Originally Posted by MrRyanbandung
YOLANDA cedera berat. Tapi, ia tetap berlatih keras untuk suatu kejuaraan senam. Rupanya, bawah sadarnyalah yang bekerja: ia bergerak dengan mata tertutup, dan tak tahu apa yang ia lakukan.
Menampilkan Vicky Burky, juara senam, bersama Mieke Wijaya, Dicky Zulkarnaen, dan Mbah Surip. Langkah di Tengah Malam ini disajikan dengan bumbu �misteri�. Bahkan, ada peronda dengan wajah cemas. Tiap kali terdengar auman anjing, yang terlanjur memberi kesan seram.
Sikap sutradaranya, Oskar Anwar, berlebihan, untuk naskah Herman Safanta yang kurang memperdalam masalah ini. Di samping konsep penyutradaraan, film ini mengidap pula sejumlah cacat teknis di sana-sini, termasuk garap pemain.
Untung, meski diputar pada hari pertama Sepekan Sinetron HUT ke-27 TVRI, 25-31 Agustus 1989, film ini bukan standar untuk yang lain. Lagipula, sedikitnya ia memperkaya tema yang digarap.
Acara ulang tahun ini memang menyajikan sinetron (sinema elektronik) bermacam tema. Aa masalah wanita karir yang bingung menempatkan diri dalam keluarga ningrat. Ada kisah pemuda kaya yang mencari jati diri. Disajikan pula cerita tentang rumah tangga masa belakangan itu dengan suami pengangguran. Sebuah film menggambarkan kekuatan supranatural yang menggunakan tubuh dua anak kecil. Cerita lain tentang playboy desa yang digarap dengan gaya banyolan. Yang terakhir, potret penari yang ditimpa sejumlah masalah berat, namun berusaha tegar.
BEGITULAH beragam tema yang muncul. Berbagai peringkat naskah yang layak, dan bermacam pula kemampuan sutradara untuk membuatnya menjadi tontonan televisi. Beragam, namun ada kesan serupa, mereka saat itu masih belum beranjak untuk memanfaatkan film sebagai bahasa gambar.
Mustafa umpamanya, tampak sekali bersikap seperti itu dalam menggarap Namaku Gunawan. Bahan ceritanya, sebenarnya bisa menarik: proses perjalanan seorang pemuda untuk menjadi diri sendiri. Gunawan, anak orang kaya sadar, ia selama itu menjadi pribadi seperti dikehendaki orang lain. Keputusannya drastis, menjadi sopir truk.
Tentu saja, film ini terasa kurang bukan hanya karena Mustafa. Naskahnya tulisan Tatiek Maliyati, hanya sedikit menyediakan alasan banting setir sopir mendadak tersebut. Apalagi pemainnya (Ferry Fadli, Hanna Wijaya) kurang mendukung.
Naskah Tatiek yang lain, Ratih Istri Tercinta, bernasib seperti dalam hal dukungan pemain (Nia Zulkarnaen, Johan Saimima, S Bono, Mieke Wijaya, dan Soenarti Suwandi). Padahal, seperti juga yang satunya, ini cerita �besar�. Inti ceritanya, tentang seorang wanita karir yang kikuk menempatkan diri dalam keluarga ningrat, hanya sempat tampil dalam pergulatan masalah di permukaan.
Sikap sutradaranya, Bambang Rochyadi, mungkin juga seirama dengan sikap Tatiek yang mengambil titik-titik ekstrem untuk menyangatkan pertentangan nilai ini. Wanita karir itu, penyanyi di klab malam. Keluarga suaminya yang ningrat, yang entah bagaimana, dalam zaman belakangan itu, masih berkukuh dengan tata cara dan nilai darah birunya. Dan akhir cerita terasa begitu gampangan. Keluarga ningrat itu menonton menantu mereka bekerja, satu kali, dan habislah persoalan. Seolah-olah konflik yang dibangun di muka sudah tak berarti lagi.
RAGAM tema lain yang muncul dalam Sepekan Sinetron ini adalah banyolan. Den Suhadma ini, yang diangkat dari naskah Danny Karly, bertutur dengan sangat sederhana baik dalam bahasa kata-kata maupun gambar. Sutradaranya, Agus Wijoyono, tampak melepas pemainnya (Aom Kusman, Ibing Kusmayatma) dari grup De Kabayan seperti melawak di panggung. Sementara Yetty Syarifah dan Maria Shinta, mendekati gaya sehari-hari. Kisah hidung belang takut istri yang naksir perawan ini menjadi tak beda dengan drama-drama lucu gaya Pangkalan Humor, yang notabene digarap di studio televisi.
Garapan Agus lainnya, Jaring Laba-Laba, lebih mendingan. Naskah saduran Asrul Sani ini bisa sampai ke penonton, meski dengan keluhan di sana-sini. Sedikitnya, sutradara tampak berusaha memegang pemain dengan arahan lebih jelas. Misteri dua anak yang dihinggapi kekuatan roh jahat, cukup tampil dalam mimik dan gerak-gerik Mutiara Sani sebagai pengasuh, maupun Chitra Dewi yang menjaga rumah. Musik dan gambarnya sering mampu menghadirkan suasana, meski teknologi televisi tampak kurang dimanfaatkan dengan baik.
Agus Wijoyono memang membingungkan. Ia bisa sembrono, tapi bisa juga lebih teliti. Hal terakhir ini, ia tunjukkan dalam Juwita, yang diputar pada hari keenam, 30 Agustus 1989. Di tangannya, dua pemain utama tampak bisa menghidupkan adegan. Juwita (Minati Atmanegara) mulai mampu mengolah diri menjadi wanita bekerja yang capai secara psikis menghadapi ulah suaminya. Sedang Asrul Zulmi mengimbanginya sebagai suami pengangguran. Pemimpi, satu kali menjadi gigolo untuk sekadar mendapat uang, namun toh tetap mencintai keluarganya. Keduanya peran yang cukup berat, yang dengan bagus disiapkan oleh penulis naskahnya, N Riantiarno.
NASKAH yang baik, mungkin bisa menjadi kunci untuk memahami sutradara seperti Agus. Naskah Riantiarno rupanya merangsangnya (satu modal seorang seniman untuk bekerja sepenuh hati). Lihat betapa ia saat itu cukup lancar menjaga irama permainan dalam gaya kilas balik) perkara yang buat banyak sutradara bisa jadi sandungan.
Menariknya, naskah itu pula rupanya yang menyemangati Mustafa. Ia mengecewakan dalam Namaku Gunawan, namun cukup tangkas ketika menggarap Senja di Kaki Bukit yang digarap pada hari terakhir, 31 Agustus 1989.
Tokoh penari tua, Nyi Eneh (diperankan dengan baik oleh Dyah Jamhur) di situ bisa tampil sebagai penjaga tradisi berhadapan dengan berbagai institusi baru (orang Jakarta, wartawan, pariwisata) sambil berusaha memahaminya. Di samping itu, ia dirangrong dengan berbagai beban keluarga anak lelakinya (Dhanny Karly) yang biseks, kabur ke kota, dan tewas tertembak sebagai penjahat. Sebelumnya, menantunya (Rita Sheba) yang jadi primadona grup seni topengnya, depresi berat.
Beban itu tampak dalam tatapan mata Nyi Enoh, gerakan tangannya ketika merokok, cara duduk, maupun ucapan-ucapannya yang pendek dan keras. Alex Suprapto, penulis naskahnya menyediakan ruang berkiprah yang cukup untuk sutradaranya.
MEMANG, hanya dua dari tujuh film ini yang cukup layak tonton: Juwita, dan Senja di Kaki Bukit. Alasannya, kalau dicari, tentu ada saja. �Waktunya sering kurang lama,� tutur Mustafa. �Kalau sebuah adegan tidak jelek-jelek amat, ya tidak usah digarap ulang.� Persiapan untuk Sepekan Sinetron untuk HUT ke-27 TVRI ini praktis hanya dua bulan. �Sudah untung, semua siap pada waktunya,� tutur Ananto Widodo, dari bagian drama.
Dalam satu tahun, TVRI saat itu menyiarkan tiga kali pekan sinetron. Dua yang lain adalah untuk bagian tradisional dan menjelang Tahun Baru. Ketiga pekan itu membutuhkan 21 sinetron. Sementara mereka juga harus membuat 26 drama moern, 24 drama akhir pekan, 26 sajian tradisional, 40 drama remaja, dan 52 cerita anak. Kalau dipikul rata, praktis dalam dua hari harus disiapkan satu paket tontonan drama.
�Produktivitas kami malah lebih tinggi dari Inem Film,� gurau Irwinsyah, sutradara andal yang belakangan itu menjabat kepala seksi drama TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Inem Film yang disebutnya, terkenal sebagai pembuat film bioskop yang saat itu sangat produktif.
Gurauannya sebenarnya pahit. �Tenaga kami sangat terbatas, yang siap pakai hanya sekitar lima orang, dan yang yunior sejumlah itu pula. Idealnya, dengan beban seperti ini, kami butuh sepuluh orang yang siap pakai, dan 15 yunior,� kata Irwinsyah saat itu.
Itu belum menyangkut soal ongkos produksi yang rata-rata Rp 20 juta setiap nomor, serta peralatan luar studio yang hanya dua urut. Waktu shooting umumnya hanya 20 hari, termasuk menata set.
Jadi, kalau saat itu masih kecewa, pemirsa harap maklum. Bagaimanapun, dua dari tujuh yang ditayangkan, bisa menjadi alternatif dari film-film nasional yang jorok di bioskop.
Dok. Kompas, 3 September 1989, dengan sedikit perubahan
|