu menarik. Sedangkan produk luar, kecuali murah harga belinya, juga lebih sering digemari pemirsa. Dalam hal ini, tema-tema yang paling banyak digemari, baik oleh anak-anak maupun orang dewasa, cenderung sama, yakni tema-tema kekerasan yang menampilkan jagoan sebagai penumpas penjahat. Pola semacam itulah yang ditampilkan film Ksatria Baja Hitam, Renegade, Raven, Mac Gyver (keempatnya RCTI), The Six Million Dollar Man, Hunter (keduanya TVRI), Dark Justice (RCTI), dll. Barangkali, dampak inilah yang perlu dikaji lebih luas, yakni ketika anak-anak cenderung terbiasa dengan tema-tema kekerasan. Apalagi, dengan hadirnya media massa konsumsi anak-anak yang menjual daya tarik Ksatria Baja Hitam dan yang lainnya, munculnya poster, stiker, dan pakaiannya yang dijual, mau tak mau memang akan mengubah perilakunya. Tidak heran, kalau kemudian mereka kurang akrab dengan kisah-kisah klasik milik daerahnya sendiri. Perkembangan semacam itu, akan berlanjut ke usia remaja, di mana muncul lagi tokoh-tokoh idola yang barat, yang tampan dan cantik. Atau sejumlah ‘cover boy’, yang digalakkan majalah remaja, membuat mereka “dininabobokan” tampang keren-keren, sehingga mereka tak lagi menyukai tayangan-tayangan yang menambah ilmu pengetahuan mereka, and mereka cenderung hafal akan nama-nama penyanyi barat, grup musiknya, atau nama-nama ‘cover boy’ seperti Marcellino, Teuku Ryan, Thomas Djorghi, Dicky Chandra, dll. Mereka tidak akan lagi mengenal detail sosok Tjoet Nya’ Dhien, Soekarno-Hatta, Otto Iskandar Dinata, atau Napoleon, Genghis Khan, Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, dll, yang sesungguhnya menarik dan mesti hafal di luar kepala sejak remaja. Sajian yang ditayangkan televisi swasta, memang lebih banyak mengemas paket hiburan dalam beragam sajian yang menarik, selaras dengan kemajuan teknologi. Padahal, barangkali harus lebih banyak diimbangi dengan tayangan mendidik seperti Kuis Tak Tik Boom (RCTI), khusus untuk remaja atau anak-anak. Paket acara yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan jarang dikemas secara menarik, dan merangsang pemirsa untuk menyaksikannya, dibandingkan dengan paket hiburan. Umumnya, anak-anak dan remaja dihinggapi sikap ingin tahu, atau ingin meniru. Kalau televisi swasta kurang memperhatikan sifat itu, dampaknya akan terasa kelak, di mana akan terjadi surutnya kebanggaan terhadap apa yang kita miliki. Merancang unggulan Apa yang diungkapkan di atas, cenderung muncul karena adanya kekhawatiran. Artinya, hanya berupa asumsi. Sebab, dalam kenyataannya masih banyak anak-anak atau remaja yang berprestasi. Tapi, bukankah lebih baik mengkaji sejak dini? Untuk mengimbangi tayangan yang menjadi favorit pemirsa, yang datangnya dari Amerika atau Jepang, atau Meksiko dan Spanyol, bahkan Mandarin, maka pihak televisi swasta mesti merancang acara-acara unggulan, artinya acara yang baik dan bermanfaat, tapi juga digarap dengan bagus dan menarik. Sebagai usulan, ada beberapa hal yang bisa digarap dan dikembangkan oleh televisi swasta. Pertama, membuat sinetron berdasarkan cerita rakyat atau cerita klasik yang hidup di berbagai daerah di Indonesia, dengan pola penyajian yang menjual ketakjuban and daya pikat ceritanya. Penulis (Eddy D Iskandar) rasa, kita juga bisa membuat sinetron macam White Snake Legend (SCTV). Sekadar contoh, dalam segala sudut, sinetron Si Doel Anak Sekolahan (RCTI), bisa dijadikan acuan, bahwa cerita modern dengan latar belakang yang klasik, bisa jadi buah bibir dan mendapat pujian. Kedua, membuat paket kuis ilmu pengetahuan, dengan hadiah-hadiah yang menarik, seperti halnya hadiah untuk Kuis Lifebuoy (RCTI). Eddy tekankan, hadiah yang menarik, sebab biasanya hadiah untuk kuis semacam kuis ilmu pengetahuan, hadiahnya relatif murah. Antara lain, paket buku dan bacaan. Ketiga, memasyarakatkan karya sastra, seperti pembacaan puisi oleh para penyair dengan penggarapan khusus, sehingga tak kalah dengan video klip musik. Keempat, membuat semacam album yang isinya variatif, mulai dari sosok pemusik, sastrawan, ilmuwan, dll, dengan pengenalan karya-karyanya. Tentu, masih banyak usulan lainnya, tapi empat usulan itu bisa mencakup secara keseluruhan kritikan atau lebih tepat kajian dan saran untuk televisi swasta ini, tanpa mengabaikan sajian-sajian yang menarik dan harus tetap dipertahankan, seperti acara-acara olahraga, berita-berita aktual, atau berita semacam Seputar Indonesia (RCTI-SCTV). Televisi swasta kita seperti RCTI yang (waktu itu) berusia lima tahun, SCTV yang (ketika itu) berusia empat tahun, TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), ANteve (Andalas Televisi) dan (waktu itu) sebentar lagi Indosiar Visual Mandiri, harus berlomba mencerdaskan serta menumbuhkan kebanggaan terhadap apa yang kita miliki. Dok. Pikiran Rakyat, 28 Agustus 1994, dengan sedikit perubahan |
11th January 2015, 13:19 |
#2318
|
Mania Member
|
"hantu" gundul semarakkan kuis ole-ole bandung (tvri bandung)
OZZY Syahputra, si hantu gundul dari ibukota, tampil menyemarakkan acara Kuis Ole-Ole Bandung produksi TVRI Stasiun Bandung, yang (saat itu) akan ditayangkan Minggu malam (28 Agustus 1994) ini pukul 20.00. walaupun keseluruhan jalannya permainan kuis ini tidak begitu berbeda dengan kuis-kuis yang telah ditayangkan sebelumnya, namun dengan hadirnya Ozzy, terasa lebih semarak.
Seperti biasanya, Ozzy yang datang khusus untuk kuis ini tampil dengan kepala plontos dan kostum yang agak feminin. Ia sempat menjadi pusat perhatian para penonton yang ada di studio. Dengan membawakan lagu Sungguh, “kojo” dari album terdahulu, diiringi ‘backing vocal’ tiga pemuda dari Trio Sukanyanyi berhasil menyuguhkan sebuah kuis menjadi tontonan yang menarik. Apalagi ketika Ozzy mengajak para panelis ikut bernyanyi dengan menyodorkan ‘mic’ yang dibawanya ke tiap peserta. Dan mau tidak mau para panelis pun harus mengeluarkan suaranya. Tak hanya itu saja, Ozzy sempat melontarkan kata-kata banyolan saat diminta oleh Joseph Ibrahim, pemandu acara tetap Kuis Ole-Ole Bandung, untuk mengambil sekaligus membacakan para pemenang kuis yang dikirim lewat kartu pos. Para panelis kali ini terdiri dari dua pria dan dua wanita. Mereka terdiri dari Osa Santosa, Halim Cahyadi, Rita DN, serta Fanny Handayani. Kali ini pemenang boleh dibilang tidak didominasi oleh satu orang. Babak layar perak, dimenangkan oleh Osa Santosa dan Rita DN. Sedangkan Fanny, walau bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Joseph di babak Selayang Pandang yang merupakan babak akhir, rupanya belum bisa menebak potongan sang tokoh ‘mystery guest’ kuis ini. Namun begitu, ia pun mendapat hadiah. Potongan wajah kedua dari babak akhir kuis, baru dapat ditebak oleh Halim Cahyadi yang tampaknya kenal betul dengan raut muka sang tokoh. Tokoh itu adalah Solihin GP, penyajian materi kuis kali ini masih dalam rangka memperingati HUT TVRI, maka tidak heran jika ada pertanyaan yang ada hubungannya dengan TVRI. Meski kuis ini telah diadakan beberapa kali, namun tampaknya Caesar Palace Band, masih perlu menghidupkan suasana. Dan tampaknya sangat perlu sekali seorang konduktor musik sebagai jembatan antara pemandu acara dengan pengiring. Dewan juri terdiri dari Ir. Drs. Sentot Sudarsono, Aji Subandi, SH, Deni Wargadibrata, SE dan Rieke Adriati. Sedangkan pengarah acaranya adalah Endang Suryana, Herribertus, Bachrudin, SH. Dok. Pikiran Rakyat, 28 Agustus 1994, dengan sedikit perubahan |
11th January 2015, 13:19 |
#2319
|
Mania Member
|
Kasus dongeng dangdut (tpi) disidangkan
KASUS manipulasi suara dalam ‘soundtrack’ sinetron serial Dongeng Dangdut yang diputar di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), diperkirakan (ketika itu) akan dimejahijaukan dalam waktu dekat (setelah itu) ini, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Keterangan ini diperoleh dari sutradara sinetron itu, Dedi Setiadi dan pemeran utamanya, Linda Sulaiman. Kasus ini mulai merebak di media massa, Juni 1994 lalu.
“Kemungkinan bulan September (1994) ini. Sebab, berkas perkaranya sudah sampai ke pengadilan,” ujar Dedi Setiadi ketika ditanyain kasusnya itu, dua pekan sebelumnya di Jakarta, di sela-sela istirahat acara peluncuran paket GAN (Gabungan Artis Nusantara) di kantor SCTV (Surya Citra Televisi). Dedi Setiadi dan Linda Sulaiman yang nantinya (saat itu) akan didampingi DR. Budi Kelana Sosrosubroto, SH, dari Kantor Advokat dan Pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DR. Budi Kelana Sosrosubroto, SH & Associates, tetap pada pendiriannya menuntut ganti rugi sebesar Rp 4 milyar kepada produser kaset tersebut, HP Record dan Insan Recording Studio Company. “Terus terang saya tidak akan mengambil uang itu sepeser pun kalau saya memenangkannya. Uang itu akan saya sumbangkan kepada para seniman yang membutuhkan bantuan. Misalnya seorang pengamen, gitarnya butut kita belikan dia. Jadi, tuntutan saya hanya tidak mau membiarkan ulah nakal oknum produser kaset,” kata Dedi. Kasus yang dimulai Juni 1994 lalu itu, diawali ketika kaset rekaman ‘soundtrack’ sinetron Dongeng Dangdut (DD), beredar di pasaran awal bulan itu. “Saya kaget, ternyata suara di kaset itu bukan suara saya. Padahal, yang menyanyikannya tercantum nama saya. Tapi, di kaset itu justru suara Maya Marissa yang sebelumnya hanya sebagai contoh vokal saja, ketika rekaman itu dibuat,” beber Linda Sulaiman mengulang kisah. Linda merasa malu ketika ditelepon teman-teamnnya. “Lu mau bikin sensasi yah!?! Di kaset itu bukan suara lu,” ujar Linda menirukan ejekan teman-temannya. Linda mengaku merasa dirugikan dengan tudingan kepada dirinya seolah-olah memalsukan suara. Diumpamakannya kalau Milli Vanilli terbongkar kasus ‘lipsync’, pemalsuan suara, karena memang mereka berniat sengaja melakukannya. Sejauh pengamatan (sat itu), kaset seharga Rp 5 ribu itu, hingga Agustus 1994 masih bisa dibeli di toko-toko kaset. Dalam ‘side A’, kaset berisi semuanya 10 judul lagu itu tertulis Dongeng Dangdut ciptaan Toto Ario dan Pake Jilli dinyanyikan Linda Sulaiman. Kemudian di ‘side B’, lagu berjudul Ketar Ketir tertulis penyanyinya Linda Sulaiman/Aan KSW BHP. Nama terakhir adalah artis sinetron asal Yogyakarta, yang ikut dalam sinetron Dongeng Dangdut. Yang menjadi biang keributan, kedua lagu itu dinyanyikan oleh suara seorang penyanyi (Maya Marissa) yang di ‘soundtrack’ itu membawakan lagu Pantai Asmara di ‘side B’. suara kedua lagu di atas dan lagu terakhir memang terdengar sama persis. Dan orang akan bisa membedakan dengan suara Linda ketika direkam dalam sinetron Dongeng Dangdut. Sementara tujuh judul lagu lainnya dibawakan (dan tertulis dulu di sampul kaset itu), oleh penyanyi Ade Kristin, Toto Ario, H. Jaja Miharja, dan Asep Irama. Menurut Dedi Setiadi maupun Linda Halim, kalau seumpama lagu ‘soundtrack’ Dongeng Dangdut dibeli produser ‘master’ lagunya, bisa saja dinyanyikan oleh siapapun sesuai kehendak produser. “Karena ini yang dibelinya ‘soundtrack’, maka penyanyinya pun tidak bisa orang lain,” kata mereka senada. Mau dibayar Rp 10 juta Menurut pengakuan Linda, pihak produser perusahaan rekaman itu pernah menawarkan memberikan uang sejumlah Rp 10 juta. Masing-masing Rp 6 juta untuk pembelian produk tersebut, dan Rp 2 juta lagi untuk Linda. “Jelas, saya menolak. Berapa sih, nilainya uang sebesar itu bagi mereka? Dibanding kerugian moril saya,” cerocos Linda. Dedi Setiadi sendiri mengakui tuntutannya memang tidak sebanding dengan biaya produksi kaset itu yang hanya Rp 30 juta. Tapi, bagi dirinya persoalannya menjadi lain. “Kasus ini merupakan penipuan dan pelecehan bagi saya, sutradara sinetron Dongeng Dangdut, penghinaan dan pencemaran nama baik bagi Linda, dan pencarian suara bagi Maya Marissa. Ini persoalan moral,” katanya sengit. Dedi Setiadi menuturkan, ketika lagu Dongeng Dangdut dipromosikan di TVRI dalam acara Kamera Ria, tanggal 15 Juli 1994, suara Linda Sulaiman masih asli. Tapi, ketika dipromosikan di dalam paket TVRI, Musik Pilihan, barulah suara di kaset bukan suara Linda lagi. Dedi dicukur pendek Penampilan Dedi Setiadi yang menyutradarai salah satu proyek GAN untuk disiarkan di SCTV, yaitu paket Duren-Duren, lain dari biasanya. Sore itu ia berambut pendek. Padahal, sebelumnya gondrong sebahu. “Nggak, nggak ada kaitan dengan kasus ini. Saya mau pendek saja. Dulu (1991), waktu bikin Sitti Nurbaya (TVRI), malah saya botak,” katanya mengelak dikatakan sebagai ada kaitannya dengan kasus yang dihadapinya. Sementara Linda Sulaiman mengaku ingin menjadi artis sinetron saja. Tapi, gadis ini menolak dikatakan frustrasi gara-gara kasus ini. “Nggak. Kalau saya harus memilih, maka saya pilih jadi artis sinetron saja. Lebih menantang,” katanya klsie. Bagaimana kasus ini (waktu itu) akan berlanjut? Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang siap membuka, membeber siapa yang salah, siapa yang benar, dan menjatuhkan vonis bagi para pihak yang bersengketa. Dan tentunya, pihak HP Record milik Hadi Sunyoto dan Insan Recording Studio Co, milik Yung Liem alias Sumitomo, (saat itu) akan memberikan argumennya sendiri. Dok. Pikiran Rakyat, 28 Agustus 1994, dengan sedikit perubahan |
11th January 2015, 13:23 |
#2320
|
Mania Member
|
Forum bandung (rcti bandung), bahas masalah usaha kecil
MASALAH perkoperasian dan usaha kecil saat itu dirasa masih merupakan persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Mengingat dalam usahanya melibatkan masyarakat banyak, untuk itu RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) Bandung dalam acara rutinnya, Forum Bandung, kali ini (saat itu) akan mengetengahkan tema Perkoperasian dan Usaha Kecil. Acara tersebut sekaligus partisipasi RCTI Bandung dalam mengisi bulan koperasi yang jatuh pada tanggal 12 Juli 1994 lalu.
Prof. DR. Yuyun Wirasasmita, M.Sc, (Rektor IKOPIN) dan Mr. Thomas Locher dari Kondrad Adensor Staftung (KAS) Jerman, dalam kesempatan tersebut tampil sebagai pembahas. Acara yang diharapkan menambah pengetahuan masyarakat tentang koperasi, direncanakan ditayangkan RCTI Bandung (saat itu) pada tanggal 26 Juli 1994, pukul 16.00 WIB. Menurut Drs. Rochsan dari RCTI, pihaknya mengambil tema tersebut sehubungan masalah koperasi dan usaha kecil dirasakan masih merupakan tema yang menarik. “Tokoh yang membahas pun sengaja dari kalangan pakar dan akademik. Diharapkan keterangan itu mereka dapat lebih memperluas wawasan masyarakat dalam berkoperasian,” katanya. Hal tersebut dibenarkan, Adang Kasmiri dan Drs. Dedi Rossidi Soetama, juga dari RCTI, sambil menambahkan bahwa tema koperasi, selain masih cukup aktual, hal ini juga merupakan upaya RCTI dalam memenuhi keutuhan masyarakat akan informasi koperasi, sekaligus mengisi bulan koperasi dalam bulan Juli 1994 ini. Dok. Pikiran Rakyat, 24 Juli 1994, dengan sedikit perubahan |
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer