HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Rabu, 2024/03/28 12:03 WIB
Harvey Moeis Suami Sandra Dewi Tersangka Korupsi Timah, Pakai Rompi Pink
-
Rabu, 2024/03/28 12:33 WIB
Penampilan Ammar Zoni Berjenggot Saat Tiba di Kejari Jakarta Barat
-
Rabu, 2024/03/28 12:52 WIB
Lolly Pulang ke Indonesia, Nikita Mirzani: Dia Dideportasi dari Inggris
-
Rabu, 2024/03/28 16:10 WIB
Momen Langka, 3 Anak Michael Jackson Berpose Bersama di Karpet Merah
-
Rabu, 2024/03/28 16:36 WIB
Celine Evangelista Makin Serius Dalami Islam
-
Rabu, 2024/03/28 12:44 WIB
Pemain Sinetron Ojek Pengkolan, Sopyan Dado Meninggal Dunia
|
Thread Tools |
1st December 2010, 12:34 |
#121
|
Silver Member
|
Chloe
Cast : Julianne Moore, Liam Neeson, Amanda Seyfried Cerita ttg seorang istri yg sudah tidak percaya diri krn merasa dirinya sudah tidak cantik, dan curiga suaminya punya WIL. apalagi dimalam ultah kejutan buat suaminya, suaminya malah tidak hadir dengan alasan ketinggalan pesawat. dan tanpa sengaja sang istri membaca sms dari mahasiswi suaminya bahwa malam itu mrk bersama, makin membuat istri ini uring2an. secara kebetulan sang istri bertemu dengan seorang gadis cantik disebuah restoran yg akhirnya dibayar oleh dia utk menggoda suaminya. mulailah semua rencana2. ternyata itu adalah awal dari semua masalah sang istri. mau tau apa masalahnya? silahkan cari dilapak2 DVD terdekat. Film drama keluarga yang minim konflik. datar2 saja. sang anak yg kerap membangkang jg tidak dijelaskan alasan knp tidak suka dengan mamanya. menurut gue chemistry antara liam dan julianne jg kgk dapat. biasa aja filmnya. keunggulannya cm dari daftar pemainnya apalagi ditambah actress cantik yg laris manis Amanda Seyfried yang untungnya bermain cukup menyakinkan. nilai dari gue 6.5 / 10 |
|
1st December 2010, 12:34 |
#122
|
Honorary Citizen
|
^
^ Kaya punya mainan baru aja |
1st December 2010, 12:35 |
#123
|
Silver Member
|
Kick-Ass
Plasa Senayan XX1 Cast : Aaron Johnson, Christopher Mintz-Plasse, Chloe Moretz Film dibuka dengan sekelompok orang yang merasa "terbuang" dilingkungan sekitarnya. salah satu dr mereka pengen jadi superhero. krn menurut dia batman tanpa kekuatan super bisa menolong orang. knp dia enggak. singkat cerita jadilah dia sebagai super hero pembela kebenaran. ternyata modal niat dan keberanian aja tidak cukup. dilain tempat muncul bapak anak yang memang bener2 punya keahlian bela diri yg cukup mumpuni. balas dendam menjadi motif bapak anak ini menjadi jagoan. suatu keadaan mempertemukan mrk dan nasib pula yang menjadikan mrk saling berhubungan. Setengah jam awal dihinggapi rasa bosan krn seperti film tidak bermutu apalagi terganggu dengan banyaknya orang tertawa dibioskop padahal lucu yg ditampilkan standard2 aja. tapi setelah itu film ini lumayan menghibur (walau tdk bisa dikatakan bagus banget). melihat si cewek kecil beraksi menjadi keasikan tersendiri. oh yah ternyata si hit girl masih kecil banget (seumuran sama ponakan gue) kirain udah remaja, soalnya banyak anak forfil yang tergila2 sampai memajang photonya segala nonton film ini seperti menonton film spy kids melihat anak kecil memiliki kemampuan luar biasa yang diluar nalar oh yah kenapa yah film superhero pdhal muka udah jelas2 keliatan tapi orang2 sekitarnya bisa kgk ngenalin termasuk sahabat2nya? (contoh kick ass, hitgirl, red mist, superman dll) nilai dari gue 7.2 / 10 |
|
1st December 2010, 12:35 |
#124
|
Mania Member
|
The Social Network (2010) Mark Zuckerberg: "Did you know there are more people with genius IQ's living in China than there are people of any kind living in the United States?" facebook, siapa sih yang tidak mengenal jejaring sosial fenomenal satu ini ? facebook telah merubah cara manusia berkomunikasi dengan lebih mudah, lebih murah dan tentunya jauh lebih menarik dan menyengkan. facebook juga memungkinkan para penggunanya bertemu dengan kawan-kawan lama mereka yang susah dilakukan lewat pesawat telepon, singkat kata sejak kemunculan pada Februari 2004 lalu facebook telah merubah dunia, dan melalui The Social Network kita akan mengetahui bagaimana situs jejaring sosial beranggotakan 500 juta orang diseluruh dunia ini bermula melalui kisah seorang nerd 19 tahun bernama Mark Zuckerberg. Mungkin tidak pernah ada facebook jika pada tahun 2003 lalu Mark Zuckerberg (Jesse Eisenberg), geek yang juga mahasiswa Harvard jurusan psikologi ini tidak dicampakan oleh kekasihnya, Erica Albright. Marah dan kecewa Mark kemudian ia melampiaskan kekesalannya itu melalui hobinya di dunia maya, khususnya pada kegemarannya menulis blog yang kemudian berujung terbentuknya FaceMash yang dibuatnya bersama sahabatnya Eduardo Saverin. Ya, diluar dugaan dalam waktu singkat FaceMash 'meledak' dan digandrungi oleh para mahasiswa, khususnya para mahasiswa laki-laki di universitas paling bergengsi di dunia itu, dan juga menjadi 'benih' terbentuknya sebuah 'pohon raksasa' bernama facebook. The Social Network tidak melulu menceritakan kisah-kisah manis dibalik sejarah berdirinya situs yang awalnya bernama thefacebook ini, namun juga kisah-kisah kelam dibaliknya, kisah tentang ambisi, keserakahan, pengkhiantan, persahabatan, etika yang rusak menjadi 'bumbu pedas' film sepanjang 2 jam ini. Acungan jempol jelas pantas diberikan kepada dua orang yang berada dibalik pembuatan film ini. Ada Aaron Sorkin sebagai penulis naskah yang sebelumnya sukses menggarap naskah bagi serial televisi West Wing ini terbilang sangat berhasil mengubah kisah semi-biopik yang diadaptasi dari novel bestseller The Accidental Billionaires buah karya Ben Mezrich. Cerita yang coba dihadirkan oleh Sorkin ini terbilang cukup kontroversial, karena tidak langsung bersumber dari seorang Mark Zuckerberg sendiri atau para pendiri facebook lain yang mentah-mentah menolak bahkan menentang dibuatnya film ini. Jadi mau tidak mau Mezrich mencari sumber lain seperti dari data-data dan berbagai wawancara dengan saksi-saksi. Jadi walaupun The Social Network diangkat dari kisah nyata namun tentang benar atau tidaknya tergantung dari bagaimana interpretasi setiap penontonnya. The Social Network memang bukanlah tipikal film yang biasa dihasilkan oleh seorang David Fincher. Semenjak The Curious of Benjamin Button 2008 lalu, sutradara berjulukan prince of darkness ini tampaknya mulai sedikit 'lembut' dalam menghadirkan karya-karyanya, walaupun The Social Network sendiri masih menghadirkan aura kelam, gelap dan dingin yang menjadi ciri khasnya, namun tetap saja fell film ini terasa lebih ceria jika dibandingkan dengan Seven, Fight Club maupun The Game. Seperti biasa Fincher selalu bisa menghadrikan momen-momen menarik dengan tempo cukup cepat secepat dialog-dialog cerdas-bahkan terkadang sulit dimengerti bagi beberapa penonton- yang keluar dari mulut para karakternya plus alut maju mundur yang semakin membuat The Social Network menyenangkan untuk ditonton. Kehadiran para cast yang mempesona menjadi daya tarik lain The Social Network. Jesse Eisenberg terbilang pas memainkan karakter 'abu-abu' Mark Zuckerberg, seorang yang jelas jenius dan penuh inspirasi namun disisi lain juga adalah seorang pemuda yang kelewat percaya diri alias narsis, idealis, egois dan kurang menghargai arti persahabatan, sebuah karakter yang mungkin tidak pernah dibanyangkan oleh para penontonnya sebelumnya. Andrew Garfield mungkin adalah karakter yang paling intens penampilannya selain Eisenberg. Aktor yang namanya mulai dikenal sebagi pengganti Tobey Maguire dalam reboot Spiderman ini dengan sukses menghadrikan karaktrer emosional seorang Eduardo Saverin, sahabat sekaligus salah satu pendiri facebook yang banyak mendapatkan simpati penontonnya. Dan terkahir ada nama Justin Timberlake yang bermain cukup baik sebagai Sean Parker, pendiri Napster yang juga seorang opurtunis manipulatif. The Social Network memang bukan yang terbaik dari seorang David Fincher, namun tetap saja Ia dan Aaron Sorkin sudah melakukan 'pekerjaan rumah' mereka dengan baik. The Social Network bukan hanya sekedar sebuah kisah tentang bagaimana raksasa facebook itu lahir dari seorang jenius bernama Mark Zuckerberg, namun juga bagaimana konflik-konfik menarik dan dilema moral yang menyertainya menjadikan The Social Network sebuah drama yang wajib ditonton bagi siapa saja yang ingin mengetahui sejarah berdirinya facebook lebih dekat. 7,8/10 |
visit my blog
|
1st December 2010, 12:36 |
#125
|
Mania Member
|
Altitude (2010) " Don't Look Down " Story: Tanpa menghiraukan larangan ayahnya, Sara (Jessica Lowndes) bersama ke empat sahabatnya tetap saja nekad melakukan perjalanan liburan akhir pekan mereka dengan menggunakan pesawat terbang yang disewa dan dipiloti oleh Sara. Sudah bisa ditebak tidak lama setelah lepas landas kecerian di wajah kelima remaja tersebut mendadak berubah menjadi kecemasan. Pesawat tersebut mendadak mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat dikendalikan dan melesat tinggi ke angkasa. Kehilangan kendali pesawat ternyata bukanlah satu-satunya masalah utama. Mereka masih harus menghadapi bahan bakar yang akan habis, kehilangan komunikasi dengan pengawas penerbangan dan kupulan awan badai yang mulai mendekat, dan dari sinilah mimpi buruk mereka baru saja dimulai......... Review: Altitude, mungkin thriller produksi Kanada satu ini tidak terlalu dengar gaungnya, wajar saja, selain film ini dirilis langsung ke format video, kualitasnya pun tidak jauh-jauh dari thriller kelas B kebanyakan yang buruk di penggarapan dan akting amatiran dari aktor dan aktrisnya. Ya, memang saya cukup tersiksa melihat segala kekurangan film ini, mulai dari efek yang terlihat murahan sampai naskah dan dialog yang kacau, namun jika mau sedikit bersabar, setidaknya tunggulah sampai pertengahan, film ini akan sedikit membaik, ya, sedikit, namun itu cukup mengusik rasa penasaran saya untuk menyaksikannya hingga akhir. Jujur saja harus saya akui konsep yang diusung oleh film besutan Kaare Andrews yang juga seorang penulis komik ini sebenarnya terbilang sangat menarik dan orisinil. Dari awal hingga pertengahan penonton diajak untuk mempercayai bahwa Altitude hanyalah thriller standar yang hanya mengandalkan ketegangannya pada situasi gawat darurat dalam sebuah pesawat udara kecil karena kendala teknis dengan penyebab yang cukup masuk akal, namun siapa sangka menginjak paruh kedua film ini merubah halauannya menjadi thriller fantasi-suprantural. Jika anda pernah menyaksikan salah satu episode dalam Twilight Zone: The Movie yang berjudul Nightmare at 20,000 Feet mungkin kurang lebih seperti itulah kira-kira yang terjadi dalam paruh kedua Altitude, bedanya disini terjadi dalam ruang lingkup yang lebih sempit dengan hanya mengandalkan lima karakter sepanjang 90 menit. Perubahan radikal yang terjadi memang memberikan pengaruh cukup besar terhadap kisah Altitude yang ditutup dengan ending yang cukup mengejutkan, sebuah ending berkelas yang juga menjadi satu-satunya bagian terbaik film ini, ending yang mengingatkan saya pada sebuah thriller indie luar biasa berjudul Donnie Darko Ya, harus diakui secara teknis Altitude tampil mengecewakan, tidak jauh berbeda dari yang ditampilkan kebanyakan film-film kelas dua lainnya, lemah hampir disemua bagiannya. Padahal jika saja Kaare Andrews mau memaksimalkan ide cerita yang tergolong menarik dan orisinil ini niscaya Altitude tentu tidak akan tampil 'setengah matang' seperti ini. Watchable, Yet Not Likable. 6/10 |
visit my blog
|
1st December 2010, 12:36 |
#126
|
Mania Member
|
The Kids Are All Right (2010) Story: Keluarga sempurna dan bahagia jelas merupakan impian bagi siapa setiap manusia normal di dunia ini, tidak terkecuali bagi pasangan lesbian, Jules (Julianne Moore) dan Nic (Annette Bening) yang sudah 20 tahun ini hidup bahagia bersama kedua anak mereka, Joni (Mia Wasikowska) dan Laser (Josh Hutcherson) yang terlahir melalui proses 'pencangkokan' sprema dari donor yang tidak diketahui identitasnya. Suatu hari di sebelum kepergiannya untuk melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah, Joni dan Leser berinisiatif untuk mencari tahu siapa ayah kandung mereka sebenarnya. Dan tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk bertemu dengan ayah biologis mereka, seorang pengusaha restoran bernama Paul (Mark Ruffalo). Pertemuan perdana mereka bertiga ternyata berjalan lancar, Joni dan Leser terkesan dengan gaya hidup bohemian Paul, dan Paul pun rupanya juga tertarik dengan kehidupan dua 'anak'nya ini. Sampai akhirnya Jules dan Nic yang mengetahui keberadaan Paul kemudian mengundangnya makan siang untuk mengenal lebih dekat pendonor sperma mereka ini. Kehadiran Paul dalam keluarga Jules dan Nic rupanya sedikit demi sedikit mulai membuka tabir bahwa kehidupan pernikahan mereka ternyata tidak sebahagia yang mereka banyangkan. Nic, yang juga adalah seorang dokter adalah pribadi yang keras dan disipilin, ia lebih banyak menggunakan otaknya ketimbang perasaannya dan juga terkadang ia tidak memiliki banyak waktu bagi Jules dikarenakan pekerjaannya itu. Sementara Jules sendiri adalah kebalikan dari Nic, Ia adalah tipe wanita berpikiran lebih terbuka yang memandang segala sesuatu lewat perasaanya, singkat kata Nic adalah sang "suami' dan Jules adalah seorang 'istri'. Kurangnya perhatian Nic akhir-akhir ini kepada Jules rupanya membuat wanita cantik berambut merah ini menjadi lebih dekat dengan Paul, dimana akhirnya sebuah tindakan yang dilakukanya membuat rumah tangga mereka yang sudah dibangunnya selama ini berada di ujung tanduk. Review: Tema Lesbian yang cenderung sensitif ini bisa jadi membuat The Kids Are All Right menjadi sebuah sajian yang berbeda jika dibandingkan dengan drama-drama keluarga lain selama ini sudah dibuat. Namun tampaknya bukan hanya tema tentang hubungan sejenis saja yang ingin diangkat oleh sutradara wanita asal Amerika, Lisa Cholodenko (Laurel Canyon) dalam film layar lebar keenamnya ini, film yang juga ditulisnya bersama Stuart Blumberg ini juga bercerita tentang bagaimana suka duka yang harus dialami, tidak hanya bagi pasangan gay dalam kasus The Kids Are All Right, namun juga bagi pasangan 'normal' lain bahwa membina hubungan dalam ikatan pernikahan itu ternyata tidaklah mudah, meskipun hubungan itu sudah dibina cukup lama. Di butuhkan saling pengertian dan yang pasti kekonsitenan hati agar kehidupan rumah tangga yang harmonis tetap terjaga dengan baik. Cholodenko jelas sudah melakukan tugasnya dengan baik. Bersama Blumberg Ia berhasil menghasilkan sebuah kisah drama keluarga yang ringan dan mudah di cerna namun tetap tidak kehilangan bobotnya sebagai sebuah drama berkualitas. Seperti yang sudah saya singgung diataas, Cholodenko tidak melulu terlalu mengkesploitir habis-habisan hubungan cinta antara karakter Nic dan Jezz, yang ada malah Cholodenko menyajikannya dengan lembut sehingga tidak terlalu terksan vulgar. Hubungan keduanya dengan anak mereka pun juga berhasil tergambar dengan sangat baik, bahkan penontonnya mungkin tidak akan merasakan lagi bahwa Nic dan Jezz adalah pasangan 'abnormal' melainkan orangtua biasa yang berusaha memberikan terbaik bagi anak-anak mereka. Menariknya lagi, The Kids Are All Right tidaklah seserius yang saya banyangkan sebelumnya, meskipun terdapat beberapa momen-momen dan konfilk-konflik serius didalamnya, namun Cholodenko membungkusnya dengan dialog-dialog cerdas dan beberapa elemen komedi yang menjadikan film judulnya diambil dari judul lagu ini menjadi lebih segar, menarik dan menghibur, dan yang jelas film ini mampu menyampaikan pesannya dengan baik tanpa terkesan menggurui. Tema yang menarik dan kisah yang dibangun dengan kuat semakin disempurnakan dengan penampilan dua aktris utamanya. Ya, baik Annette Bening dan Julianne Moore sudah memberikan performa terbaik mereka dalam membawakan karakter Nic dan Jules sebagai pasangan lesbian yang saling mencintai. Terlihat sekali baik Bening maupun Moore tampak sangat menikmati peran yang terbilang menantang ini. Lihat saja bagaimana mereka saling berbicara, bertatap mata, bercanda, berciuman maupun berpelukan, benar-benar layakanya pasangan yang memang sudah lama hidup bersama, sebuah chemistry kelas satu yang sukses dihadirkan oleh dua aktris kaliber Oscar ini. Selain Moore dan Bening, masih ada Mark Ruffalo yang juga tampil cukup baik walaupun tampaknya kehadirannya hanya sebagai sumber masalah sekaligus penghibur saja disini. Tidak mau ketinggalan dengan para seniornya, dua pemain mudanya, Mia Wasikowska dan Josh Hutcherson pun menampilkan performa apik, khususnya bagi Wasikowska, setidaknya penampilan aktis berusia 21 tahun disini jauh lebih baik ketimbang disaat ia berperan sebagai Alice dalam Alice in Wonderland. Overall, tampaknya tidak terlalu susah untuk menempatkan The Kids Are All Right sebagai salah satu drama terbaik tahun ini. Sebuah kisah keluarga yang berbeda dan sangat menarik yang berhasil disajikan degan ringan oleh Lisa Cholodenko tanpa harus terlalu banyak menonjolkan tema lesbian yang mendasarinya. Apalagi The Kids Are All Right juga didukung oleh jajaran aktris dan aktor kelas atas yang bermain dengan sangat fantastis disini. Oscar?!! why not. 8/10 |
visit my blog
|
1st December 2010, 12:36 |
#127
|
Silver Member
|
A Nightmare on Elm Street
Plasa Senayan XXI Cast : Katie Cassidy, Kellan Lutz, Rooney Mara, Kyle Gallner Film bercerita tentang mimpi buruk yang menimpa beberapa remaja yg didalamnya ada seorang pria bermuka buruk bernama freddy yg kerap menghantau mimpi mrk. mereka walaupun tidak mengenal secara akrab tapi mrk satu sekolah. kejanggalan2 mimpi mrk menjadikan mrk saling curhat. sialnya ternyata mimpi itu bukan hanya mimpi biasa tapi ikut meneror mrk didunia nyata dan imbasnya nyawa mrk melayang. tinggal dua remaja yang masih hidup dan mencoba mencari tau apa yg menghubungkan mrk dengan mimpi2 itu dan apa kenapa cm mereka aja yg mengalami? harus bagaiman dan knp harus mrk? cari jawabannya dengan menonton dibioskop kesayangan anda. Formula film horor yang memakai actor actress berwajah tampan dan cantik seperti si sexy ella diserial melrose place atau si emmeth ditwilight ditambah beberapa wajah baru lainnya serasa makin mengukuhkan film ini menjual keindahan wajah2 pemainnya. adegan2 yang cukup mengagetkan cukup banyak tapi yah gitu aja tak ada yg baru. sebenarnya horor yang lumayan tapi bagi gue biasa banget (krn gue adalah pecinta film2 horor). dan sepanjang film tidak merasa takut sama sekali. nilai dari gue 5.8 / 10 |
|
1st December 2010, 12:37 |
#128
|
Mania Member
|
Les 7 jours du talion / 7 Days (2010) Story: Bruno Hamel, yang berprofesi sebagai seorang dokter bedah kenamaan mungkin tidak pernah menyangka bahwa pagi itu akan menjadi pagi terakhir baginya melihat wajah cantik Jasmine, putri semata wayangnya yang dua minggu kedepan akan genap berusia 9 tahun. Hidup normalnya bersama sang istri harus hancur berantakan ketika Ia mendapati bahwa Jasmine telah menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan brutal yang dilakukan oleh seorang pedofil. Meskipun sang pelaku telah berhasil ditangkap beberapa hari kemudian oleh para pihak berwajib namun hal tersebut tak lantas membuat Bruno bisa menerimanya begitu saja. Diliputin dengan rasa kehilangan dan dendam luar biasa Bruno kemudian menyusun sebuah rencana besar bagi sang pelaku. Ia menculik dan menyekap sang pedofil disebuah rumah terpencil, dimana disana Bruno sudah menyiapkan segalanya, ya, segalanya selama 7 hari untuk membuat orang yang telah menghancurkan hidupnya itu membayar lunas kejahatan yang telah dilakukannya. Review: Terkadang dendam kesumat, amarah yang memuncak, rasa duka yang mendalam atau apalah namanya mampu membuat seorang manusia normal melakukan sesuatu di luar akal sehat, sesuatu yang mengerikan yang mungkin tidak pernah dibanyangkannya sebelumnya. Yang menjadi pertanyaan apakah tindakan vigalante atau main hakim sendiri dapat dibenarkan? pertanyaan yang dengan mudahnya dijawab "tidak" bagi orang yang tidak pernah mengalami hal tragis seperti yang dialami oleh karakter utama kita ini. Ya, ambiguitas moral menjadi sajian utama yang coba diangkat oleh sutradara Daniel Grou dalam thriller satu ini. Jika melihat sinopsis diatas mungkin hampir semua penontonnya akan berekpektasi bahwa 7 Days akan tampil layaknya film-film torture porn lain yang berisi adegan-adegan penyiksaan sadis kebanyakan atau setidaknya mirip-mirip lah dengan sebuah thriller Hollywood, The Last House on The Left yang sama-sama mengusung tema balas dendam sebagai pondasi ceritanya. Tidak sepenuhnya salah memang, namun jelas terdapat perbedaan besar antara 7 Days dan film-film sejenis. 7 Days bukan hanya sebuah torture porn biasa, ia juga mampu menjadi thriller psikologis dan sebuah film art house disaat bersamaan. Dengan atmosfer yang mengingatkan saya kepada thriller-thriller milik Michael Haneke yang kebanyakan diisi dengan alur super lambat, sunyi, dialog minim, karakterisasi kuat, simbolisme dan teknik pergerakan kamera dinamis. Jadi jangan mengharapkan 7 Days tampil layaknya Hostel ataupun Saw meskipun film ini tetap menampilkan adegan-adegan penyiksaan yang menganggu, banyangkan saja bagaiman seorang dokter bedah jika melalukan penyiksaan, mengerikan pastinya, namun bukan hal itu yang menjadi perhatian utama film yang naskahnya diadaptasi dari novel berjudul sama karya Patrick Senécal melainkan bagaimana pergolakan batin yang harus dialami oleh karakter utamanya. Pendek kata 7 Days ''menyerang' penontonnya secara psikologis ketimbang dengan visual atau adegan-adegan mengerikan. Tidak ada soundtrack atau scoring sama sekali disini, sepertinya Daniel Grou sengaja 'membungkus' penontonnya dalam kesunyian dengan tujuan agar penontonnya lebih dapat merasakan bagaimana terasa realistisnya ketegangan dan atmosfer kelam nan dingin yang dibangun sepanjang 111 menit ini. Dan semuanya terasa lengkap ketika para pemerannya bermain dengan sangat baik, termasuk Martin Dubreuil sebagai Anthony Lemaire sang pedofil. Melihat bagaimana Dubreuil berteriak histeris membuat saya sepertinya dapat merasakan bagaimana sakitnya saat kaki pria tersebut dihantam godam seberat 10 kg, atau bagaimana memuakaannya ketika ginjal miliknya dikeluarkan untuk di masak kemudian dimakan. Namun sekali lagi seperti yang saya bilang diatas, ini bukan sekedar film yang mengumbar adegan-adegan gore saja, namun bagaimana kita dapat menyelami dan merasakan konfik batin serta dilema moral yang dialami oleh karakter Rémy Girard itulah yang terpenting disini. Overall, Les 7 jours du talion aka 7 Days jelas bukanlah sebuah torture porn biasa yang sering anda lihat selama ini. Bisa jadi beberapa penontonnya akan merasakan kebosanan yang luar biasa dikarenakan alurnya yang super lambat dan minim dialog, namun bagi saya hal-hal tersebutlah yang membuat film produksi Kanada berbahasa Perancis ini menjadi istimewa. Sebuah psychological thriller yang benar-benar "menyerang" penontonnya secara psikologis. 7,8/10 |
visit my blog
|
1st December 2010, 12:38 |
#129
|
Silver Member
|
Possession
Cast : Sarah Michelle Gellar, Lee Pace, Michael Landes Film ini bercerita ttg suami istri yang hidup berbahagia dalam kehangatan hubungan cinta kasih mereka (tapi tidak diliatkan oleh kedua pemainnya krn mereka malah memberikan acting dengan muka stress). adik sang suami tinggal sementara dirumah itu krn terlibat kasus tindak kejahatan. ketika sang adik ingin meninggalkan rumah, sang kakak mengejar dan terjadilah kecelakaan. kecelakaan ini menjadi inti cerita ini krn kedua kakak adik koma, dan sang adik sang kriminal bangun dan mengaku dia adalah saudaranya. sang istri menjadi bingung dan mencari jawaban apakah benar yg bangun itu suaminya atau bisa2nya sang adik aja. temukan jawabannya dengan menonton habis film ini. film ini mengingatkan akan salah satu episode the X files, dan menurut gue malah lebih bagus episode itu krn lebih angker dan lebih berasa hawanya. kalau film ini datar2 aja. sarah michele gellar seperti biasanya selalu jaim dalam berakting, tidak lepas. untung filmnya pendek jadi disaat kita mulai dihinggapi rasa ngantuk film pun habis dengan sukses. gue kasih nilai 5.5 / 10 |
|
1st December 2010, 12:38 |
#130
|
Mania Member
|
Mutants (2009) Layaknya tipikal film zombie kebanyakan, Mutans membuka kisahnya dengan mengambil setting di sebuah dunia yang sudah terserang virus ganas yang dengan cepat menjangkiti hampir seluruh populasi manusia yang ada dan memutasi mereka menjadi mahkluk ganas haus darah. Dan dari beberapa manusia yang bertahan hidup terdapat pasangan kekasih, Sonia (Hélène de Fougerolles) dan Marco (Francis Renaud) yang berjuang untuk mencari sebuah kamp militer bernama 'NOA' yang dipercaya sebagai tempat yang paling aman bagi manusia-manusia yang belum terinfeksi. Tapi, perjalanan semakin berat ketika Sonia harus menerima kenyataan bahwa Marco ternyata juga telah terinfeksi dan menjadi salah satu dari 'mutan' buas, dan seorang diri ia harus menghadapi mimpi terburuknya. Setelah La Horde berhasil membuat fans zombie bersorak gembira karena terbilang sukses menghadirkan sebuah kisah seru dan menarik, Perancis kembali menghadirkan kisah lain, masih tetap setia dalam formula zombie pada umumnya seperti setting dunia post apocalyptic dimana epidemik virus misterius yang 'menginvasi' bumi, elemen survival, gore, disturbing and violance scenes, dll. Namun yang membuat Mutans sedikit berbeda dari kebanyakan film sejenis adalah tema personal tentang hubungan kekasih yang coba ingin diangkat lebih dalam oleh sutradara David Morlet. Ya, mungkin tema tersebut sudah sering kita lihat di berbagai film-film zombie kebanyakan dimana kerabat si tokoh utama akhirnya turut 'bergabung' menjadi salah satu bagian pasukan mayat hidup, namun jika biasanya tema tersebut hanya menjadi sebuah tema kecil pelengkap cerita berbeda halnya dengan Mutans yang mencoba mengambil porsi besar tema tersebut untuk diangakat menjadi inti cerita, dan hasilnya ternyata tidak mengecewakan, meskipun secara keseluruhan jalinan kisahnya mudah ditebak , namun toh tetap saja film berdurasi 95 menit ini tetap menarik untuk dinikmati hingga akhir karena selain mencoba mengangakat tema yang sedikit berbeda, pengembangan karakternya juga menjadi perhatian lain yang membuat film ini menjadi lebih hidup. Hélène de Fougerolles sudah melakukan tugasnya dengan baik menjadi karakter Sonia, seorang petugas medis yang harus terjebak dalam situasi dilematis. Menariknya lagi karakter Sonia mampu berkembang dinamis sepanjang film. Chemistry yang dibangun dengan kekasihnya Marco mampu membuat film yang seharusnya 'keras' dan sadis ini mejadi sedikit lebih lembut dan melankolis. 6,7/10 |
visit my blog
|
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer