HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Kamis, 2024/04/21 10:11 WIB
Cak Imin Balas Wasekjen PBNU soal Bela Gus Ipul: Nggak Nanggepi Pengangguran
-
Jumat, 2024/04/22 16:40 WIB
Ganjar Terima Putusan MK, Ucapkan Selamat Bekerja ke Pemenang
-
Jumat, 2024/04/22 14:54 WIB
Dissenting Opinion Saldi: Pemilu Orba pun Sesuai Prosedur, tapi Curang
-
Jumat, 2024/04/22 12:10 WIB
Hakim MK: Tak Terdapat Permasalahan pada Pencalonan Gibran Cawapres
-
Sabtu, 2024/04/17 15:35 WIB
Media Asing Soroti Ledakan Turis: Tak Seperti Bali yang Dulu
-
Sabtu, 2024/04/17 15:40 WIB
Kota Wisata Sekelas Dubai Dilanda Banjir Bandang, Kok Bisa?
|
Thread Tools |
9th February 2009, 00:29 |
#11
|
Mania Member
|
yang saya tahu, salah satu sikap Jendral Soedirman yang non kooperatif, menolak hasil perundingan, dalam banyak hal karena hasil diskusi dengan Tan Malaka..
buku yang sempat dilarang kayakna sudah ada dalam bentuk ebooknya kok, buku yang berjudul madilog.. |
Ajari aku mencintai Indonesia yang sebenarnya secara benar !!! |
9th February 2009, 09:50 |
#12
|
Addict Member
|
Tan Malaka, (lengkapnya Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka) lahir 2 Juni 1896 di Nagari Pandam Gadang,Kecamatan Suliki, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat dan meninggal (tepatnya mati terbunuh (dibunuh?) secara tragis pada 19 Februari 1949 di tepi Kali Branstas, Desa Mojo Kediri, Jawa Timur), dia adalah salah seorang tokoh yang rumit . karena tokoh ini tak banyak orang yang mengenalnya dari dekat atau bertemu muka secara fisik.
Dulu, sebagian orang mungkin banyak mendengar tentang dia dari mulut ke mulut dalam berbagai versi, atau membaca riwayat hidupnya yang dramatis --Dari Penjara ke Penjara--- serta karya-karya tulisnya yang lain. Itu semua, cenderung untuk menjadikannya seorang tokoh legendaris, manusia yang penuh misteri, yang rakyat banyak tak pernah melihat fisiknya secara riil. Tidaklah mengherankan kalau sewaktu dia muncul di rumah Ahmad Soebarjo, di Jakarta pada permulaan revolusi (25 Agustus 1945) si tuan rumah amat terperanjat, karena dia mengira bahwa tamu dan teman yang pernah dikenalnya di Negeri Belanda di permulaan tahun 1920-an itu sudah lama mati. Sewaktu Ahmad Subardjo membawa dan memperkenalkan dengan elit politik Jakarta, seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir, pada hari-hari berikutnya, tokoh ini walau pun sudah lama mereka dengar, barangkali baru pada waktu itulah bertemu buat pertamakalinya. Bagi mereka pun, Tan Malaka tampaknya lebih banyak merupakan seorang tokoh legendaris, dan karena baru kenal masih merupakan orang asing. Suasana seperti itu, tentu mempunyai pengaruh dalam pergaulan dan hubungan politik mereka kemudian. Sebagai orang yang belum begitu kenal, sulit bagi mereka untuk menerka siapa sebenarnya Tan Malaka ini dalam arti peta bumi politik di permulaan revolusi itu. Sebaliknya, Tan Malaka yang lebih mengenal tokoh-tokoh yang lebih tua seperti Semaun dan Cokroaminoto, tentu menemui kerumitan pula dalam memahami tokoh-tokoh yang lebih muda ini, walau pun perbedaan umurnya dengan mereka tidaklah seberapa. Suasana revolusi yang tegang dan kacau serta komunikasi yang sulit menambah sulit mereka mengenal masing-masing secara lebih dekat dan intim. Demikianlah, pada saat kemunculannya kembali secara terbuka dalam dunia politik Indonesia, Tan Malaka menemukan dirinya sebagai seorang tokoh yang mengundang banyak tanda tanya bagi mereka yang memegang kekuasaan pada waktu itu. Apalagi kalau dia sampai dianggap pula sebagai saingan berat bagi mereka yang berambisi dan ingin memonopoli kekuasaan dan ketenaran. Walau pun bagaimana,usaha buat memahami grafik perjuangan si revolusioner tua yang kesepian ini, terutama pada pemunculannya yang terakhir, barangkali dapat dimulai dengan gambaran suasana itu. Suasana legendaris dan misteri yang dibawa Tan Malaka kadang-kadang mengagumkan dan mengharumkan namanya, kadang-kadang dieksploitir oleh pihak2 tertentu, kadang-kadang mengundang kecurigaan yang bisa menodai reputasi atau mencelakan dirinya. Salah satu hal yang menjadikannya legendaris ialah karena seringnya dia muncul dengan memakai nama samaran, yang menurut pengakuannya adalah karena keperluan menghilangkan jejak sebagai buronan politik yang selalu diincer oleh intel kolonial. Nama samarannya biasanya dipakai buat keperluan memasuki negara baru yang akan dijadikannya sebagai tenpat bersembunyi atau bergerak ,seperti ia memakai nama Elias Fuentes sewaktu memasuki Manila dari Hongkong (1925-1927), Ong Song Lee sewaktu memasuki Hongkong dari Shanghai (1932), Ramli Husein sewaktu kembali dari Singapura ke Indonesia melalui Penang terus ke Medan, Padang dan Jakarta (1942) .Sewaktu bekerja di pertambangan Jepang di Bayah Banten sampai permulaan revolusi dia memakai nama samarannya yang lain adalah Cheng Kun Tat,Flisio Rivera dan Howard Law . Kerjasama yang erat antara intel intel Belanda, Inggris dan AS berhasil menjaring Tan Malaka sewaktu ia memasuki Manila dari Hongkong sebagai mahasiswa Pilipina dengan nama samaran Elias Fuentes tanggal 12 Agustus 1927. Penangkapan itu dan proses pemeriksaannya menjadi berita hangat koran-koran setempat. Kaum nasionalis Pilipina dan beberapa surat kabar terkemuka jelas menunjukan simpati mereka pada nasibnya antara lain karena lengenda dan misteri perjuangannya. Salahsatu koran “The Tribune” dalam terbitannya 16 Agustus 1927 memuji perjuangan Tan Malaka. “Tan Malaka”, tulisnya, “muncul hari ini di setiap kepala orang Philipina sebagai patriot sejati, dan bila suatu saat nanti, kalau nasib buruk menimpannya, dia akan menjadi martir yang sahid dalam perjuangan kemerdekaan tanah airnya”. Tan Malaka disejajarkan namanya dengan patriot Pilipina angkatan Jose Rizal, dan oleh karena itu merupakan simbol dari “pergerakan nasionalis Jawa” . Akan tetapi penguasa kolonialis akhirnya memutuskan untuk mendeportasikannya dengan dalih bahwa ia memasuki Pilipina secara tidak sah. Keputusan itu memberi angin kepada pihak yang tidak senang dengan perjuangannya buat mencemarkan nama Tan Malaka secara berlebihan pula. Sebuah mingguan “ Phlipiness Free Press” memuat tiga artikel berturut-turut yang bertolak belakang dengan sanjungan yang diberikan “The Tribune” di atas. Dia ditelanjangi habisan-habisan karena memakai nama samaran untuk masuk Pilipina secara misterius. karena dia memakai nama samaran, maka dianggap tidak pantaslah dia disamakan dengan Jose Rizal, karena bapak nasionalis Philipina ini (berbeda dengan Tan Malaka) tidak pernah memakai nama samaran atau berjuang secara terselubung. |
I believe religion is individual property, like GENITALS.. FOR ME SECULARISM is the answers to keep the holiness and sacredness of a religion Last edited by nando_gnd; 9th February 2009 at 10:08.. |
9th February 2009, 10:16 |
#13
|
Addict Member
|
SEWAKTU di Semarang, dia sudah menunjukan sikap bebasnya dalam pemikiran atau ide yang dikemukakannya, kadang-kadang bahkan mengambil posisi yang berlawan dengan tokoh-tokoh PKI lainnya. Visi revolusi Tan Malaka dari semula adalah menentang kolonialis-imperialis Belanda. Masyarakat Indonesia versus kekuasaan kolonial sebagai titik tolaknya. Tidaklah mengherankan kalau dia kemudian menetang sikap garis keras yang diperlihatkan oleh sebagian tokoh penting PKI dalam percekcokan mereka dengan Sarekat Islam.
Perpecahan seperti ini menurut Tan Malaka hanya melemahkan kekuatan bangsa Indonesia secara keseluruhan dalam menentang penjajah, dan oleh karena itu perlu dihindari. Sikap keras yang ditunjukan tokoh-tokoh PKI rupanya sebagian dipengaruhi oleh kebijaksanaan politik Komintern di Moskow yang menentang PAN Islamisme (Modernisme Islam) sebagai corak baru dari imperialisme. Tan Malaka tidak bisa menerima sikap Komunis Internasional itu, antara lain karena menurut dia Pan Islamisme justru bangkit menentang imperialisme Barat yang menjajah kaum Muslimin di berbagai negara di dunia ini. Ciri Pan Imperialisme juga anti imperialisme. Di samping itu, Tan Malaka rupanya juga memahami juga bahwa jiwa mordernis yang dibawa Pan Islamisme sesuai dengan sikap anti dogmatisnya. Tambahan lagi, Islam secara realistis merupakan kekuatan politik yang besar di Indnesia. Itu menyebabkan Tan Malaka menilai bahwa sikap anti PAN Islamisme Moskow tidaklah mencerminkan realita suasana perkembangan dunia pada waktu itu, dan sejalan dengan itu sikap anti Sarekat Islam dari PKI tidak pula sesuai dengan keadaan sebenarnya dari masyarakat Indonesia. Setia kepada pandangan politknya yang berasal dari hasil pemikirannya sendiri, Tan Malaka meneruskan sikap bebasnya itu sewaktu dia berkesempatan berbicara di muka Kongres Komintren sebagai wakil PKI, tidak lama sesudah dia dibuang ke Belanda. Tan Malaka tetap mengemukakan kekeliruan kebijakasanaan Komintern terhadap Pan-Islamisme dan menghendaki agar sikap itu diubah. Namun, Komintern tidak menghiraukan apa yang dikatakan Tan Malaka. Dari uraian di atas jelas kelihatan bahwa Tan Malaka mengembangkan dan berani mengemukakan pemikirannya sendiri, walau pun dia berbeda atau bertentangan dengan garis politik yang ada. Salahsatu kasus lagi ialah pertentangannya dengan tokoh-tokoh PKI mengenai pemberotankan tahun 1926/1927. Sewaktu Tan Malaka mengetahui bahwa tokoh-tokoh PKI akan mencetuskan pemberontakan (Putusan Prambanan 1925), Tan Malaka berusaha mencegahnya karena menganggap saatnya belum tiba. PKI masih kecil, belum berkuku tak mungkin mampu menggerakkan massa rakyat. Lagi pula gerak-geriknya selalu diawasi secara ketat oleh penguasa kolonial. Tan Malaka menganalisa, kalau pemberontakan itu jadi dilakukan akan mengalami kegagalan. Usahanya untuk mecegah memang tidak berhasil.Pemberontakan meletus di Sumatera Barat dan Banten, tetapi dalam waktu pendek berhasil dilumpuhkan oleh belanda. |
I believe religion is individual property, like GENITALS.. FOR ME SECULARISM is the answers to keep the holiness and sacredness of a religion Last edited by nando_gnd; 9th February 2009 at 10:23.. |
9th February 2009, 10:27 |
#14
|
Addict Member
|
Analisa Tan Malaka terbukti benar. Dilhat dari kacamatanya, tokoh-tokoh PKI yang mencetuskan pemberontakan itu tampak berfikir atau mengikuti ideologi secara dogmatis dan oleh karena itu nekad. Sikap bebas yang diperlihatkan Tan Malaka, baik dalam tingkah laku politik mau pun pemikirannya merupakan sumber penting dalam perselisihannya dengan kaum komunis di belakang hari, apalagi kalau mereka dianggapnya terlalu dogmatis terhadap ideologi.
Sebagaimana diketahui kemudian, Tan Malaka berpisah dengan orang-orang komunis, karenanya kaum komunis memperlihatkan sikap tak senangnya terhadap Tan Malaka dengan berbagai macam cara antara lain dengan jalan menuduh Tan Malaka sebagai beraliran atau menjadi pengikut Trotsky,seorang tokoh yang dibenci dalam dunia komunis, karena dianggap menyeleweng. Bahkan Tan Malaka kemudian dituduh penghianat yang menyebabkan gagalnya pemberontakan 1926/1927. Orang yang amat menghargai kebebasan berfikir seperti Tan Malaka tak mungkin mampu menyesuaikan diri dengan organisasi yang dikendalikan oleh sikap dogmatis terhadap idelogi secara ketat. Orang seperti Tan Malaka akan mampu melihat dan mengemukakan apa yang dianggapnya baik (atau buruk) di mana pun letaknya. Dalam hal ini pendangan Tan Malaka tentang Barat merupakan contoh terbaik dari hasil kebebasan berfikirnya. Sungguh pun dia secara politik dan ekonomis menantang kapitalis dan imperialisme Barat. Namun, ia masih bisa melihat segi-segi positif dari sana dan menganjurkan agar itu diambil tanpa malu-malu. "Akuilah dengan putih bersih," tulisnya. "Bahwa kamu (orang Indonesia) sanggup dan mesti belajar dari Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru Barat,melainkan seorang murid dari timur yang cerdas.....Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum ( menjadi ) seorang manusia bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri.....Seseorang yang ingin menjadi murid Barat atau manusia, hendaknya punya keinginan untuk merdeka dengan memakai senjata Barat yang orisinil..." Pada waktu yang sama hasil pemikirannya juga mengemukakan secara berani dari segi-segi kelemahan masyarakat Indonesia yang ingin dikikisnya, terutama sikap yang sangat menghargai kebudayaan kuno yang dianggap Tan Malaka penuh berisi kesesatan, ke pasifan dan tahyul yang menyebabkan mereka bersemangat budak. Dalam MADILOG, kebudayaan kuno yang dianggapnya menghalangi orang berpikir bebas, kritis dan dinamis ialah kebudayaan Hindu-Jawa. Kebudayaan Hindu yang datang dari India ke Indonesia, dan terutama berpengaruh di Pulau Jawa, menurut Tan Malaka telah melahirkan mentalitas budak sebagaimana terlihat dari sisa-sisa feodalisme. Kalau seandainya Tan Malaka membaca pemikiran-pemikiran Soekarno, seperti yang terbit antara tahun 1926 dan 1933, dia akan menemui bagaimana seorang yang sedikit banyaknya terpengaruh oleh sisa-sisa kebudayaan Hindu-Jawa berhasil melahirkan ide-ide yang berbobot dan berani. Dalam suasananya sendiri, yaitu secara pribadi membaca literatur-literatur Barat, Soekarno sebenarnya secara mental melakukan perantauan. Dia melakukan cara berfikir aktif dan dinamis, darimana lahir pula konsep-konsepnya yang orisinil dan tajam seperti "Marhanenisme". Secara garis besarnya, cara berfikir Soekarno tidak jauh berbeda, kalaulah tidak identik, dengan Tan Malaka, di mana ciri-ciri dimanis atau dialektisme jelas terlihat sebagaimana Tan Malaka, Soekarno secara kritis mempelajari pemikiran-pemikiran Barat, terutama yang berasal dari kaum sosialis, yang sering dipakainya sebagai alat buat memperjelas hasil-hasil pemikirannya sendiri. setiap masyarakat dalam pertemuan dengan dunia dan kebudayaan luar, seperti Barat, akan terpaksa membuka dirinya buat menerima kemungkinan lahirnya orang-orang yang berani berfikir dinamis dan kritis sebagai akibat langsung dari pertemuan dua kebudayaan itu.Orang-orang inilah yang melahirkan syinthesis berupa pemikiran-pemikiran baru yang dianggapnya relevan dan oleh karena itu bisa dipakai buat suasana baru yang sedang atau akan muncul. Kalau di Minangkabau salah seorang dari mereka itu adalah Tan Makaka, maka di Jawa salah seorang dari mereka adalah Soekarno. |
I believe religion is individual property, like GENITALS.. FOR ME SECULARISM is the answers to keep the holiness and sacredness of a religion Last edited by nando_gnd; 9th February 2009 at 10:39.. |
9th February 2009, 10:43 |
#15
|
Addict Member
|
Sewaktu di pembuangan dan menjadi salah seorang agen Komintern di Canton, dia menerbitkan buku (1925) "Menuju Republik Indonesia" (titel aslinya; Naar de Republik Indonesia). Dalam karyanya ini ia mengemukakan program-program untuk mencapai atau menuju berdirinya Republik Indonesia yang menyangkut berbagai macam bidang seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan bahkan militer. Program-program ini sebenarnya dimaksud Tan Malaka sebagai pegangan partainya (PKI) yang diinginkannya untuk mengambil atau memainkan peranan pimpinan revolusioner ke arah yang dicita-citakannya. Akan tetapi, hubungannya dengan tokoh-tokoh PKI, sebagaimana yang telah diungkapkan tadi, kemudian memburuk dan akhirnya rusak sama sekali setelah terjadi pemberontakan 1926/1927. Pemberontakan yang dikecam Tan Malaka sebagai perbuatan konyol itu praktis melumpuhkan PKI sebagai kekuatan politik waktu itu.
Kritik Tan Malaka terhadap kegagalan pemberontakan itu melahirkan karyanya "Massa Aksi", di mana ia menekankan bahwa suatu revolusi Indonesia hanya mungkin terjadi dengan berhasil kalau didukung oleh massa rakyat yang tersusun/teroganisir. Di sini kembali tampak dengan jelas bahwa dia menginginkan agar kaum proletar memegang pimpinan revolusioner, tetapi syarat untuk sukesnya revolusi itu baginya tetap dukungan massa yang kuat. Bahkan, kalau sudah berhasil, yaitu kemerdekaan Indonesia tercapai, dia masih melihat bahwa kerjasama dan persatuan antara berbagai golongan, terutama antara proletar dengan yang bukan proletar, tetap merupakan syarat mutlak dan perlu dipertahankan. DAN Bilamana kerjasama itu ( proletaer & non proletar ) sampai terputus, dia memperkirakan kemungkinan lahirnya suasana yang menuju kepada perbudakan nasional, atau kasarnya penjajahan oleh bangsa sendiri, oleh satu golongan yang berkuasa. Tetapi mengapa revolusi? Di samping pengamatannya yang melihat bahwa itu lah yang terbaik untuk mengeyahkan kaum kolonialis-imperialis dari bumi Indonesia, dia juga mempunyai alasan atau argumentasi lain. Menurut Tan Malaka, bangsa Indonesia belum mempunyai sejarah sendiri selain dari perbudakan, baik perbudakan dalam bentuk feodalisme (oleh bangsa sendiri) mau pun dalam bentuk penjajahan (oleh bangsa asing). Implikasinya, bangsa Indonesia baru akan mempunyai sejarah sendiri yang tidak bersifat perbudakan kalau berhasil mengadakan revolusi total, yakni mengeyahkan penjajah ke luar dan sekaligus membersihkan diri ke dalam. Revolusi Indonesia, kata dia, mempunyai dua tombak , yaitu mengusir imperialis Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Revolusi semacam itulah, bilamana berhasil dilaksanakan akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politik, ekonomi, sosial dan bahkan mental, dan itu berarti lahirnya masyarakat baru yang tidak lagi diwarnai oleh perbudakan. Masyarakat Indonesia baru yang diinginkan Tan Malaka dan sekaligus menjadi tujuan revolusinya adalah masyarakat Indonesia yang merdeka dan sosialis. Masyarakat semacam itu hanya bisa lahir kalau dilandasi oleh dasar kerakyatan. Kerakyatan itulah, dalam terminologi politiknya "murbaisme", yang menjadi tujuan akhir dari revolusi Tan Malaka. Setelah PKI praktis dihancurkan oleh penguasa kolonial, dalam bulan Juli 1927 Tan Malaka bersama-sama dengan Subakat dan Djamaludin Tamim mendirikan "Partai Republik Indonesia" atau PARI di Bangkok. Pendirian PARI ini menarik perhatian, terutama dalam hubungan Tan Malaka sebagai tokoh komunis di pembuangan pada waktu itu dari segi kelanjutan usahanya merealisir cita-cita revolusinya. Inisiatifnya mendirikan PARI sebagian berasal dari percekcokannya dengan kaum komunis Indonesia (peristiwa pemberontakan 1926/1927 dan ketidaksesuaiannya dengan sikap politik Komintern (terutama yang menyangkut PAN Islamisme). Sementara itu, Moskow juga tampak lebih banyak memakai Komintern buat kepentingan "hegemony" internasional Rusia daripada kepentingan perjuangan kaum nasionalis di daerah-daerah jajahan. Di sini, kalau analisa di atas betul, jelas kelihatan bahwa warna nasionalime dalam diri Tan Malaka jauh lebih tajam daripada fanatisme terhadap ideologi (komunisme). Itulah salah satu faktor yang telah memungkinkannya mendirikan sebuah partai baru (PARI) tanpa merasa terikat untuk memasukan kata komunis di dalamnya. Hal ini tentu juga berkaitan erat dengan sistim pemikirannya yang mengutamakan kebebasan dan dinamika. |
I believe religion is individual property, like GENITALS.. FOR ME SECULARISM is the answers to keep the holiness and sacredness of a religion Last edited by nando_gnd; 9th February 2009 at 10:49.. |
9th February 2009, 10:53 |
#16
|
Addict Member
|
Sungguhpun begitu, Tan Malaka tidak pula mungkin dapat melepaskan sama sekali dari kaitan pengaruh Marxis yang telah mengilhami revolusi Rusia. Sukses revolusi Rusia, sangat berkesan bagi Tan Malaka dan oleh sebab itu, tak mungkin terhapus begitu saja. Secara idealis dan teoritis Tan Malaka mungkin masih mengganggap dirinya seorang bolshevik yang lebih
mengerti dan mengutamakan realita bangsanya. "Marxisme", katanya, bukan kaji hafalan (dogma) melainkan suatu petunjuk untuk revolusi. Oleh karena itu, perlu bersikap kritis terhadap petunjuk itu. Sikap kritis itu antara lain sangat ditekankan pada kemampuan untuk melihat perbedaan dalam kondisi atau faktor sosial dari suatu masyarakat dibanding masyarakat-masyarakat lain. Dari situ akan diperoleh kesimpulan oleh ahli revolusi di Indonesia atau pun di negara lain (yang) tentunya berlainan sekali dengan yang diperoleh di Rusia. Yang sama cuma cara berpikir dialektika materalistis. Setelah sebulan PARI berdiri dia pergi ke Manila (melalui Hongkong) dan tertangkap. Sewaktu diperiksa dia ditanya apakah dia mengerti apa yang dimaksudkan dengan bolshevikisme. Ia jawab: "Ya, Itu adalah doktrin melalui apa kelas buruh di dunia dapat mencapai emansipasi sosial dan politik dengan jalan mempersatukan diri mereka buat mengubah sistim yang berlaku sekarang dengan jalan apapun". ditanya apakah dia mengikuti doktrin itu? . dijawab :"Secara teoritis, ya. Terapi tujuannya tergantung pada batasan -batasan (kondisi) yang terdapat di masing-masing negeri." Sewaktu Tan Malaka ditanya apakah ia percaya pada pemakaian kekerasan senjata untuk mencapai kemerdekaan. Dijawab: "Saya percaya pada aksi massa untuk mencapai kemerdekaan kami dengan cara apapun, apakah fisik atau cara yang lain, politik, ekonomi dan kalau perlu dengan kekerasan fisik dan senjata." Pada bagian lain, Tan Malaka mencoba memisahkan dirinya dengan PKI (dengan mengaku sebagai bekas ketua Sarekat Rakyat, bukan ketua PKI) dan komintern (dengan menyangkal bahwa ia bukan agitator merah atau agen bolshevik). "Saya bukan seorang bolshevik," katanya menyangkal tuduhan. "Kalau seseorang mencintai tanah airnya memperlihatkan memperlihatkan bolshevikisme maka panggilah saya bolshevik." Penguasa kolonial di Philipina (Amerika Sertikat) karena bekerja sama erat sekali dengan penguasa kolonial Belanda tentu mempunyai data lengkap tentang kegiatan-kegiatan Tan Malaka di masa lalu yang isinya kurang lebih sebagian berlainan dengan keterangan Tan Malaka di atas. Sikap anti komunis yang keras dari penguasa-penguasa kolonial, dan terjadinya pemberontakan PKI 1926/1927 yang berakibat buruk bagi aktivis-aktivis PKI, merupakan penyebab kuat mengapa perlu baginya untuk menutupi tentang kegiatan politik masa lalunya. Sungguhpun begitu, pengakuannya bahwa ia menerima bolshevik secara teoritis dan tidak menolak kemungkinan untuk memakai kekuatan fisik buat mencapai kemerdekaan mungkin dapat dianggap sebagai suatu sikap konsisten dan konsekwen, paling kurang dalam kaitan pandangannya terhadap Marxisme sebagai petunjuk untuk berevolusi, bukan dogma atau kaji hafalan. Kalau boleh disimpulkan, Tan Malaka dalam arti kata yang sesungguhnya tetap konsisten dan konsekwen sebagai seorang revolusioner.Seorang revolusioner yang antara lain menerima Marxisme sebagai petunjuk, tetapi jauh di lubuk hatinya lebih meresapkan nasionalisme. PARI, yang dimaksudkannya sebagai kendaraan untuk menuju revolusi Indonesia yang diinginkannya, tidak sempat berakar untuk menjalar luas di Indonesia. Dua orang pendiri lainnya, Subakat dan Djamaluddin Tamim,tertangkap. Subakat memilih bunuh diri dalam penjara di Jakarta. Sisa-sisa terakhir dari PARI di Jakarta dan Surabaya digulung habis oleh Belanda dalam tahun 1935. Sementara itu, Tan Malaka yang praktis terputus hubungannya dengan teman-temannya boleh dikatakan bergerak sendiri. Dalam tahun 1928 dia diangkat kembali oleh Komintern sebagai salah seorang agennya untuk Asia Tenggara. Rupanya pada waktu itu, Moskow belum mengetahui tentang kegiatan Tan Malaka dengan PARI-nya. Sewaktu ia memasuki Hongkong dari Shanghai (1932), dalam perjalannnya menuju pos barunya di Birma sebagai agen Komintern, Tan Malaka ditangkap Inggris dan ditahan selama beberapa minggu. Sesudah dilepas, ia kembali ke Cina (Amoy), di mana ia menghidupi dirinya dengan mendirikan sekolah bahasa asing yang cukup berhasil sampai tahun 1937, ketika dia terpaksa lari lagi sewaktu Jepang menyerang kota itu. Ia menyingkir ke Singapura, menyamar sebagai guru Cina di sekolah-sekolah di sana sampai 1942. Sewaktu ia sampai di Indonesia kembali, Jepang sudah mendarat dan berkuasa. Jadi, semenjak meninggalkan Bangkok (1927), kecuali hubungan surat-menyurat yang terbatas dan kemudian juga terputus, Tan Malaka lebih banyak bergerak sendiri. Dalam arti kata yang mendekati sesungguhnya dia menjadi seorang pejuang revolusioner yang kesepian, tetapi juga setia pada cita-cita revolusinya. Sementara itu, Komintern dan orang-orang komunis Indonesia mengetahui tentang PARI dan idengan sendirinya terungkaplah kepada mereka siapa Tan Malaka yang sebenarnya. Dia dikecam habis-habisan, antara lain oleh tokoh PKI Muso, yang berhasil masuk Indonesia dari Moskow tanpa diketahui Belanda, yang menulis pamflet menentang tokoh ini dengan PARI-nya. Tan Malaka yang dulunya pernah menjadi ketua PKI dan agen Komintern, kini menjadi musuh utama mereka (PKI). Dari uraian di atas dapat dilihat bagaimana kontroversialnya tokoh ini. Sikap, tingkah laku politik serta ide atau pemikirannya menempatkannya dalam suasana konflik dengan berbagai kekuatan. Sebagai pejuang nasionalis atau buronan politik dia berkonflik dengan penguasa-penguasa kolonial di Asia waktu itu. Sebagai politisi-intelektual yang berpikir dinamis dan menerima Marxisme secara kritis dia berani mengritik tokoh-tokoh separtainya (PKI) dan kemudian mendirikan partai baru tanpa kata komunis di dalamnya, dan itu semua menempatkan dia berkonflik dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia dan Komintern. |
I believe religion is individual property, like GENITALS.. FOR ME SECULARISM is the answers to keep the holiness and sacredness of a religion Last edited by nando_gnd; 9th February 2009 at 11:09.. |
9th February 2009, 11:13 |
#17
|
Addict Member
|
Dua siklus dari perantauannya ditandai dengan titik puncak sewaktu dia kembali pulang. Titik puncak pertama ialah pada waktu ia diangkat sebagai datuk sewaktu ia pulang ke kampungnya sehabis menamatkan sekolah di Bukittinggi. Titik puncak dari perantauan kedua ialah ketika ia berhasil memainkan peranan yang amat penting dalam pergerakan nasional Indonesia, sebagai tokoh dan ketua PKI, tak lama sesudah ia kembali dari Negeri Belanda.
Dengan begitu, arti rantau bagi dirinya memang penting. Rantau telah menjadikannya manusia yang semakin berarti dan berguna bagi perjuangan bangsanya. Siklus ketiga perantauannya berjalan lama sekali, 20 tahun sebagai buangan politik. Pengalamannya dalam perantauan ketiga ini jauh lebih banyak, penderitaan jauh lebih mendalam, kecemasan jauh lebih sering datang. Itu semua semakin mematangkan dan mendewasakan dirinya, baik sebagai intelektual-pemikir, politisi-idealis, mau pun pejuang revolusioner yang kesepian. dan Ia pun sudah semakin berumur. Dapatlah dimengerti kalau dia melihak kepulangannya kali ini sebagai sesuatu yang amat berarti. Ia melihat bahwa siklus-siklus hidupnya sejajar dengan siklus-siklus perjuangan bangsanya, dan itu diidentikannya pula dengan perkembangan organis tubuhnya yang telah sampai pada siklus terakhir. Dia memperkirakan dan mengantisipasi kepulangannya dari perantauannya yang ketiga dan terkahir kalinya ini akan berkaitan dengan terjadinya revolusi Indonesia, dan ia ingin hadir dan ikut aktif sebagai peserta di dalamnya. Bagi dia, inilah kesempatan terakhir untuk merealisir revolusi totalnya, dan oleh karena itu tak ingin melepaskan kesempatan itu berlalu dengan sia-sia. Seluruh kehidupannya selama ini, tercurah ke sana, dan dia ingin memberikan sesuatu yang amat berarti bagi bangsanya pada saat yang amat bersejarah itu. Tetapi menarik pula untuk diketahui bahwa sewaktu pulang dari perantauan ketiga ini, Tan Malaka tidak segera menggabungkan diri dalam barisan perjuangan atau mengambil peranan aktif dalam percaturan politik. Salah satu faktor mungkin karena merasa dia membutuhkan waktu buat mempelajari suasana masyarakat yang sudah lama ditinggalkannya. Ia ingin masuk sekolah sosial dulu. Alasan lain yang diberikan Tan Malaka ialah karena ingin menulis sesuatu yang berarti yang bisa dipakai sebagai pegangan oleh bangsanya nanti dalam hidup bernegara sebagai bangsa merdeka yang sosialistis. Dia memang menulis apa yang dianggapnya sebagai karya terbaiknya yang ingin ditinggalkannya sebagai "pusaka" bertuah". Itulah MADILOG, yang ditulisnya dalam suasana kemiskinan yang luar biasa di sebuah gubuk bambu di pinggir Jakarta. Pada waktu ia dia masih belum keluar dengan memamai nama aslinya. Faktor lain yang menyebabkannya merasa masih perlu menyembunyikan identitasnya barangkali pengaruh pengalaman pahitnya sebagai buronan politik di luar negeri yang tentu selalu menghantuinya, walau pun suasana romantis dan misteri yang lahir bersamaan dengan itu tampak pula disenanginya. Dia mungkin masih perlu menyembunyikan diri di bawah kekuasaan Jepang yang tak kalah kejamnya itu. Kekejaman fasis Jepang tambah memuakan hatinya ketika ia menyaksikan sendiri di pertambangan Bayah, Banten. Di sini sebagai krani yang cukup baik kedudukannya, dengan memakai nama samaran Ilyas Husein dia kembali menyaksikan, sebagaimana pernah dialaminya di perkebunan Senembah dulu, pengeksploitasian bangsanya oleh kekuasaan imperialis baru. Ia melihat sendiri kondisi yang amat menyengsarakan --antara hidup dan mati-- kaum romusha yang dipekerjakan Jepang secara paksa. Hal ini tentunya tambah memperkuat keyakinannya tentang keperluan adanya aksi massa buat melahirkan revolusi. Suasana politik Indonesia selama pendudukan Jepang secara garis besarnya diwarnai oleh Soekarno, Hatta dan sejumlah pemimpin lain yang memilih bekerjasama atau berkolaborasi dengan Jepang. tidak tahu apakah mereka senang ataukah tidak ikut serta dalam sistem kekuasaan sesuatu hal yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Sebagai pejuang nasionalis mereka tentu mempunyai alasan-alasan sendiri buat memilih jalan itu. Di pihak lain, sejumlah tokoh yang relatif muda seperti Sutan Sjahrir memilh bergerak di bawah tanah melawan rezim fasis Jepang. Antara kedua kelompok ini yang dipermukaan dan yang di bawah tanah, barangkali terdapat kontak atau kerjasama pula. Kecenderungan ke arah asumsi ini dikuatkan oleh relatif mudahnya kedua kelompok ini bekerjasama dalam revolusi kemerdekaan yang disimbolkan . Tan Malaka juga melihat adanya dua kekuatan, tetapi dengan pemahaman yang agak lain. Sukarno dan Hatta dianggapnya sebagai simbol dari golongan tua yang berkalaborasi dengan kekuasan Jepang, dan oleh karena itu ia mengganggap mereka, terutama Soekarno sebagai oportunis. Sikap sinis Tan Malaka terhadap Sukarno antara berkaitan dengan pandangan negatifnya terhadap kebudayaan Hindu-Jawa. Strategi Sukarno (dan Hatta) untuk mencapai kemerdekaan melalui kerjasama dengan kaum penjajah baginya menunjukan masih adanya sisa-sisa mentalitas budak yang berasal dari kebudayaan Hindu-Jawa itu. Ini jelas sangat kontras dengan ide revolusi Tan Malaka sendiri yang antara lain ingin menghancurkan sisa-sisa kebudayaan lama yang bernilai buruk, terutama ciri-ciri feodalismenya. |
I believe religion is individual property, like GENITALS.. FOR ME SECULARISM is the answers to keep the holiness and sacredness of a religion Last edited by nando_gnd; 9th February 2009 at 11:25.. |
9th February 2009, 11:24 |
#18
|
Addict Member
|
Kekuatan kedua yang dilihatnya ialah pemuda yang dinilainya sebagai tombak revolusi. baginya, di sinilah terletak kekuatan revolusi yang sebenarnya, dan oleh karena itu ia menaruh perhatian yang sangat besar kepada mereka. Dia berusaha mengidentifikasikan dirinya dengan semangat revolusioner pemuda, melalui mana dia melambungkan harapan bahwa
merekalah yang akan berhasil merealisir revolusi yang dicita-citakannya. Pengontrasan yang tajam antara golongan tua (Sukarno-Hatta) yang dinilainya oportunis dengan pemuda revolusioner berasal dari cara berfikir Tan Malaka yang dialektis. Akan tetapi, ia rupanya kurang memahami realita sebenarnya dari masyarakat Indonesia pada waktu itu. Sukarno-Hatta, terutama Sukarno (apakah itu sebagai akibat dari pengaruh sisa-sisa kebudayaan Hindu-Jawa dalam masyarakat ataukah tidak) sudah lama mempunyai kekuatan kharisma politik yang menjalar jauh ke dalam masyarakat. Dwitunggal itu telah berhasil menjadikan diri mereka sebagai simbol persatuan dan perjuangan nasional. Cara berfikir Tan Malaka yang amat dialektis ternyata tidak begitu tepat, kalaulah tidak bisa dibilang salah total. Melalui ini barangkali dapat dimengerti sebagian dari penyebab mengapa riwayat Tan Malaka dalam revolusi Indonesia berakhir secara tragis. Beberapa minggu menjelang proklamasi, Tan Malaka masih memakai nama samaran Ilyas Husein, mulai mengadakan kontak dengan sejumlah kecil pemuda revolusioner. Akan tetapi, ia tidak hadir sewaktu peristiwa bersejarah, proklamasi, terjadi, dan kemudian disesalinya. Ia baru muncul dengan di arena politik, langsung dengan nama aslinya, beberapa hari kemudian di rumah Achmad Subardjo yang selanjutnya memperkenalkannya dengan elit politik Jakarta yang lain pada hari-hari berikutnya. Sewaktu dia sempat berbicara dengan Soekarno, yang sudah menjadi presiden, Tan Malaka berhasil mengemukakan ide-ide tentang revolusi, antara lain mengenai bagaimana revolusi harus dilanjutkan kalau seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (mati atau ditangkap) atas diri Sukarno dan Hatta. dimana hal inilah nantinya yang menyebabkan kematiannya yang tragis.... |
I believe religion is individual property, like GENITALS.. FOR ME SECULARISM is the answers to keep the holiness and sacredness of a religion Last edited by nando_gnd; 9th February 2009 at 11:29.. |
9th February 2009, 22:52 |
#19
|
Mania Member
|
Numpang baca2 dulu sambil traktiran cendol neh..
... Thanx nando_gnd... |
Hari ini, Maen2 ke forum lingkungan yuuk.. Jangan cuman ngegosip aja... Code:
Spoiler
|
detikNews
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer