HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Sabtu, 2024/04/17 14:39 WIB
Melody Prima Baru Ungkap Alasan Bercerai Setelah Setahun Berlalu
-
Sabtu, 2024/04/17 16:17 WIB
Istri Sempat Malu karena Aldi Taher, tapi Kagum dengan Sikap Aslinya
-
Selasa, 2024/04/14 11:47 WIB
Sandra Dewi Hilang di Instagram, Keluarga Lakukan Hal Ini
-
Jumat, 2024/04/16 14:20 WIB
Olivia Nathania, Anak Nia Daniaty Bebas dari Penjara Kasus CPNS Bodong
-
Sabtu, 2024/04/17 14:46 WIB
Ini Jawaban Nia Daniaty Ditanya soal Kebebasan Olivia Nathania dari Bui
-
Selasa, 2024/04/14 11:42 WIB
Soal Kabar Adopsi Bayi Perempuan, Ini Kata Raffi Ahmad
|
Thread Tools |
23rd November 2015, 00:00 |
#3411
|
Mania Member
|
SETIAP HARI LIBUR, TVRI AKAN MENYELENGGARAKAN SIARAN PAGI
SETIAP hari libur, mulai tanggal 1 Januari 1988, TVRI menambah jam siarannya pada pagi hari mulai pukul 08.00 sampai 14.00. Perkembangan baru (waktu itu) TVRI tersebut diungkapkan direktur TVRI, Drs. Ishadi SK, M.Sc, dalam jumpa pers Rabu (23/12/87) di gedung TVRI Senayan. Pertemuan pers itu sendiri dimaksudkan untuk menjelaskan masalah-masalah yang berkaitan dengan pemberitaan dan perubahan-perubahan siaran TVRI mulai 1 Januari 1988.
Yang utama akan dilaksanakan (waktu itu) oleh TVRI adalah meningkatkan kualitas siaran. TVRI (kala itu) akan berusaha keras agar para pirsawan puas atas penyajian acara yang ditayangkan melalui layar pesawat televisi. Menurut Ishadi, kuncinya yang utama ada dua, yakni masalah anggaran dan pada manusianya. Dalam hal ini, direktur TVRI, Ishadi lebih menekankan pada masalah orangnya. Warga TVRI harus kreatif. TVRI harus bersikap terbuka dan bersedia menerima kritik untuk perbaikan mutu siarannya. "Agar acara-acaranya nyaman dan enak ditonton," ujarnya. Mengenai peningkatan mutu siaran itu sendiri. Direktur TVRI, Ishadi menyatakan, bahwa instansinya memerlukan dukungan dari segala lapisan masyarakat, khususnya pirsawan TVRI. "Bila masih ada kelemahan, sabarlah. TVRI mulai 1 Januari (1988) akan meningkatkan mutu siarannya," kata Ishadi yang sebelum ini kepala stasiun TVRI Yogyakarta. Ditanya tentang sistem atau cara perbaikan mutu siaran, Ishadi tidak mau bicara banyak. "Perbaikan acara biasa-biasa saja, kami akan kerja baik. Saya tidak mau memakai kata penertiban, suatu istilah yang bagi saya menakutkan," ujarnya. Dana Bicara tentang dana yang dinilai kurang mendukung pengembangan dan peningkatan mutu TVRI, Ishadi menegaskan, pada dasarnya masih dapat digali. Dari data yang disampaikan Perum Pos dan Giro membuktikan, sekitar 25% pelanggan TVRI tidak menyerahkan iuran televisi. Sementara itu, tercatat 5,9 juta pesawat TVRI tersebar dari Aceh sampai Merauke. Ishadi memperkirakan (waktu itu), angka pemilikan televisi yang riil jauh di atasnya atau sekitar 30% lagi tidak terdaftar. "Jadi sekitar 40% sampai 45% tidak bayar iuran televisi," ujarnya tegas. Dengan peningkatan tagihan iuran TVRI, dana yang terkumpul (waktu itu) akan meningkat dan ini dapat membantu peningkatan mutu siaran. Mengenai tambahan pembiayaan jam siaran pada hari libur, Ishadi mengatakan, relatif tidak terlalu tinggi. Sebab hari libur, karena hari-hari besar jumlahnya hanya ada, 15 dan 6 di antaranya jatuh hari Minggu, sehingga ada 9 hari selama 1 tahun. Obyek pasif Sementara itu, ahli komunikasi, DR. Eduard Depari, dalam seminar sehari tentang "Peningkatan Siaran TVRI" Rabu (23/12/87) di Jakarta mengatakan, siaran-siaran yang diselenggarkaan Televisi RI selama itu belum dapat diandalkan sebagai tayangan yang menggugah intelektualisme di kalangan pemirsanya. Kebijakan klasik yang diterapkan menyebabkan, khalayak sasaran lebih dipandang sebagai obyek yang pasif dan menerima saja sehingga kesenjangan aspirasi dengan kalangan pemirsa semakin besar. Semakin tersebut diselenggarakan Direktorat Televisi bersama kelompok studi TV Club, seminar yang dihadiri sekitar 40 peserta dari kalangan televisi, kritikus, mahasiswa, dan juga artis menampilkan 6 pembicara selain Eduard, yaitu Direktur Televisi Ishadi SK, ahli komunikasi Masmimar Mangiang, Ny. Ani RM Suparto, serta dari kalangan pers Saur Hutabarat dan Arswendo Atmowiloto. Di kalangan negara berkembang, televisi sebagai media komunikasi lebih dituntut berperan sebagai 'agent of change', dengan memanfaatkan siaran-siarannya untuk menginformasikan pesan-pesan pembangunan dan sejauh mungkin membantu membentuk sikap dan perilaku masyarakat. Sehingga menurut Eduard, TVRI harus melayani dua kepentingan, yaitu masyarakat dan pemerintah. Repotnya dalam kenyataannya, mayoritas pemirsa seringkali mengharapkan televisi lebih sebagai sarana hiburan. Sebaliknya pemerintah mengharapkan misi pembangunan lebih ditonjolkan, tanpa melihat aspek hiburan. Sedemikian baiknya TVRI menjalankan perannya sebagai media pembangunan, sehingga Eduard menilai acara yang bersifat hiburan pun seringkali disisipi pesan pembangunan berlebihan yang monologis. Masyarakat yang selalu dicekoki dengan pesan pembangunan, malah seringkali memunculkan sinisme. "Kesenjangan itu seringkali diperuncing dengan heterogenitas masyarakat yang diasosiasikan pada gaya hidup, nilai, budaya, atau aspirasi tertentu," ujar Eduard. Hal senada juga dikemukakan Arswendo, bahwa meski sistem pengelolaan TVRI sudah diciptakan untuk luwes, kesenjangan kepentingan tetap saja muncul. Karenanya, dia melemparkan beberapa gagasan yang dinilainya dapat dilakukan untuk dengan tetap menjaga keluwesan televisi, yaitu penyusunan jadwal acara yang jelas, penyambungan kembali acara hiburan yang diminta, serta membuka dialog yang terbuka. "Dan yang penting adalah sikap yang jelas dari pihak pengelola televisi sendiri dalam menempatkan diri di antara kepentingan dan aspirasi yang tumbuh," ujar Arswendo. Pengaruh luar Sementara itu, Saur Hutabarat, yang membawakan makalah tentang siaran televisi di negara-negara berkembang, mengemukakan besarnya ketergantungan program pada siaran dari luar negeri yang juga dialami TVRI. Sebagai teknologi yang mahal, penyelenggaraan televisi membutuhkan biaya yang sangat besar. Baik pengadaan piranti keras maupun piranti lunaknya. "CBS (Columbia Broadcasting System) misalnya, mengeluarkan biaya 300 juta dollar tahun 1986, lalu hanya untuk program peliputan beritanya saja," ujar Saur memberi gambaran. Akibatnya sekitar sepertiga dari siaran di negara-negara berkembang, merupakan program impor karena ketidakmampuan menyediakan biaya peliputan sendiir. Eksportir utama program-program televisi adalah Amerika Serikat. Sementara dengan pendekatan yang lain, Masmimar Mangiang mengemukakan perlunya beberapa pertimbangan dalam penyelenggaraan siaran televisi. Menjaga keseimbangan antara modernisasi dengan nilai-nilai tradisional misalnya, seringkali diterjemahkan secara tidak tepat dalam siaran yang dipancarkan TVRI. "Menyiarkan upacara penyembahan leluhur misalnya, hendaknya tidak dikampanyekan sebagai upaya menjaga nilai tradisional, karena dampaknya yang tidak mendidik," ujar Masmimar. TVRI juga perlu menumbuhkan nilai-nilai kehidupan demokrasi lewat siaran-siarannya, serta keterbukaan dalam menyampaikan sikap sebagai upaya pendidikan. "Mengapa televisi harus mengatakan "kerusakan bukan pada pesawat TV anda" untuk gangguan yang bersumber pada instalasi TVRI? Katakan saja secara terbuka bahwa TVRI mengalami gangguan teknis," ujar Masmimar. Direktur TVRI, Ishadi sendiri, mengakui kritik yang dilontarkan pada pihaknya semakin santer belakangan itu. Sikap penonton demikian, menurut Ishadi dipengaruhi oleh tumbuhnya kematangan sikap yang semakin kritis, berkembangnya kritisi-kritisi televisi dan tumbuhnya alternatif baru dalam menonton televisi (waktu itu) melalui video, antena parabola, atau peluberan siaran dari negara tetangga. "Akibatnya TVRI seringkali dituduh mandek dan tidak mampu mengantisipasi perubahan," ujarnya. Dok. Kompas, 23 Desember 1987, dengan sedikit perubahan |
23rd November 2015, 00:10 |
#3412
|
Mania Member
|
MEMPERKAYA MUTU SIARAN TVRI SETELAH 27 TAHUN USIANYA (1962-1989)
MULAI Oktober 1989 yang saat itu akan datang, TVRI (waktu itu) akan menambah mata acara siarannya, dengan berita bursa pasar modal, industri kecil, dan pedesaan. Rencana itu dikemukakan oleh Dirjen Radio, Televisi, dan Film sehari menjelang hari ulang tahun ke-27 media elektronik tersebut.
Tatkala iklan masih berjaya di televisi, khalayak penonton lebih kuat dan lebih spontan kepada pesan dan figur iklan. Ketika iklan kabur, asosiasi beralih ke acara-acara hiburan, terutama nyanyian dan penyanyi-penyanyinya. Sandiwara seperti Losmen, Pondokan, dan kemudian juga beberapa lakon sinetron berhasil pula memikat para pemirsa. Demikian pula berita-berita luar negeri yang rupanya lebih besar daya tariknya daripada berita-berita dalam negeri. Acara hari Minggu pagi, berupa wawancara santai bergaya omong-omong, atau obrolan, jika topiknya kena, banyak pula penggemarnya. Penilaian Presiden Soeharto, walaupun ada kekurangan, Televisi RI memberi manfaat besar, bukan basa-basi. Tercapai beberapa kemajuan dalam mutu acara siaran dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. APAKAH benar, berita luar negeri yang disiarkan oleh rubrik Dunia Dalam Berita, secara umum lebih digemari daripada berita dalam negeri? Jika hal itu benar, apa sebabnya? Apakah karena berita dalam negeri lebih banyak berita pemerintah atau berita pejabat daripada berita masyarakat? Lebih banyak upacara daripada berita yang benar-benar menilai berita, yakni menarik, bermakna, aktual, dan beraksi sesuai dengan tuntutan media elektronika. Sekali-sekali, seperti jika terjadi kecelakaan pesawat atau kereta api atau gempa bumi, TVRI membuat siaran khusus dan tentu saja liputan-liputan semacam itu disenangi penonton. Konsep berita dalam televisi (waktu itu) masih terlalu berorientasi pejabat, padahal dalam masyarakat (kala itu) sedang berlaku deregulasi yang juga diprakarsai oleh pemerintah. Mengapa TVRI tidak mencoba mengambil prakarsa untuk lebih berpandangan profesional dan bekerja secara profesional pula dalam meliput dan menyiarkan berita? Agak janggal, jika setelah 27 tahun beroperasi (1962-1989), lembaga itu belum juga menghasilkan wartawan-wartawan yang dikenal dan besar karena mutu pemberitaannya. Masalah itu segera lebih jelas, jika misalnya berita dalam televisi kita dibandingkan dengan berita dalam negara-negara lain, termasuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Padahal, betapapun media elektronika itu memberikan forum yang pas untuk acara-acara rekreasi, berita tetap merupakan mata acara sentral dan ditunggu-tunggu oleh khalayak pemirsanya. BEBERAPA tahun yang sebelumnya, acara wawancara atau acara pembicaraan malam ini, masih lumayan. Diangkat perkara-perkara yang hidup dalam masyarakat dan ditampilkan pembicara-pembicara yang menguasai permasalahan dan berdaya pikir kritis. Kemudian, acara itu pun beralih menjadi pembicaraan antar pejabat dengan topik-topik yang resmi. Tidak jarang, persoalan yang diangkat menyangkut bidang-bidang amat teknis. Padahal, salah satu kekuatan televisi, karena ia bergambar, bersuara, dan bergerak, justru menyediakan forum untuk berdiskusi, membicarakan hal-hal yang aktual dalam masyarakat. Fungsi media massa termasuk televisi ialah memperluas cakrawala kehidupan dan mencakup segala segi kehidupan masyarakat. Karena itu, menyalahi pembawaannya, jika misalnya siaran televisi justru menciutkan cakrawala kehidupan dan menyederhanakan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Kenapa televisi kita tidak menghasilkan profil seperti Walter Conkrite atau Barbara Walters atau Dan Rahter. Nama-nama itu dipinjam sekadar untuk memperjelas apa yang kita maksudkan, yakni tampilnya wartawan-wartawan terkemuka TVRI, karena liputan beritanya atau karena liputan wawancaranya. MASYARAKAT kita mengalami perubahan cepat, yakni perubahan yang disebabkan oleh pembangunan berencana dan bertahap, serta perubahan yang disebabkan oleh intensifnya komunikasi internasional. Kita ambil sebagai contoh, pembangunan ekonomi Indonesia menghasilkan kehadiran pengusaha-pengusaha. Masyarakat bisnis Indonesia terbilang jutaan jumlahnya, besar, menengah, kecil. Apakah pemahaman masyarakat luas tentang tempat dan peranan pengusaha itu tepat dan benar sesuai dengan perubahan? Ataukah pengusaha termasuk mereka yang berbuat jasa dengan menciptakan lapangan kerja, dengan melakukan ekspor non-migas dan dengan demikian memperoleh devisa bagi negara, di samping memberikan masukan bagi negara berupa pajak? Jika masih terdapat kesenjangan pemahaman, apa yang dapat dilakukan oleh media massa seperti Televisi Republik Indonesia? Bukankah suatu forum yang menarik apabila masalah semacam itu diangkat dan dibicarakan melalui media elektronika itu? Sekali lagi, soal pengusaha sekadar contoh. Banyak soal lain lagi, yang tampil dibawa oleh perubahan akibat pembangunan. Misalnya saja, terjadinya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat kita. Dulu (sebelum 1989), orang hanya berani berbisik-bisik jika ingin membeli alat kontrasepsi, belakangan pemakaian kondom dipromosikan secara resmi dan secara terbuka. BARANGKALI rekan-rekan yang bekerja di televisi (waktu itu) akan berkata, semua saran itu telah mereka ketahui, dan mereka juga ingin melakukan, tetapi terbatas atau dibatasi oleh kebebasan karena TVRI milik pemerintah, bukan milik swasta. Tentu saja, semua orang mengetahui duduk perkara itu. Akan tetapi, sesungguhnya apakah suatu lembaga televisi atau suatu lembaga surat kabar itu milik pemerintah atau milik swasta, kedua-duanya sebagai lembaga media tunduk akan hukum-hukum kerja suatu media massa. Misalnya berita adalah berita, apakah ia berada di televisi pemerintah (TVRI) atau di televisi swasta (waktu itu baru ada RCTI). Artinya, untuk disebut berita, harus dipenuhi persyaratan tertentu yang sifatnya obyektif, karena melekat pada lembaga tersebut. Pemahaman mengenai hal yang pokok ini, perlu dibicarakan bersama, perlu dimengerti oleh mereka yang bekerja di televisi, dan mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan televisi. DALAM hubungan itu, kehadiran televisi swasta, dalam fase 1989 ini Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), bisa merupakan mitra untuk melengkapi. Untuk bersaing, dan juga untuk saling belajar menggali kemungkinan-kemungkinan. Salah satu sifat telekomunikasi internasional ialah kemampuannya untuk bersiaran ke mana-mana dengan efektivitas yang semakin sulit dibendung. Harga peralatannya pun akan semakin murah dan semakin sederhana, bentuk dan cara beroperasinya. Lebih dari itu, media massa seperti televisi sangatlah besar manfaat dan dampaknya, apabila kita kelola dan diisi secara baik, yakni kreatif, aktual, dan dialogis. Dok. Kompas, 26 Agustus 1989, dengan sedikit perubahan |
23rd November 2015, 00:11 |
#3413
|
Mania Member
|
PENYELENGGARAAN SIARAN TVRI DAN RRI MASIH “SEMBRONO”
MENTERI Penerangan Harmoko mempunyai kesan bahwa di sana-sini masih terjadi "kesembronoan" dalam penyelenggaraan siaran sehari-hari TVRI dan RRI. Meskipun Menpen Harmoko mengakui juga adanya kemajuan yang dicapai oleh kedua instrumen penerangan itu selama itu, namun masalah teknis siaran masih memerlukan perbaikan secara sungguh-sungguh.
Dalam sambutannya, Senin pagi (14/12/87), di gedung TVRI Pusat, Senayan-Jakarta, ketika membuka rapat koordinasi teknis siaran RRI-TVRI, Harmoko menjelaskan lebih jauh, kritik serupa mungkin terasa menyaktikan bagi semua aparat TVRI-RRI. Akan tetapi masyarakat mencatat, sampai hari Rabu (16/12/87) ini, mutu siaran belum berjalan mulus seperti diharapkan banyak orang. Hampir tiap hari ditemukan kekurangan. Misalnya terlambat siaran dimulai, penyiar yang salah 'switch' tulisan maupun gambar yang tak serasi, bahkan gambar yang sudah rusak, keslaahan ucap dan banyak lagi contoh yang lain, ucap Harmoko. Memang mungkin kurangnya peralatan boleh dijadikan sebagai alasan. Akan tetapi contoh kekurangan di atas tadi merupakan kesalahan akibat lalainya manusia. Semua itu sebenarnya tak terjadi bila didukung oleh persiapan yang lebih mantap. Dalam hal ini ditekankan, adalah disiplin dan dedikasi. Sebab itu, Harmoko minta agar mulai saat itu TVRI-RRI meningkatkan mutu dengan cara mengembangkan acara-acara baru. Jika memungkinkan, TVRI dalam waktu yang tak lama (setelah itu) menyiapkan langkah-langkah meningkatkan siaran bahasa Inggris secara selektif ke kota-kota lain. Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnaen melaporkan raker berlangsung 14-16 Desember 1987, diikuti oleh 159 peserta dari pejabat eselon II, III, dan IV TVRI-RRI seluruh Indonesia. Dok. Kompas, 16 Desember 1987, dengan sedikit perubahan |
23rd November 2015, 00:13 |
#3414
|
Mania Member
|
TVRI AKAN GANTI STATUS JADI PERUSAHAN JAWATAN
STATUS TVRI yang semula berbentuk yayasan, dalam waktu dekat (setelah itu) ini (rencana waktu itu) akan diubah menjadi perusahaan jawatan. Pembicaraan mengenai perubahan ini sudah dilakukan dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, malahan pembahasannya telah diadakan sejak tahun 1980. Demikian Menteri Penerangan Harmoko kepada pers, Senin (14/12/87) seusai pertemuannya dengan ketua Badan Pemeriksaan Keuangan Negara (Bepeka) M. Jusuf selama dua jam.
Menpen Harmoko menemui ketua Bepeka, M Jusuf, untuk berkonsultasi setelah tim Bepeka mengirimkan hasil temuan mereka sewaktu dilakukan pemeriksaan di lingkungan Deppen. Dalam pertemuan itu, ketua Bepeka, M Jusuf meminta agar Deppen, khususnya TVRI dan RRI menjalankan tertib administrasi dan keuangan. Salah satu upaya untuk menertibkan administrasi dan keuangan dalam tubuh TVRI antara lain melalui pengubahan bentuk yayasan menjadi perusahaan jawatan. "Perubahan ini akan sangat bermanfaat untuk pembinaan karier dan administrasi ke-5.000 karyawan TVRI yang sekarang (1987) ini ada di seluruh Indonesia," kata Menpen Harmoko. Dengan bentuk yayasan 1987 ini, sambungnya pengembangan karier karyawan sering mengalami hambatan. Berbeda apabila berbentuk atau berstatus perusahaan jawatan. Pada pertemuan ini, disinggung pula penertiban administrasi keuangan yang berasal dari Pemda, untuk stasiun TVRI di daerah-daerah. Dana iuran Ditanya mengenai dana yang berasal dari iuran para pemilik pesawat televisi yang dipungut setiap bulan, Menpen Harmoko menyatakan, jumlahnya per tahun (sampai 1987) telah memenuhi 75% dana yang diperlukan. Data tahun 1986, tercatat dana yang berasal dari iuran ini mencapai Rp 41 milyar. "Ini selama tahun 1986, mudah-mudahan tahun depan (1988) atau tahun ini (1987) lebih besar lagi," kata Harmoko (waktu itu). Selain dari iuran televisi tadi, TVRI (saat itu) masih memperolsh subsidi dari pemerintah sekitar Rp 12 milyar pada tahun 1986. Berbicara mengenai gangguan yang bersumber dari dana iuran para pemilik pesawat televisi, Menpen Harmoko meminta kepada pemerintahsupaya meninjau lagi besarnya provisi yang dikenakan 10% terhadap dana iuran televisi oleh pihak Perum Pos dan Giro. "Provisi ini kalau bisa diperkecil, kelebihannya bisa untuk biaya peningkatan mutu siaran," katanya. Menurut Menpen Harmoko, jumlah Rp 41 milyar itu belum dipotong provisinya. Ia berharap pemerintah dapat mempertimbangkan penurunan besar provisi tersebut. Dalam pertemuannya dengan ketua Bepeka, M Jusuf, disinggung pula mengenai sarana dan peralatan TVRI yang selama itu belum dimanfaatkan. Misalnya menara TVRI yang pembangunannya dilaksanakan sejak tahun 1977, belum juga dimanfaatkan (sampai 1987) karena belum sepenuhnya rampung (waktu itu). Menurut Menpen Harmoko, penyelesaiannya diharapkan (waktu itu) akan dilakukan dalam tahun anggaran 1988/89. Begitu pula mengenai perlengkapan studio yang belum berfungsi. 1987 ini, katanya TVRI Jakarta baru memiliki sebuah studio. Dubes Jepang Ketua Bepeka, M Jusuf, sebelum bertemu dengan Menpen Harmoko, terlebih dulu menerima kunjungan kehormatan Dubes Jepang untuk Indonesia, Sumio Edamura. Selain membicarakan kerjasama kedua negara, dengan Dubes Jepang Sumio Edamura, dibicarkaan mengenai rencana kongres 'Association of The Audit Institution' sedunia yang (waktu itu) akan diadakan di Bali tahun 1988. Kongres terakhir (kala itu) diadakan di Australia. Dubes Sumio Edamura mulai bertugas di Jakarta pada bulan November 1987. Dok. Kompas, 22 Desember 1987, dengan sedikit perubahan Sudah dipotong provisi (Kompas, 23 Desember 1987) Meluruskan berita berjudul TVRI Akan Ganti Status yang dimuat dalam Kompas hari Senin (22/12/87), khususnya mengenai dana iuran lewat Perum Pos dan Giro serta provisi yang dikenakan, diperoleh keterangan bahwa yang betul adalah jumlah Rp 41 milyar itu adalah sesudah dipotong provisi. Dalam berita semula disebutkan Rp 41 milyar itu belum dipotong provisi. |
23rd November 2015, 00:22 |
#3415
|
Mania Member
|
PARA TOKOH PERIKLANAN TENTANG SST (RCTI), MASING-MASING MEDIA PUNYA CIRI KHUSUS
REALISASI rencana saluran siaran terbatas (SST), Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang (ketika itu) akan memuat acara siaran niaga (iklan) mulai September 1988 yang saat itu akan datang, tidak akan mematikan minat orang memasang iklan di media massa lain. Hal ini dikemukakan oleh beberapa tokoh periklanan, pengusaha 'production house' (pembuat film iklan), dan pengamat media televisi yang ditemui Kompas secara terpisah pekan kedua November 1987 lalu di Jakarta.
Baty Subakti, direktur H & B Advertising, memperkirakan (waktu itu) pada awal penayangan SST (RCTI) memang akan terjadi semacam 'rush', orang akan berbondong-bondong memanfaatkannya. Tetapi, kemudian orang biasanya akan mencari 'media mix' (penggunaan campuran berbagai media sekaligus) yang tepat, tidak tergantung televisi saja. Keseimbangan ini (waktu itu) akan terjadi mengikuti mekanisme pasar. Pendapat senada juga disampaikan Kenneth Tjahyadi Sudarto, presiden direktur Matari Advertising dan Chaidir Hassan, manajer umum Indo Ad. Dikatakan oleh Ken Sudarto, 'media mix' penting, karena masing-masing media punya ciri-ciri khusus dan punya kelebihan. "TV atau media elektronik tidak bisa menyampaikan hal-hal yang teknis, rinci, dan hal-hal yang memerlukan pemikiran dan pertimbangan lebih lama seperti yang dimiliki media cetak. Hal ini menurut Chaidir Hassan disebabkan televisi lebih berfungsi hiburan, sedang koran lebih serius. "Secara psikologis, orang lebih berkonsentrasi penuh pada koran ketimbang televisi." Dengan mengambil catatan perkembangan iklan sejak 1980, Baty Subakti menjabarkan dari studi yang dilakukannya menunjukkan, justru dengan ditiadakannya siaran niaga di TVRI tahun 1981, peran media massa makin menurun. Jika pada 1980, hampir 70% anggaran iklan disalurkan melalui media massa, maka pada saat itu (1987) tinggal 40% saja. Sisanya terpakai untuk kegiatan di bawah garis, seperti pameran, memberi hadiah kepada penyalur, atau kepada konsumen langsung, menunjang penyediaan barang ('merchandising'), dan bahkan membentuk gugus tugas lapangan baru. Bola salju Seperti pada tahun 1981, lanjut Baty Subakti, nantinya SST (RCTI) - waktu itu - akan berefek bola salju. 1987, di koran jarang ditemui iklan produk-produk baru (kala itu). Tetapi dengan adanya SST (RCTI) yang berarti ada media yang efektif dan efisien, koran atau majalah dengan ciri-ciri khasnya (kala itu) akan dimuati juga oleh produk-produk baru. "Yang memperbesar kue dana iklan justru produk baru inilah. Kalau produk lama, sekadar hanya mempertahankan," kata Subekti. Bahwa dengan adanya SST (RCTI) anggaran periklanan akan bertambah, diakui pula oleh Ken Sudarto dan Chaidir Hassan. "Hanya porsi di antara media-media massa tersebut yang berbeda-beda," kata Ken Sudarto. Dengan mengambil contoh produk-produk Unilever, dikatakannya bahwa 'consumer goods' yang per unit murah, dan sering dikonsumsikan orang banyak yang banyak dimiliki perusahaan tersebut, sangat cocok untuk dipasang di televisi. "Sementara ini sejak 1981, tidak ada media yang efektif dan efisien untuk mengiklankan produk-produk jenis tersebut. Karena ia memerlukan warna supaya kelihatan lebih lezat, misalnya makanan atau sering membutuhkan demonstrasi seperti pemakaian sabun cuci." Mengenai wilayah siaran SST (RCTI) yang terbatas di Jakarta dan sekitarnya, umumnya para tokoh dunia periklanan Indonesia ini berpendapat, hal tersebut tidak mempengaruhi minat pemasangan iklan, hanya porsinya yang berbeda-beda antara satu jenis produk dengan jenis lainnya. Menurut Ken Sidarto, hal itu disebabkan kriteria orang memilih media bukan saja atas dasar faktor efisiensi, tetapi juga efektivitas, citra, dan dampak. "memang, betul produk seperti mobil yang di dalam satu keluarga biasanya, hanya seorang yang memutuskan pembeliannya dibanding jenis produk massal/keluarga seperti minuman, akan lebih cocok di koran. Tetapi, ia tetap perlu ditampilkan di televisi, bukan dari segi teknisnya, tetapi citra dan segi gengsinya. Sedang rinciannya di koran." Selain itu, lanjutnya dibanding kota-kota lain, Jakarta tempat paling banyak berkonsentrasi masyarakat kelas menengah ke atas, yakni sekitar 15%. Walaupun sebagian besar (85%) golongan bawah, namun produk-produk konsumsi kelas masyarakat ini bisa saja tampil di televisi (RCTI) dengan tujuan untuk membangun citra. Penjatahan Sekalipun umumnya biro-biro iklan menyambut gembira rencana SST (RCTI), namun mereka mengingatkan agar pengelolaannya diatur sedemikian rupa sehingga efektivitas dan efisiensi dapat terwujud. Dengan mengambil pengalaman tahun 1981, mereka juga menekankan agar sistem penjatahan dalam pemunculan iklan di SST (RCTI) nantinya dapat disiapkan betul. "Dulu (1981), orang memerlukan waktu lama hanya untuk mengurus jatah. Bahkan yang terjadi, sebuah biro iklan karena punya koneksi, bisa menjadi agen penjatahan tersebut," kata Sudarto. Yang penting, tambah Subakti, dalam membuat aturan mainnya, inventarisasikan dulu produk-produk yang diperbolehkan. "Setelah itu dibagi-bagi dalam beberapa kategori. Tiap kategori memperoleh jatah waktu yang sama." Hal lain yang perlu diperhatikan menurut ketiga tokoh periklanan ini adalah soal penyensoran. "Dulu (1981) tidak jelas kriteria penyensoran tersebut, kriterianya hanya ditentukan berdasarkan selera seorang pejabat saja. Pernah terjadi sebuah 'storyboard' (berisi urutan gambar, naskah, dan narasi film) yang sedang disensor, pada hari Senin dilarang untuk diteruskan pembuatan filmnya, tapi beberapa hari kemudian diperbolehkan," tambah Sudarto. Ketiga ahli periklanan ini mengusulkan agar/untuk kepentingan penyensoran dibentuk tim khusus yang terdiri dari berbagai unsur yang mengerti soal periklanan. Persiapan Dari hasil pengamatan dan pembicaraan Kompas, dengan berbagai biro iklan dan perusahaan PH, sejak diumumkannya rencana SST/RCTI (9/11/87) sampai saat itu (17/11/87), belum banyak tindakan konkret yang diambil untuk menyambutnya. Matari Advertising, Indo Ad, dan B & B Advertising misalnya, sebagai biro-biro iklan yang tergolong terbesar baru menghubungi langganan mereka untuk membuat rencana pembuatan 'storyboard'. "Tetapi, beberapa langganan merencanakan akan memberi anggaran tambahan untuk tahun mendatang (1988)," jelas Chaidir Hassan (waktu itu). Di kalangan perusahaan PH ternyata juga (waktu itu) belum melakukan apa-apa. Menurut Dwi Koendoro, direktur Citra Audivistama, perencanaan saat itu sulit dibuat. Seperti halnya biro iklan, perusahaan PH juga mempertanyakan mengapa belum dikeluarkan ketetapan yang mengatur penyelenggaraan SST (RCTI) seperti dalam soal pembuatan film. Padahal waktunya tinggal 10 bulan lagi (waktu itu). "akan memakai film biasa atau video, kalau memakai video akan menggunakan pita apa dan seterusnya. Kalau melihat perkembangannya menggunakan video jelas lebih murah. Film biasa berukuran 35 mm memerlukan biaya 50 sampai 70 juta rupiah, sedang video bisa separuh lebih murah," jelas Dwi Koendoro. Kalangan biro iklan tampaknya cenderung memilih film biasa, karena seperti diutarakan Ken Sudarto, film biasa dapat dipakai sekaligus untuk bioskop. "Dulu (sebelum 1981) orang segan bikin film hanya untuk bioskop, karena terlalu mahal," katanya. Saat itu (1987), di Jakarta ada sekitar 8 perusahaan PH. "Terlepas dari segalanya, SST (RCTI) jelas rejeki bagi kami," tambah Harso Widodo, kepala pemasaran Citra Audivistama. Menurut Harso, rejeki itu (waktu itu) akan datang jika ketentuan dalam pengelolaannya jelas. Saat itu memang sudah ada dalam Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia yang menyebutkan bahwa perusahaan periklanan tidak boleh melayani pengiklan lain yang melayani produk sejenis. Ini antara lain bertujuan untuk pemerataan rejeki. "Tapi di dalamnya tidak dijelaskan apakah 'production house' termasuk dalam kategori perusahaan periklanan," katanya. Sebaiknya, dalam Kongres Persatuan Perusahaan Iklan Indonesia (P3I) yang (waktu itu) direncanakan Desember 1987 yang kala itu akan datang, hal ini dibicarakan, lanjut Harso. Biaya tambahan Dalam menyambut SST (RCTI) ada kekhawatiran lain di kalangan biro iklan dan 'production house', yakni dikenainya biaya tambahan, entah dalam bentuk tarif pemasangan atau dalam bentuk lain. Hal ini muncul karena diperkirakan penyelenggaraan SST (RCTI) dengan sistem 'decoder', (waktu itu) akan menelan biaya yang besar sekali. Seperti dijelaskan oleh Arswendo Atmowiloto, seorang pengamat media televisi, minimal 20% uang biro iklan (waktu itu) akan diambil untuk membantu penyelenggaraannya. Bayangkan katanya, satu jam siaran saja membutuhkan sekitar Rp 20 juta. Dengan tarif langganan sekitar Rp 25.000 misalnya, untuk 2 juta pemirsa di DKI, (kala itu) akan diperoleh pemasukan sekitar Rp 5 milyar. Dari jumlah itu, baru bisa terselenggara 2.000 jam, ini belum termasuk ongkos siaran, tambah Arswendo. Dok. Kompas, 18 November 1987, dengan sedikit perubahan |
23rd November 2015, 00:23 |
#3416
|
Mania Member
|
PEMANCAR TVRI DI OBEN RUSAK BERAT
PEMANCAR TVRI Kupang di Oben (20 km selatan Kupang, NTT) sejak hari Kamis (19/11/87) mengalami kerusakan berat, sehingga tidak dapat meneruskan siaran TVRI Jakarta untuk Kupang dan sekitarnya. "Kerusakan seperti ini selalu terjadi setiap menjelang musim hujan," kata Soeratmo, kepala seksi transmisi TVRI Kupang, kepada Kompas, dikatakan perbaikan kerusakan ini tidak dapat dilakukan teknisi setempat. Karena itu diharapkan turun tangannya teknisi TVRI Pusat berikut suku cadang yang tidak bisa diperoleh di Kupang.
Diharapkan (waktu itu), bukan saja perbaikan kerusakan yang menyebabkan terhentinya fungsi transmisi, tetapi juga menyempurnakan peralatan pemancar yang sejak beberapa tahun sebelumnya bekerja sesuai kapasitasnya. "Selama ini pemancar TVRI di Oben hanya berfungsi sekitar 20% dari kapasitasnya, 15 KVA," kata Soeratmo (waktu itu). Gangguan ini mengakibatkan siaran TVRI tidak dapat diterima bersih dan baik oleh pirsawan di Kupang dan sekitarnya. Soeratmo tidak merinci jenis kerusakan pemancar TVRI Oben ini yang dibuat tahun 1976 oleh Perancis. Dok. Kompas, 25 November 1987, dengan sedikit perubahan |
23rd November 2015, 00:26 |
#3417
|
Mania Member
|
MENPEN HARMOKO: “SIARAN NIAGA DI TVRI AKAN DIHIDUPKAN LAGI”
MENTERI Penerangan Harmoko mengisyaratkan (waktu itu) akan dihidupkannya lagi siaran niaga di TVRI melalui siaran saluran terbatas (SST) khusus untuk daerah Jakarta dan sekitarnya. Untuk menghindarkan kesalahan interpretasi mengenai masalah tersebut, Menpen Harmoko berjanji memberikan keterangan lebih rinci dalam waktu dekat (setelah itu) ini.
"Masalahnya, memang menyangkut pendanaan operasional TVRI. Tapi keterangan lebih lanjut baru bisa saya berikan dalam konferensi pers nanti," demikian Menpen Harmoko atas pertanyaan wartawan, seusai melantik pejabat baru eselon I dan II di lingkungan Departemen Penerangan, Senin (10/11/87) pagi. Di antara yang dilantik Alex Leo Zulkarnaen sebagai Ditjen Radio, TV dan Film menggantikan Drs. Subrata. Dalam SK Menteri Penerangan No. 190A/Kep/Menpen/1987 tanggal 20 Oktober 1987, tentang siaran saluran terbatas (SST), TVRI dinyatakan antara lain, Direktorat Televisi Departemen Penerangan memberikan wewenang kepada Yayasan TVRI dalam wilayah Jakarta dan sekitarnya. Dalam acara SST tersebut dapat disisipkan siaran niaga atau iklan, yang diutamakan untuk menunjang pembangunan nasional. Surat keputusan tersebut juga menyatakan, dalam penyelenggaraan SST, sesuai kemampuan dan kemungkinan yang ada, Yayasan TVRI dapat menunjuk pihak lain sebagai pelaksana dengan ketentuan dan jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian. Hubungan kerja diatur dalam suatu perjanjian yang mengutamakan kepentingan masyarakat luas, kepentingan pemerintah, dan kepentingan berkesinambungan penyelenggaraan siaran oleh TVRI. Juga dikatakan, pengoperasian SST tetap di bawah pengawasan dan pengendalian Yayasan TVRI. Hasil usaha siaran terbatas dikelola oleh Yayasan TVRI. Hasil usaha siaran terbatas dikelola oleh Yayasan TVRI dan pihak pelaksana yang ditunjuk, guna menunjang kegiatan operasional siaran TVRI. Belum tahu Sementara itu, diperoleh keterangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) minggu pertama November 1987 lalu, memberikan izin kepada PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) - yang berbentuk PMDN - untuk bergerak di bidang pertelevisian di DKI Jakarta, dengan investasi sebesar 82,5 milyar rupiah. Tetapi, belum diperoleh keterangan (waktu itu), apakah perusahaan tersebut nantinya ditunjuk sebagai pelaksana SST , karena ketika ditanyakan pihak mana yang akan diajak bekerjasama sebagai pelaksana SST, Menpen Harmoko menjawab (waktu itu), "Belum tahu." Juga ketika ditanyakan mengenai penyelenggaraan TV swasta, Menpen Harmoko berjanji (waktu itu) akan merujuk dan menjelaskan semuanya dalam waktu dekat (setelah itu) ini. "Jadi, nanti saja. Saya akan memberikan penjelasan dan 'statement' agar tidak terjadi kesimpangsiuran berita," tegasnya (waktu itu). Ketika ditanya Kompas apakah teknik operasional SST (RCTI) akan seperti TV3 Malaysia, Dirjen RTF yang (waktu itu) baru dilantik, Alex Leo Zulkarnaen menjelaskan, nantinya TVRI (waktu itu) akan menyelenggarakan siarannya dalam dua saluran. Siaran saluran umum seperti yang disaksikan selama itu, dan siaran saluran terbatas yan ghanya dapat ditangkap pelanggan melalui pesawat TV biasa yang dilengkapi alat khusus. para pelanggan, setelah memenuhi kewajiban tertentu (waktu itu) akan memperoleh peralatan khusus berupa alat pembuka sinyal atau 'decoder'. "Siaran iklan di TV3 Malaysia berada di saluran umum. Kita lain, tapi teknik operasionalnya masih harus digodok lagi," ujarnya. Ketika ditanyakan mengenai Yayasan TVRI, Alex Leo menjelaskan, Yayasan TVRI dibentuk berdasarkan SK Presiden RI No. 215 tahun 1963. Yayasan TVRI yang selanjutnya disingkat Televisi RI, dlaam fungsinya memang sudah terintegrasi, tetapi secara yuridis formal, tetap ada. Pimpinan umum Televisi RI diketuai Presiden RI, dengan dibantu suatu staf presiden urusan televisi. Pada awal 1970an, TVRI pernah menyelenggarakan siaran niaga (iklan), tetapi pada 1 April 1981 pemerintah memutuskan menghapus semua siaran iklan di TVRI, baik dalam bentuk siaran niaga maupun siaran sponsor. Keputusan ini, menurut Dirjen RTF, Drs. Sumadi - waktu itu - merupakan sesuatu yang sudah benar-benar dipikirkan. Pedoman pemerintah antara lain, agar mutu TVRI tidak merosot. Untuk mengganti pendapatan TVRI dari iklan, pemerintah menyediakan dana Rp 10 milyar ditambah dana penerangan di semua departemen. Masalah iklan menjadi ramai lagi, ketika Komisi I DPR RI dalam dengar pendapat dengan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), tanggal 15 September 1986, menerima usul P3I untuk mengimbau pemerintah agar mengkaji kembali larangan siaran iklan di TVRI. Ini terkait dengan usaha mencari terobosan-terobosan baru untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas bangsa, sesuai pengarahan Presiden Soeharto pada tanggal 15 Agustus 1986. Pejabat baru Senin pagi (9/11/87), Menpen Harmoko melantik 15 pejabat eselon I dan II di lingkungan Departemen Penerangan. Selain Alex Leo Zulkarnaen yang dilantik sebagai Dirjen RTF menggantikan Drs. Subrata yang belakangan itu menjabat sebagai staf ahli Menpen bidang pers dan pendapat umum, juga kepala stasiun TVRI Yogyakarta, Drs. Ishadi SK, M.Sc, dilantik sebagai pjs Direktur Televisi, menggantikan Alex Leo Zulkarnaen. Kepala stasiun TVRI Surabaya, Aziz Husein, dilantik sebagai pjs kepala stasiun TVRI Pusat Jakarta, menggantikan Drs. Sa'dullah yang saat itu menjabat sebagai staf Dirjen RTF. Dalam sambutannya, Menpen Harmoko mengingatkan, aparatur penerangan tidak boleh memilik sikap setengah-setengah dan harus berada di barisan terdepan, di tengah-tengah masyarakat untuk mengembangkan motivasi dan budaya pembangunan. Aparatur penerangan dikatakan harus mampu bertindak sebagai motivator, inovator, dan kreatif untuk menumbuhkan partisipasi, dinamika, serta produktivitas masyarakat, sekaligus pendorong modernisasi dan pembaharuan. Menpen Harmoko juga berpesan agar aparatur penerangan tidak cepat berpuas diri terhadap hasil yang dicapai, karena hal itu (waktu itu) akan mengakibatkan kemandekan. Dok. Kompas, 10 November 1987, dengan sedikit perubahan |
23rd November 2015, 00:28 |
#3418
|
Mania Member
|
PERLU PENGELOLAAN KHUSUS, IKLAN DI SST (RCTI)
UNTUK menciptakan pemerataan di antara perusahaan periklanan dan untuk menjaga agar iklan yang disiarkan tidak melanggar etika periklanan penyelenggaraan siaran niaga/iklan di SST (saluran siaran terbatas)/RCTI perlu pengelolaan khusus lewat pembentukan tim gabungan berbagai unsur. Baty Subakti, ketua umum PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), mengemukakan hal itu di depan sidang Komisi I DPR-RI, Selasa (24/11/87).
Atas pertanyaan John Herlaut, wakil ketua Komisi I yang juga memimpin sidang pagi itu, Baty menjelaskan, di dalam tim gabungan itu nantinya di samping duduk wakil Yayasan TVRI dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), sebaiknya juga ada wakil PPPI dan wakil dari masyarakat. "Kami dari PPPI mendesak agar diikutkan di dalamnya," tambah Baty. Dijelaskan lebih lanjut, tim gabungan diperlukan agar pemberian kesempatan terhadap iklan yang akan dimuat dapat dilakukan secara adil. "Bukan iklan perusahaan periklanan yang besar-besar saja yang disiarkan, tapi yang kecil-kecil juga harus kebagian. langkah pertama, barangkali susun dulu kriteria produk-produk yang boleh disiarkan," lanjut Baty. Tim gabungan itu juga diperlukan agar sensor terhadap iklan yang dimuat dapat dilakukan lebih obyektif, sesuai dengan etika periklanan yang ada (sesuai dengan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia-red). Masalah pornografi seperti yang dirisaukan Ancela dapat merusak moral pemirsa, menurut Baty lewat cara ini dapat diatasi. Dengan mengambil pengalaman tahun 1981/82 pada waktu TVRI menyelenggarakan siaran niaga (iklan), Baty mengingatkan, jangan sampai terulang kebiasaan sensor iklan hanya dilakukan oleh satu pihak saja. Menguntungkan konsumen Di depan sidang, Baty Subakti yang didampingi pengurus lengkap PPPI, mengungkapkan kegembiraan kalangan periklanan menyambut rencana penyelenggaraan SST (RCTI) yang saat itu akan datang. Dikatakan, televisi bagi orang-orang iklan sebagai alternatif media, sama fungsinya dengan bioskop, radio, atau media cetak. Adanya televisi (RCTI) berarti juga memberi alternatif baru (waktu itu), yakni memperkuat media 'mix' atau penggunaan berbagai media sekaligus. "Kalau 'audience' mendapat masukan dari berbagai sumber, itu akan lebih efektif," ucap Baty menjelaskan. Tapi tidak semua produk cocok diiklankan di televisi. Ditambahkan, adanya iklan di televisi justru menguntungkan konsumen, karena jumlah barang yang terjual akan meningkat, yang berarti biaya produksi per unit lebih kecil. Menjawab pertanyaan Taufik Kiemas dari F-PDI, Baty mengatakan dari 146 anggota PPPI, 12 di antaranya berafiliasi dengan asing (waktu itu). Memang, di antara anggota PPPI ada kesepakatan, bahwa kepemilikan perusahaan anggota harus seluruhnya modal nasional. Namun, bentuk afiliasi itu sendiri dibenarkan oleh peraturan pemerintah sejauh ia bertindak sebagai konsultan atau berupa bantuan teknis. Dengan adanya peraturan ini, kata Baty, berarti setiap perusahaan periklanan asing yang mau beroperasi di Indonesia harus berafiliasi dengan perusahaan lokal. Yang jadi persoalan, akhir-akhir itu banyak perusahan asing yang masuk dengan cara mendirikan dulu satu perusahaan lokal. "Bahkan kami mensinyalir, ada perusahaan iklan yang 100% modalnya dari luar negeri. Kalau 'creative director'-nya (direktur pembuat naskah iklan-red) orang asing, iklan yang lahir bisa membuat benturan-benturan budaya," kata Baty. Dok. Kompas, 25 November 1987, dengan sedikit perubahan |
23rd November 2015, 00:31 |
#3419
|
Mania Member
|
TINJAUAN KHALAYAK DAN ISI SST (RCTI)
DALAM kaitan ulang tahun TVRI 1987 (ke-25), Menpen Harmoko menjanjikan siaran TVRI tidak berjalan "seorang diri". Baru-baru itu, Menpen Harmoko sudah menyatakan dengan jelas, berupa akan diadakannya TV siaran saluran terbatas (SST). Dengan demikian, siaran alternatif (Alwi Dahlan, 1986) menjadi kenyataan.
Dalam tabloid Monitor, Minggu, 11 Oktober 1987, penulis (S. Sinansari ecip) membuat dugaan tentang kemungkinan ciri-ciri siaran alternatif TVRI yang (saat itu) akan datang itu. Kemungkinan yang (waktu itu) bisa terjadi, adalah TVRI bekerjasama dengan swasta, siarannya didukung penayangan iklan, dan penyaluran siaran dilakukan secara terbatas. Kita tentu saja boleh bertanya, televisi SST itu mencerminkan siapa? Bagaimana kira-kira isi siaran yang diharapkan? Niaga terbatas Tanggal 20 Oktober 1987, Menpen Harmoko mengeluarkan surat keputusan no. 190A/Kep/Menpen/1987, tentang siaran saluran terbatas. Deppen memberi kewenangan kepada Yayasan TVRI untuk menyelenggarakan SST di Jakarta dan sekitarnya. Yayasan TVRI dapat menunjuk pelaksana SST. Dengan kerjasama ini, TVRI melakukan pengawasan dan pengendalian SST, dan sekaligus mengharap keuntungan finansial darinya. Yayasan TVRI memang mencari keuntungan unuk menunjang TVRI, seperti disebutkan dalam Keputusan Presiden No. 215/63, Yayasan TVRI diketuai oleh Presiden yang dibantu oleh staf pelaksana. Berbagai media massa menyebutkan bahwa sebuah badan usaha telah didirikan dalam bentuk investasi PMDN. Namanya, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). PT RCTI dibawahkan oleh Bimantara Grup yang dipimpin oleh Bambang Trihatmodjo. Modal yang ditanamkan sebanyak 82,5 milyar. Menpen Harmoko juga menyebutkan bahwa pihak swasta satu-satunya pemegang monopoli SST. Keperluan akan adanya teman siaran TVRI memang sudah mendesak sejak beberapa lama. Seperti dikatakan oleh DR. Alwi Dahlan, kita memerlukan siaran televisi alternatif. Untuk menghindari siaran yang monoton, diperlukan variasi yang hidup. Tontonan dalam layar televisi sebaiknya atraktif. Tanpa adanya pilihan, seolah-olah khalayak pemirsa "dipaksa" hanya untuk menonton TVRI. Khalayak di satu pihak, sudah lebih maju dalam menyadari kediriannya. Mereka mempunyai hak untuk memilih. Dalam bentuk ekstrimnya, karena tiadanya pilihan yang nyata, mereka berhak untuk tidak menonton TVRI. Jika TVRI sedang menayangkan mata acara yang tidak disukai, mereka tidak segan-segan mematikan pesawat TV-nya. Khalayak bukanlah orang bodoh, sehingga harus terus-menerus diberi "pelajaran" dalam menonton TVRI. Kata-kata penjelasan lebih banyak ditampilkan dibandingkan dengan gambar itu sendiri, 'visual images' kurang dimanfaatkan dengan maksimal, hingga TVRI tidak jauh berbeda dengan RRI (lihat artikel penulis TVRI: Radio Bergambar Kita; Kompas, 24 Agustus 1987). Dalam situasi pereknomian kita yang secara umum (waktu itu) lesu, pemerintah tentulah berpikir beberapa kali untuk membuka saluran TVRI yang baru. Biayanya sangat mahal, sedang pemasukan TVRI kecil, sejak ditiadakannya siaran niaga 1 April 1981. Oleh karena itu, cara yang paling mungkin adalah TVRI mengajak kerjasama dengan pemilik modal dari swasta. Konsekuensinya jelas, swasta tentulah mengharapkan keuntungan atas penanaman modalnya yang puluhan milyar rupiah tersebut. Keuntungan dapat diperoleh dengan penyiaran iklan dan pungutan dari pelanggan siaran. Iklan tidak boleh tidak, mestilah ada. Siaran tidak dapat diterimakan kepada semua pesawat TV penerima. Hanya pelangganlah yang bisa menangkapnya. Pelanggan ini bisa memperoleh fasilitas TV-kabel, maupun kemudahan yang lain. Rupanya untuk Indonesia, penyediaan sarana kabel lebih mahal dibandingkan dengan kemungkinan yang lain, yaitu penambahan alat 'decoder', bagi tanggungan pelanggan. Ada dugaan yang mencemaskan biro iklan tentang siaran niaga SST (RCTI). Lantaran khalayak SST (RCTI) untuk sementara terbatas di Jakarta dan sekitarnya, iklan pun tidak menjangkau khalayak yang banyak. Diduga (waktu itu), baru ada 100.000 pelanggan SST (RCTI). Dengan perhitungan bahwa tiap pesawat TV ditonton 5 orang, maka khalayak yang akan dijangkau iklan hanya 500.000 orang. Ini kurang menguntungkan, bila dibandingkan dengan pemasangan iklan di koran-koran besar yang menyebar ke pasar berlingkup nasional. Keluhan ini antara lain dapat dipecahkan dengan penyediaan harga murah untuk 'decoder', dan rendahnya uang langganan. Jika keduanya dapat ditekan rendah, pelanggan akan banyak. SST (RCTI) sebagai pilihan baru (waktu itu) akan diminati banyak orang. Memang dari segi luas/lebar wilayah, khalayak SST (RCTI) sempit. Namun demikian produk-produk tertentu masih perlu dipasarkan di Jakarta dan sekitarnya. Khalayak pemirsa Khalayak pemirsa TV sangat luas, khalayak tersebut tidak pandang umur, jenis kelamin, pendidikan, dan lain-lain. Asal mereka punya indera penglihat dan pendengar, maka pemirsa itu murni menjadi khalayak pemirsa TV. Kemudian timbul pertanyaan, siaran TV itu milik siapa? Adakah siaran tersebut milik pengelolanya hingga apa yan gdisiarkan adalah apa saja yang diinginkan oleh pengelola/pemilik modal? Atau pilihan kedua yang kena, yaitu siaran itu milik masyarakat? Jika siaran milik masyarakat, maka segala hal yang terjadi dan yan gdiinginkan oleh khalayak harus dimuat siaran TV. Pencerminan isi siaran itu juga ada bergantung pada sistem yang berlaku di dalam masyarakat, bangsa, dan negara yang bersangkutan. Isi siaran TV adalah cermin masyarakat, lebih cenderung dikenal dalam sistem liberal. Kebebasan (meski tidak mutlak) ada di tangan masyarakat. Apa yang menjadi keinginan masyarakat sebagian besar sebaiknya disiarkan TV. Kalau ini tidak dilakukan, maka masyarakat tidak menontonnya. Jika mereka tidak menonton, uang tidak masuk, iklan tidak menjangkau mereka, barang yang dipromosikan kurang laku. Perusahaan siaran TV rugi. Sebaliknya, bila siaran merupakan cermin perusahaan pengelola/pemilik modal, maka apa yang menjadi keinginan pemilik modal harus ditayangkan TV. Masyarakat/khalayak dianggap benda mati yang perlu terus-menerus diberi isi siaran. Sistem yang berlaku di sini berlawanan benar dengan liberalisme, yaitu kediktatoran. Tampaknya, tidak ada perusahaan/studio TV yang menerapkan sistem yang berlaku itu secara murni, yaitu murni liberal ataukah murni diktator. Selalu keduanya dikawinkan. Porsi perkawinan itu ikut menentukan arah isi siaran. Berapa persenkah unsur liberal yang dipakai dan berapa persen pula unsur kediktatoran yang dimanfaatkan? Pada pelaksanaan TV SST (RCTI) nantinya, 'visual images' perlu memperoleh penonjolan. Khalayaknya terbatas, oleh karena itu mereka selektif. Diharapkan juga pendidikan khalayaknya yang selektif. Penaynagan gambar (visual) semaksimal mungkin efektif. Kata-kata yang cenderung mubazir, dikurangi kajian tentang 'TV-News Wrong Mix' (Wax, 1970) menyebutkan bahwa 'credo' dasar berita televisi adalah medium visual. Segala sesuatunya haruslah visual. Jika TV-SST (RCTI) nantinya memperhatikan hal ini, dia sudah mempunyai satu angka lebih dibandingkan TVRI. Sejauh itu, kita bleum meraba, bagaimanakah komposisi sebaran khalayak pemirsa TVRI? Berapa persen dan siapakah yang menjadi penonton TVRI kelas berat? Di Amerika Serikat, pemirsa/khalayak jenis 'heavy-TV-viewers' minimal menonton siaran TV tiga jam sehari (waktu itu). Siaran TV di sana hampir sepanjang hari, tetapi tersedianya waktu menonton anggota masyarakat terbatas karena berbagai kesibukannya. Adakah jenis khalayak yang hanya menikmati acara siaran tertentu, berapa besarnya? Untuk jenis warta berita misalnya, 'regular' Dunia Dalam Berita, 'viewers' mungkin persentasenya terbesar (waktu itu). Mereka khalayak tetap untuk Siaran Dunia Dalam Berita. Jenis khalayak ini bisa dikelompokkan dengan berbagai mata acara siaran. Jenis khalayak TVRI terbesar tentulah mereka dikelompokkan ke dalam 'non-selective viewers'. Mereka menonton TVRI tidak berdasar pada jam atau waktu yang tersedia. Kebanyakan kita menonton TVRI (waktu itu) pada sore dan petang. Jam-jam itu memang dianggap paling efektif oleh pengelola siaran TV. Oleh calon pengelola TV SST (RCTI), diperkirakan (waktu itu) khalayak mereka antara 100.000 sampai 500.000 pelanggan, untuk Jakarta dan sekitarnya. Jumlah ini bisa berkembang, bila SST juga dibuka untuk kota-kota yang lain. Bandingkan dengan jumlah pesawat TV yang terpasang, jumlahnya lebih dari 6 juta. Jika angka itu dikalikan 5 orang, maka khalayaknya lebih dari 30 juta orang. Mereka itulah khalayak siaran saluran umum (SSU) TVRI. Hiburan dan pendidikan TV SST (RCTI) setelah itu menayangkan banyak hiburan dan pendidikan. Tayangan TV tanpa acara hiburan, mungkin tidak banyak ditonton. Hiburan di sini tentulah berbeda dengan yang ditayangkan oleh TVRI. Hiburan yang berkembang di tengah masyarakat, perlu diperhatikan selama itu. TVRI lebih banyak memperhatikan kepentingan pengusaha (waktu itu). Dalam hal lagu-lagu contoh untuk ini jelas sekali, yang tujuannya antara lain agar kaset rekamannya laku, mengapa tidak diusahakan sebaliknya dengan mengambil sistem medium TV sebagai cermin masyarakat? Kesenian daerah kiranya tetap (waktu itu) akan mendapat perhatian, tetapi tidak sekadar dalam bentuk penampilan parade. Seleksi mutu, seyogyanya lebih dipentingkan. Kreasi-kreasi baru (saat itu) yang telah melewati seleksi mutu, ditampilkan. Birokrasi yang berbelit dan selalu cenderung memperhitungkan jasa uang, sesekali perlu dikesampingkan. Acara hiburan di luar negeri bukanlah barang tabu. Tontonan panggung penyanyi populer dengan lagu-lagu baru (waktu itu) yang (kala itu) sedang 'hit' perlu dibawa masuk ke dalam negeri. Jadi, kita sekaligus menyaksikan gambar dan mendengarkan lagunya. Selama itu, kebanyakan kita hanya mendengarkan rekaman kasetnya saja. Film-film baru (waktu itu), yang mungkin kurang laku di bioskop, tetapi bermutu, akan dipujikan bila didahulukan di SST (RCTI). |
23rd November 2015, 00:31 |
#3420
|
Mania Member
|
TINJAUAN KHALAYAK DAN ISI SST (RCTI) - Bag. 2
Untuk itu, memang diperlukan uang banyak. Agar khalayak yang teraih banyak karena pelanggan SST (RCTI) banyak, memang diperlukan pancingan dengan biaya yang lebih tinggi. Keuntungan juga yang lebih tinggi. Keuntungan juga yang akan diperoleh darinya. Biaya khusus, bukan tidak mungkin untuk menyiapkan acara hiburan eksklusif, seperti penayangan drama seri Losmen (TVRI). Dengan cara ini, khalayak dijaring dan sekaligus "diikat" terus-menerus.
Acara pendidikan itu bagaimana bentuknya? Kita (waktu itu) belum memperoleh gambaran. Tekanan objek pendidikan sebaiknya untuk umum, tidak terbatas kepada mereka yang usia sekolah/kuliah. Isinya juga seyogyanya lebih mementingkan pemahaman daripada penghafalan. Persiapan untuk acara ini memerlukan konsentrasi yang lebih besar bila dibandingkan dengan penyiaran acaranya yang tambal-sulam. Waktu penayangan sebaiknya tidak berhimpit dengan waktu belajar siswa/mahasiswa di rumah. Pendidikan memang untuk segala umur dan sepanjang hidup. Mencari isi yang baik dan memilih cara penayangan yang juga baik adalah dua hal yang sangat penting. Untuk itu, diperlukan ahli-ahlinya. Berita TV Berita TV banyak diperhatikan orang, isinya harus masih hangat. Pembawa acaranya tidak tegang. Gambarnya bagus, siaran berita yang kurang menarik dari TVRI adalah Berita Nusantara (pukul 17.00) dan Berita Nasional (pukul 19.00 WIB). Sayangnya, TV SST (RCTI) dikenakan wajib relay warta berita TVRI (Berita Nasional, Dunia Dalam Berita, Laporan Khusus, dan Berita Terakhir). Belum jelas (kala itu), tetapi dapat diduga SST (RCTI) tidak (atau belum?) dibenarkan membuat siaran warta berita sendiri (ketika itu). Jika ini diizinkan, dapat diduga dan diharapkan (waktu itu), penampilan warta berita SST (RCTI) akan lebih baik. Kita dapat membayangkan warta berita pagi atau warta berita petang ('evening news'), diselenggarakan dari salah satu ruang tertinggi di Jakarta. Latar belakang penyiar adalah pemandangan kota di tempat itu. Penyiarnya model Barbara Walters, cakep dan cakap, enak dipandang dan perlu. Jika penayangan berita liputan sendiri belum boleh (waktu itu), SST (RCTI) barangkali boleh menyiarkan berita-berita luar negeri yang lebih baik. Caranya, tetap berlangganan dengan agen luar, tetapi tentu diusahakan yang lebih baik dan lebih aktual dibandingkan yang disiarkan TVRI. Kajian tentang 'gate keeper' mendukung hipotesis Guido H. Stempel III ('Journalism Quarterly', Winter 1985). Siaran warta berita dari tiga jaringan televisi di Amerika Serikat cenderung sama dalam menyeleksi berita. Pertimbangannya sama, khususnya tertuju pada isi yang visual. Hipotesis itu kena di AS. Ketiga jaringan (ABC, CBS, dan NBC) milik swasta, sedang di Indonesia jelas (kala itu) akan berbeda, karena TVRI milik negara, TV SST (RCTI) milik swasta yang terkendali. Akan lebih baik, bila TVRI (waktu itu) juga mempunyai kewenangan mengawasi dan mengendalikan TV SST (RCTI), serta memberi kelonggaran yang luas kepada SST (RCTI). Kontrol dan pengendalian tetap ada, tetapi tidak menghambat. Jangan sampai ke arah kemajuan yang ingin dikembangkan SST (RCTI) lalu dipancung di tengah jalan, karena misalnya TVRI merasa disaingi. Barangkali TVRI dan TV SST (RCTI) dapat membagi "wilayah" pemberitaan. Berita-berita yang disiapkan ('pre-planned') biar menjadi hak TVRI, berita yang spontan supaya dikerjakan SST (RCTI). Berita yang disiapkan tidak jelek, malah seringkali penting. Berita dari sidang kabinet, keputusan pemerintah, dll sangat penting. Berilah pembagian kepada SST (RCTI) untuk membuat 'feature news' yang menarik, yang selama itu belum dikerjakan dengan sungguh-sungguh oleh TVRI. Jika warta berita dalam bahasa Inggris dapat dialihkan kepada SST (RCTI), maka khalayak SST (RCTI) akan lebih banyak. Nilai 'plus' Setiap acara yang mungkin berhimpit dengan TVRI, SST (RCTI) perlu menyiapkannya dengan nilai 'plus'. Syukur, kalau bisa disajikan sesuatu yang lain, bukan hanya acara yang sama dengan penyajian yang berlebih. Misalnya untuk drama seri sejenis Losmen (TVRI), SST (RCTI) tidak perlu membuat yang sejenis, tetapi misalnya membuat cerita seri misteri. Bersaing memang mencari perbedaan dan kemudian mengembangkan perbedaan itu lebih menonjol. Persaingan tidak selamanya jelek. Untuk memperlunak arti persaingan, kita mempunyai istilah yang lentur, yaitu "saling mengisi". TVRI perlu berbesar hati sebagai saudara tua untuk saling mengisi dengan adiknya, si SST (RCTI). Bagaimanapun, jika TV SST (RCTI) maju, kita semua yang senang. TVRI juga memperoleh pembagian keuntungan finansialnya. Timbul pertanyaan akhir, waktu (saat itu) tinggal 10 bulan. Bambang Tri menyebutkan, tentang masih dikajinya proposal SST (kala itu). Dengan penelitian studio baru, perencanaan isi, dan lain-lain, waktu yang 10 bulan itu apakah cukup? Mungkin September 1988 nantinya, SST (RCTI) baru tampil seadanya dulu. Bukankah abangnya (TVRI) dulu, tahun 1962, juga tampil dalam kondisi yang masih compang-camping? Awak kerja SST (RCTI) apakah dapat dibentuk dalam waktu singkat ini? Gampang, konon TVRI kelebihan beban karyawan. Siapapun dan apapun yang lahir belakangan, sudah menjadi tuntutan zaman untuk tampil lebih baik. Saudaranya yang lebih tua, mempunyai kewajiban membimbing adiknya. Barangkali istilah mengontrol dan mengendalikan terlalu "terpimpin", perlu dilunakkan. Dok. Kompas, 25 November 1987, dengan sedikit perubahan |
-
Melody Prima Baru Ungkap Alasan Bercerai Setelah Setahun Berlalu
-
Istri Sempat Malu karena Aldi Taher, tapi Kagum dengan Sikap Aslinya
-
Ini Jawaban Nia Daniaty Ditanya soal Kebebasan Olivia Nathania dari Bui
-
Media Asing Soroti Ledakan Turis: Tak Seperti Bali yang Dulu
-
Viral Ibu Melahirkan Bayi Kembar Beda 22 Hari, Ada Cerita Sedih di Baliknya
-
Wanita Bersamurai Tusuk Penjaga Toko di Tangerang hingga Tewas, Ini Pemicunya
-
Viral Sarung Motif Spanduk Pecel Lele, Netizen Minta Jangan Dipakai Salat
-
Pria RI Viral Rela Habiskan Rp 34 Juta Demi Istri Nonton Konser Taylor Swift
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer