HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Sabtu, 2024/04/17 15:35 WIB
Media Asing Soroti Ledakan Turis: Tak Seperti Bali yang Dulu
-
Sabtu, 2024/04/17 15:40 WIB
Kota Wisata Sekelas Dubai Dilanda Banjir Bandang, Kok Bisa?
-
Jumat, 2024/04/16 14:03 WIB
Megawati Kirim Amicus Curiae ke MK: Habis Gelap Terbitlah Terang
-
Sabtu, 2024/04/17 14:58 WIB
Hai Warga Depok, Setujukah Pakaian Adat Diterapka untuk Seragam SD hingga SMA?
-
Sabtu, 2024/04/17 15:25 WIB
Sederet Tokoh Ajukan Amicus Curiae ke MK Terkait Pilpres 2024
-
Minggu, 2024/04/18 14:48 WIB
Kisah Pasangan 13 Jam Terjebak Banjir Dubai, Tak Ada Makanan Cuma Minum Air
|
Thread Tools |
22nd July 2010, 21:50 |
#41
|
Mania Member
|
Sebenarnya masih ada wilayah/kota/proyek lainnya lagi,
tapi kita tetap lanjutkan dulu dengan Yantai Green City dulu. Berikut foto-fotonya (4). Mau ngomong apa lagi, lihat gambar otomatis perlu ekstra bandwidth sich.
Spoiler
|
22nd July 2010, 21:56 |
#42
|
Mania Member
|
Nampaknya tata kota Yantai City benar-benar dilaksanakan secara ketat,
sehingga boleh mewujudkan konsep Green tsb. Masih melanjutkan dengan foto-foto (5) kota ini :
Spoiler
Udah ach, segini aja mengenai kota Yantai, selanjutnya silakan serching sendiri. |
22nd July 2010, 22:25 |
#44
|
Mania Member
|
Di atas kita sudah melihat kota Yantai,
dan sebenarnya masih ada juga kota-kota lain yang ketat dalam usaha mereka untuk tetap menjadi Green. Kita juga bisa melihat China terus berusaha dalam mengeliminir dampak buruk dari kemajuan-kemajuan yang mereka capai. Kita bisa membaca beritanya di sini : CHINA'S BAMBOO INDUSTRY BOOMS FOR GREENER ECONOMY China's flourishing bamboo industry is becoming one of the pillar sectors in the country's forestry industry and also a key in the country's efforts to establish a low-carbon economy, an industry leader said in Beijing. With 5.38 million hectares of bamboo plantations and an annual increase of 100,000 hectares, China is leading the world's bamboo industry in its number of varieties, amount of bamboo reserves, as well as production output, said Jiang Zehui, co-chair of the International Network for Bamboo and Rattan (INBAR)'s board of trustees. The Chinese government is also working to develop its bamboo industry to meet its goals in environmental protection and green economic development, as planting bamboo is both profitable and environmentally-friendly, Jiang said in an exclusive interview with Xinhua.H An INBAR report in 2009 suggested that bamboo was proven environmentally-friendly since it draws in carbon dioxide and gives off oxygen as it grows, and grown bamboo can capture and hold more carbon dioxide than equivalent plantation trees. To promote the development of the bamboo industry, China has encouraged technological innovations. "Nearly 200 patents have been applied to develop more uses of bamboo, which has greatly assisted in the development of the industry," said Jiang. According to Jiang, new processing techniques have led to a variety of new bamboo products, such as raw bamboo, daily-used goods, artifacts, plates, and bamboo charcoal, which are widely used in different sectors ranging from construction, packaging, transportation, medicine to tourism. A further opening up of the international market also helped to boost the industry. Health-care products and artificial plates made of bamboo were well received in Southeast Asia, Europe and America, she said. China's bamboo industry has provided more than 35 million jobs, making the sector part of the new drive in the economic development of the world's largest agricultural country. The bamboo sector chalked up 70 billion yuan (10.33 U.S dollars) in total output value last year. Jiang admitted that despite all the positive signs, problems and challenges remained in the industry. "The imbalance of regional development, insufficient use of certain species and low productivity had left many resources untapped," she said. "Most of the bamboo manufacturers are small-scaled. Those with an annual production of over one million yuan only account for 8 percent of the total industry," she added. Jiang called for the establishment of a high-tech industrial chain to enhance efficiencies within the bamboo sector with more encouragement for technology innovation and an optimization of the production structure. "Developing the bamboo industry is of great significance to protecting the environment and developing a greener economy," she said. The Chinese government promised last November that it would reduce its carbon dioxide emissions per unit of gross domestic product by 40 to 45 percent by 2020 compared with the 2005 level. |
22nd July 2010, 22:55 |
#45
|
Addict Member
|
China ????
waah pengen banget gw ngubek ngubek barang di Shenzhen / Guangdong ..... sayang keterbatasan bahasa |
22nd July 2010, 23:04 |
#46
|
Banned
|
keren bgt China uda maju green lg..inilah yg disebut masy madani yg terbukti real tidak hny janji2 surga saja.
|
24th July 2010, 19:10 |
#47
|
Mania Member
|
Kesan sy, China adalah negara yang menjaga dignity dengan baik,
tidak mau didikte oleh negara lain. Termasuk di dalamnya ketika menentukan nilai tukar mata uangnya, mereka sendiri yang memutuskan akan dipatok berapa, dan bilamana perubahan akan dilakukan. Benar-benar dipertimbangkan masak-masak dan diputuskan sendiri. Berikut ini ada sebuah analisa yang patut kita baca : Ketulusan China Merevaluasi Yuan Jumat, 25 Juni 2010 Oleh A Tony Prasetiantono Pekan lalu, setelah lama ditekan Amerika Serikat dan banyak negara lain, bank sentral China akhirnya mengumumkan yuan (atau renminbi yang berarti ”mata uang rakyat”) akan dibiarkan fleksibel. Selama ini, Pemerintah China dituduh telah sengaja menetapkan kurs mata uangnya secara tidak jujur, tidak mengikuti mekanisme pasar, sehingga yuan terlalu murah (undervalued). Akibatnya, harga produk-produk China yang sudah murah karena upah buruhnya rendah menjadi kian kompetitif di pasar dunia. Sebelum krisis global 2008- 2009, China pernah mencatat surplus ekspor terbesar dunia hingga melampaui 300 miliar dollar AS. Sebaliknya, AS menderita defisit perdagangan terbesar di dunia—terutama terhadap China—hingga minus 550 miliar dollar AS (April 2010). Karena itu, Pemerintah AS gencar melobi Beijing agar bersedia mengambangkan yuan, untuk mengurangi defisitnya. Tentu saja China menolak. Mereka sedang ”menikmati” lezatnya surplus perdagangan sehingga cadangan devisanya menumpuk jadi 2,5 triliun dollar AS. Inilah cadangan devisa terbesar di dunia, jauh di atas peringkat kedua Jepang dengan 1 triliun dollar AS. Namun, benarkah China akan tulus membiarkan yuan menguat, karena itu akan mengganggu surplus perdagangannya? Saya yakin tidak semudah itu. Hari Minggu (20/6/10) siang, bank sentral China mengklarifikasi, dengan mengumumkan bahwa kurs yuan akan menguat secara perlahan-lahan. Ini untuk menghindari guncangan pelemahan ekspor, kenaikan impor, turunnya surplus perdagangan, yang kemudian berakibat naiknya pengangguran dan kemudian instabilitas sosial-politik (International Herald Tribune, 21/6/10). Jadi, kita tidak boleh terlalu optimistis bahwa tiba-tiba yuan akan menguat sehingga perekonomian dunia diuntungkan. Saya yakin China masih akan berhitung secara cermat, sampai seberapa batas toleransi yang bisa mereka berikan untuk mengizinkan apresiasi yuan. Dalam waktu dekat ini, paling-paling yuan hanya akan direvaluasi beberapa persen saja secara bertahap. Yuan tidak akan dibiarkan terapresiasi terlalu cepat. ”Lingkaran surga” Mengapa Pemerintah China selama ini bisa mematok kurs yuan secara tetap (peg system)? Bukankah sejak sistem Bretton Woods tidak lagi efektif sejak pertengahan 1970-an, sistem kurs dunia cenderung menyerahkan fluktuasinya ke pasar? Jawabannya, China memanfaatkan dua momentum dan menikmati ”lingkaran surga” (virtuous circle). Pertama, dengan jumlah penduduk lebih dari 1,3 miliar dan tingkat pengangguran 9,6 persen, tenaga kerja China amat melimpah. Ini merupakan modal besar untuk menekan biaya produksi. Akibatnya, barang-barang China menjadi murah, kompetitif, dan pelan-pelan mulai bisa menaikkan kualitasnya. Pada tahun 2009, ekspor China mencapai 1,2 triliun dollar AS, atau yang tertinggi di dunia. Tujuan ekspornya adalah AS (18 persen), Hongkong (13 persen), Jepang (8 persen), Korea Selatan (5 persen), dan Jerman (4 persen). Selanjutnya, China berhasil mengakumulasikan cadangan devisa yang terbesar di dunia. Kedua, dengan cadangan devisanya, China pun leluasa mendukung yuan untuk berada pada level berapa pun yang mereka maui. Pilihannya adalah apakah yuan mau dibuat kuat, sesuai ekuilibirum, ataukah dibuat lemah? Semua pilihan bisa mereka pilih dan lakukan karena didukung cadangan devisa. Analoginya, orang yang kaya tidak perlu mengantre tiket untuk menonton bioskop di mal. Sebuah film bisa disewa dan diputar di rumahnya sendiri sepanjang dia kuat untuk membayarnya. China juga begitu. Mau menentukan kurs yuan berapa pun, bisa diwujudkan. Sebagai ilustrasi, cadangan devisa China 2,5 triliun dollar AS, sedangkan Indonesia 74 miliar dollar AS. Tentu saja China memilih kurs yuan yang lemah karena ini akan membantu meningkatkan daya saing produk-produknya di pasar dunia. Inilah ”lingkaran surga” itu: penduduk banyak, biaya produksi murah, harga murah, surplus perdagangan tinggi, cadangan devisa besar sekali, kurs yuan sengaja diperlemah, harga produk murah, surplus perdagangan tinggi, dan seterusnya. Sampai kapan lingkaran ini berakhir? Sampai ada koreksi. Siapa yang bisa mengoreksi? Ada tiga kemungkinan: (1) tekanan AS, (2) mekanisme pasar, dan (3) kemauan dan ketulusan China untuk tak membiarkan negara-negara mitra dagangnya menderita defisit besar dan berkelanjutan. Ketulusan China Soal tekanan AS, sudah gencar dilakukan, mulai dari lobi Menkeu Timothy Geithner, Menlu Hillary Clinton, hingga Presiden Barack Obama. Namun, posisi AS tak terlalu kuat. Soalnya, AS juga tidak bisa menekan China terlalu kuat karena AS berkepentingan agar Pemerintah China mau membeli surat berharga Pemerintah AS (T-bills dan T-bonds). Tahun ini saja, Pemerintah AS harus menderita defisit anggaran 1,6 triliun AS agar dapat menstimulasi perekonomiannya. Kebijakan defisit fiskal AS besar-besaran ini terinspirasi oleh John Maynard Keynes (1936), sebagaimana dulu juga pernah dilakukan Presiden Franklin D Roosevelt saat depresi besar 1930-an. China pembeli terbesar obligasi tersebut. Jika Pemerintah AS terlalu kuat menekan China, bisa-bisa mereka mogok membeli obligasi AS. Ini berbahaya bagi kebijakan fiskal AS. Sedangkan soal mekanisme pasar, sebenarnya yuan yang terlalu lemah juga berpotensi menyebabkan inflasi domestik. Logikanya, China adalah negara yang meski biaya produksinya murah, tetap saja harus mengimpor sejumlah barang lain untuk menggerakkan perekonomiannya. Impor China kini 1,1 triliun dollar AS. Karena yuan lemah, maka harga barang impor juga tinggi. Ini akan menjadi tekanan inflasi. Namun, sejauh ini, China masih bisa menekan inflasi menjadi 3,3 persen. Angka ini masih termasuk rendah. Karena itu, sulit juga berharap China mau merevaluasi yuan hanya karena tekanan inflasi. Harapan terakhir terletak pada ketulusan hati China untuk mau berbagi beban. China harus ingat, membiarkan mitra-mitra dagangnya menderita defisit besar bisa menjadi bumerang. Jika AS bangkrut, misalnya, ke mana China mau mengekspor? Interdependensi antarnegara di seluruh dunia kini sudah semakin kuat. Dunia sudah tanpa sekat, saling terkait dan menyatu. Ketika Yunani krisis, kawasan euro harus membantu. Ketika AS krisis, China harus membantu. Kalau tidak dibantu, krisis di sebuah negara akan menjalar ke mana- mana (contagion effect). Jika prinsip ini dipegang, adalah logis China merevaluasikan yuan. Pertumbuhan ekonomi China memang akan sedikit terkoreksi dari level sekarang 11,9 persen (triwulan I-2010). Namun, jika AS bangkrut, pencapaian ini akan punah dan sia-sia. Lebih baik China menikmati pertumbuhan 8-9 persen, tetapi stabil, aman, dan berkelanjutan. Caranya? Tentu dengan membuat kurs yuan menguat, sesuai kehendak mekanisme pasar. Hanya dengan sedikit pengorbanan ini China mempertahankan prestasi ekonominya, sambil ”beramal” menyelamatkan perekonomian dunia. China harus menyadari dan mau menempuhnya. A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM |
24th July 2010, 19:22 |
#48
|
|
Banned
|
Quote:
|
|
24th July 2010, 22:30 |
#49
|
Banned
|
|
25th July 2010, 20:04 |
#50
|
|
Addict Member
|
Quote:
Fakta2 yg tidak dimasukan adalah bahwa hampir semua negara2 di dunia mematok mata uangnya terhadap dollar AS. A Tony Prasetiantono memang cool! Btw, menurut sy, memang China perlu menaikan nilai mata uang. Tidak mungkin China tetap bertahan sebagai negara miskin selama2nya. Masalah sosial jg banyak di China, terutama menyangkut bahwa generasi mudanya sudah tidak mau hidup miskin. Seperti yg kita lihat di TV, generasi muda China umur 21an, sangat2 stylist, rambut dicat, baju ala hiphop, pake HP android dan laptop.......tetapi bekerja sebagai buruh pabrik. Anak2 muda ini semuanya pemberontak. Ribut2 memprotes kenaikan harga rumah, mereka semua ingin beli apartemen. Di China beli mobil dan apartemen dulu baru kawin, bukan kawin dulu baru cari apartemen seperti di Jepang, AS dan Eropa. Cewek2 China jg pintar, gw ngak mau kawin kl lu tidak punya rumah dan mobil. Banyak pengusaha dan investor asing yg dibuat pusing oleh perubahan gaya hidup anak2 muda China. Tuntutan kenaikan gaji dimana2 dan sulitnya mencari buruh. Sy pikir jika 10 tahun kemudian pemerintah China gagal membuat penduduknya kaya, kerusuhan sosial pasti terjadi. |
|
detikNews
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer