HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Senin, 2024/04/24 11:43 WIB
Mooryati Soedibyo, Pendiri Mustika Ratu, Meninggal Dunia Dalam Usia 96 Tahun
-
Senin, 2024/04/24 11:29 WIB
KPU Tetapkan Prabowo Jadi Presiden dan Gibran Wakil Presiden Baru RI
-
Senin, 2024/04/24 11:47 WIB
Ganjar Mengaku Tak Diundang ke Penetapan Prabowo-Gibran
-
Senin, 2024/04/24 12:17 WIB
25 Makam Nabi dan Rasul Allah SWT
-
Sabtu, 2024/04/23 14:49 WIB
PAN Siapkan Eko Patrio-Zita Anjani Pilkada Jakarta, Desy Ratnasari di Jabar
-
Kamis, 2024/04/21 10:11 WIB
Cak Imin Balas Wasekjen PBNU soal Bela Gus Ipul: Nggak Nanggepi Pengangguran
|
Thread Tools |
4th March 2019, 00:56 |
#1
|
Mania Member
|
Tabuh Genderang Perang: Media India yang Haus Darah
Salah satu hal yang terutama mengkhawatirkan adalah bagaimana media berita India, khususnya televisi, berkontribusi terhadap tekanan itu, menukar tanggung jawab jurnalistik dengan histeria ala tabloid. Jurnalis televisi terkenal mengabaikan kepura-puraan objektivitas, menulis dukungan mereka di Twitter terhadap serangan balasan India. Seorang pembaca acara berita televisi, Gaurav Sawant, menulis tweet bahwa India harus âMenyerang lagi & lagi.â
Oleh: Vaishnavi Chandrashekhar (Foreign Policy) Jika India dan Pakistan dapat menyelesaikan konflik mereka, hal itu tidak akan disebabkan oleh media India. Sejak serangan bunuh diri di Pulwama, Kashmir yang menewaskan lebih dari 40 tentara paramiliter India pada tanggal 14 Februari 2019, jaringan berita televisi India telah mendorong pertikaian, seperti halnya warga biasa di media sosial. Serangan itu dilakukan oleh seorang pengebom bunuh diri dari kelompok teroris Jaish-e-Mohammed. India menyalahkan Pakistan karena telah menyembunyikan dan mensponsori kelompok tersebut. âKami ingin balas dendam, bukan penghukuman. Sudah waktunya untuk darah, darah musuh,â teriak Arnab Goswami, seorang pembaca berita yang terkenal agresif, sehari setelah serangan itu. Bahkan istri dari salah satu tentara yang terbunuh, Mita Santra, diserang secara online ketika dia mempertanyakan kegagalan untuk mencegah serangan dan mendukung dialog damai dengan Pakistan. Beberapa memanggilnya pengecut, sedangkan yang lain berkata bahwa dia tidak mencintai suaminya. Namun para jenderal purnawirawan dan diplomat yang mengomentari masalah ini sama sekali tidak mendukung tingkat agresivitas yang sama, membuktikan bahwa biasanya mereka yang tidak memiliki pengalaman perang merupakan yang paling antusias tentang hal itu. Sudah lama sejak India benar-benar bertempur penuh, alih-alih berurusan dengan pemberontakan dan serangan teroris, dan kurangnya pengalaman tampaknya telah memberikan satu generasi orang India ide-ide yang salah kaprah tentang kejayaan dalam pertempuran dan kemenangan. Berbagai tanggapan itu adalah bagian dari jingoisme yang secara rutin mengambil alih wacana publik di India, memicu ketegangan sekaligus menyamarkan isu-isu besar intelijen, strategi, dan sumber daya militer. Di seberang perbatasan India, di Pakistan, terdapat dinamika yang sama. Namun, India merupakan pihak yang memiliki keuntungan militer, di mana jingoisme bisa terbukti sangat berbahaya. Selama dua pekan terakhir, tagar seperti #AvengePulwama dan #surgicalstrike2 (merujuk pada pertempuran terakhir antara India dan Pakistan pada tahun 2016) telah mendominasi laman media sosial di India, secara perlahan ketika pasukan udara kedua pihak baku tembak minggu ini. Pembaca berita televisi tidak jauh ketinggalan dalam upaya kompetitif mereka menabuh genderang perang, salah satunya bahkan mengenakan seragam tentara dan melambaikan pistol mainan, serta tindakan mereka melabeli orang-orang yang bersuara lunak mengenai perang sebagai âanti-nasional.â Di India, frase anti-nasional seringkali digunakan untuk mempertanyakan patriotisme atau kesetiaan seseorang, terutama menargetkan kaum kiri atau aktivis perdamaian. Seorang komentator di Twitter menegaskan bahwa mereka yang tidak mendukung langkah pemerintah India adalah âpengkhianat.â Suatu hal yang tidak terdengar di tengah semua kehebohan ini adalah upaya pencegahan, yang telah disoroti oleh janda Mita Santra. Seperti di Amerika Serikat dan negara-negara lain yang tidak memiliki wajib militer, persentase orang India yang telah bertugas di angkatan bersenjata relatif kecil. Angka tersebut bahkan lebih kecil di kalangan elit, terutama ketika ekonomi India telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir. Pejuang media sosial pemberani dan pembaca berita televisi telah menyaksikan aksi-aksi terorisme yang menghancurkan dalam seumur hidup mereka, tetapi hanya sedikit dari mereka yang cukup umur untuk mengingat perang nyata terakhir India dengan Pakistan: pertempuran 22 hari pada tahun 1965, yang menewaskan 11.500 jiwa, dan perang 1971 yang mengarah pada terbentuknya Bangladesh. Terlepas dari nyawa yang gugur, konflik-konflik itu memiliki dampak yang sangat nyata pada kehidupan sehari-hari dan perdagangan bahkan di seluruh negeri. Tahun 1965, terdapat kebijakan penjatahan di India selatan, jauh dari perbatasan dengan Pakistan. Selama kedua perang terdapat tindakan pemadaman listrik dan jam malam hingga sirene dan latihan, seperti yang dilaporkan surat kabar dari waktu itu. âDi bawah keberanian bocah kekanak-kanakan saat itu, kami semua sangat ketakutan,â tulis seorang warga India yang masih berusia anak sekolah pada saat perang tahun 1971. Emosi tinggi setelah serangan teroris dapat dipahami, terutama di ruang publik di semua media sosial. Kemarahan itu memang bisa dibenarkan: Perlindungan Pakistan terhadap kelompok teroris adalah masalah besar bagi India. Namun, retorika yang tidak terkendali dapat menimbulkan konsekuensi berbahaya: Kashmir di bagian lain India telah menghadapi ancaman, misalnya. Retorika juga memberi tekanan pada pemerintah Perdana Menteri India Narendra Modi yang sudah agresif untuk membalas dengan cara tertentu, terutama dengan pemilihan umum yang akan segera diselenggarakan di India. Salah satu hal yang terutama mengkhawatirkan adalah bagaimana media berita India, khususnya televisi, berkontribusi terhadap tekanan itu, menukar tanggung jawab jurnalistik dengan histeria ala tabloid. Jurnalis televisi terkenal mengabaikan kepura-puraan objektivitas, menulis dukungan mereka di Twitter terhadap serangan balasan India. Seorang pembaca acara berita televisi, Gaurav Sawant, menulis tweet bahwa India harus âMenyerang lagi & lagi.â Sementara itu, kelompok pemeriksa fakta independen telah berjuang untuk mengimbangi serangkaian video dan gambar palsu yang beredar. (Ini bukan pertama kalinya berita televisi India bertindak dengan tidak bertanggung jawab. Selama serangan teroris Mumbai 2008, berbagai kanal secara langsung menyiarkan komando yang sedang beraksi dan membahayakan operasi tersebut.) Intensitas drama media hanya dapat disaingi oleh kelangkaan informasi yang dapat dipercaya. Serangan balasan India pertama kali dikomunikasikan dalam pengarahan oleh seorang pejabat senior yang membagikan beberapa rincian dan tidak menerima pertanyaan. Namun rincian yang belum dikonfirmasi, yang kemungkinan dibocorkan oleh apa yang disebut sumber-sumber yang sangat penting, mengalir sepanjang hari dari jaringan berita dan bahkan surat kabar, termasuk jumlah korban yang bervariasi dari 300 hingga 600 jiwa. Sebuah laporan Reuters dari lapangan di Pakistan kini menunjukkan serangan India terhadap Balakot tidak menimbulkan banyak kerusakan. Seperti yang ditunjukkan oleh salah satu komentator media, jurnalis terlalu bersedia untuk âmereproduksi informasi yang tidak diverifikasi, kontradiktif, dan spekulatifâ yang cocok dengan pemerintah. Pembaca berita maupun para pakar tampaknya terlalu bersemangat dalam membicarakan konflik dan sama sekali tidak mempertanyakan jajaran pemimpin India. Berikut adalah beberapa pertanyaan yang gagal ditanyakan oleh banyak media India dalam dua pekan terakhir: Di mana foto-foto serangan terhadap Balakot? Siapa yang dibawa keluar? Apakah Pakistan siap menghadapi serangan udara, seperti yang ditunjukkan dalam beberapa laporan? Apa strategi pembalasan yang sedang diterapkan? Pantaskah perdana menteri menyampaikan pidato kampanye sehari setelah serangan? Bagaimana bisa lebih dari 40 tentara tewas dalam serangan bom bunuh diri tanggal 14 Februari 2019: Apakah ada kegagalan intelijen atau komunikasi? Selagi sibuk bersorak atas kericuhan perang, media India telah lupa mempertanyakan pertanyaan penting yang akhirnya dilontarkan oleh seorang janda prajurit muda. https://www.matamatapolitik.com/opin...dengan-perang/ |
detikNews
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer