HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Minggu, 2024/04/18 11:55 WIB
Klarifikasi Idham Masse Soal Mobil Untuk Ibu Catherine Wilson Mau Ditarik Leasing
-
Minggu, 2024/04/18 11:48 WIB
Ogah Disebut Nganggur, Ferry Irawan Ngaku Ada Proyek Film dan Dicalonkan Jadi Bupati
-
Sabtu, 2024/04/17 14:39 WIB
Melody Prima Baru Ungkap Alasan Bercerai Setelah Setahun Berlalu
-
Selasa, 2024/04/14 11:47 WIB
Sandra Dewi Hilang di Instagram, Keluarga Lakukan Hal Ini
-
Jumat, 2024/04/16 14:20 WIB
Olivia Nathania, Anak Nia Daniaty Bebas dari Penjara Kasus CPNS Bodong
-
Selasa, 2024/04/14 11:42 WIB
Soal Kabar Adopsi Bayi Perempuan, Ini Kata Raffi Ahmad
|
Thread Tools |
2nd March 2012, 00:51 |
#201
|
Mania Member
|
Tv swasta boleh berdiri di seluruh indonesia (setiap provinsi hanya satu stasiun)
Pemerintah memberikan kesempatan kepada para investor untuk mendirikan TV Swasta di daerah-daerah di seluruh Indonesia, tetapi setiap provinsi hanya dibolehkan terdapat satu TV Swasta. Dirjen Radio Televisi dan Film (RTF) Departemen Penerangan, Alex Leo Zulkarnaen, mengatakan hal itu kepada wartawan di Deppen, Ja*karta, Jumat kemarin (10/8/90). Saat itu yang sudah mendapat izin adalah RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) di Jakarta dan SCTV (Surabaya Centra Televisi) di Surabaya.
Dijelaskannya, untuk mendiri*kan Stasiun Penyiaran Televisi Swasta (SPTS) harus memenuhi berbagai syarat yang ditetapkan pemerintah. Pemohon adalah usa*ha swasta nasional dan dipimpin oleh warga negara Indonesia. Berbadan hukum Indonesia, dapat berbentuk perseroan terbatas atau koperasi. Modal usaha harus seluruhnya modal nasional. Mengkhususkan diri dalam bidang pe*nyiaran televisi. Memperoleh izin prinsip untuk menyelenggarakan penyiaran televisi dari Menteri Pe*nerangan Harmoko dan menandatangani perjanjian tertulis dengan TVRI. Pemerintah, menurut Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnaen, dalam memberikan izin pendirian TV Swasta tersebut ketika itu akan selektif. Artinya, si pemohon bila memang tidak benar-benar menunjukkan kesungguhannya untuk mendirikan TV Swasta, tentunya tidak akan dikabulkan surat per-mohonan izinnya. Sebab selama itu ada juga yang sudah meminta izin untuk mendinkan TV Swasta, teta*pi yang bersangkutan hanya mengirim surat satu lembar kepada Dir jen RTF Alex Leo. "Pemohon seperti ini ielas kurang bersungguh-sungguh," tandasnya. Menurut Alex Leo yang juga mantan dirut TVRI itu, usaha dalam bidang pertelevisian ini biayanya tidak sedikit. Setidak-tidaknya in*vestor harus memiliki modal sekitar 90 juta dolar AS (ketika itu Rp 150 milyar). Dirjen RTF dalam kesempatan itu juga membacakan SK Menpen RI yang mengatur tentang penyiar*an televisi di Indonesia. SK Menteri Penerangan RI No. 111/Kep/Menpen/1990. itu antara lain mengatur bahwa SPTSU hanya diizinkan melak-sanakan siaran lokal, dan SPTSP diizinkan melaksanakan siaran na*sional. Siaran lokal yang diselenggarakan oleh SPTS tidak harus dipancarkan dengan cara mengacak sinyal, agar dapat ditangkap/ didengar dan dilihat oleh masyarakat dengan menggunakan pesawat penerima televisi biasa. Kepada setiap SPTS harus ditumbuhkan dan dikembangkan iklim usaha yang saling menguntungkan, dengan rnengnindarkan kemungkinan terjadinya persaingan yang tidak sehat dengan kepentingan pelayanan umum. Setiap SPTS juga diwajibkan merelay siaran televisi yang berisi satu atau lebih dari satu acara siaran (prog*ram) yang dilaksanakan dan Ibu-kota Negara. TVRI Programa 2 Siaran TVRI Programa 2 seperti yang sejak April 1989 sudah dilaksanakan oleh TVRI Pusat di Jakarta, waktu itu juga sempat ada rencana dikembang*kan ke Stasiun TVRI yang ada di daerah, seperti di Bandung dan Surabaya. Sementara itu Direktur Utama TVRI Pusat, Drs. Ishadi, mengatakan, dengan hadirnya TV Swasta di In*donesia memang ada pengaruhnya. Artinya penonton TVRI jelas berkurang. Namun penonton TV Swasta itu, tidak menikmati acara-acara yang ditayangkan oleh TVRI, tidaklah untuk selamanya. Ketika ditanya wartawan, apakah dengan kehadiran TV Swasta, TVRI merasa tersaingi? Ishadi waktu itu menielaskan, kehadiran TV Swas*ta oukan merupakan saingan TVRI. "Kehadirannya justru me*rupakan mitra kerja," katanya terus terang saat itu. Menurut Ishadi, siaran-siaran yang ditayangkan oleh TVRI me*mang berbeda dengan TV Swasta, seperti RCTI. TVRI sasarannya adalah penonton golongan menengah ke bawah. Sedangkan RCTI golongan menengah ke atas. Ishadi juga mengatakan, TVRI pada tanggal 24 Agustus 1990, waktu itu akan merayakan HUT-nya yang ke-28. Perayaan tersebut waktu itu akan dimenahkan dengan berbagai kegiatan, se*perti olahraga tarik tambang oleh para karyawan, dan menayangkan film sinetron. Film "Sepekan Sinetron" tersebut, waktu itu akan ditayangkan tanggal 24 s.d 30 Agustus 1990. Dok. Pikiran Rakyat, 11 Agustus 1990, dengan sedikit perubahan |
2nd March 2012, 00:54 |
#202
|
Mania Member
|
Alex leo zulkarnaen: Siaran televisi swasta abaikan hak masyarakat
Keberadaan stasiun televisi swasta kita: RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), SCTV (Surya Citra Televisi), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), ANteve (Andalas Televisi), dan Indosiar, pada 1996, telah berubah menjadi semacam mesin uang. Akibatnya, masyarakat yang punya andil besar dalam kehidupan pertelevisian cenderung dijadikan "sapi perah" demi kepentingan bisnis. Hak-hak masyarakat untuk mendapatkan tontonan yang nyaman justru diabaikan oleh pengelola televisi.
"Ini satu hal yang sangat menyedihkan dalam perkembangan dunia pertelevisian kita," kata (alm) Alex Leo Zulkarnaen, mantan Dirjen Radio Televisi dan Film (RTF), di depan peserta kursus broadcasting yang diselenggarakan Pusat Pelatihan Radio dan Televisi Yayasan Citra Widya Triputra, di Jakarta, Rabu (18/9/96). Dilihat dari aspek sosial budaya, kata Alex Leo, penonton sangat berperan membantu perkembangan pertelevisian. Karena itu, seyogyanya titik utama perhatian dalam penyiaran adalah masyarakat. Ini berarti, dalam interaksi penyiaran, hak-hak masyarakat perlu dihormati lewat sajian siaran yang nyaman dan enak ditonton. "Dalam kaitan ini dunia penyiaran harus mengembangkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Bukan sebaliknya, masyarakat dijadikan sapi perah untuk mencari untung, sementara hak-hak masyarakat penonton diabaikan," kata Alex Leo Zulkarnaen. Sudah keterlaluan Menurut pengamatan mantan Dirjen RTF ini, sejumlah film dan sinetron - bahkan termasuk siaran berita (kecuali berita yang direlai dari TVRI) - yang waktu itu ditayangkan seluruh TV swasta, kadang lebih banyak didominasi iklan daripada siaran pokoknya sendiri. Setiap berita umumnya menghabiskan waktu 30 detik, sehingga untuk dua berita dalam satu kesempatan hanya satu menit. Sementara iklan yang disiarkan bisa 10 buah, dengan tiap jenis iklan membutuhkan waktu 15-30 detik. Dengan demikian, tambahnya, setiap satu menit berita (buatan TV swasta) masyarakat penonton terpaksa disuguhi 5-6 menit siaran iklan. "Ini keterlaluan, karena amat mengganggu kenyamanan masyarakat menonton TV," katanya. Alex Leo menilai, perkembangan yang sudah keterlaluan itu adalah salah satu ekses terlalu cepatnya pertumbuhan dunia pertelevisian Indonesia. Kemajuan bidang siaran yang sudah sampai taraf mengganggu kenyamanan masyarakat penonton itu, merupakan suatu perkembangan yang melampaui batas. "Stasiun-stasiun TV (swasta) kita betul-betul telah berubah menjadi mesin uang. Bahkan dalam hal ini perkembangan pertelevisian kita jauh melebihi negara liberalis. Di Amerika (Serikat) misalnya, ada aturan paling sedikit program running-nya 15 menit baru boleh iklan," katanya. Masalah etika Pertumbuhan dunia pertelevisian Indonesia yang terlalu cepat ini bukan tanpa risiko. Selain dampaknya berupa gangguan kenyamaman menonton akibat ekses stasiun TV tumbuh menjadi 'mesin uang', dampak lain juga terasa pada lemahnya sumber daya manusia (SDM) di bidang penyiaran. Karena itu, tidak aneh bila persoalan-persoalan etika penyiaran di berbagai stasiun TV cenderung terabaikan. "Etika broadcaster mestinya dikuasai mereka yang berkecimpung di dunia penyiaran. Kalau ada penyiar mengisi program berita dan mewawancarai tamu, lalu si tamu tampak terpojok oleh pertanyaan, dari aspek etika ini tidak benar. Karena dengan cara itu berarti kita mempermalukan yang bersangkutan di muka umum," ujar Alex Leo menjawab pertanyaan seorang peserta. Namun lepas dari berbagai persoalan itu, menurut mantan Dirjen RTF itu, prospek dunia penyiaran di masa setelah itu, waktu itu diperkirakan akan sangat cerah. Kendati demikian, berbagai tantangan juga menghadang, sehingga para broadcaster diingatkan untuk memperkaya pengetahuan dan kemampuan di berbagai disiplin ilmu. Karena itu, lanjut Alex Leo, prospek dunia penyiaran yang cerah itu harus dilihat secara komprehensif. Dok. Kompas, 19 September 1996, dengan sedikit perubahan |
2nd March 2012, 00:55 |
#203
|
Mania Member
|
Wayang golek tvri programa 2
SALAH satu kesenian khas Sunda, Wayang Golek, mulai November 1992 bisa disaksikan warga Jakarta dan sekitarnya melalui acara baru waktu itu, Kesenian Tradisional, di TVRI Stasiun Pusat Jakarta (Programa 2), yang waktu itu rencananya ditayangkan setiap Sabtu pukul 20.00 s/d 21.00 WIB (kalau waktu itu tidak ada perubahan). Selain Wayan Golek, diketengahkan pula kesenian tradisional berbagai daerah lain seperti Ludruk, Ketoprak, Wayang Kulit, dan kesenian daerah yang spesifik lainnya secara bergiliran setiap minggunya. Dan acara itu merupakan paket produksi TVRI Stasiun Daerah yang dikirim hasil rekamannya ke TVRI Stasiun Pusat Jakarta.
Sebenarnya, acara bertajuk Kesenian Tradisional ini juga ditayangkan setiap Selasa minggu keempat pukul 23.00-24.00 WIB di TVRI Stasiun Pusat Jakarta (Programa 1) yang disebut juga sebagai Programa Nasional, tapi untuk TVRI Programa 2 di Jakarta yang konon dirancang untuk mengimbangi tiga televisi swasta: RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), SCTV (Surya Citra Televisi), dan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) tersebut, acara saat itu diharapkan bisa lebih optimal dan menarik mengingat tujuan dibuatnya acara tersebut. "TVRI senantiasa berusaha menggali kreativitas untuk program-program yang baik, normatif, etis, dan estetis, yang telah menjadi ciri khas atau jati diri siaran TVRI selama ini," ujar Direktur Televisi Aziz Husein seperti dikkutip sumber resmi "Press Room TVRI" hari Sabtu (24/10/92) silam. Sumber itu pun menyebutkan, untuk tahap awal baru beberapa TVRI Stasiun Daerah yang menyatakan siap, yaitu TVRI Stasiun Bandung, TVRI Stasiun Yogyakarta, TVRI Stasiun Surabaya, dan TVRI Stasiun Denpasar. "Tapi sebenarnya program ini untuk semua TVRI Daerah," ulang sumber yang tak bersedia disebut jati dirinya itu. Dok. Pikiran Rakyat, 25 Oktober 1992, dengan sedikit perubahan |
2nd March 2012, 00:57 |
#204
|
Mania Member
|
Persaingan televisi: Makin ketat, makin asing
Era persaingan televisi swasta Indonesia memasuki babak baru. Terutama sejak Indosiar resmi mengudara 11 Januari tahun 1995. Wuih, meski belum semua televisi bisa menerima waktu itu, PT Indosiar Visual Mandiri telah melakukan terobosan pertama dalam pemakaian teknologi NICAM. Dengan penggunaan teknologi digital ini bisa menghasilkan suara dan gambar yang jernih dan bening.
Selain itu, untuk menyiasati kontinuitas tayangan, Indosiar menyiapkan semacam Internal Production House. Beberapa artis yang waktu itu bakal mendukung di sejumlah acara yang bakal diproduksi, dikontrak secara tahunan lewat pool artist. Kehadiran Indosiar yang baru setahun waktu itu membuat persaingan antar televisi semakin ketat. Garin Nugroho misalnya menilai, persaingan antar stasiun televisi sejak tahun 1996 hingga dekade tahun 2002, waktu itu bakal semakin seru. "Yang menarik, tahun ini adalah lahirnya puncak pertama dari kultur televisi, terlebih dengan lahirnya Indosiar yang berwawasan industri," tutur sutradara Bulan Tertusuk Ilalang tersebut waktu itu. Menurut Garin, aspek kompetisi ini memungkinkan munculnya berbagai relung alternatif. Kompetisi senantiasa berdampingan dengan kesadaran melayani pemirsa. Kompetisi juga berdampingan dengan kesadaran menciptakan karakter berbeda antar stasiun televisi. Kompetisi pun senantiasa berdampingan dengan harga. Kompetisi makin menuntut citra kebaruan yang berarti butuh jenis-jenis program baru, selain tututan aspek teknologi. Televisi pun bertumbuh dari meluas ke sempit dengan revolusi multi channel dan satelit. ANteve (Andalas Televisi) yang menjagokan acara Kuis Famili 100, Gol-gol-gol dan acara musik dari MTV misalnya, pun mulai membenahi manajemen dan kualitas peralatan yang dimilikinya pada 1995. ANteve pun merekrut Nenni Soemawinata sebagai Asisten General Manager Pemasaran (mantan Presiden Direktur Indo Ad). TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) pun -- setelah merekrut Tito Sulistio (direktur utama perusahaan tol PT Citra Marga Nusaphala Persada) -- mengajak Ishadi SK (mantan Direktur TVRI Pusat dan waktu itu masih menjabat di Deppen) sebagai Direktur Operasi. Persaingan dalam pembenahan manajemen juga merembet kepada perebutan kue iklan. Untuk tahun 1996, Presiden Direktur ANteve Agung Laksono waktu itu menargetkan perolehan iklannya terdongkrak hingga 17 persen dari seluruh kue iklan yang tersedia. Menurut data Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), tahun sebelumnya, 1995, cuma 11 persen (sekitar Rp 148,4 miliar sampai Rp 207,8 miliar). Target ini lebih tinggi ketimbang TPI yang cuma mematok angka 15 persen. Selain persaingan antar stasiun, televisi swasta juga dihadapkan oleh kehadiran televisi kabel yang menawarkan beragam acara menarik. Ini terutama setelah era siaran televisi DBS (Direct Broadcasting Satelite) pun waktu itu bakal mulai siap operasi sejak pertengahan tahun 1996. Sejak Kamis (28/3/96) lalu Indovision (anak perusahaan PT Matahari Lintas Cakrawala/Malicak) menjalin kerja sama dengan Star TV untuk menawarkan paket acara hingga 25 saluran. Sebelumnya, Indovision cuma menjual lima channel dari jaringan Turner International (HBO, CNN, ESPN, TNT and Cartoon Network, dan Discovery) dengan sewa per bulan 30 dolar. "Pasar Indovision sangat terbatas, cuma di hotel, apartemen dan real estate. Tidak perlu ditakutkan, cuma beberapa ribu saja pasar yang dibidik dan dari kalangan terbatas," tutur Ishadi SK yang pernah "terbuang" tiga setengah tahun di Badan Penelitian & Pengembangan Departemen Penerangan ini. Peter Gontha, Presiden Direktur PT Malicak mengatakan, target jumlah pelanggan Indovision dalam lima tahun (1994-1999) sebanyak 600.000. Pada April 1996, jumlah pelanggan adalah 30.000 kamar hotel, 16.000 pelanggan rumah, dan 4.000 pelanggan komplek perumahan. Bagi Ishadi, tantangan buat televisi swasta Indonesia justru tayangan asing yang dialihbahasakan namun bisa menarik pemirsa yang banyak lewat rating yang tinggi. "Untuk melawannya adalah dengan membuat produk tayangan yang berkualitas. Repotnya, tidak semua tayangan lokal bagus-bagus dan bisa memenuhi tuntutan industri pertelevisian," katanya. Ia menunjuk contoh sukses sinetron Kedasih di TPI yang dibuat hingga 102 episode dan fenomena sinetron Si Doel Anak Sekolahan di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Menurut Nenni Soemawinata, saat itu semua stasiun teve swasta -- termasuk SCTV (Surya Citra Televisi) -- tengah berlomba-lomba mendapatkan dan menyajikan tontonan berkualitas. Sayangnya, mutu sajian seperti yang didambakan pemirsa tidak selalu tersedia di pasaran. Sementara, impor yang tersedia juga telah habis dibeli oleh stasiun lain. Situasi yang dilematis juga diakui Garin. Pertelevisian Indonesia sejak 1991-1995 yang masih dalam tahap pengenalan ini disebut Garin Nugroho sebagai dekade pintu terbuka industri televisi. "Sebagai konsekuensinya akan lahir produksi sebanyak-banyaknya dan produksi secepat-cepatnya. Ini logis terjadi dan akan terjadi cepat keusangan sebuah tayangan yang berlangsung cepat karena harus tunduk pada hukum rating tinggi. Pada masa seperti ini akan terjadi jumlah program akan kalah dengan jumlah jam tayang," katanya waktu itu. Walhasil, tayangan televisi bakal digempur oleh tayangan asing ketika itu. Film-film asing itu didapat melalui pasar bebas yang dibeli dari berbagai distributor asing seperti Warner Brothers, Carolco, Viacom, Southern Star, Walt Disney, NBC, ABC, 20th Century Fox, dan Paramount. Selain sejumlah program bagus untuk kategori hiburan, pendidikan dan olahraga yang diperoleh dari bursa film yang diadakan di penjuru dunia seperti MIP, MIPCOM, LA Screening, NATPE, dan bursa film internasional. Menurut Garin, situasi yang sama juga terjadi dalam dunia hiburan di Eropa dan Amerika. Ketika televisi pertama kali diperkenalkan di Amerika pada 1946, televisi telah menggantikan film sebagai pusat hiburan audio visual. Periode ini ditandai dengan menurunnya secara drastis jumlah produksi film Amerika dari 400 judul pada tahun keemasan pertama 1930-1950, menjadi sekitar 165 judul. "Penonton film menurun, bisnis film beralih ke televisi, kemudian terjadi penjualan film-film lama Hollywood ke televisi, yang sering disebut sampahnya Hollywood," katanya. Dok. Republika, 6 April 1996, dengan sedikit perubahan |
2nd March 2012, 00:58 |
#205
|
Mania Member
|
Kekerasan di depan bocah
ORANG tua tahu kebiasaan putra-putrinya: suka menonton serial televisi yang mestinya untuk anak gede atau orang dewasa. Tapi mereka umumnya tak kuasa berbuat apa-apa. Para orang tua tahu pula kebiasaan putra-putrinya yang suka nonton film anak di televisi. Tapi tak banyak dari mereka yang menyadari bahwa dalam film itu terselip banyak adegan antisosial.
Ironi ini terungkap dalam seminar tentang acara anak-anak di gedung TVRI Stasiun Pusat Jakarta (Senayan), pertengahan April 1995. Kelangkaan acara yang cocok untuk konsumsi anak-anak usia 5 sampai 14 tahun itu sempat diberitakan beberapa media cetak sampai pertengahan 1995 itu. Namun, yang membuat masalah ini ramai ialah reaksi dari lima televisi swasta Indonesia. Mereka bersama-sama mengadakan konferensi pers, Selasa (25/4/950, menanggapi sinyalemen itu. Tentu, acara konferensi pers itu muncul di layar kaca. Gambaran sisi "rawan" siaran televisi itu dikemukakan B. Guntarto dan kawan-kawannya dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI). Mengutip catatan Yoeniarsih Nazar, pengamat program televisi, ia mengungkapkan kegandrungan bocah usia 5-14 tahun terhadap tayangan yang mestinya untuk remaja. Dari 50 siaran yang menempati rating tertinggi di kelompok usia itu selama itu, menurut catatan Yoeniarsih yang dikutip Guntarto, hanya 11 buah yang cocok untuk kelompok usia 5-14 tahun. Ia juga menggambarkan bahwa di antara film yang dikategorikan untuk anak-anak itu ternyata banyak disisipi adegan tak sehat. Guntarto menyebutnya antisosial. Contohnya ialah adegan bertengkar disertai kata-kata kasar, menyerang, membunuh, memaksa, mencuri, atau berperang. Fakta itu diperoleh dari 195 episode film _ kartun, nonkartun, boneka, serta campuran _ yang disiarkan sepanjang Februari 1993 di TVRI Programa I, TVRI Programa II, RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), dan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). Secara rata-rata, adegan antisosial dari semua film itu mencapai 52%. Perbedaan satu stasiun dengan yang lain tak njomplang betul. Yang tertinggi adegan sosialnya, RCTI, sebesar 54,3%. Yang paling rendah TVRI, 49,7%. Perbedaan itu, kata Guntarto, boleh jadi disebabkan selera dalam menyeleksi film dan editing. Tapi perbedaan tipis itu agaknya tak menggambarkan kebijaksanaan yang berbeda dalam menyiapkan menu siaran untuk anak-anak. Dilihat dari asal film, menurut Guntarto, ada kecenderungan yang khas. Film Amerika lebih banyak didominasi adegan antisosial. Porsinya 54,2%. Film asal Jepang menempati posisi kedua dengan porsi 51,2%. Sedangkan Eropa 48,1%. Produk lokal, seperti Si Komo, Sahabat Pilihan, dan Si Unyil, lebih prososial. Adegan antisosialnya rata-rata cuma 36%. Guntarto, waktu itu 32 tahun (kini 48 tahun), tentu lebih berpihak pada adegan prososial dalam film anak. Yang dimaksudkannya dengan adegan itu, antara lain, tindakan mendahulukan orang lain (dengan alasan yang masuk akal), menolong, bekerja sama, memberikan simpati, dan memberi kehangatan. Lantas, seberapa besar adegan antisosial berpengaruh terhadap perilaku anak? Guntarto tak berani berspekulasi. "Faktor lingkungan tetap penting. Kalau faktor lingkungan tak mendukung, siaran televisi tak besar pengaruhnya," ujar sarjana komunikasi massa lulusan Universitas Gajah Mada itu. Lepas dari soal muatan adegan, Guntarto juga melansir kenyataan bahwa secara kuantitas siaran untuk anak tak begitu besar waktu itu. Sore hari di luar hari libur, yang sering dianggap waktu paling cocok bagi anak menonton televisi, program untuk bocah bisa tak tersedia. "Banyak televisi swasta yang menyiarkan film dewasa menjelang pukul 18.00," ujar Guntarto waktu itu. Bahkan, menurut Kepala Bidang Kajian Anak dan Televisi YKAI itu, SCTV (Surya Citra Televisi) sepanjang 1995 itu, tak punya program untuk anak mulai Senin sampai Jumat. Dalam konferensi pers, manajer humas dari lima televisi swasta yang hadir tak menampik temuan Guntarto. "Kalau mau jujur, ini semua adalah masalah kita bersama," ujar Doktor Eduard Depari, Manajer Hubungan Masyarakat RCTI, seperti mewakili empat stasiun yang lain, ANteve (Andalas Televisi), Indosiar, SCTV, dan TPI. Mereka sepakat mengembalikan persoalan anak kepada keluarga. "Sambil kita mencari jalan keluarnya," kata Tuning Sukobagyo, dari ANteve, waktu itu. Eduard pun membeberkan persoalan televisi Indonesia. Sumber pendapatannya semata-mata dari iklan (kecuali TVRI yang mengandalkan iuran televisi, setoran 12,5% pendapatan iklan TV swasta, dan subsidi pemerintah karena tidak boleh beriklan) yang secara keseluruhan volumenya waktu itu diperkirakan Rp 1,4 trilyun sepanjang tahun 1995. Televisi diperkirakan meraup setengahnya, dan dibagi kelima stasiun. Angka itu, menurut Eduard, pas-pasan, tak cukup untuk stasiun televisi yang ada. Kalau ada yang untung, harus ada yang buntung. "Kami tak lari dari tanggung jawab. Tapi itu situasi makronya," kata doktor komunikasi itu kepada Eko Setyo Utomo dari Gatra. Untuk memenuhi banyak keinginan, katanya, televisi masih perlu waktu lebih panjang. Mendapatkan film anak yang sarat muatan prososial, kata Eduard, tak mudah. Film kartun lokal lebih mudah dirancang untuk misi tersebut. "Tapi mahal," katanya. Untuk kartun impor, pihaknya cukup membayar Rp 6 juta, semua beres. Memang ada sinetron lokal seperti Sahabat Pilihan (RCTI) yang dinilai prososial dan rating-nya cukup tinggi. "Tapi kali ini kami sedang miskin ide," tuturnya kepada Aries Kelana dari Gatra, waktu itu. Ide itu sendiri memang barang mahal. Film Si Unyil, yang dinilai bagus oleh YKAI dan disiarkan TVRI beberapa waktu sebelum itu, rating-nya jeblok. Kalau soal ini terjadi di televisi swasta, itu berarti kerugian. Maka Eduard tak mau termakan spekulasi tentang pengaruh adegan kekerasan terhadap anak. Ia mengganggap perlunya survei langsung ke anak-anak. "Kita jangan melihat dengan kacamata orang dewasa. Coba tanyakan kepada anak-anak. Jangan-jangan kita akan terkejut oleh jawabannya," kata Eduard. Ketika itu, Eduard berspekulasi. Dok. GATRA, 1-7 Mei 1995, dengan sedikit perubahan |
2nd March 2012, 00:58 |
#206
|
Mania Member
|
Siaran langsung meja hijau
KETIKA sidang kedua untuk mengadili Harnoko Dewantono alias Oki berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (27/6/96), seorang ibu sontak menghentikan aktivitasnya. "Saya berhenti masak karena ingin melihat sidang Oki," kata Pipit Puspitawati, ibu rumah tangga yang tinggal di Cijagra, Bandung. Namun, Pipit tak perlu jauh-jauh ke Jakarta guna melihat sidang itu. Ia cukup menonton dari layar televisi di ruang tamu rumahnya. Inilah terobosan baru televisi swasta, ANteve (Andalas Televisi), waktu itu, membuat siaran langsung berita aktual yang dikemas dalam program berjudul "Saksi Mata". Sidang Oki adalah nomor perdana acara itu.
Siaran langsung televisi memang bukan hal baru waktu itu. Pertandingan sepak bola dan tinju, atau upacara kenegaraan, sudah sering ditayangkan langsung oleh televisi. Tapi baru waktu it acara persidangan meja hijau disiarkan langsung secara lengkap oleh stasiun televisi Indonesia. Ini terobosan baru ANteve untuk menghidangkan berita hangat langsung ke ruang tamu pemirsa. "Keunggulan siaran televisi kan terletak pada kecepatannya sampai ke masyarakat," kata H. Azkarmin Zaini, Pemimpin Redaksi ANteve. Acara unggulan itu bisa terlaksana karena ANteve waktu itu memiliki mobil pemancar (OB-van) yang dilengkapi Satellite News Gathering (SNG). SNG merupakan perangkat untuk memancarkan sinyal televisi dari tempat liputan ke studio melalui satelit. Perangkat yang berharga sekitar Rp 2 milyar ini lebih canggih dan lebih ringkas dibanding dengan pemancar mobil milik stasiun televisi lainnya. "ANteve adalah stasiun televisi pertama di Indonesia yang memiliki SNG," kata Azkarmin waktu itu. Begitu memiliki SNG, ANteve langsung mengadakan persiapan untuk siaran langsung. Persidangan Oki kemudian dipilih sebagai siaran perdana. "Sidang ini menarik karena banyak masyarakat yang penasaran, ingin tahu penuntasan kasus ini," kata Azkarmin. Siaran langsung ini berjalan lancar karena pengadilan juga tak keberatan. "Sidang ini kan terbuka untuk umum. Siapa saja boleh menyaksikannya, termasuk wartawan," kata I Gde Ketut Sukarata, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang juga ketua majelis hakim yang mengadili Oki. Cuma, hakim melarang meliput Oki dari depan selama persidangan. "Sebab kita harus berpegang dari asas praduga tak bersalah," kata Sukarata. Syarat dari pengadilan ini dipatuhi ANteve. Namun, begitu keluar ruang sidang, kru ANteve tak sungkan menyorot langsung wajah Oki. "Karena peraturan PWI membolehkan menyebut nama lengkap dan menayangkan wajah tersangka," kata Azkarmin. Untuk acara sidang pertama, ANteve menurunkan 40 kru, termasuk enam reporter serta beberapa petugas pengamanan untuk mengawasi peralatan yang masih baru itu dari tangan jail. "Soalnya, kalau ada salah satu kabel yang tersenggol, siaran bisa putus," kata Azkarmin. Di seputar ruang sidang, dipasang empat kamera. Gambar dari keempat kamera ini diedit dalam mobil pemancar. Kemudian paket siaran jadi itu ditransmisikan melalui antena parabola di atap mobil ke Satelit Palapa untuk diteruskan ke studio ANteve di Kuningan, Jakarta. Dari studio, sinyal televisi baru dipancarkan ke seluruh Indonesia melalui stasiun relai di kawasan Joglo, Jakarta Barat. Jerih payah kru ANteve tak sia-sia. Acara "Saksi Mata" tampil memikat. Selain kasusnya menarik, masyarakat ingin tahu suasana persidangan karena banyak yang belum pernah ke pengadilan. Di acara ini mereka bisa mendapat gambaran utuh sebuah persidangan: retorika pengacara dan jaksa, juga sikap Oki selama persidangan. "Acara ini banyak human interest-nya. Saya bisa melihat sisi lain suasana persidangan yang tak bisa didapatkan dari koran," kata Pipit. Sebagai contoh, dari siaran langsung sidang kedua, Pipit melihat saat mobil tahanan yang akan membawa Oki ke pengadilan mogok, sehingga Oki terpaksa dibawa masuk lagi ke gedung pengadilan. Menurut Azkarmin, reaksi pemirsa terhadap acara itu cukup bagus. Terbukti dari banyaknya surat dan telepon yang masuk ke meja redaksi, meminta acara semacam ini ditambah. Karena itulah Azkarmin merencanakan untuk menayangkan seluruh persidangan Oki hingga vonis setelah itu. "Saat hakim meminta keterangan terdakwa dan saksi-saksi nanti, saya yakin acaranya akan lebih menarik," kata Azkarmin. Namun, "Saksi Mata" tak cuma meliput acara sidang. Menurut Azkarmin, berita hangat yang menarik buat orang banyak atau menyangkut kepentingan orang banyak akan disiarkan langsung lewat "Saksi Mata" waktu itu. Pekan terakhir Juni 1996, misalnya, "Saksi Mata" menayangkan kemacetan yang terjadi di pelabuhan feri Merak- Bakauheni. Namun, wilayah liputan "Saksi Mata" masih terbatas di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. "Karena baru di daerah itu kita mendapat izin dari Telkom," kata Azkarmin waktu itu. Acara siaran langsung itu dipuji pengelola berita di stasiun televisi lainnya. "Kami sedang mikir-mikir, mereka sudah masuk. Itu bagus, saya puji," kata Chrys Kelana, Pemimpin Redaksi RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), kepada Nurlis Effendi dari Gatra. Pujian serupa juga datang dari SCTV (Surya Citra Televisi). "Siaran langsung itu sangat baik untuk memperkaya jurnalistik televisi," kata Budi Darmawan, Humas SCTV. Stasiun televisi yang lain tampaknya tak mau ketinggalan. TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), misalnya, saat itu melengkapi armada pemberitaannya dengan sebuah pesawat helikopter. Sejak awal Juli 1996, helikopter itu digunakan untuk memantau situasi jalan-jalan di Jakarta. Pemantauan itu disiarkan langsung lewat paket berita "Lintas 5", setiap pukul 5 sore. Dok. GATRA, 8-14 Juli 1996, dengan sedikit perubahan |
2nd March 2012, 01:00 |
#207
|
Mania Member
|
Sctv ngerem: Wimar witoelar tergusur, perspektif (acara televisi 1995)
SEBAGAI pemandu acara talk show, Wimar Witoelar punya gaya tersendiri. Ia pandai menggiring dan mencecar lawan bicaranya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, kritis, dan acapkali nakal. Kemudian dengan tangkas pula lelaki yang waktu itu berusia 50 tahun (kini 66 tahun) itu memberi komentar sebelum menyodok lagi dengan pertanyaan lain. Suasana tanya jawab menjadi hidup, mengalir. Wimar memang punya kelas. Acara talk show itu, yang ditayangkan Surya Citra Televisi (SCTV) setiap Sabtu petang, menjadi acara yang digemari kalangan menengah ke atas.
Namun sejak Sabtu (16/9/95), program Perspektif yang dipandu Wimar itu menghilang dari layar SCTV. Mochtar Lubis merupakan tamu terakhir yang diwawancarai pria berambut kribo kelahiran Padalarang, Jawa Barat, ini. Mochtar dipilih oleh Wimar karena sedang menarik perhatian publik. Ia baru saja mengembalikan Hadiah Magsaysay yang pernah ia terima pada 1958, sebagai protes atas penganugerahan hadiah serupa pada tokoh Lekra Pramoedya Ananta Toer. Momentum itulah yang dimanfaatkan Wimar untuk menampilkan Mochtar Lubis ke dalam program Perspektif SCTV. Tapi tampaknya bukan karena Mochtar Lubis bila Perspektif harus dihentikan. Pihak SCTV sendiri tak memberi alasan yang jelas sekitar penghentian acara itu. "Ya, lebih tepat diistirahatkan," kata Humas SCTV, Budi Darmawan. Memang sulit dihindari munculnya kesan bahwa acara itu disetop secara mendadak. Wimar sendiri heran. "Saya kaget, karena acara itu dihentikan justru pada saat sedang disukai masyarakat," katanya. Wimar sendiri diberitahu secara dadakan. "Rupanya, ini bukan kehendak SCTV, tapi mereka terpaksa melakukannya," katanya diplomatis. Ketika diberitahu, Wimar, adik Dubes RI di Moskow, Rachmat Witoelar mengaku tak sempat bertanya apa alasan peng- hentian itu. "Kita tahu bahwa kebijakan-kebijakan mengenai pers sering harus kita terima tanpa harus banyak bertanya," ujarnya kepada Ahmad Husein dari Gatra. Tak mudah memang menerka "apa-apa" di balik beleid SCTV itu. Tokoh-tokoh pilihan Wimar untuk wawancaranya umumnya golongan netral, tokoh kontroversial, atau yang suka miring-miring. Pernah memang, dua tamu Wimar (Ketua Umum PB NU, KH Abdurrahman Wahid aka alm. Gus Dur dan Hakim PTUN Benyamin Mangkoedilaga) ditolak SCTV. Wimar mengaku kecewa. "Tapi saya bisa memahami posisi SCTV," tuturnya. Wimar yang sehari-harinya konsultan manajemen itu mengatakan, pelarangan penayangan beberapa wawancaranya, dan penghentian acara itu, erat kaitannya dengan kebijakan di bidang pers. "Penghentian program Perspektif ini terpaksa dilakukan karena mereka tak mungkin terus-menerus menekan SCTV, yang seolah-olah ingin mempertahankan acara itu," kata Wimar menduga-duga. Pihak SCTV agaknya waktu itu tak ingin masalah ini menjadi pembicaraan yang berkepanjangan. Maka Budi Darmawan pun mengatakan, penghentian itu inisiatif SCTV, bukan karena dilarang. Sejak 12 September 1995, kata Budi, SCTV melakukan penjadwalan ulang program-programnya. Ibarat menyetir mobil kata Budi, kadang perlu menekan gas dan ada kalanya mengerem. "Sekarang saatnya kami mengerem," katanya waktu itu. Wimar mengaku, acara Perspektif yang dimulai sejak Maret 1994 itu diilhami program Larry King Live dari CNN. Dan Wimar cukup berhasil. Sampai ditutup, acara itu telah menayangkan 70 program wawancara. "Saya sedih karena harus berpisah dengan pemirsa yang terasa begitu dekat dengan saya," katanya. Dok. GATRA, 18-24 September 1995, dengan sedikit perubahan |
2nd March 2012, 01:05 |
#208
|
Mania Member
|
Ayo sctv, jangan bubar
Selama dua bulan (Januari-Februari 1997), telah dua kali SCTV (Surya Citra Televisi) mengadakan rapat umum pemegang saham (RUPS). Hasilnya, Henry Pribadi turun lagi sebagai wakil direktur utama (dirut) bersama Peter F. Gontha. Saat itu muncul pertanyaan, siapa yang paling berkuasa? Apakah benar langkah ini sebagai upaya untuk menyelamatkan SCTV dari kemelut?
Layaknya sebuah perusahaan, SCTV mengadakan RUPS setiap tahun. Tapi tahun 1997 lebih istimewa, RUPS stasiun teve yang waktu itu masih teve telenovela tersebut diselenggarakan dua kali, dan jarak antara keduanya cuma dua bulan (Februari-Maret 1997). Seperti perusahan lain juga, bila pemegang saham rapat sampai dua kali setahun tentu ada hal istimewa yang harus diputuskan. Hasil rapat yang diumumkan bagian Humas SCTV ternyata memang penting. Yaitu tentang perubahan jajaran komisaris dan direksi SCTV. Dirut sejak Maret 1997 dipegang Agus Mulyanto yang sekaligus memimpin divisi teknik dan produksi. Wakilnya Henry Pribadi (pemilik Grup Napan) dan Peter F. Gontha (salah seorang pengelola RCTI). Konon, susunan direksi dan komisaris ini adalah hasil pertarungan hebat antara kubu Henry dan Gontha. Pasalnya, beberapa nama yang masuk direksi di jajaran dikenal sebagai orang dekat Henry Pribadi. Dan Henry sendiri pernah menduduki bangku wakil dirut sebelum Teuku Syaiful Anwar ditempatkan Gontha di sini. Sebaliknya, beberapa nama lain yang dekat dengan Gontha menghilang dari jajaran direksi. Misalnya, Slamet Supoyo, dirut yang lama (menjabat sebagai dirut SCTV pada 1990-1997), pindah jadi anggota komisaris; dan Teuku Syaiful Azwar (mantan wakil dirut) sejak Maret 1997, menyibukkan diri di empat stasiun radio dan Jamz. Berhentinya saya dari vice president ini kan menyelamatkan banyak pihak, kata Syaiful Azwar kepada Budi Arie Setiadi dari KONTAN. Keputusan lain dari RUPS itu adalah menetapkan Hoessein Soeryopranoto sebagai komisaris utama, wakil komisaris utama Sudwikatmono. Anggota komisaris adalah: Aziz Mochdar, Yolla Zuraida Hasan, dan Doopy Irwan. Alasan resmi SCTV merombak manajemen, seperti diungkapkan Agus Mulyanto, adalah untuk konsolidasi menjelang era globalisasi. Tampilnya Henry dan kawan-kawannya mengelola SCTV karena mendapat dukungan dari sebagian besar pemegang saham, terutama (alm) Sudwikatmono. Disebut-sebut, dalam RUPS 15 Maret 1997 itu, para pemegang saham menyetujui Henry menyetor dana segar Rp 150 miliar untuk mengembangkan SCTV. Henry cinta banget pada SCTV, kata kalangan manajer di SCTV. Bersaing bisnis media di luar SCTV Tampilnya duet Henry dan Gontha di manajemen adalah hal yang baru dan menarik. Sebab keduanya, di luar SCTV, mempunyai bisnis media siaran sendiri-sendiri. Kebetulan keduanya berkecimpung dalam televisi berlangganan yang mulai muncul di Indonesia sejak 1994. Peter Gontha � yang waktu itu juga sebagai anggota komisaris RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) -- telah banyak dikenal sebagai pengelola PT Media Citra Indostar, penyelenggara televisi berlangganan Indovision yang merupakan kongsinya dengan Bimantara dan RCTI. Saat itu Indovision dilanggani oleh 20.000 sampai 30.000 orang, seperti diutarakan Benny Junito, pemasar Indovison. Tahun 1997, Indovision waktu itu merencanaan meluncurkan satelit Indostar dan mengubah teknologi tayangannya menjadi digital. Di samping tayangan asing, Indovision juga mengandalkan produksi lokal melalui Citra TV, hasil kerja samanya dengan RCTI. Sedangkan Henry Pribadi � bersama Sudwikatmono dan Prayogo Pangestu -- waktu itu masih dalam persiapan membangun televisi berlangganan di bawah bendera PT Indocitra Grahabawana. Televisi ini telah disiapkan sejak tahun 1995 dan telah mengajukan izin ke Departemen Penerangan, tapi waktu itu belum beroperasi karena menunggu pemerintah menerbitkan UU Penyiaran. Selain televisi berlangganan, PT Indocitra waktu itu juga memiliki sebagian saham PT Menara Jakarta, bersama PT Telkom, PT Indosat, dan Yayasan TVRI. Bangunan setinggi 558 meter (tertinggi di Indonesia waktu itu) tersebut saat itu akan menjadi pusat telekomunikasi, penyiaran dan multimedia di Indonesia. Menara yang terletak di Kemayoran, Jakarta {usat, ini dibangun dengan biaya US$ 560 juta. Bila semua proyek ini berjalan, dipastikan televisi berlangganan milik Gontha dan milik Henry saat itu akan bersaing ketat mencari pelanggan. Jadi, memang agak janggal jika mereka di SCTV bahu-membahu di kursi wakil direktur utama. Siapa pun yang mengelola SCTV, stasiun ini waktu itu butuh suntikan baru untuk menghadapi persaingan. Para pesaing, seperti Indosiar, pertumbuhan pendapatan iklannya tergolong tinggi. Begitu juga ANteve (Andalas Televisi), melejit setelah mendapat dua kali suntikan dana (Rp 60 miliar dan US$ 70 juta). Stasiun TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) saat itu juga tengah berbenah dengan memasukkan mantan direktur utama TVRI, Ishadi SK dan direktur utama perusahaan jalan tol CMNP (Citra Marga Nusaphala Persada),Tito Sulistio. Jadi suntikan dana Rp 150 miliar ke tubuh SCTV itu sesuatu yang masuk akal. Apalagi kondisi program SCTV boleh dibilang kurang menggembirakan. Dibandingkan dengan stasiun lain, program SCTV waktu itu cuma sedikit yang jadi unggulan secara nasional. Menurut data SRI (Survey Research Indonesia) dalam dua pekan pertengahan Maret 1997 cuma Spontan yang digemari secara merata di beberapa kota. Tapi kami memiliki beberapa paket yang segmented, kata Budi Darmawan, Manajer Humas SCTV. Budi mencontohkan serial Melrose Place, yang bercerita tentang eksekutif muda dan perselingkuhan. Jadi? Inikah langkah Henry untuk untuk menyelamatkan SCTV. Dok. KONTAN, 24-30 Maret 1997, dengan sedikit perubahan |
2nd March 2012, 01:06 |
#209
|
Mania Member
|
Dangdut goyang terus, pop kok loyo?
DANGDUT di layar TV bergoyang terus sampai pertengahan 1992. Musik pop jadi loyo. Bahkan Musica Studio's maupun Aquarius Musikindo, kedua perusahaan rekaman kelas wahid yang kondang memproduksi lagu-lagu "elite" seperti milik (alm) Chrisye, Trio Libels, atau Ruth Sahanaya, pada 1992 pun ikut-ikutan berdangdut. Musica terpaksa memangkas jumlah produksi lagu pop dari tiga menjadi satu per bulan. Itu pun tanpa kepastian kapan diedarkan. Sebab, sejumlah kaset, seperti album Jamal Mirdad, Denny Malik, dan Hetty Koes Endang yang sudah siap diedarkan, terpaksa ditunda oleh Musica sendiri.
"Menunggu situasi menguntungkan," kata staf bagian promosi Musica, Henry Sinyang. Latah? "Ini kan bisnis. Jadi, lumrah saja kami ikut meramaikan dangdut," komentar Henry. Hal yang sama dialami Naviri Record. Perusahaan rekaman yang pernah memproduksi kaset lagu Fariz R.M. dan Imaniar ini sejak dua tahun sebelumnya, 1990, mengubah haluan. Khusus memproduksi dangdut. Meski belum sampai mati angin, musik pop jelas terdesak waktu itu. Karena, menurut Direktur Utama Naviri, Dharmawan, harga kaset dangdut relatif lebih murah ketimbang lagu pop. Dan ketika dangdut sedang boom seperti pada 1992 itu, posisi musik pop jadi serba repot. Dari bawah didesak dangdut, dari atas ditekan kaset lagu Barat. Maka, tak ada pilihan lain kecuali mengerem pop. Sebab, ongkos produksi lagu pop terbilang mahal, sekitar Rp 40 juta per album. Sedangkan ongkos produksi dangdut, kata Dharmawan, paling banter Rp 5 juta. Coba saja, honor penyanyi baru cuma Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Honor musisi pengiring, yang bisa dicomot dari kampung-kampung itu, antara Rp 2 juta dan Rp 3 juta. Rekaman bisa diatur. Dharmawan bahkan hanya perlu satu musisi yang ahli memainkan berbagai alat musik. Misalnya, hari ini pengisian suara bas dan gitar, besoknya disisipkan suara drum atau organ. Musisi serba bisa itu dikasih honor Rp 1 juta. Bagaimana kaset digarap, tak soal buat Naviri. Toh kalau lagu disukai, kaset bakal meledak. Tengok saja lagu Mabuk Judi. Siapa yang kenal penyanyinya, Cucu Cahyati? Dia pendatang baru pada 1992 lalu. Tapi, karena lagunya disukai, kaset pun laris sampai 300.000 biji. Cucu mendapat hadiah mobil Toyota Kijang dari Naviri. Tapi tak semua produser memakai cara kerja Naviri, walau memang mereka lebih suka memburu penyanyi baru karena honornya murah. Di bidang perdangdutan, JK Record, perusahaan rekaman yang dikenal cerdik menjaring penyanyi cantik bersuara standar itu, lebih berpengalaman. Tahun 1988, JK menggebrak dunia dangdut lewat penjualan 800.000 kaset lagu Di Mana Ada Kamu Di Situ Ada Aku, yang dinyanyikan Heidy Diana. Ini rekor dangdut yang mungkin tak tertandingi sampai Mei 1992 itu. Selain mengincar penyanyi baru, JK juga waktu itu berhasil menggaet penyanyi ternama Camelia Malik -- honornya Rp 30 juta per album -- yang diam-diam juga diincar Musica Studio's. Ini terang bukan bisnis murah. Soalnya, khusus untuk lagu ini para penciptanya terdiri dari musisi pop seperti Deddy Dhukun, Achmad Albar, dan Ian Antono. Bahkan penata musik untuk album terakhir Camelia waktu itu yang berjudul Kedap-Kedip ini dikerjakan oleh Harry Anggoman, anggota grup rock Gong 2000. Namun, tak jelas apakah kontribusi para pencipta lagu itu ke dunia dangdut karena musik pop sedang lesu waktu itu, atau mereka ingin meningkatkan kualitas dangdut. Nyata bahwa TVRI menjadi media ampuh untuk promosi saat itu. Acara Aneka Ria Safari, Aneka Ria Safari Nusantara, Irama Masa Kini, Kamera Ria, Album Minggu, dan Panggung Hiburan Anak-Anak, selalu ramai dangdut. Begitu ramainya sampai pernah terjadi, dalam acara Album Minggu, dari 16 lagu, yang pop cuma satu. Inilah yang bikin pemirsa jengkel, sampai muncul surat pembaca yang menuding TVRI kejam karena tak memberi porsi adil bagi penggemar musik bukan dangdut. Padahal, ia juga membayar iuran TVRI. TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) pada 1992 lalu juga mempunyai sarana dangdut, Nuansa Musik dan Musik-Musik. Tiket tampil di TPI yang waktu itu masih "nebeng" di TVRI ini, lebih murah (tapi resmi), yakni Rp 2,5 juta plus bonus sekali tampil lagi. Sedang di TVRI lebih mahal (dan setengah resmi), sekali tampil harganya Rp 4,5 hingga 5 juta. RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) dan SCTV (Surya Citra Televisi), kedua saluran TV yang semula "melarang" dangdut, belakangan itu ikut menayangkan video clip dangdut, misalnya yang muncul di RCTI Jakarta dari penyanyi pendatang baru Basofi Sudirman, wagub DKI yang juga Ketua DPD Golkar DKI. Tak jelas berapa mesti membayar, tentunya paling mahal dibandingkan dua stasiun televisi: TVRI dan TPI tadi. Sebetulnya, di kalangan koordinator acara TVRI sudah ada aturan main waktu itu, yakni tayangan dangdut tak boleh lebih dari 30%. Kenyataanya dangdut mendominasi hampir 75% acara musik. "Dangdut sedang trendy. Kami menyesuaikan dengan selera masyarakat," kata Kepala Seksi Perencanaan Musik dan Hiburan TVRI, Hoediono Drajat, kepada Heri Wardoyo dari TEMPO waktu itu. Sampai saat itu, tak ada yang bisa meramalkan sampai kapan dangdut mendominasi pasar. Tapi Camelia Malik menganggap Indonesia sudah saatnya membawa dangdut go international. Mia, begitu ia akrab dipanggil, adalah penyanyi dangdut pertama yang tampil di Shibuya Hall, Jepang. Penggemar dangdut di Jepang, katanya, amat besar. Kalau tidak, mana mau mereka mengundang penyanyi-penyanyi Indonesia. Dok. TEMPO, 16-22 Mei 1992, dengan sedikit perubahan |
2nd March 2012, 01:08 |
#210
|
Mania Member
|
Bahasa televisi
"DIRGAHAYU Republik Indonesia! Dirgahayu TVRI!" Ucapan selamat yang benar itu lebih sering terlindas oleh ucapan yang salah, misalnya Dirgahayu HUT RI ke-45 atau Dirgahayu HUT TVRI ke-28. TVRI dulu sudah sering menampilkan acara yang mengoreksi salah kaprah itu, tetapi kesalahan masih saja berlangsung hingga pertengahan 1990. Hal itu dapat dimaklumi karena, jangankan orang luar, TVRI sendiri sering tidak mengamalkan ajaran yang disiarkannya.
Tanggal 15 Agustus 1990, ada grup lawak yang memajang kain rentang. Bunyinya: "Dirgahayu H.U.T RI ke:". Banyak yang mengeluh kepada TVRI. Setiap minggu ada siaran Pembinaan Bahasa Indonesia, tetapi di luar itu bahasa Indonesia oleh TVRI mengecewakan. Sampai-sampai ada yang menyebutkan, dalam seminggu di TVRI terdapat 25 menit siaran pembinaan bahasa Indonesia, 2.500 menit sisanya pembinasaan bahasa Indonesia. Pendapat itu jelas sangat berlebihan, tetapi di dalam acara pembinaan itu sendiri memang sering terjadi kesalahan bahasa, baik oleh pembawa acara maupun kesalahan penulisan lembar peraga sehingga sang pengasuh kikuk. Begitu lepas acara pembinaan bahasa, langsung terjadi kesalahan bahasa. Tenggang waktunya tidak sampai memasuki hitungan menit. Misalnya kasus tanggal 8 Agustus 1990. Setelah acara selesai, sekitar tiga detik kemudian muncul telop Banyak membaca tercipta pola pikiran yang .... Menurut kaidah yang sering diajarkan, telop itu mestinya berbunyi Dengan banyak membaca tercipta pola pikiran yang . . . atau Banyak membaca menciptakan pola pikiran yang .... Telop yang standar masih menggunakan ejaan yang berbeda dengan acara pembinaannya. Setiap hari terpampang adzan maghrib, dan Allah Maha Besar, yang semestinya azan magrib, dan Allah Mahabesar. Sesekali muncul shalat dhuhur. Kata Jumat kebanyakan muncul Jum'at. Salah eja semacam ini sulit mendapat ampun karena berbeda dengan telop-telop lain yang mungkin dibuat terburu-buru. Kesan yang diperoleh menunjukkan, banyak telop dibuat tergesa-gesa. Namun, kalau tergesa-gesa itu baku, tentu ada yang tidak beres. Evaluasi cuaca menampilkan tulisan dibawah normal dan diatas normal. Kesalahan klasik kemana-mana, ketempat, kedekatnya, kesini, disini, dibawah, dimanapun (yang seharusnya ditulis kemana-mana, ke tempat, ke dekatnya, ke sini, di sini, di bawah, dimana pun) berulang-ulang muncul dalam banyak acara. Sebaliknya, di sebagai awalan (misalnya didengar dan dimakan) muncul seolah-olah itu kata depan menjadi di dengar dan di makan. Berkali-kali diberitahukan bahwa kata yang baku adalah ubah dan bentukannya adalah berubah, mengubah, perubahan, bukan berobah, merobah, merubah, perobahan, tetapi yang sering muncul merubah. Penerjemahan terkadang menghasilkan kata yang tidak lazim dalam kosakata bahasa Indonesia. "Apa yang kau cari ada direksi lain." Kalau ditilik konteksnya, yang dimaksud adalah arah. Kata direksi diterjemahkan dengan perkosaan dari kata Inggrisnya direction. Interferensi dari bahasa Jawa tampak pada hasil terjemahan. Misalnya, di jarinya Cathy, gambar cincinnya Cathy. Akhirannya sebagai penanda pemilikan memang diperlukan dalam bahasa Jawa, tetapi tidak dalam Indonesia sehingga seharusnya telop itu berbunyi di jari Cathy, gambar cincin Cathy. Pada acara Cerdas Ria, 21 Juli 1990, penyiar mengajak anak yang berlomba pompa yang kuat alih-alih pompa dengan kuat atau pompa kuat-kuat. "Aku tak tahu harus berkata apa Grumble?" Mengakhiri kalimat positif dengan tanda tanya seperti ini merupakan penerapan ejaan yang aneh, tetapi TVRI tidak sendirian. Banyak orang berbuat seperti itu. Yang agak khas TVRI adalah banyaknya tanda titik setelah tanda tanya. Begitu pula titik setelah tanda seru yang mengakhiri kalimat seru. Masih ada sejumlah contoh yang membuktikan bahwa ajaran dalam siaran Pembinaan Bahasa Indonesia lebih ditujukan kepada pemirsa TVRI, tetapi tidak diterapkan oleh pengasuh TVRI. Ibarat lilin yang menerangi sekitarnya, tetapi dirinya sendiri gelap. Saat itu sudah bertahun-tahun para pengisi acara menjelaskan bahwa "pertandingan tinju antara Tyson melawan Douglas" adalah bentuk yang salah, dan diberikan pilihan kata yang benar yaitu dan, bukan melawan. Namun, pemakaian melawan itu hingga saat itu masih berlangsung, baik dalam berita maupun terutama dalam ucapan reporter atau komentator olahraga. Selama itu sering terdengar keluhan bahwa TVRI kekurangan waktu dan tempat. Kemubaziran seperti berikut ini mempunyai andil, seberapa pun kecilnya. Berapa kali kita dengar kata tentang yang berada antara kata kerja transitif dan obyeknya? Juga berapa kali muncul kata benda dalam bentuk perulangan padahal sudah didahului oleh sejumlah kata yang menunjukkan jamak, "banyak kota-kota, banyak para penjahat"? Untuk mengajak pemirsa mengikuti warta berita, penyiar mengucapkan banyak sekali kejadian-kejadian yang terjadi atau penyiar lain mengucapkan masih banyak peristiwa-peristiwa lain. Kemubaziran yang sekaligus kerancuan (yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia), yakni pemakaian walaupun dan namun juga muncul di TVRI yang seharusnya hemat kata. "Meskipun diperkuat oleh pemain top seperti Marco van Basten dan Frank Rijkaard, namun AC Milan menyerah kepada Verona" adalah bentuk salah kaprah kita penutur bahasa Indonesia. Hal mubazir dapat muncul akibat sikap pengasuh TVRI yang memperlakukan televisi sama dengan radio. Misalnya komentator olahraga. Kita lihat hal yang sama dalam kasus korban terowongan Mina. Betapa sibuk penyiar membacakan lengkap nomor, nama, asal, dan kloter korban, padahal itu semua sudah ditampilkan dalam telop. Dalam penyajian telop, bila TVRI dibandingkan dengan RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), TVRI waktu itu kalah dalam dua hal. Pertama, ketepatan keluarnya telop. Dalam hal ini RCTI, waktu itu jauh lebih bagus. Saat penayangan telop di TVRI jauh dengan ucapan di filmnya. Kedua, kecermatan bahasa. Untuk masalah ini, TVRI juga kalah waktu itu. Tadinya kalah sangat jauh, tetapi belakangan itu tidak begitu jauh. Bukannya TVRI ngebut makin bagus, melainkan RCTI makin kendur. Kesalahan-kesalahan mendasar, yang tadinya jarang, pada 1990 itu lebih banyak muncul. Itu terasa sejak bulan Maret 1990. Mengingat TVRI jauh lebih luas jangkauannya dan besar pengaruhnya dibandingkan RCTI, langkah perbaikan bahasa saat itu perlu diambil oleh kedua bos pengelola televisi, terutama TVRI. Sebagai program jangka pendek, waktu itu diperlukan sejumlah "kuli bahasa" yang dapat menangkal cacat-cacat bahasa yang menonjol. Kegiatan ini dapat mengurangi kemubaziran dan kerancuan. Dampaknya adalah generasi muda saat itu akan memperolehsajian yang dari segi bahasa dapat dipertanggungjawabkan. Pada tahap lebih lanjut, "kuli bahasa" itu harus dilepaskan dari televisi, dan TVRI saat itu perlu swadiri. Dok. TEMPO, 25-31 Agustus 1990, dengan sedikit perubahan |
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer