HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Sabtu, 2024/04/23 12:57 WIB
Pacari Putri Nikita Mirzani, Vadel Badjideh Akui Banyak Hujatan
-
Sabtu, 2024/04/23 13:07 WIB
Kabar Calonkan Diri Jadi Bupati Bantul Soimah Beri Klarifikasi
-
Sabtu, 2024/04/23 13:02 WIB
Reaksi Nassar Diminta Jadian dengan Irish Bella Saat Hadir di Acara Ultah
-
Sabtu, 2024/04/23 14:26 WIB
Rumah Via Vallen Digeruduk Massa Aliansi Arek Sidoarjo
-
Sabtu, 2024/04/23 13:13 WIB
CSB Divonis 2,5 Tahun Atas Penipuan Terhadap Jessica Iskandar
-
Jumat, 2024/04/22 15:00 WIB
Unggahan Natasha Rizki di Hari Anniversary Pernikahan dengan Desta Jadi Sorotan
|
Thread Tools |
12th January 2015, 18:59 |
#2341
|
Mania Member
|
Akhir cerita tantowi yahya memandu kuis gita remaja (tvri)
KALAU Anda penggemar kuis Gita Remaja (GR/TVRI) masih sempat menyaksikan kuis tersebut, Jumat (15/7/94) malam lalu, itulah terakhir yang bisa disaksikan sejak kuis remaja itu pertama ditayangkan lima tahun sebelumnya (1989). Tepatnya Juli 1989. Kabar mengejutkan, Gita Remaja yang sudah ditayangkan 57 paket ini – saat itu – akan berakhir di Juli 1994 ini.
Ani Sumadi, sang “arsitek” kuis televisi, cenderung tak mau mengeluarkan pernyataan resmi. Seperti kebiasaannya, akan memulai kuis baru pun ia selalu diam-diam dan kerap membuat orang kaget. Kabar ini “terungkap” dari pernyataan tak langsung Tantowi Yahya, sang pembawa acara Gita Remaja, saat syuting Berpacu Dalam Melodi (BDM/TVRI) bulan-bulan sebelumnya. Saat itu, ia menjadi bintang tamu yang mendapatkan kesempatan berbincang-bincang dengan MC BDM, Koes Hendratmo. “Tunggu saja di akhir Juli (1994), ada kejutan dari saya,” ujar Tanto “nyeplos”. Koes agaknya mafhum. Ia menimpali, “Oh ya, semoga anda bisa bekerja dalam acara tersebut,” serta merta Maruli Simorangkir, SH, staf ahli Ani dalam aneka kuisnya memotong, “Lho, Koes, kok ngomongnya melebar ke sana?”, dan Ani sebagai pengarah acara segera meng-‘cut’ dan meminta syuting diulang tanpa kalimat yang dilontarkan Koes dan Tantowi tak diungkapkan lagi, dianggap tidak ada. Selesai syuting, Tantowi Yahya mengungkapkan akan berakhirnya kuis yang dipandunya itu. Tapi menurut sumber dari kru Ani Sumadi, mengungkapkan akan membuat lagi kuis baru dengan rencana MC yang akan dipakai tak lain Tantowi Yahya sendiri. Tentang kabar ini, (saat itu) Ani Sumadi belum berani memberikan kepastian bentuk dan namanya. Betapapun terlontar berbagai dugaan sebagai alasan dihentikannya Gita Remaja, namun alasan penyetopan itu sendiri belum diketahui pasti (waktu itu). Tantowi Yahya sendiri mengungkapkan dirinya tak remaja lagi. “Saya sudah tua. Buktinya, saya tak terpakai lagi memandu acara Gita Remaja. Katanya sih ya itu tadi, sudah tua. Sudah nggak pas lagi bertingkah remaja,” ungkap Tanto yang lahir di Palembang, 29 Oktober 1960. Benarkah alasan penyetopan GR, karena sang MC sudah dianggap tak remaja lagi? Tapi, mengapa kuisnya sendiri malah ikut dilenyapkan? Ani Sumadi, sang arsitek memang selalu bikin kejutan dan terkadang penuh misteri. Tapi, menurut sebuah sumber, rating GR belakangan itu menurun drastic. Artinya, gregetnya mulai luntur. Ketika disambung lagi pembicaraan dengan Tantowi lewat telepon, ia tetap menyatakan hal ini, GR akna distop dan dirinya akan dipakai di acara baru. “Insya Allah, katanya saya mau dipakai lagi untuk acara baru di TVRI,” katanya (saat itu). Dan sayangnya, Tanto (ketika itu) belum mau menyebutkan nama acara barunya itu. Tidak sedih GR untuk edisi terakhir, Jumat, 15 Juli 1994 itu memang dibuat agak istimewa dan dikatakan bahwa GR edisi itu sebagai yang terakhir. Ketika ditanya apakah dia tidak sedih menyaksikan penampilan terakhir dirinya di televisi, spontan Tanto memukas. “Kenapa harus sedih? Itu sudah berasa. Cuma, harus saya akui, saya besar berkat Gita Remaja.” Menurut sebuah sumber, sebenarnya pihak penyandang dana atau sponsor masih menginginkan keberadaan Tantowi dan GR-nya. Tapi, di lain pihak, keputusan yang lebih kuat dari TVRI, Tantowi mesti “menghilang” bersama GR-nya itu. Ya sudahlah, kalau memang begitu. Tantowi mengakhiri debutnya di acara yang membesarkan dirinya. Ketika memulai menjadi MC kuis itu, ia baru berusia 29 tahun, dan 1994, telah merambat ke angka 34 dengan status sebagai suami dari Dewi Handayani, wanita kelahiran 15 September 1969. Tantowi yahya dipilih Ani sebagai MC GR, lantaran Koes Hendratmo. Koes lah yang memperkenalkan Tanto pada Ani, tahun 1988 dalam suatu acara. Agaknya, itulah awal “keberhasilan” dirinya seperti yang pernah ia cita-citakan sejak kanak-kanak. Tanto adalah anak keempat dari lima bersaudara anak-anak HM Yahya Matusin (alm) dan Hj. Komariah. Menurut Helmy Yahya, adiknya, sang kakak sudah memperlihatkan bakat dalam berbicara dan menyanyi sejak kecil. Tanto lebih-lebih Helmy, juga kuat dalam mengarang. Akhirnya bakat-bakat itulah memuluskan jalan ke arah kebekenan. Tak selesai di ‘National Hotel Institute’ (NHI) Bandung, hingga 1982, Tanto lantas bekerja di Hotel Hilton Internasional sebagai ‘sales executive’. Berkenalan dengan Danny Yozal, wakil presiden direktur PT BASF Indonesia, tanto ditarik bekerja di perusahaan kaset kosong tersebut, tahun 1987. Jabatan yang disandang cukup lumayan, sebagai ‘advertising’ dan ‘sales promotion manager’, merangkap ‘public relation manager’. Kemampuan di usia muda, walaupun ‘drop-out’ perguruan tinggi, merupakan prestasi istimewa baginya. Bahkan ketika namanya mulai terkenal setelah dipercaya Ani Sumadi sebagai MC kuis GR tahun 1989. Namanya meroket seiring digemarinya kuis asuhan Ani itu. Dan jadilah Tanto memasuki kehidupan sebagai ‘public-figure’. Lengkaplah sudah aktivitasnya sebagai MC GR di televisi, MC berbagai resepsi dan acara besar, pembicara seminar tentang remaja, dan manajer di perusahaan besar yang tentu mendatangkan rupiah demi rupiah ke koceknya. Dan tatkala di puncak ketenarannya itu, Tanto tetaplah Tanto yang pintar bergaul. “Kelebihan dia dan kunci suksesnya karena keluwesannya dalam berkomunikasi dengan banyak orang,” kata Helmy Yahya, sang adik kandungnya yang belakangan itu mulai menapaki studio televisi sebagai komentator olahraga. ‘Sayonara’ Tantowi Yahya, kapan-kapan anda kembali ke layar televisi menemui penggemar anda di tanah air. Dok. Pikiran Rakyat, 17 Juli 1994, dengan sedikit perubahan |
12th January 2015, 19:00 |
#2342
|
Mania Member
|
Festival sinetron indonesia (fsi) belum bergema
FESTIVAL Sinetron Indonesia (FSI) 1994, yang – saat itu – akan diselenggarakan 12 November 1994 yang ketika itu akan datang, gemanya belum terasa menonjol (sampai Juli 1994). Bagi sinetron yang akan diikutsertakan, sudah dibuka sejak 23 Mei 1994 lalu. Pembicaraan sekitar festival di media massa belum ramai (saat itu). Bahkan pihak stasiun televisi yang dihubungi cenderung merahasiakan jumlah dan judul sinetron mereka yang dilagakan. Dan sumber dari humas panitia mengungkapkan belum banyak sinetron yang beredar.
Ketika tulisan ini hendak diturunkan, ketua pelaksana FSI 1994, Alex Kumara, belum bisa dihubungi. “Pak Alex sedang tidak ada di tempat,” ujar staf humas RCTI, Anita W Naryadi, yang dihubungi via telepon. Alex Kumara kesehariannya menjabat direktur operasional/wakil presiden direktur RCTI. Tapi sebelumnya, ketua III bidang humas FSI 1994, Ilham Bintang, lewat telepon menyatakan belum abnyak pihak yang mendaftarkan sinetronnya. “Setahu saya, yang baru mendaftar di antaranya Si Doel Anak Sekolahan (RCTI),” katanya. Tentang kemungkinan jumlah peserta hingga 800 judul sinetron, Ilham membantah. “Itu ‘khan jumlah di atas kertas, yaitu jumlah sinetron yang belum terikutkan sejak 1993 lalu, ditambah produksi tahun 1992 yang belum ikut festival tahun itu,” jelasnya. Kemungkinan mencapai target itu diakuinya sulit. Sebagai penyebab dalam petunjuk pelaksana yang ditetapkan Deppen untuk Pantap FSI, antara lain menyatakan setiap sinetron tidak otomatis menjadi peserta FSI. ” Jadi, waktu itu (1992) sifatnya memang wajib ikut. Kalau sekarang (1994) ‘khan tidak,” jelas Ilham. Diakui Ilham Bintang, ketentuan itu ada sisi untung ruginya. Dengan sistem “wajib” seperti dulu (1992), peserta memang memungkinkan banyak, tapi tidak seselektif kalau diberi kebebasan seperti 1994. “Pihak calon pendaftar bisa bersikap lebih arif dalam memilih sinetron yang akan didaftarkan. Sejauh mana peluangnya sinetron tersebut untuk difestivalkan,” ujarnya. Ia tidak setuju dengan ungkapan calon peserta bisa bersikap “tahu diri” apakah sinetronnya layak-tidaknya difestivalkan. “Bukan tahu diri, tapi sikap arif,” ulangnya tegas. Ternyata, apa yang dikatakan Ilham berkesesuaian dengan apa yang diungkapkan Hasan Bisri BFC, penanggung jawab acara cerita/Kosa Budaya TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). “TPI mengirimkan sinetron yang kira-kira berpeluang untuk bisa dihitungkan juri.” Tapi, walaupun Hasan Bisri mengungkapkan sekitar tujuh judul yang akan didaftarkan, tapi ia tak menyebutkan persis ketujuh judul itu. Ia hanya menyebut Perlu Ada Sandiwara (PAS/TPI) garapan sutradara Putu Wijaya, Taribun, dan Dongeng Dangdut (DD/TPI) karya Dedi Setiadi. Pada FSI 1992 (FSI 1993 tak terselenggara), TPI hanya mengirimkan Kedasih, Desaku Bumiku, Mahkota Mayangkara, dan Fajar Sadik. Sementara RCTI melalui humasnya, Anita W Naryadi mengaku, mengirimkan jago-jagonya saja. “Saya kira sinetron RCTI untuk festival tahun ini (1994) banyak yang bisa dijagokan,” katanya. Tapi, ia tak bisa menyebutkan jumlah dan judul sinetron yang akan didaftarkan pihak RCTI. Meski ia mengakui Si Doel Anak Sekolahan (SDAS) sebagai salah satunya. “Persisnya nanti, bidang program RCTI yang akan menentukan,” kata Anita mengelak. Menurutnya, RCTI hanya mendaftarkan sinetron yang dibuat oleh PH (‘production house’) milik RCTI atau produksi kerjasama RCTI dan PH luar. “Saya tidak tahu, sinetron apa yang akan didaftarkan oleh PH yang sinetronya diputar RCTI,” katanya lagi. Mengenai Si Doel dikatakannya sebagai sinetron produksi kerjasama RCTI dengan PT Karno’s Film milik keluarga alm. Soekarno M Noer. Pihak humas ANteve (Andalas Televisi) yang dihubungi via telepon, yang ditanya sejauh mana kesiapan stasiun tersebut menghadapi FSI 1994 malah menyatakan tidak akan mengikutkan satu sinetron pun. “ANteve khan belum ada sinetronnya,” ujar sumber humas ini sedih. Menurut sumber humas itu, ANteve baru memutar satu judul sinetron berjudul Sutarji dan Bidadari. Dan memang TV swasta yang satu ini belum begitu menayangkan siaran-siaran atau acara-acara produk lokal (saat itu). Hingga tulisan ini diturunkan, pihak TVRI belum bersedia menyebutkan judul-judul yang bakal didaftarkan ke FSI tahun 1994 ini. Tapi diperkirakan seperti FSI sebelumnya, TV yang dikenal kampiun dalam sinetron ini bakal mengirimkan judul sinetron dalam jumlah banyak. Dari pihak SCTV (Surya Citra Televisi), belum diketahui sejauh mana kesiapannya, Budi Darmawan, humas yang hendak dimintai keterangannya, beberapa kali kebetulan sedang tidak ada di tempat. Tentang peluang, terlihat TPI begitu optimis sekali. Setidaknya, dari ungkapan Hasan Bisri. “Pokoknya, untuk FSI kali ini, TPI cukup optimis. TVRI yang dulu (1992) dianggap sebagai saingan berat, sekarang (1994) kok tak seberat dulu. Ini lihat di atas kertas lho,” katanya. Menurutnya, TPI hanya menjagokan sinetron komedi dan drama. “Tapi, untuk mendorong hadiah dan menjadi juara umum rasanya sulit. Karena TPI tidak mengirimkan banyak sinetron,” katanya terus terang. Sementara itu, Ilham Bintang dari humas panitia festival, mengakui jumlah peserta tidak akan meledak. “Lagipula mengukur keberhasilan festival ini tidak terletak pada banyaknya peserta. Tapi bagaimana kami panitia bisa melaksanakan juklak yang diberikan oleh pihak Deppen,” ujarnya diplomatis. Dok. Pikiran Rakyat, 10 Juli 1994, dengan sedikit perubahan |
12th January 2015, 19:01 |
#2343
|
Mania Member
|
Tvri akan seperti rri?
DI beberapa kota besar, belakangan itu sosok televisi swasta (RCTI, SCTV, TPI, dan ANteve) kabarnya lebih banyak digandrungi dibanding TVRI. Lantaran materi acara dan pola penyajiannya dianggap menarik dan lebih komunikatif. Mungkinkah eksistensinya televisi swasta itu lambat laun akan membentuk figur TVRI bernasib seperti RRI yang ditinggal pendengarnya lantaran bertebaran radio swasta?
Dalam sebuah kesempatan, kepala stasiun TVRI Jakarta, Halim Nasir dengan mantap pernah mengatakan bahwa tidak perlu khawatir keberadaan televisi swasta akan menggeser pamor TVRI Pusat maupun stasiun daerah, karena bagaimanapun pemirsa akan lebih suka dengan budayanya sendiri, dan kalaupun mereka menyukai tayangan televisi swasta, sifatnya hanya sementara. “’Honeymoon period’. Bagi kita sehobi-hobinya makan pizza, pasti masih akan mencari nasi,” kata Halim memberi perumpamaan. Mungkinkah begitu? Bagaimana bila langkah televisi swasta terus diperhalus dengan sejumlah materi acaranya, yang diperkirakan akan terus memperkuat sosok pribadinya, sehingga lebih memikat pemirsanya? Tidak mustahilkah TVRI pada akhirnya akan bernasib sama seperti RRI juga yang nyata-nyata ditinggal pendengarnya. Untuk menjawab itu, kami (“PR”) menurunkan sejumlah opini dari sejumlah tokoh seperti Eduard Depari, (alm) Olan Sitompul, Ireng Maulana, Tantowi Yahya, dan (alm) Benyamin S. Eduard Depari, kepala staf humas RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) Jakarta, dengan tegas mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak percaya TVRI akan mengalami nasib sama seperti RRI. Karena menurutnya, bagaimanapun juga masih banyak hal-hal yang menarik dari TVRI yang belum bisa disajikan televisi swasta. Otomatis masyarakat sendiri akan rugi, posisi TVRI sampai ditinggalkan seperti RRI. ‘Dan tentu saja, TVRI pun tidak mau kalau dirinya akan mengalami nasib seperti RRI,” kata Eduard di sela-sela seminar sehari tentang “bahaya televisi di tahun 2000”, di Jakarta. Kalaupun kenyataannya, televisi swasta terdengar lebih mendapat tempat di mata pemirsa, ucap Eduard, kemudian sifatnya hanya sementara. “Dalam satu kesempatan, TVRI pasti akan berubah. Apalagi kita mendengar status TVRI akan menjadi BUMN (badan usaha milik negara). Kendala pihak TVRI saat ini (1994) sebenarnya, dia harus menjalankan misi yang diwajibkan pemerintah. Maka otomatis potensi yang ada tidak bisa keluar lebih bebas seperti TV swasta,” aku Eduard. Lebih unggul Menurut Eduard, soal popularitas TVRI sesungguhnya lebih unggul. Karena toh, siapa yang tidak mengenal TVRI? Pemirsa itu tidak memiliki sifat fanatisme terhadap salah satu stasiun TV. Mereka hanya mau menonton banyak apa yang disajikan itu benar-benar menarik buat pemirsanya. “Jadi, saya pikir TVRI tidak harus seperti RCTI, misalnya. Pokoknya saya yakin, kalau sudah berubah statusnya, dia akan lebih baik dan kemungkinan akan bisa bersaing. Sayangnya, memang sampai saat ini (1994), kita belum memiliki undang-undang siaran,” paparnya lebih jauh. Lain lagi dengan pendapat Olan Sitompul. Mantan penyiar RRI ini menyebutkan bahwa gejala TVRI akan mengalami seperti RRI, sudah mulai terasa (saat itu). Kata Olan, RRI pun ditinggal pendengarnya ketika mulai muncul radio swasta, hanya karena materi acaranya secara lambat laun ternyata lebih memenuhi selera. “Saya melihat apa yang dialami RRI, bisa saja terjadi pada TVRI. Dan harus disadari, sebagai media pemerintah sudah pasti mempunyai keterbatasan dalam menyajikan acaranya yang tidak sebebas media swasta. Sekarang (1994) dengan aneka macam sajian dari TV swasta ditambah hiburan, informasi dari luar, maka otomatis pemirsa akan dengan mudah membuat satu perbandingan sendiri. Di sini, TVRI sudah mulai tertinggal jauh, mungkin karena akan bertanya dan mencari apa sih sekarang (1994) yang harus diketahui dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tutur Olan. Sayang memang, jika perlahan-lahan TVRI akan berubah nasib seperti RRI. Televisi swasta dengan naluri bisnisnya jelas akan gencar mengoptimalkan diri, akan gencar mempromosikan diri, bekerjasama dengan wartawan, umpamanya, atau besar-besaran membuat slogan, karena memang mereka menjual sesuatu. “Sementara apa yang harus dijual TVRI? Tapi kalau saja para pengelola TVRI memiliki daya juang untuk mengemas materi acaranya lebih menarik, saya yakin bisa. Mungkin saja ‘khan, ada yang berpikir tanpa berbuat pun naik pangkat dan mendapat gaji,” kata Olan yang aktif di RRI dari tahun 1960 sampai 1991 ini dengan senyum simpul. Tahap maju Di mata Ireng Maulana, sosok TVRI masih penuh harapan dan progresif bagi pemirsanya. Kata Ireng, perjalanan TVRI berbeda dengan RRI. TVRI sudah berada di tahap yang maju (waktu itu), bukan berada di tahap ingin maju. Sementara RRI dalam menghadapi persaingan dengan radio swasta, berada di tahap ingin maju. “Hanya memang, saya harus mengakui, untuk sementara ini, RCTI di Jakarta khususnya, seringkali unggul dalam menayangkan film dan gaya penyajiannya, paling tidak anak-anak saya gandrung nonton RCTI. Tapi, bukan berarti anti TVRI, ini terbukti kalau film TVRI lebih bagus, mereka memilih TVRI,” ungkap Ireng (waktu itu). Sebagai musisi, Ireng hanya bisa melihat satu ketertinggalan TVRI dalam ‘jingle’ bila akan menyajikan satu materi acara. Dalam hal ini, pengiring musik Berpacu Dalam Melodi di TVRI itu, mengakui televisi-televisi swasta lebih unggul dan menang. “Tapi secara pribadi kalau sudah melihat film-film TV swasta, saya suka bertanya-tanya, “Mau dibawa ke mana sebenarnya masyarakat kita ini?”. Coba lihat, ibu-ibu begitu terpesona dengan opera sabun, mereka hafal betul kapan penayangannya, siapa pemainnya. Istilah kata peran suami di rumah pun bisa kalah,” tutur Ireng. Senada dengan Olan Sitompul, Tantowi Yahya mengatakan, bahwa TVRI (saat itu) tampaknya akan mengalami nasib seperti RRI, kalau televisi milik pemerintah itu tidak segera berbenah diri. “Misalnya dalam hal penyajian film-film, TV swasta lebih berhasil menggoda penonton. Maaf di sini saya tidak berbicara masalah dampak negatif film-film TV swasta. Tapi, soal sinetron, saya masih memilih TVRI. Itu pun kalau TVRI tidak lalai lagi. Kalau lalai, akibatnya bisa ditebak. Penonton akan beralih melihat TV swasta,” ungkap Tantowi, bintang yang beken berkat memandu Gita Remaja (TVRI). Perkiraan Tantowi diakui oleh aktor serba bisa, Benyamin S. bintang Betawi ini melihat kecenderungan pemirsa belakangan itu, mulai lebih suka melihat produk lokal tayangan TV swasta. “Seperti sinetron. Mungkin itu karena melihat pemain-pemain populer yang bejibun, dalam tiap episodenya. Saya yakin. TVRI bukan tidak mau mengundang bintang kawakan dan beken. Tapi, kendalanya soal terbatasnya dana. Kita sebagai pemain, kalau ada tawaran dengan honor yang lebih mengasyikkan, mau pilih yang mane? Kalau sampai memilih duit nyang gedean, itu khan manusiawi namanya,” jelas Benyamin dengan logat Betawinya. “Sampai saat ini (1994), soal kualitas penggarapan sinetron dan mutu cerita, TVRI lebih banyak menang. Tapi khan siapa tahu, TV swasta pun akan berbenah diri,” tambah Benyamin. Dok. Pikiran Rakyat, 8 Mei 1994, dengan sedikit perubahan |
12th January 2015, 19:02 |
#2344
|
Mania Member
|
Temu wicara dengan wartawan bandung, rcti perlu paket lokal
KEMUNGKINAN bakal hadirnya stasiun RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) di Bandung, yang dikelola secara otonom seperti juga stasiun TVRI Bandung, sudah lama diisukan. Kalaupun akhirnya isu itu menguap begitu saja, itu mungkin lantaran pihak manajemen RCTI harus berhitung dengan berbagai hal. Taruhlah, masalah iklan.
Sebagai kota yang baru saja berkembang (saat itu), Bandung memang bukan kota perdagangan dan jasa. Ia hanyalah kota industri riil yang lebih condong ke pengembangan proses produksi. Dari segi periklanan, mungkin tak akan sesemarak seperti DKI Jakarta, yang amat berkembang mata rantai perdagangan dan jasanya. Lihat saja, setelah bertahun-tahun (1991-1994) membuka wilayah siarnya di Bandung, iklan-iklan di kota ini di RCTI, belum lagi bisa dikatakan memuaskan sudah. Iklan-iklan yang berhasil diraup secara rutin, lebih banyak iklan tak bergerak, yang harga tayangnya tak lebih dari “kerjasama RCTI dengan…” Kecuali iklan, pertimbangan RCTI untuk tak cepat-cepat membuka stasiun otonom di Bandung, barangkali juga terbentur kebijakan tak tertulis pemerintah, yang untuk sementara terpaksa harus melakukan proteksi siar TVRI Stasiun Bandung. Sebab, jika tidak, TVRI Bandung disinyalir akan mengap-mengap, sebelum mampu mengembangkan pemirsa tradisionalnya di desa-desa maupun di wilayah perkotaan. Lantas, apakah isu untuk mendirikan stasiun otonom akan tenggelam begitu saja, dan Cuma sebuah mimpi panjang? Barangkali, juga tidak. Minta masukan wartawan Beberapa lama berselang, indikasi semacam itu muncul dalam pertemuan manajemen RCTI Bandung dengan kalangan pers di kantor barunya (saat itu), Jl. Lombok. “Saya ingin meminta pendapa dari wartawan, bagaimana sebaiknya mengemas program-program unggulan untuk dijual kepada masyarakat Bandung atau Jawa Barat,” ujar Drs. Bobby Sael, kepala stasiun RCTI Bandung, di depan peserta pertemuan. Dia menuturkan, maksud pihaknya mengundang kalangan pers, sebab katanya dia percaya, pers selama itu sudah terbukti mejadi mitra kerja yang bisa diandalkan. “Kemajuan yang dicapai RCTI dalam beberapa waktu terakhir ini, tentu saja lantaran adanya jalinan kerjasama dengan pers,” begitu dia mengaku. Sekalipun dia meminat pers untuk urun rembug, itu tak berarti apa yang dihasilkan pada forum itu akan menjadi pilar kebijakan RCTI bila kelak benar-benar akan mendirikan stasiun otonom RCTI di Bandung. “Untuk kali ini, anggap saja bincang-bincang kita sebagai omong kosong dulu. Nanti dari sini kita mungkin bisa menindaklanjuti,” kata Bobby menandaskan. Salah seorang peserta pertemuan, yang juga praktisi jurnalistik mengatakan, sebenarnya RCTI tak perlu sungkan-sungkan untuk mendirikan stasiun semacam itu. Hanya saja, RCTI selayaknya jadi dalam memilah-milah program, sehingga sesuai dengan segmen pasar yang ada. Menurutnya bagi masyarakat, RCTI selama itu sudah kadung dikenal sebagai stasiun teve yang memiliki segmen pemirsa dari kelas menengah ke atas. “Jika RCTI kemudian menayangkan yang kumuh-kumuh, tentu tak tepat sasaran,” tegasnya. Kultur Bandung tak jelas Untuk tak terjebak ke program acara seperti itu, RCTI jelas perlu melihat dan mengembangkan secara sinambung pola ‘setting’-nya. Taruhlah dalam sinetron misalnya, “’Setting’ cerita yang lebih berkesan wah, mungkin cocok,” tambahnya. Peserta lain berkomentar, untuk mencari formula program secara jernih, RCTI terpaksa harus melihat dulu bagaimana kandungan kultural masyarakat Bandung yang sebenarnya. Semakin tahu persis kalangan itu, RCTI akan semakin mendapatkan unsur ‘prominence’ dan ‘proximity’-nya, berupa perasaan kedekatan pemirsa kepada media yang dikonsumsinya. Malangnya, kandungan kultur Bandung (dan sekitarnya), belakangan sudah tak jelas lagi betul, bagaimana sebenarnya. Ini lantaran Bandung sudah berubah menjadi sebuah kota metropolis dengan segala dinamikanya, termasuk fraksi-fraksi kemasyarakatan yang terjadi sebagai ekor masuknya budaya global secara drastis. Budaya semacam itu misalnya terbawa oleh antena parabola atau instrument-instrumen pendidikan semacam literatur-literatur. Yang disebut terakhir ini agaknya bisa dipahami berkembang, sebab Bandung sendiri saat itu sudah menyulap dirinya menjadi kota pendidikan, dengan perbenturan budayanya. Seorang rekan pers menimpali, sebagai kota pendidikan akan lebih baik, jika RCTI Bandung kelak lebih memacu program-program yang bernuansa pendidikan. Tentu saja, program-program tadi disajikan secara santai, agar tidak membuat pembaca berkerut kening. Sejumlah kalangan yang hadir di pertemuan itu, agaknya bersepakat bahwa untuk mencetak program unggulan, RCTI tampaknya tak cuma mencari-cari pasar. Itu sebenarnya bisa dilihat dari fenomena Lenong Rumpi, sinetron Halimun, atau Si Doel Anak Sekolahan. Sekalipun paket-paket tadi sebenarnya lebih bernuansa kedaerahan dan bersifat spesial, namun ternyata didaulat publik di seantero pelosok. “Di Surabaya, Halimun juga dikabarkan masuk menjadi acara unggulan,” ujar Bobby. Paket-paket itu memang tak berangkat dari pencarian pasar. Melainkan penciptaan pasar. Pihak PH (‘production house’) tampaknya tahu persis, bagaimana mengemas sebuah “isu cerita lokal” dalam bingkai ‘setting’ nasional. Sayangnya pola begini amat jarang. Jika saja kelak RCTI Bandung menggunakan jurus semacam itu, kata satu peserta, mungkin bisa berkembang. Minimal tak lahir dan menjadi besar secara prematur. Prematur dalam artian pembiayaannya, terus menerus disubsidi manajemen pusat (‘holding company’). Jika RCTI Bandung memang benar-benar akan menerapkan strategi penciptaan pasar, akan lebih baik jika produk budaya masyarakat Sunad yang sudah sedemikian dikenal dan menyebar luas di satu tingkatan, dimasukkan ke program. Taruhlah misalnya, Tembang Cianjuran, penggemarnya umumnya kalangan menengah ke atas, malah para pejabat daerah pun suka. Dok. Pikiran Rakyat, 10 Juli 1994, dengan sedikit perubahan |
19th January 2015, 00:53 |
#2345
|
Mania Member
|
Putu wijaya: "sinetron indonesia belum begitu bagus"
TAMPIL dengan kabaret putih dan jeans di pembukaan pameran tunggal lukisan karya Hariel Perdana Handiman, baru-baru itu, I Ngurah Putu Wijaya tampak sibuk melayani permintaan wawancara sejumlah wartawan media cetak dan elektronik. Akibatnya ia sempat terbatuk-batuk malam itu, akibat terlalu banyak berbicara. Ketika “PR” mendapat kesempatan mewawancarainya, ia tiba-tiba teringat permintaan rekannya, Suryatna Anirun, untuk menulis di “PR” dan berjanji memenuhinya.
Putu yang juga sutradara sinetron, di antaranya PAS dan Warung Tegal yang ditayangkan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), mengakui, meskipun ada beberapa buah sinetron yang bagus, tetapi secara umum sinetron Indonesia belum begitu bagus. Ia membeberkan sejumlah kelemahan sinetron Indonesia. Di antaranya naskah sinetron yang kurang bagus dan kurang dipahaminya teknik pembuatan sinetron. “Meskipun banyak orang yang lama kerja di film terlibat sinetron, tapi medianya sendiri tergolong baru. Selain itu, penyajian menu untuk bioskop dan untuk televisi berbeda sekali,” ujarnya. “Kita masih belajar. Masih ada kekagetan dan kegagapan. Untuk membuat sinetron, bukan hanya ceritanya harus bagus, tetapi juga sutradaranya, para pemainnya, teknologinya, juga jam siarannya,” jelas Putu lebih jauh. “Keadaannya masih timpang. Ada yang sutradaranya bagus, lainnya jelek. Kalau sudah sekian lama, saya kira akan muncul suatu keseimbangan yang bagus sekali dalam sinetron Indonesia.” Sebenarnya, tutur seniman yang lulusan Fakultas Hukum Universitas Gajahmada (UGM) itu, prospek sinetron Indonesia sangat bagus. Karena permintaan dunia ‘broadcast’ terhadap sinetron-sinetron tersebut sangat banyak. “Namun, kita belum siap melayani permintaan itu,” ujarnya. Bahkan menurut Putu, seorang teman pernah memberitahunya bahwa sebetulnya peluang dan kesempatan yang telah dipergunakan baru 5%. “Artinya, masa depan dunia ‘broadcast’ bagus sekali karena akan memberi lahan pekerjaan kepada banyak orang,” jelasnya. “Asal kita siap.” Teaterawan itu juga menyayangkan etos para kerja insan sinetron belum siap melayani industri atau membiasakan diri sebagai pekerja industri. “Untuk menyiapkan suatu sinetron, kita masih memerlukan waktu lama sampai tiga bulanan. Padahal waktu tayang sudah mendesak,” katanya. Menyinggung soal penggeseran jam tayang sinetron Indonesia, Putu yang juga sastrawan ini menjelaskan bahwa yang menentukan acara-acara untuk masuk waktu ‘prime-time’ adalah rating. Sedangkan yang menentukan rating, adalah biro-biro iklan yang dia sendiri mengaku tidak tahu kriterianya. “Ada tayangan yang kena rating sebelum ditayangkan. Juga ketika mengajukan nama pemain sudah bisa masuk rating,” ungkapnya. “Itu khan buat kita abstrak, ya.” Selain itu, karena media yang menayangkannya bersifat komersial, maka penonton dan iklan turut menentukan jam tayang suatu sinetron. “Tidak banyak iklan dianggap tidak banyak penontonnya, lalu tergeser jam tayangnya,” lanjutnya. “Padahal, belum tentu.” Meskipun begitu, Putu yang sinetron terbarunya (saat itu), Dukun Cinta, akan ditayangkan SCTV (Surya Citra Televisi), berharap pada perjalanannya natninya, akan ada suatu patokan tertentu untuk menetapkan sinetron yang masuk jam tayang ‘prime-time’. Ketika ditanya apakah sinetron akan bernasib sama dengan perfilman Indonesia, Putu yang juga sutradara film mengatakan, sebetulnya perfilman Indonesia tidak seburuk yang disangka. Sebab, tidak lama lagi (saat itu) akan muncul kebangkitan baru. Karena orang-orang film itu sendiri saat itu sedang bekerja di tempat yang lain, termasuk menggarap sinetron. Sebetulnya, yang meninggalkan film, bukan orang film, tapi produser. “Kalau ada produser, aka nada film nasional lagi. Itu masalahnya,” tegasnya. “Sedangkan sinetron akan menanjak terus. Karena siaran televisi khan berlangsung setiap hari.” Dok. Pikiran Rakyat, 30 Juli 1995, dengan sedikit perubahan |
19th January 2015, 00:54 |
#2346
|
Mania Member
|
Rahasia keluarga dalam kuis
SECARA utuh permainan keluarga setiap Kamis malam di layar RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), dipandu Iszur Muchtar, memang menarik. Sebab yang “dibongkar” pada garapan ini (romantika rumah tangga), yang memang terasa utuh dan orisinil. Sehingga terasaa lain dibanding kuis keluarga lainnya. Meskipun menghadirkan keluarga utuh sebagai peserta. Menarik dari sisi ‘entertainment’. Tentu saja.
Tapi, ketika terlentik pikiran bagaimana ekses buka-bukaan rahasia keluarga di depan umum, sontak ada perasaan nyinyir. Bagaimanapun ketidakkompakkan keluarga, egoistis anggota keluarga, dan persaingan tidak sehat antar sesama peserta kuis (acuan utama kuis ini), yang biasanya dijaga dan dihargai sebagai tata nilai dalam suatu rumah tangga, belakangan malah begitu gamang dipertontonkan di depan anak-anak (peserta) dan jutaan pemirsa di rumah. Beruntung pemandu acara memiliki ‘sense of humor’ tinggi, dan ‘air personality’ yang baik, sehingga bongkar-membongkar rahasia yang terkadang bikin merah muka, masih terselimuti dengan gelak tawa yang menyenangkan. Romantis dan tidak romantis hubungan keluarga peserta yang menjadi garapan kuis ini, tidak selamanya mengundang ‘enjoy’ bagi peserta dan pemirsa. Terkadang justru bongkar-membongkar ketidakharmonisan keluarga ini, bagi peserta terutama anak-anaknya, menjadi kesal. Bagi pembaca yang rajin menonton acara ini, tentu masih segar dalam ingatan (ketika itu), bagaimana seorang anak cemberut dan hendak menangis ketika keluarganya kalah (akibat orangtua dan anak tidak kompak), satu ekses yang tentu saja kurang baik. Terlepas apakah kekesalan seorang anak itu karena tidak berkesempatan menarik hadiah utama (jawabannya tidak cocok dengan pendapat orangtua) atau malu karena bersaing dengan keluarga lain. Yang jelas, persaingan terbuka antara anak dengan peran dia sendiri yang tidak utuh karena melibatkan pihak kedua (orangtua) sebagai ‘partner’ permainan, kurang menguntungkan pada perkembangan psikologis anak. Karena pada dasarnya, sebuah permainan pada anak dapat memajukan aspek perkembangan seperti motorik, kreativitas, dan kecakapan sosial termasuk perkembangan motivasional dan emosional (Rost, 1981 dan De Groos, 1980). Ketika ‘partner’ tidak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan, akan menimbulkan kekecewaan hingga bisa menimbulkan (mendorong) gangguan-gangguan tingkah laku. Kasus seperti tadi memang tidak pernah terjadi pada Kuis Keluarga Rinso (RCTI). Karena masing-masing peserta (anggota keluarga) punya peran yang utuh, melakukan kompetisi perseorangan dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan secara perseorangan pula. Tentu saja kuis Rahasia Keluarga tidak akan bisa dikonfrontasikan langsung dengan kuis Keluarga Rinso, karena masing-masing beda bahan garapan. Barangkali, yang bisa ditiru cara penilaian oleh Kuis Rahasia Keluarga ini, untuk menyiasati kecemburuan dan kekecewaan anggota peserta adalah cara penilaian terselubung seperti yang dilakukan pada acara kuis Benyamin Show yang ditayangkan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) setiap Selasa malam. Antara kuis Rahasia Keluarga dan Benyamin Show memang punya daerah garapan yang sama, yakni upaya membongkar keharmonisan keluarga. Hanya saja, kalau rahasia melibatkan keluarga secara utuh (anak dan orangtua), sementara Benyamin Show sebatas hubungan suami istri. Yang menarik dan aman, justru cara penilaian Benyamin Show yang langsung diberikan juri pada akhir acara. Sekalipun dinilai pada akhir acara, tokh acara ini tetap menarik karena ketika jawaban suami-istri tidak cocok, Benyamin (alm) dengan gayanya yang khas, masih mampu mengundang tawa sehingga tetap ‘enjoy’, tanpa dibongkar di depan umum. Tak ada permainan yang tidak mengandung risiko. Ini memang kenyataan. Begitu pun dengan permainan kuis Rahasia Keluarga. Kendati telah mampu menciptakan hiburan yang segar, unik, dan orisinal, tetap saja mengandung risiko dalam perkembangan jiwa seorang anak. Risiko yang secara ‘given’ ada pada tiap-tiap permainan, harus mampu ditekan seminimal mungkin agar tidak membahayakan. Caranya, tentu dengan menciptakan sistem yang lebih aman dan komprehensif, sehingga permainan tetap merupakan suatu bentuk tingkah laku yang dipengaruhi proses-proses pemasakan dan belajar. Dok. Pikiran Rakyat, 30 Juli 1995, dengan sedikit perubahan |
19th January 2015, 00:56 |
#2347
|
Mania Member
|
Dampak berita kriminal
HAMPIR setiap hari masyarakat dihadapkan pada berita. Demikian akrabnya, sehingga seolah-olah masyarakat tidak dapat hidup tanpa berita. Salah satu media yang dianggap menjadi sumber berita, adalah berita di televisi. RCTI/SCTV dengan Seputar Indonesia, ANteve dengan Laporan Petang, dan beberapa sajian lain yang kerap menjadi tontonan menarik.
Salah satu daya tarik sajian berita-berita tersebut adalah berita-berita kriminal yang dikemas dengan gaya pemberitaan yang hidup dan bercerita. Memang diakui, televisi dengan segala kelebihan memudahkan pemirsa mengikuti isi siaran. Pemirsa tak memerlukan kemampuan atau keahlian khusus seperti hal dalam membaca. Berita kriminal, khususnya kejahatan dengan kekerasan ahmpir setiap hari muncul di layar televisi dari saluran berbeda. Menarik pula untuk disimak, berita-berita kriminal mengenai hilangnya nyawa seseorang, ataupun harta benda cukup dominan dalam pemberitaan di televisi. Paling tidak, satu kali tayang setiap hari. Fenomena tersebut mengundang pertanyaan, bagaimanakah pengaruh berita kriminal tersebut? Apakah penayangan yang rinci tidak mudah menjadi “pelajaran” melakukan kejahatan? Pilihan berita Ketika TVRI masih bersolo karir, pemberitaan televisi didominasi berita-berita pembangunan dan pendidikan. Hal ini tentu direncanakan dengan fungsi media massa untuk menginformasikan, mendidik, dan menghibur. Selain karena TVRI milik pemerintah, karena itu kebanyakan berita TVRI adalah berita kegiatan rutin. Bahkan TVRI Bandung dalam tayangan Berita Daerah, menjadi berita gubernur dan aparatnya. Belakangan itu, dunia pertelevisian Indonesia telah berubah. Televisi swasta bermunculan. RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), SCTV (Surya Citra Televisi), ANteve (Andalas Televisi) segera mandiri dapat menayangkan berita yang isinya lebih variatif dan berbeda dengan berita TVRI. Berita kriminal pun menjadi salah satu berita yang ditawarkan. Memang diakui, berita kriminal khususnya pembunuhan, perampokan, perkosaan, mempunyai nilai berita yang tinggi. Sebab, menyinggung aspek ‘human interest’ (kemanusiaan). Jika dibandingkan dengan berita yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti korupsi, berita kriminal lebih menarik. TVRI pun belakangan turut menayangkan berita kriminal. Berita kriminal dalam tayangan televisi, tentu berbeda dengan tayangan media cetak. Televisi dengan sifat audiovisual, mampu menarik perhatian pemirsanya. Dampak negatif Televisi dalam masyarakat kita dianggap sebagai media hiburan. Tayangan informatif televisi pun sering diberi nuansa hiburan. Salah satu dampak yang mungkin adalah pemirsa menganggap berita kriminal itu hiburan belaka, sehingga rasa sosial semakin tipis pada saat berhadapan dengan peristiwa kriminal faktual. Kekhawtiran lain sering terlontar dari para orangtua. Kekhawatiran itu tentu beralasan, disebabkan motivasi meniru pada anak-anak dan remaja cukup tinggi. Studi yang dilakukan Badura dan rekan-rekannya di Stanford University, menunjukkan anak-anak belajar perilaku agresif dari televisi, dan mereka menerapkan perilaku ini dalam permainan sehari-hari pada lingkungannya. Studi yang lebih awal memperlihatkan anak-anak akan meniru perilaku agresif tertentu yang mereka amati pada diri orang. Sejalan dengan itu, muncul kekhawatiran lain, pemberitaan yang terperinci, dan terkadang sensasional, justru cenderung menimbulkan pengaruh yang tidak langsung sifatnya. Masih segar dalam ingatan kita (ketika itu), sejumlah peristiwa pembantaian dengan pembunuhan, perampokan, perkosaan, pencurian, banyak dilakukan oleh pelaku-pelaku yang berbeda, tetapi dengan cara-cara yang relatif serupa. Situasi seperti ini, tentu sangat mengkhawatirkan dan menimbulkan dugaan negatif. Pola-pola perilaku kejahatan dengan menampilkan cara mendapatkan uang dan kemewahan secara mudah, membalaskan rasa dendam dengan membunuh, membangkitkan gairah seksual dengan tayangan kasus perkosaan, tentu dapat menciptakan sikap mental dan membuat cara-cara tersebut menjadi kondusif. Hal ini disebabkan dengan tayangan berita yang terperinci, dikemas dengan bahasa yang menarik, mengakibatkan tayangan berita kejahatan hampir mirip dengan tayangan film laga. Dampak positif Terlepas dari itu semua, penayangan berita kejahatan di televisi tentu ada dampak positifnya. Seperti yang terjadi sebelumnya, TVRI menayangkan tindak pelaku kejahatan korupsi, lengkap dengan data dari pihak kejaksaan. Hasilnya, dikabarkan pelaku korupsi banyak yang menyerahkan diri ke pihak berwajib. Lalu bagaimana dengan pemberitaan kejahatan dengan kekerasan? Penayangan televisi secara objektif, tentu berdampak positif, antara lain: penayangan berita-berita kejahatan secara teratur dapat menunjukkan bahwa setiap kejahatan akan mendapatkan ganjaran hukuman. Bisa merupakan pendidikan bagi masyarakat bahwa kejahatan tidak dapat ditutup-tutupi dan suatu saat akan terbongkar. Tayangan berita kejahatan bisa dijadikan bahan untuk mengejar si pelaku. Bahkan penayangan berita tentang pemeriksaan dan persidangan dapat memberikan informasi ayng lengkap mengenai suatu kasus tindak kejahatan. Sekurang-kurangnya, menunjukkan kepada masyarakat dan membawa masyarakat kepada rasa malu untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Dengan kata lain, media khususnya media massa elektronik, dapat diikutsertakan dalam upaya pencegahan dan pengurangan tindak kejahatan/kekerasan, sehingga media elektronik dapat pula berperan sebagai media yang menarik masyarakat agar terlibat dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di masyarakat kita. Sebagai hasil seleksi akhir dari tim redaksi pemberitaan televisi, berita kejahatan dengan kekerasan cenderung menjadi populer di kalangan khalayak pemirsa. Padahal, masyarakat sangat membencinya. Terlebih lagi tentang kejahatan dengan kekerasan yang diterima secara langsung oleh masyarakat melalui media elektronik, cenderung lebih bebas. Bahkan pemberitaan televisi dapat menerima asumsi, bahwa tindak kejahatan dengan kekerasan dianggap sebagai kejahatan serius. Televisi tentu sangat bertanggung jawab. Dan hal itu dapat diwujudkan dengan kesadaran untuk mengurangi dramatisasi dan sifat sensasional dalam penayangan berita kejahatan. Terutama yang menyangkut nyawa seseorang ataupun harta benda. Pembatasan tentang hak-hak informasi yang dimiliki masyarakat, berkenaan dengan informasi berita, tidak terlepas berita kejahatan dengan kekerasan. Masyarakat pun membutuhkan informasi berita kejahatan hasil seleksi redaksi televisi untuk dijadikan peran maupun sesuatu yang bersifat mendidik. Perekmbangan siaran berita televisi di Indonesia saat itu, mendesak kita untuk dapat memanfaatkan siaran berita secara efektif. Terutama dalam menumbuhkan kesadaran hidup berbangsa dan bernegara dengan mentaati aturan-aturan hukum yang berlaku pada masyarakat kita, dengan memandang pemberitaan kekerasan sebagai suatu hal yang lebih positif. Sehingga televisi dapat menjadi sarana informasi yang dapat dibanggakan khalayak pemirsanya. Ini juga merupakan tantangan bagi TVRI, RCTI, SCTV, ANteve, dan lembaga televisi swasta lainnya (TPI serta Indosiar) untuk lebih meningkatkan nilai siaran berita pada umumnya. Dok. Pikiran Rakyat, 2 Juli 1995, dengan sedikit perubahan |
19th January 2015, 00:58 |
#2348
|
Mania Member
|
Basuki (alm), kecewa pada rano karno
BASUKI (alm) frustrasi! Pelawak asal Srimulat yang namanya semakin berkibar lantaran ikut memperkuat sinetron Si Doel Anak Sekolahan (RCTI) itu, merasa frustrasi dan kecewa dengan Rano Karno. Pasalnya, Rano membatasi Basuki dalam hal bicara.
“Saya benar-benar frustrasi. Bayangkan saja, untuk bicara saja dibatasi,” kata Basuki menjawab pertanyaan “PR” belum lama (waktu itu) ini di Jakarta. Meski demikian, kata Basuki lagi, dia tidak bisa lepas dari Rano Karno, sekalipun banyak tawaran di luar Karno’s Film yang nilainya lebih besar. “Banyak tawaran untuk main sinetron dari luaran. Bahkan honornya cukup lumayan. Ada yang Rp 15 juta, ada yang Rp 18 juta. Tetapi tawaran itu saya tolak, padahal sebenarnya Rano sendiri tidak melarang saya untuk bermain di luar Karno’s Film,” ungkapnya. “Kalau saya main di luaran mungkin uang yang saya terima lebih besar. Tetapi, karena hubungan batin saya dengan Rano cukup dalam, jadi saya tetap bertahan,” tuturnya terus terang. Menurut pelawak asal Jawa Timur ini, dalam sinetron yang berjudul SAR (Sarana Angkutan Rakyat) ini, dia benar-benar merasa frustrasi dan kecewa. Dalam sinetron yang (ketika itu) akan ditayangkan RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) itu, dipaksa Rano untuk memerankan sebagai guru yang tidak boleh ngomong sembarangan, apalagi bahasa pelesetan. Selain itu, RCTI menyajikan program-program baru (khususnya program lokal) – saat itu. Ada lima sinetron yang siap tayang dengan bintang-bintang yang sudah terkenal. SAR (Sarana Angkutan Rakyat) – Masih ingat Si Doel Anak Sekolahan (SDAS)? SAR juga (saat itu) akan menjadi salah satu sinetron andalan RCTI. Masih bernuansa komedi situasi, SAR hadir dalam 13 episode dengan pemain utama Basuki (alm), Aminah Cendrakasih, Mandra, Nazar Amir (alm), Subarkah, dan Didik Nini Thowok. Cerita dan skenario dikerjakan bareng antara Rano Karno bersama Harry Tjahyono, dan diproduksi Karno’s Film di mana awal penayangan tanggal 7 Juli 1995 pukul 19.30 WIB. Saat Memberi Saat Menerima – Episode pertama ditayangkan pada tanggal 27 Juni 1995 pukul 19.30 WIB lalu. Sinetron ini dibintangi Onky Alexander, Desy Ratnasari, Elma Theana, dan Angel Ibrahim, serta didukung Jeremy Thomas, Eeng Saptahadi, Yati Octavia, Krisdayanti, Pangky Suwito, Anna Tairas, Arswendy, Susi Adella, dan Adam Jordan. Disutradarai Achmad Yusuf, dan cerita/skenario Deddy Armand. Kabut Asmara di Bukit Songkah – Sinetron ini dibintangi Donny Damara, Rita Zaharah, Desiana Dharmayanti J, Johan Saimima, Merry Sanger, Zaenab Sumallo, Lies Hadi, Husein Wijaya, Wiwiek Irchamni, Devi Permatasari, Dicky Wahyudi, Dra. Tatiek Tito. Disutradarai Heily Wahyono dan diproduksi Vocus Production. Penayangan awal tanggal 7 Juli 1995 pukul 17.00 WIB dan dibuat sebanyak 26 episode. Mody Juragan Kost – Mody Jurangan Kost ini (saat itu) akan mulai ditayangkan pada tanggal 6 Juli 1995 pukul 17.30 WIB sebanyak 26 episode. Sinetron ini dibintangi Kiki Fatmala, Nurul Arifin, Diah Permatasari, Iyut Bing Slamet, H. Tile (alm), Ully Artha (almh), Andi J Madjid, serta Atok Suharto sebagai penulis cerita/skenario sekaligus juga sutradara. Diproduksi Soraya Intercine Films. Begaya FM – Begaya FM diproduksi PT Adhiyasa Citraswara, dan mulai ditayangkan pada tanggal 3 Juli 1995 pukul 17.30 WIB, sebanyak 13 episode. Sinetron ini diperankan oleh H. Benyamin Sueb (alm), Hj. Elvie Sukaesih, Dian Nitami, Enny Soendari, Ulfa Dwiyanti, Adjie Massaid (alm), Ari Tulang, Tata, Simon PS, Parto SK, dan Johan Jehan. Produser Uki Djalal, asosiasi produser Biem Benyamin, produser pelaksana Indro Warkop, kreatif produser H. Benyamin Sueb (alm), sutradara Agusti Tanjung, dan skenario Ida Farida. Dok. Pikiran Rakyat, 2 Juli 1995, dengan sedikit perubahan |
19th January 2015, 00:58 |
#2349
|
Mania Member
|
Eddy d iskandar makin sibuk, tiga sinetron di bandung
SINETRON salah satu sisi kehidupan remaja masa 90an, telah diangkat ke dalam sinetron 12 episode yang berjudul Romantika Masa Remaja. Berbeda dengan cerita remaja sebelumnya yang hanya terfokus pada masalah percintaan, maka permasalahan yang diungkapkan lebih kompleks dan variatif, sehingga bisa disimak tidak hanya kalangan remaja.
Misalnya, saling bersaing dalam mewujudkan prestasi di luar sekolah. Ada yang jadi penyanyi, peragawati, penulis, dan petinju. Itulah sebabnya ada adegan peragaan busana, pentas musik, hingga pertandingan tinju. “Tentu saja tak lepas dari percintaan, kecemburuan, dan persahabatan. Saya juga ingin menekankan, pengaruh keretakan rumah tangga tidak selalu menjadikan remaja ‘broken home’, lalu melarikan diri pada perbuatan negatif,” tutur Eddy D Iskandar, yang menulis cerita dan skenario sinetron tersebut. Yang menarik, karena sinetron ini digarap sutradara senior yang sebelumnya produktif membuat film dan pernah aktif dalam pementasan drama ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia), Matnor Tindaon. “Semua pemain remaja adalah muka-muka baru. Setelah saya seleksi melalui kebutuhan karakter peran. Sedangkan pemeran dewasa sengaja dipilih pemain-pemain terkenal. Saya akan berusaha membuatnya menjadi sinetron remaja yang memiliki usaha lain,” kata Matnor, yang pernah menyutradarai film rejaa Kidung Cinta Buat Pak Guru, dengan pemeran utama Rano Karno dan Paramitha Rusady. Pemain baru (waktu itu) dalam sinetron ini, antara lain Hilda larasati, Riescha Olivia, dan Teddy Prangi. Sedangkan salah seorang pemain terkenalnya, Deddy Mizwar. Sinetron Romantika Masa Remaja yang kebanyakan lokasi syuting berlangsung di Bandung dan sekitarnya, menurut rencana (waktu itu) akan ditayangkan di Indosiar. Kecuali menggarap serial Romantika Masa Remaja, Eddy D Iskandar juga menggarap cerita dan skenario sinetron 12 episode, Gadis Manis Gadis Kampus, yang disutradarai Eddie Riwanto dan (saat itu) akan segera ditayangkan di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Keseluruhan lokasi syuting tersebut, juga berlangsung di Bandung. Selain itu, Eddy juga sudah ditawari (saat itu) untuk menulis skenario enam episode Bintang Kehidupan, yang mengungkapkan perjalanan karier dan kehidupan Nike Ardilla. Dok. Pikiran Rakyat, 2 Juli 1995, dengan sedikit perubahan |
19th January 2015, 00:59 |
#2350
|
Mania Member
|
Sinetron bertabur bintang
PERSAINGAN dalam membuat sinetron, belakangan mengarha ke sikap profesional. Setidaknya telah bermunculan PH (‘production house’) yang memproduksi sinetron dengan biaya yang besar, dengan menampilkan sejumlah artis terkenal, serta sutradara yang berpengalaman.
Pihak TV swasta juga, agaknya mulai selektif menentukan sinetron yang layak tayang untuk jadwal ‘prime-time’. Bukan hanya kualitas yang jadi acuan, tapi yang (lebih) penting lagi, adalah sejauh mana daya tarik sinetron tersebut dalam memikat perhatian pemirsa. Salah satu contoh, ketika RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) memindahkan jam tayang sinetron Erte Erwe produksi PT Karno’s Film, karena dinilai kurang peminat. Sinetron yang disutradarai Dimas Haring itu, ternyata tak mampu mengimbangi popularitas Si Doel Anak Sekolahan (juga RCTI). “Padahal, kalau melihat kualitas, Erte Erwe menurut saya lebih baik dari Si Doel,” tutur Rano Karno, produser sinetron tersebut. Tapi, Rano juga mengakui, tidak gampang membuat sinetron enteng yang jadi buah bibir seperti Si Doel, bahkan sukses Si Doel bagi Rano, merupakan sebuah mukjizat. Meskipun mulai bulan Juli 1995 ini, RCTI menayangkan sinetron SAR (Sarana Angkutan Rakyat) yang disutradarai Rano, namun secara jujur, Rano mengakui, terlalu muluk-muluk kalau meyakini sinetron tersebut akan meraih sukses yang sama dengan Si Doel. Apalagi SAR, bobotnya lebih kental dibandingkan Si Doel. Sinetron yang bagus saja, ternyata tak menjanjikan akan merebut perhatian pemirsa. Slamet Rahardjo Djarot merasa kecewa, ketika sinetron garapannya, Suro Buldog, diputar di SCTV (Surya Citra Televisi). “Masa sinetron saya ditonton sambil lari-lari?!?,” ungkap Slamet agak jengkel. Bagus dan komunikatif Sinetron Suro Buldog, bisa dijadikan contoh sinetron dengan biaya tinggi, dipuji pengamat tapi kurang diminati iklan sponsor dan pemirsa. Begitu juga sinetron Teguh Karya, Alang-Alang dan Bayangan Cermin palsu (keduanya SCTV). Sesungguhnya, banyak faktor yang membuat sebuah sinetron menjadi tayangan unggulan. Kecuali memilih jam tayang yang ideal (pukul 19.30-20.30, terutama Minggu malam), materi ceritanya juga mesti “sesuai” dengan selera keluarga. Tentu saja, pemain pendukungnya serta sutradaranya, mesti yang sudah dikenal. Bagus dan tidaknya sebuah sinetron memang memiliki kriteria tertentu, tapi begitu sinetron tersebut menjadi milik khalayak, maka para pemirsa juga berhak menentukan sinetront erbaik menurut seleranya. Kalau kita mengacu pada hasil penilaian dewan juri FSI (Festival Sinetron Indonesia) 1995, maka sinetron yang disukai pemirsa, juga ternyata banyak yang mendapatkan penghargaan. Apakah itu Gara-Gara, Ada-Ada Saja, hingga Si Doel Anak Sekolahan. Hingga saat itu, Multivision Plus termasuk PH yang paling produktif, menggarap sinetron yang menerapkan strategi bisnis secara profesional. Menggarap sinetron bertabur bintang, mendapatkan judul tayang yang ideal, diminati pemirsa, dan tentu saja diburu iklan sponsor, sehingga semua sinetron produksi Multivision Plus mampu mencapai rating yang ideal, apakah itu Pelangi di Hatiku, Bunga-Bunga Kehidupan, Benang Emas, Hati Seluas Samudera, Gara-Gara, Ada-Ada Saja, Lika-Liku Laki-Laki (seluruhnya RCTI), Saling Silang (SCTV), Untukmu Segalanya, dan Bella Vista (keduanya RCTI). Sikap profesional dalam menggarap sinetron, diperlihatkan pula oleh Star Vision yang saat itu tengah memproduksi sejumlah sinetron yang didukung bintang-bintang terkenal. Sinetron yang tengah digarap (saat itu), di antaranya Mutiara Cinta, Anak Rimba Indonesia (keduanya RCTI), Jalan Kehidupan (Indosiar), Nikita, Maunya Macam-Macam (keduanya RCTI), Intan Tampar Taji, Si Kabayan (SCTV), dll. Sinetron Mutiara Cinta misalnya, dibintangi oleh Bella Esperance, Adjie Massaid, Yati Octavia, Drg. Fadly, Ira Wibowo, Rudi Wowor, Iyut Bing Slamet, Dina Lorenza, Anjasmara, Teguh Yulianto, dan Cindy Faizal dengan sutradara Yopi Burnama. Melihat deretan bintang dan sutradara saja, langsung bisa kita simpulkan bahwa sinetron Mutiara Cinta termasuk sinetron dengan biaya relatif tinggi. “Untuk mewujudkan sinetron yang bagus, kami memang menyiapkan sebuah tim penulis cerita dan skenario, dan mengontrak sejumlah bintang terkenal. Prinsip kami membuat sinetron yang lebih baik dari sebelumnya, dan tetap memperlihatkan perkembangan selera pemirsa,” tutur produser, Ir. Chand Parwez Servia. Parwez juga menilai keberhasilan telenovela Amerika Latin, Jepang, bahkan silat semacam Return of The Condor Heroes (Indosiar), dalam merebut perhatian pemirsa. Salah satunya adlaah kejelian dalam memilih tema cerita dan digarap secara profesional. Ketatnya persaingan dalam pembuatan sinetron menyebabkan larisnya kembali bintang film yang belakangan sepenuhnya main sinetron. Bahkan di antara mereka banyak yang jadi rebutan dengan nilai harga kontrak yang lebih tinggi. Sehingga bintang film senior semacam Drg. Fadly, Yati Octavia, Nenny Triana, belakangan itu menjadi laris. Apalagi bintang muda (masa itu) seperti Desy Ratnasari, Ira Wibowo, Adjie Massaid, Onky Alexander, Paramitha Rusady, dan Didi Petet. Boleh dibilang, dunia sinetron saat itu menjadi artis film yang ‘exodus’ ke dunia sinetron elektronik. Sedangkan PH yang tidak memiliki modal yang kuat, tapi tetap produktif membuat sinetron dengan biaya yang relatif murah, dengan lebih banyak menampilkan pemain-pemain baru cenderung mengejar jadwal tayang siang hari. Ada juga PH yang langsung bekerjasama dengan pihak TV swasta. Artinya, sinetron yang diproduksinya dibiayai pihak TV swasta, sehingga memiliki jadwal tayang yang sudah pasti. Kebutuhan TV swasta terhadap sinetron, memang cenderung meningkat. Tapi sinetron yang baik dan diminati pemirsa, tetap menjadi primadona. Paling tidak, sinetron bertabur bintang, cenderung mendapatkan jadwal tayang yang ideal. Dok. Pikiran Rakyat, 23 Juli 1995, dengan sedikit perubahan |
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer