HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Minggu, 2022/08/17 11:48 WIB
Indah Permatasari Jelang Melahirkan, Arie Kriting: Semoga Saya Jadi Ayah Yang Baik
-
Minggu, 2022/08/17 11:35 WIB
NIKI Positif COVID-19, Batal Tampil di Head in the Clouds
-
Sabtu, 2022/08/16 10:53 WIB
Master Limbad Ajak Ketemu, Gus Samsudin Lakukan Tapa Pendem
-
Kamis, 2022/08/15 09:40 WIB
Kiki Saputri Pamer Pacar Baru, Eh Malah Dibilang Cowok Anya Geraldine
-
Kamis, 2022/08/15 09:44 WIB
Dikaitkan dengan Ferdy Sambo, Begini Respon Nikita Mirzani
-
Sabtu, 2022/08/16 11:46 WIB
Teriak Kesakitan, Luna Maya Dibawa ke RS Pakai Ambulans, Kenapa?
![]() |
|
Thread Tools |
![]() |
#3941
|
Mania Member
![]() |
![]() PETA media di tahun 1991 (waktu itu) bakal menarik dan penuh warna. Ia (kala itu) akan menjadi saksi mata dari sebuah antiklimaks pertumbuhan dan perkembangan media 1990 yang begitu dahsyat. Tahun 1990 lalu memang tahunnya media. Memancang tonggak sejarah yang diwarnai oleh hadirnya majalah serta surat kabar baru, kemudian RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) lepas dekoder, yang diikuti dengan lahirnya televisi swasta daerah (SCTV). Tak bisa dilupakan wajah media kita juga diwarnai oleh "wafat"-nya tabloid terkenal Monitor yang secara tak langsung berpengaruh pada derap langkah serta arah pertumbuhan media selanjutnya.
Di satu sisi perkembangan media sangat membanggakan, namun di sisi lain kehidupan mereka tak bisa lepas dari iklan. Bahkan sebenarnya di sinilah ladang penghasilan perlu digali. Iklan dan media adalah bak sekeping uang logam. Saling memerlukan dan diperlukan. Maka, siapa lagi yang memegang peran utama kalau bukan seorang perencana media. Ia berada di bawah biro iklan yang terus menerus memantau dan membutuhkan data perkembnagan media dari hari ke hari. Mengawali tahun 1991 ini, CAKRAM menjumpai seorang perencana media handal yang sudah membuktikan kemahiran sepanjang 12 tahun terakhir (waktu itu/1979-1991) ini. Dialah Aswan Soendoyo (waktu itu 36 th), direktur media Matari Adveritsing, yang pernah menekuni ilmu 'Marketing & Business Accounting' di Santa Cruz, Amerika, selama hampir tiga tahun. Lewat ilmu yang ditimbanya itulah, Aswan merintis karir di bidang media, hingga jabatan yang diperoleh 1991 ini. Berikut kutipan wawancara CAKRAM yang mengungkapkan lebih jauh, apa sebenarnya potensi media serta prospek perkembangannya di tahun-tahun setelahnya (1992 dst). CAKRAM (C): "Bagaimana menurut evaluasi Anda situasi media 1990?" Aswan Soendoyo (AS): "Cukup baik. Dengan makin banyaknya media membuat pemasang iklan menjadi lebih hati-hati. Dulu orang gampang saja pilih media. Sekarang (1991)? Ada banyak pilihan yang harus diambil. 'Agency', harus pandai-pandai memilih media. Tidak bisa gampang-gampangan. Media sendiri juga harus hati-hati, agar tidak salah menempatkan diri. Apalagi media televisi sudah dibuka luas. Artinya pilihan media semakin rumit, dan tentunya berpengaruh pula pada komposisi belanja iklan secara leseuruhan. Seperti iklan di beberapa media pasti akan berkurang, khususnya untuk surat kabar menengah atau alternatif. Buat surat kabar mapan sih rasanya tidak ada masalah." C: "Nah, bagaimana komposisi pemasangan media itu nantinya?" AS: "Saya enggak bisa jawab. Karena tetap tergantung dari produk dan obyektif pemasaran. Setelah itu baru sampai pada kreatif media. Yang jelas, untuk 'mass protect' golongan menengah ke bawah atau barang kebutuhan masyarakat yang harganya relatif murah akan lari ke radio dan televisi jaringan nasional. Rasionalnya, kalau mereka pakai surat kabar penetrasi ke desa tidak masuk. Dulu sih bisa digunakan poster, tapi mahal, biaya organisasinya besar, dan juga repot. Belum lagi kalau kena hujan." C: "Jadi, iklan televisi bakal melonjak pesat?" AS: "Tahun 1991 tentu jatah televisi akan naik besar sekali, sementara surat kabar akan turun. Dua tahun terakhir (1989-1990) ini kenaikan surat kabar khan karena dapat kagetan dari proyek 'go public'. Jadi penurunannya nanti pun dalam tingkat wajar saja. Sementara itu, yang terpengaruh cukup besar oleh adanya televisi adalah dana 'below the line'. Sedangkan majalah akan terkena sediit. Saya kira, memang 'budget' majalah tidak banyak. Hanya iklan andalan mereka seperti 'consumer good' nampaknya akan beralih ke televisi." C: "Dengan adanya lonjakan permintaan yang luar biasa, apakah media televisi sendiri sudah siap mental?" AS: "Bisnis di media teleivsi itu 'invest'-nya khan ratusan milyar. Jadi mereka tidak akan gegabah dalam mempersiapkan diri dan nampaknya sekarang (1991) pun sudah mempersiapkan alur kerja yang teratur. Seperti TPI (Televisi Pendidikan Indonesia-red) saja, ia sudah melakukan kampanye serentak secara nasional ke seluruh radio di Indonesia. Lantas juga didukung oleh artikel-artikel di majalah dan surat kabar yang berguna sebagai PR buat TPI. Jadi tidak ada istilah main-main itu. Dilihat dari produknya, media televisi juga lebih menonjol daripada media lainnya. Ia punya 'power', warna, serta gerak. Televisi punya penetrasi cukup tinggi, demikian juga televisi melibatkan emosi." C: "Televisi nasional yang Anda maksudkan tentunya TPI, sementara ia hanya bisa siaran di pagi hari. Siapa penontonnya? Dan bagaimana prospeknya?" AS: "Siapa bilang TPI sulit punya penonton? Kalau di pagi hari ada 'news', saya yakin pasti banyak orang tertarik menontonnya. Jam-jam menjelang berangkat kantor masih bisa dimanfaatkan. Sementara di daerah pun umumnya pada pagi hari mereka masih ada di rumah. Mereka semua itu artinya khan potensi penonton TPI. Soal nonton pagi yang tidak lazim itu, menurut saya masalah kebiasaan saja. Dulu orang juga tidak biasa menonton TV hingga larut malam, atau mendengarkan radio dari pagi hingga malam. Jadi tinggal bagaimana kita merubah kebiasaan. Itu bisa dilakukan kalau ada program atau acara menarik di pagi hari. Memang sih merubah langgam kebiasaan tidak mudah, tapi saya yakin bisa!" C: "Kembali pada persoalan penempatan iklan di media, bagaimana menurut Anda dengan adanya antre yang panjang di beberapa media cetak utama?" AS: "Sebenarnya memang tidak wajar, tapi rasanya di semua negara juga demikian. Di Taipeh, juga harus menunggu 6 bulan di muka (waktu itu). Bahkan ukurannya sudah dibatasi oleh media tersebut. Memang di beberapa negara di Eropa tidak terjadi hal demikian. Karena halaman koran juga tidak dibatasi halamannya." C: "Padahal kita dengar harga 'space' di sini mahal?" AS: "Ah, enggak. Harga iklan di majalah normal-normal saja, bahkan harga iklan di televisi (RCTI, SCTV, TPI) masih murah. Nah, kalau surat kabar memang mahal, paling mahal. Itu karena sirkulasi sedikit sementara harga tinggi. Jadi 'CPM'-nya mahal sekali. Coba bandingkan The Asian Wall Street Journal dengan Kompas misalnya. Kompas satu halaman penuh warna harganya Rp 100 juta, sementara di luar negeri uang sebesar itu bisa pasang tiga kali. Tapi sebenarnya memang tidak bisa disalahkan. Mereka punya alasan, akibat permintaan besar dan biaya produksi mahal. Mesin-mesin itu khan (waktu itu) masih baru..." C: "Umpama batas pemasangan iklan tidak dibatasi apakah bisa menyelesaikan masalah?" AS: "Jumlah halaman koran kita ini ada 12 (waktu itu). Dengan pembatasan iklan maksimal sebesar 35% itu, artinya ada jatah 8 halaman berita atau editorial. Nah saya rasa masuk akal. Karena saya pernah baca hasil penelitian bahwa batas kemampuan maksimal seseorang ketika membaca koran dalam satu hari adalah antara 8-9 halaman. Jadi bener pembatasan iklan itu, kalau jumlah halamannya diperbanyak, 24 halaman, misalnya, ya pasti akan memuat iklan banyak sekali. Tapi ada konsekuensinya, media alternatif tidak kebagian iklan. Semuanya disedot oleh surat kabar utama." C: "Tapi meskipun diatur dengan pembatasan iklan, kok perbedaan pilihan media utama dengan media alternatif tetap begitu jauh?" AS: "Itu akibat keadaan dan tuntutan pasar. Pasar menghendaki begitu kok. Mau apa? Kalau Kompas bisa menjadi koran nasional karena memang redaksionalnya bagus. Entah kenapa, produk Kompas begitu lebih menonjol. Selain itu, ia punya 'image' dan kharisma yang kuat sekali. Rasanya untuk bisa menggesernya membutuhkan waktu sangat lama dan biaya mahal. Nama Kompas sudah interpateri baik dengan segmen pembaca yang jelas." C: "Kalau demikian, bagaimana prospek koran-koran baru yang terus bermunculan?" AS: "Barangkali, ada kesalahan mereka dalam merubah 'positioning'. Saya kadang-kadang heran. Kenapa mereka tidak sekalian menajamkan ciri khas yang dimiliki sebelumnya? Karena kalau mau saya yakin, pasarnya masih ada. Justru dengan pindah editorial dan kurang ahli di bidang baru, bisa diimbas oleh yang lain. Bukan oleh siapa-siapa, tapi oleh pasar. Jadi maksud saya, kalau sudah punya segmen sendiri, jangan diubah-ubah lagi. Karena apa yang bisa kita buat belum tentu pasar mau. Justru sebaliknya, apa yang pasar minta, kita harus bisa membuatnya." C: "Bagaimana dengan wajah majalah kita sekarang (1991) dan yang akan datang (1992 dst)?" AS: "Dalam tiga tahun ke depan (1994) ini, di majalah pasti terjadi pengotakan yang sangat spesifik. Kalau sekarang (1991) ada majalah wanita, maka nantinya ada majalah wanita kelas atas atau majalah wanita khusus ibu-ibu yang tidak bekerja. Untuk mereka yang kadar intelektualnya tinggi atau yang biasa-biasa saja, punya spesifikasi majalah masing-masing. Itu akan berpengaruh pada redaksional dan gaya bahasa majalah tersebut. Oleh karena itu, saya duga majalah yang berhasil adalah siapa yang mampu menerobos salah satu segmen spesifik yang tajam. Misalnya majalah keluarga khusus untuk ibu-ibu yang akan melahirkan, itu yang pertama, dan nperkembangan nantinya bisa kita lihat dari pasar." C: "Untuk media elektronika, apa komentar Anda?" AS: "Persiangan radio sebenarnya lebih gila. Seperti sekarang (1991) ini, radio ramai-ramai pindah dari AM ke FM. Biro iklan khan sebenarnya bukan beli radionya, tapi ia beli pendengarnya. Kuping orang itulah yang sebenarnya mau kita beli. |
![]() |
#3942
|
Mania Member
![]() |
![]() Prospek radio sebenarnya sangat bagus. Radio punya 'market' sendiri. Kita tunggu saja, apakah radio FM ikut terpengaruh oleh televisi? Tapi ya lebih baik radio FM lari ke segmen anak-anak muda. Nanti kalau ada televisi nasional dengan film-film bagus, khususnya TPI, radio akan bersaing ketat. Makanya menurut saya daripada bersaing dengan televisi, lebih baik radio mengisi peluang-peluang kosong. Agar kampanye iklan bisa tampil lebih menggigit. Dalam setiap 'campaign', produk baru toh orang perlu radio. Hanya memang ada beberapa produk tertentu yang memanfaatkan radio sebagai media utama, tergantung segmen mana yang dituju. Buktinya lagi, banyak radio yang berhasil memposisikan diri sebaik mungkin."
C: "Anda sudah membahas banyak soal potensi dan ragam media. Nah, tentunya tugas perencana media untuk mengaplikasikan secara maksimal potensi media-media tersebut." AS: "Tentunya tantangan perencana media lebih seru sekarang (1991) ini. Meskipun juga sebenarnya sekarang (1991) lebih gampang. Ada data cukup lengkap dan tinggal lihat media apa saja yang tersedia. Di samping tentunya perencana media harus memperhatikan 'marketing objective'-nya, kemudian objektif komunikasi, objektif kreatif, objektif media, serta konsep keseluruhan. Gampang toh? Yang penting buat perencana media dalam mengawali pekerjaannya adalah paham atas pilihan media utamanya. Itu harus jelas dan rasional. Jenis produk akan sangat menentukan pilihan media yang diambil. Misalnya Supermi atau obat-obatan ringan, lebih baik pakai radio. Jadi ada semacam analisa media. Namun demikian, dari semua data yang ada, pengetahuan serta wawasan yang dimiliki, ada satu hal yang tidak bisa dilupakan, yaitu 'human judgement'. Rasa inilah yang akan menentukan keberhasilan jago-jago media, di belahan bumi manapun juga. Data-data itu hanya akan membantu dalam pengambilan keputusan, sebagai 'guidance'. Pengalaman, kreativitas, 'feeling' akan sangat membantu keputusan seorang perencana media." C: "Jadi benar kalau ada yang mensinyalir perencana media itu perlu banayk pakai 'feeling'?" AS: "'Feeling' memang perlu, tapi harus ada rasionalnya. Jadi kemungkinan untuk meleset dapat diperkecil. Contohnya seperti di Amerika, berapa ribu perusahaan yang berdiri di sana setiap tahunnya. Mereka itu didukung oleh ratusan bahkan ribuan hasil riset. Tapi bagaimana hasilnya? Berapa banyak yang berhasil? Khan tidak semuanya bisa sukses. Akhirnya kalau juga tidak memanfaatkan 'human judgement' memang jadi kebingungan. Dan itu bukan oleh karena kekurangan data, tapi karena kelebihan data. Kebanyakan angka sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Nah dalam hal inilah wawasan dan pengalaman akan sangat membantu." C: "Kiat apa yang seharusnya dilakukan seorang perencana media?" AS: "Menurut saya perencana media harus bisa membina hubungan dengan semua pihak. Karena ia mewakili 'agency' yang praktis sebagai jembatan antara 'advertiser' dengan media, maka hubungan baik harus dibina dari segala arah. Tentunya media itu sendiri juga harus memberi 'service' yang baik, kalau enggak bisa pindah ke tempat lain. Kalau keadaan seperti demikian ini, makin banyak iklan, media dan biro iklan jelas akan lebih baik. Keadaan pasar akan menentukan, bukannya seseorang. Ini lebih enak. Siapa yang lebih profesional dan maju berpikir, maka dialah yang akan berhasil memenangkan persaingan yang ketat ini." C: "Sebenarnya kekurangan perencana media kita itu di mana?" AS: "Menurut saya, kemampuan 'human resources'-nya sih tidak jauh berbeda. Hanya kadang-kadang, sistematika berpikir serta konsepnya lemah. Maunya punya ide macam-macam, tapi konsepnya tidak jelas. Kasus ini bukan pada perencana media saja, tapi semuanya. Maksud saya, gambar boleh bagus. Media boleh saja brilian, tapi konsepnya tunjukkan dulu. Kita ini memasang iklan untuk menjual barang, bukan buat lain-lain. Iya pan?!?" C: "Pertanyaan terakhir, bagaimana kira-kira globalisasi pada industri periklanan kita?" AS: "Bagaimanapun juga, dampak globalisasi akan kita terima. Kalau ditolak justru kita akan jatuh dengan sendirinya. Menurut saya, dengan adanya globalisasi, maka biro iklan perlu menjalin afiliasi. Karena makin banyak produk-produk luar yang masuk ke Indonesia lewat afiliasi 'agency' pusat. Dalam jangka panjang, hubungan dengan 'agency' di luar negeri sangat tinggi. Demikian pula produk-produk dalam negeri perlu ekspor dan itu perlu 'agency' di luar. Oleh karena itu, afiliasi agency sangat dibutuhkan di era globalisasi ekonomi dan pasar." Aswan Soendojo memang terkenal liat dalam menggumuli dunia media. Ia punya banyak kiat untuk mencapai target yang dibebankan kepadanya. Contohnya saat ia berhasil menembus 'deadline' dari harian Kompas yang terkenal ketat itu. Ketika harus menyerahkan film iklan di harian itu, ia datang sudah 10 menit terlambat. Gawat, bisa-bisa iklan ditolak. Soalnya 'deadline' sudah terlewati. Untung Aswan tak kehilangan akal, jam di tangannya dimundurkan 15 menit. Lalu dengan santai ia menyerahkan iklan yang dibawanya itu. Ketika ditolak karena sudah terlambat, ia memperlihatkan jam di tangannya. "Lihat jam saya masih kurang lima menit," kurangnya yakin. Sedikit berdebat, iklan itu akhirnya lolos juga. Saat itu, Aswan telah duduk sebagai direktur media di Matari Inc., dan (waktu itu) baru saja meluncurkan resepsi perkawinannya yang meriah Desember 1990 lalu (lihat Apa & Siapa - CAKRAM, Januari 1991). Ketika itu, nampaknya kita tinggal menunggu 'media plan' untuk kelahiran 'baby' mereka. Ditanya mengenai hal itu, ia hanya tertawa. Dan CAKRAM pun segera pamit untuk mengejar berita yang lain. Dok. CAKRAM, Januari 1991, dengan sedikit perubahan |
![]() |
#3943
|
Mania Member
![]() |
![]() OTAK pemberitaan RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Wartawan "buldozer" yang pernah jadi anak terminal. Ted Turner pun pernah diprotesnya.
Di stasiun RCTI di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, kalau ada orang yang tak pernah kelihatan diam (waktu itu), itu pastilah Bahrul Alam. Harap maklum, meski khalayak lebih mengenalnya sebagai penyiar berjidat lebar, Bahrul sebetulnya punya tugas jauh lebih berat. Ia adalah 'news gathering manager' yang boleh dikata 24 jam sehari harus mengatur dan mengkoordininasi pengumpulan semua berita dalam maupun luar negeri. Artinya, ia harus memantau semua reporter dan koresponden di seluruh wilayah kerja RCTI. Rapat, rapat, dan rapat adalah kesibukan lain yang memadati hari-hari laki-laki berbadan gempal yang pada 25 Mei 1995 nantinya, (waktu itu) bakal genap berusia 40 ini. Asam garam dunia jurnalistik sudah dirasakan Angkot, begitu nama kecil Bahrul, jauh sebelum ia bergabung dengan RCTI pada 1989. Laki-laki kelahiran Medan ini - yang membuatnya selalu menyebut diri sebagai Anak Medan - tak kurang dari 12 tahun sudah berkecimpung di sana. "Mulainya sih hanya 'freelance' saja, membantu membuat resensi film," katanya. Bahrul baru merasakan dunia kewartawanan yang sesungguhnya pada awal 1985, saat mulai menjadi koresponden Indonesia dari Nikkei (Nihon Keizai Sihmbun), kantor berita Jepang yang juga menerbitkan koran, mingguan, dan jurnal. "Kerja dengan empat 'deadline', stres juga. Tapi di situ saya banyak belajar tentang metode peliputan, jaringan antar-biro," kenang pelahap 'seafood' ini. Selama empat tahun (1985-1989) di Nikkei, Bahrul telah menunjukkan prestasi kerja yang luar biasa. "Saya orang Indonesia yang pertama pernah menulis laporan utama dalam jurnal di Jepang itu. Tahu sendiri, itu susah dan mesti antre. Biro Bangkok sampai datang dan memberi selamat. Soalnya mereka nggak percaya ada orang Indonesia di liputan itu," cerita Bahrul yang kala itu juga jadi penulis tak tetap untuk Strait Times, Singapura. Tak heran saat ia keluar dan bergabung dengan RCTI yang (waktu itu) baru berdiri, sudah dipercaya menjabat sebagai asisten kepala biro. Menurut Bahrul yang orang Batak Karo dengan marga Batubara ini, terjunnya ia ke dunia jurnalistik sedikit banyak dipengaruhi pengalaman masa kecilnya. "Di Medan, di sekitar rumah orangtua, yang tinggal wartawan semua. Termasuk ketua PWI Medan saat itu, Ani Sumadi. Buat saya melihat wartawan bukan hal baru," kisahnya. "Tapi, saya jadi wartawan itu karena ingin cari makan saja, bagaimana supaya bisa hidup," tambahnya terus terang. Semua berawal dari pertemuannya di sebuah pesta dengan rekan yang sudah bekerja di Mainichi Shimbun. "Ia memberi rekomendasi untuk melamar ke sana, namun akhirnya ia malah masuk ke Nikkei." Saat itu (1995), Bahrul betul-betul tenggelam di dunia jurnalistik. "Separuh dari dunia saya adalah jurnalistik. Hidup saya dan anak-anak saya semua berasal dari kerja saya sebagai wartawan. Jadi bagaimana lagi?", begitu ungkapnya seraya memaparkan bagaimana di Jepang profesi wartawan amat dimuliakan. Karenanya, jika banyak orang lain menjadikan profesi kewartawanan hanya sebagai salah satu persinggahan saja dalam hidup, bagi Bahrul itu malah dunia yang dianggap akan memberinya masa depan. Di dunia pertelevisian, karier Bahrul pun cepat melejit. Karenanya, ia pula yang dipercaya RCTI untuk dikirim ke Amerika Serikat untuk dilatih selama dua bulan di jaringan televisi sohor CNN (Cable News Network). Di sana, digodok bersama sejumlah wartawan lain dari berbagai negara. "Setelah selesai, saya mendapat plakat dengan nama julukan 'caught on tape' karena saya selalu merekam dan memotret semua yang ditemui di CNN," cerita Bahrul berapi-api. Bahkan Ted Turner pun berhasil ia wawancarai dan potret, meski awalnya menolak keras. Baru setelah Bahrul mengatkana protes, bos CNN itu mau. "Dia menyuruh anak buahnya meng-'cover' seluruh dunia, tapi dia sendiri kok nggak mau diliput. Khan nggak fair," begitu alasannya. Bahrul memang termasuk kategori wartawan "buldozer". Ketika pada 1991 meliput untuk RCTI di Bangkok, ia pernah ditahan di markas Interpol Bangkok, karena nekad mengambil gambar dan lolos masuk ke kantor polisi internasional itu. "Setelah berhasil melakukan wawancara di sebuah lantai, saya bersama kameramen mengambil gambar di daerah terlarang. Tapi ketahuan dan akhirnya diinterogasi sampai dua jam." Semasa remaja di Medan, Bahrul mengaku anak yang badung. "Jakarta ini khan tidak ramah. Tempat saya lahir pun tidak ramah juga. Di sekolah dasar (SD), saya termasuk yang berotak cemerlang. Tapi selama sekolah menengah pertama (SMP), badung, berkelahi, masuk sel polisi pernah saya alami. Teman-teman saya anak-anak kolong semua," aku penggemar lagu-lagu pop, rock, dan dangdut ini. Sempat menganggur setamat sekolah menengah atas (SMA), Bahrul lalu bekerja di Aceh pada proyek UNICEF yang membangun sumur bor. "Di sana, ternyata pekerjanya sebagian besar residivis. Akhirnya ya 'survival' sampai pulang ke Medan, karena nggak tahan," sambungnya sambil tertawa. Bahrul lalu hijrah ke Jakarta. "Saya datang ke Jakarta pada 1975 dengan kondisi yang prihatin, naik kapal barang. Sampai di Priok, saya bingung mau ke mana. Saya ke asrama Universitas Indonesia (UI) karena ada paman saya di sana. Tapi sambutannya kurang enak, baru datang langsung ditanya, "Mau ngapain di sini?". Bahrul menirukan apa yang kata oom-nya. Bahrul pun mendaftar di UI. Bukan hanya karena mau belajar, "Tapi juga agar saya bisa tinggal di asrama mahasiswanya." Drama kehidupan Bahrul belum juga usai walau akhirnya ia diterima menjadi mahasiswa FISIP-UI. Karena tak punya fulus untuk biaya kuliah, ia sempat bekerja di terminal bus kota. "Saya jadi koordinator di Grogol. Tapi di sana ribut. Lalu ditugasi di Pulogadung tahun 1976. Tapi ribut lagi dengan geng-geng di sana. Rasanya pecah dunia saya. Di satu sisi saya mahasiswa, namun di sisi lain saya orang terminal," keluh laki-laki penggemar olahraga 'hiking' dan yoga ini. Tapi, belakangan itu Bahrul tak perlu lagi berkeluh kesah. Kerja kerasnya (sampai saat itu) telah menghasilkan buah: seorang istri, empat anak, sedan baru warna kelabu, dan sebuah rumah sari di bilangan Cileduk. Dok. Jakarta-Jakarta, 18-24 Februari 1995, dengan sedikit perubahan |
![]() |
#3944
|
Mania Member
![]() |
![]() MARCO Van Basten, pemain sepakbola kesebelasan Belanda menerima umpan di rusuk kiri pertahanan Uni Soviet dalam final Piala Eropa 1988. Basten tak menunggu bola mencium tanah. Si kulit bundar langsung dihantam kaki kanannya. Dasayev, kiper Soviet bereaksi, namun terlambat. Bola meluncur menerpa jaring gawangnya.
Dua nol, Belanda memenangkan pertandingan itu sekaligus merebut mahkota juara Eropa 1988. Dan gol spektakuler dari sudut sempit yang disebut Franz Beckenbauer sebagai gol ketepatan abad 20 ini, disaksikan juga pecandu bola di nusantara. Itu semua berkat tayangan TVRI yang bekerjasama dengan Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial/KSOB. Tapi berapa TVRI-KSOB harus merogoh kocek? Menurut Adi Kasno, kasubdit pemberitaan TVRI, untuk final Piala Eropa 1988, TVRI harus membayar 20.000 dollar AS untuk hak siarannya saja. Untuk biaya produksi 5.000 dollar harus dikeluarkan lagi. Kemudian TVRI harus mengeluarkan dana membayar satelit 11.000 dollar selama sepuluh menit pertama dan 37,5 dollar tiap menit selanjutnya. Belum lagi untuk membayar Indosat dan Perumtel serta biaya pengoperasian 320 stasiun TV (transmisi) di seluruh Indonesia. Hitung punya hitung, untuk siaran 100 paling tidak, uang sekitar Rp 100 juta harus dikeluarkan dari TVRI setiap tayangan. Menurut Adi Kasno, TVRI sendiri mengalami kesulitan untuk membiayai siaran langsung dari luar negeri. "Dana yang kami peroleh terbatas dari iuran televisi. Padahal, dari 5 juta pemilik pesawat teve yang terdaftar, belum semuanya membayar iuran yang hanya Rp 2.000 itu. Sebenarnya, bila semua pemilik pesawat TV mendaftar dan membayar iuran, rasanya kita cukup dana untuk membiayai siaran langsung dari luar negeri," ujarnya. Selanjutnya Adi menyatakan, dengan adanya kerjasama TVRI-KSOB, soal dana memang menjadi lebih mudah diatasi. Menurut Adi sebenarnya tidak ada perjanjian tertulis, pihak KSOB harus menyumbang kepada TVRI, kecuali lebih berdasarkan pengertian kedua pihak. "Apalagi ternyata misi KSOB khan untuk meningkatkan prestasi olahraga kita," katanya. Mengenai prosedur meminta dana dari KSOB, secara garis besar kasubdit pemberitaan TVRI itu mengatakan, pihaknya sebelumnya mengajukan proposal perincian biaya untuk menayangkan suatu siaran olahraga, sedang dana yang diberi Yayasan KSOB, tidaklah selalu sama besarnya, tergantung dana yang tersedia. TVRI telah bekerjasama dengan KSOB sejak awal 1987 untuk menyiarkan siaran langsung dari dalam dan luar negeri khususnya untuk peristiwa-peristiwa olahraga. Tahun 1988 ini saja, TVRI-KSOB sudah menyiarkan 17 liputan (sampai Juli 1988), antara lain pertandingan tinju: Tyson-Holmes, Ellyas Pical-Diaz, kejuaraan bulutangkis All England dan semifinal Piala Thomas, serta kejuaraan antar klub Eropa, terakhir (waktu itu) kejuaraan sepakbola antar negara Eropa dan tinju Mike Tyson vs Michael Spinks. Untung ada KSOB. Dok. Jakarta-Jakarta, 10-18 Juli 1988, dengan sedikit perubahan |
![]() |
#3945
|
Mania Member
![]() |
![]() AMAT mencintai dan begitu kuat rasa memilikinya terhadap pekerjaan, itulah lelaki Minggu Pon ini. Melihat ia bekerja, menyutradarai sinetron, adalah melihat seseorang melebur diri. Ia sibuk berdialog dengan pemain dalam usaha mencerapkan peran, mengatur pencahayaan dan sudut pengambilan kamera. Semuanya dilakukan dengan sikap mengabdi, terhadap kesempurnaan. Maka tak segan-segan ia mengganti pekerja dengan yang lebih berkualitas.
"Itu berat sekali bagi saya karena pasti akan mengecewakan orang," ujar anak ketiga dari sebelas bersaudara pasangan E. Suryadijaya dan Komariah ini. Ia memang pemburu kesempurnaan, kendati (waktu itu) belum pernah ada karyanya yang memuaskan hatinya. Setiap naskah sinetron, selalu dibedahnya, diberi penafsiran baru. Jadi, ia tak sekadar menelevisikan. Ingaktah hasil besutannya, Jin Tomang? Bahkan, sinetron Karina-nya berhasil menyabet Piala Vidia dalam FFI (Festival Film Indonesia) 1987. Memang, hampir setiap hasil arahannya menyiratkan sesuatu yang lain, sesuatu kebaruan (waktu itu). Jendela Rumah Kita (JRK), sinetron menarik yang disukai banyak penonton televisi, lahir dari tangannya. Belakangan itu, ia dipercaya menjabat kepala sub-seksi drama modern TVRI. Namun, jalannya menuju kepercayaan itu, amat panjang, berliku, dan penuh keprihatinan. Semua dimulai dari kota Cianjur, tempat keluarganya bermukim. Meskipun ia kelahiran Sukabumi, 26 Oktober 1952, Cianjur adalah masa kecil yang pahit baginya. Karena ayahnya yang kepala kondektru PJKA itu mendidik anak secara represif. Tak tahan pada kegalakan sang ayah, sewaktu SD lelaki keras hati ini lari ke Bandung. Hidup menggelandang hampir sepuluh bulan, bocah pemberontak itu menyambang hidup dengan menjadi penjaja koran dan penyemir sepatu. Tidur pun di emperan toko. Ternyata, pengalaman masa kecil inilah yang mengguriskan kepekaan terhadap kehidupan orang kecil, sampai 1988. Menumpang kakak, ia menyelesaikan SMP dan STM, sekitar 1967-73, di Medan. Di sini ia masuk Paguyuban Wargi Sunda Medan, dan mulai berkenalan dengan tari, nyanyi, dan sandiwara, yang sebleumnya, asingbaginya. Lulus STM, ia ikut kakak yang lain di Bandung, tapi lalu diusir karena berkelahi dengan sekelompok pemuda, ia terpaksa pulang ke Sukabumi, jadi calo rumah atau tanah. Selain juga kursus bon A, bon B, mengetik, reparasi radio, bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. "Saya tak mau menganggur," alasannya. Tahun 1976, kendati telah menjadi karyawan honorer Bank Bumi Daya, ia toh coba bergabung dengan 4.000 pelamar TVRI. Tapi setelah diterima, ia sering nongkrong di studio mengamati cara kerja sutradara televisi, bahkan memberanikan diri jadi asisten pengarah acara Tiar Muslim almarhum. Hasil besutan perdananya membungkam mereka yang semula meragukan kemampuannya. Terjepit berbagai kesibukan, ia masih menyempatkan kuliah di STIA-LAN. Ayah tiga putri (ketika itu), pertama kembar (waktu itu 9 tahun) dan si bungsu (waktu itu 6 tahun), buah pernikahannya selama sepuluh tahun dengan Niniek Sidawati, juga karyawan TVRI, ini punya resep. "Sebetulnya orang bisa langgeng dalam perkawinan, karena ia mau mengorbankan sebagian keinginannya." Pengagum Teguh Karya almarhum ini, punya cara unik untuk mencairkan kesibukan. Hobi saya pergi ke diskotik, bukan sekadar menikmati musik atau ber-ajojing, tapi juga untuk melakukan pengamatan laga, dalam bersantai pun ia bekerja memang, seorang sutradara, bukanlah seniman - harus selalu waspada karena inspirasi datang setiap saat. Juga saat kau tidur, Ded? Dok. Jakarta-Jakarta, 23-29 Desember 1989, dengan sedikit perubahan |
![]() |
#3946
|
Mania Member
![]() |
![]() SEQUEL Scarlett yang merupakan kisah lanjutan film klasik Gone With The Wind, disiarkan serentak di seluruh dunia. Pemirsa Indonesia bisa menikmatinya lewat SCTV.
Penggemar film klasik Gone With The Wind yang (waktu itu) masih penasaran atas kelanjutan kisah kasih Scarlett O'Hara dengan Rhett Butler, belakangan itu boleh bergembira. Karena, sekuel film yang dibintangi Vivien Leigh dan Clark Gable pada 1939, dan yang (waktu itu) baru diputar ulang SCTV akhir bulan Oktober 1994 lalu itu, (kala itu) akan ditayangkan serentak di seluruh dunia mulai 13 November 1994 ini. Miniseri Scarlett produksi RHI Entertainment itu, mengganti pemeran Leigh dan Gable dengan Joanne Whalley Kilmer sebagai Scarlett, serta Timothy "James Bond" Dalton sebagai Rhett Butler. Pemirsa Indonesia termasuk yang mendapat kesempatan istimewa bisa menonton tayangan Scarlett lewat Surya Citra Televisi (SCTV). Untuk itu, SCTV telah berunding dengan pihak Kirch Group (Betafilm), Jerman, distributor miniseri itu, setelah sebelumnya mereka membeli film Gone With The Wind. Film Gone With The Wind itu, rupanya sengaja ditayangkan akhir Oktober 1994 lalu di SCTV, "untuk menyambut pemutaran Scarlett," kata Budi Darmawan, pejabat humas SCTV. Dan ternyata, kata Budi, sambutan masyarakat terhadap film itu sangat baik. Sehingga pihak SCTV pun optimistis Scarlett akan mendapat tanggapan serupa. Novel Scarlett ditulis oleh Alexandra Ripley, yang sebelumnya pernah menerbitkan novel bertema operet seperti Charleston, On Leaving Charleston, dan New Orleans Legacy. Ripley diminta oleh keluarga Margaret Mitchell untuk melanjutkan kistah percintaan Scarlett O 'Hara dengan Rhett Butler, yang terkesan menggantung di akhir kisah Gone With The Wind. Persiapan Alexandra untuk melanjutkan karya Mitchell itu boleh dibilang luar biasa. Tak kurang dari empat kali, ia melalap Gone With The Wind untuk menyerap gaya Mitchell bertutur. Lima tahun selanjutnya, ia habiskan waktunya untuk meriset kepustakaan, membongkar arsip, dan pergi ke berbagai tempat yang disebut dalam novel itu. "Mitchell adalah penulis yang luar biasa," puji Ripley. Dan ketika novel itu akhirnya diluncurkan pada September 1991, masyarakat menyambut antusias. Di Atlanta, kota yang dijadikan 'setting' Gone With The Wind, orang harus antre untuk mendapatkan novel itu. "Buku ini sangat memikat dengan penuturan yang hidup dan hasil riset yang teliti," kata kritisi Colestine Sible, yang juga teman dekat Mitchell. Popularitas novel itu akhirnya menarik perhatian RHI Entertainment, produser televisi untuk membuat miniseri Scarlett. Biaya yang disediakan RRI untuk film yang enam bulan syutingnya dilakukan di tiga negara itu - Inggris, Irlandia, dan Amerika - sekitar 40 juta dollar (kurang lebih Rp 40 milyar). CBS, stasiun swasta Amerika, memperoleh hak menayangkan miniseri itu di Amerika Serikat, dengan membayar sekitar 10 juta dollar (atau Rp 20 milyar)_. Sementara untuk penayangan di dunia, RHI Entertainment bekerja sama dengan Kirch Group dari Jerman. MIniseri itu berkisah tentang perjuangan Scarlett memperoleh kembali cuma RHett. Namun harapannya itu ternyata sia-sia. Karena Rhett yang sudah patah arang, malah menawarkan perceraian. Lalu, Scarlett pun pergi ke tanah leluhurnya, Irlandia, untuk melupakan Rhett, dengan membawa janin di perutnya, buah cintanya dengan Rhett. Di Irlandia, dalam waktu singkat, ia memperoleh kepopuleran dan menjadi kepala klan O 'Hara. Di sana pula, ia berkenalan dan menjalin hubungan dengan Sir Richard Feston. Setahun kemudian, Rhett dan Scarlett bertemu kembali. Saat itu, Rhett telah menikah dan akan menjadi seorang ayah. Agaknya, pertemuan itu malah meyakinkan Scarlett bahwa cintanya hanya untuk Rhett, apalagi ketika kemudian ia mendapat kabar bahwa isteri dan anak Rhett meninggal karena wabah penyakit. Kepada Fenton, Scarlett pun berterus terang soal cintanya kepada Rhett. Namun Fenton yang tidak mau menerima penolakan Scarlett itu, malah memerkosanya. Peristiwa itu disaksikan oleh Mary Boyle, sahabat Scarlett yang juga menjadi pacar gelap Fenton. Sehingga ketika malma itu Fenton ditemukan mati tertikam pisau. Scarlett-lah yang kemudian menjadi terdakwa. Akankah Scarlett diseret ke tiang gantungan? Bagaimana pula dengan kisah cinta Scarlett dan Rhett? Yang pasti, di akhir miniseri ini, Rhett bertanya pada Scarlett, "Mengapa kamu mengira bahwa aku sudah berhenti mencintaimu?" Dan akhir kisah pun kembali menggantung, sebagaimana Gone With The Wind. Karena alasan moral atau komersial? Dok. FORUM Keadilan, No. 16 Tahun III, 24 November 1994, dengan sedikit perubahan |
![]() |
#3947
|
Mania Member
![]() |
![]() BISNIS. Begitu bisnisnya diserahkan pada Tanri Abeng, langsung keluarga Bakrie tancap gas berebut peluang. Setelah menggandeng PT Telkom Indonesia dalam pembuatan model 'rural phone', Jumat pekan terakhir Juli 1992 lalu (31/7/92), Ical, panggilan dekat Aburizal Bakrie, menegaskan pada JJ tentang rencananya untuk merambah bisnis televisi siaran.
"Kita akan bikin TV 'news and sport' di Palembang (Cakrawala Bumi Sriwijaya Televisi)," kata Ical (waktu itu). "Investasinya kita belum hitung, tapi yang pasti awalnya kecil, tetapi kemudian akan membesar." Cukup mengejutkan, sebab televisi swasta yang paling tua, dan berlokasi di Jakarta (RCTI) pun, masih sulit untuk meraup laba (ketika itu). "Apalagi kalau 'news' dan 'sport'," komentar Alex Kumara, direktur operasi RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Menurut Alex, konsep dari teve milik Bakrie, yang diketahuinya hanya lewat media massa, bakal sulit di dalam pelaksanaan. "Sebab di sini 'sport' tidak laku," kata Alex. Ia menunjukkan contoh acara sepakbola Liga Italia dan Inggris yang diputar setiap minggu, yang dinilai paling menarik di antara berbagai kompetisi bola yang ada, toh masih tidak laku keras di iklan (waktu itu). "Kecuali Barcelona (olimpiade), sebab itu 'event'. Tapi kalau terus-menerus 'sport' seperti ESPN, apa ada yang nonton?", tanya pria tinggi kurus yang selalu pasang senyum itu. Pun ia juga bertanya-tanya tentang konsep 'news' dari Bakrie, dengan merujuk peraturan pemerintah (kala itu) masih belum mengizinkan teve swasta membuat "berita". "Kalau 'news' di RCTI khan lain, itu 'feature', bukan 'news'," katanya. Pengamat media massa, sekaligus dosen komunikasi, Eduard Depari, memberikan komentar yang sama. Meski ia mengatkaan bahwa pendapatnya tidak mewakili pendapat RCTI, Edo, panggilan dekat Eduard, sendiri adalah manajer humas dan litbang RCTI. "TV swasta yang lahir saat ini (1992), tidak dalam suasana vakum, tapi suasana kompetisi," katanya. Artinya, berebut iklan dengan teve swasta lain yang sudah ada. Untuk berebut iklan, ia harus punya 'air time' yang potensial untuk menggaet masyarakat dan pengiklan. Tapi Ical optimis, "Siapa bilang 'sport' tidak laku? Kita bikin berita yang tidak dalam larangan peraturan pemerintah!", katanya. "Siaran kita, dengan Palapa, khan bisa sampai ke Shanghai." Menurut Ical, sepanjang kawasan Indonesia sampai RRC itulah terbentang pasar iklan yang potensial. Tapi, pengamat seperti Edo melihatnya lebih kritis lagi. "Kalau toh ia hendak merebut pasar di negara-negara Asia Selatan, apakah siaran yang diberikan itu megnena? Lagipula, kalau mau terus menerus menyiarkan 'sport', penonton sana akan lebih memilih ESPN, atau Star TV Hongkong," kata Edo. Tetapi, cepat atau lambat, Bakrie (waktu itu) telah pasti masuk teve, karena saat itu ia telah mengantongi izin prinsip dari Departemen Penerangan. Sementara di belakangnya saat itu telah antre Humpuss (Tommy Suharto) untuk Medan, Jusuf Kalla (JK) untuk Ujungpandang, Husein Naro untuk Yogyakarta (SMTV), dan kabarnya (waktu itu) Salim Grup (Sudono Salim) untuk Semarang (MCTI). Sementara Denpasar (saat itu) telah dikantongi oleh Henry Pribadi-Sudwikatmono (SCTV Bali). TVRI jelas pihak yang paling terpengaruh, terutama dengan TV Bakrie. Toh Ishadi, direktur TVRI, merasa tidak terdesak oleh persaingan tersebut. "Apa bisa bikin berita? Khan masih dilarang?", katanya pada JJ. Tentang kompetisi itu sendiri Ishadi memilih untuk mengelak. "Saya belum tahu konsepnya," katanya (waktu itu). Bisnis teve Bakrie digerakkan melalui Usaha Mediatronika Nusantara, anak perusahaan Bakrie Investindo. Salah satu dari 2 'holding' Bakrie yang bertugas mencari peluang baru. Sementara pengelolaannya dipegang oleh Nirwan Bakrie, adik Ical yang aktif di PSSI. "Pelaksanaannya masih ditangani secara pribadi oleh Nirwan Bakrie," tutur Tanri, dua pekan sebelum itu. "Belum ada niatan dari Nirwan untuk melembagakannya dalam bisnis Bakrie." Belum jelas (waktu itu), bagiamana prospek teve Bakrie. Sebab ada saja yang menyangsikan dan menghubung-hubungkannya dengan keberadaan Nirwan Bakrie yang gemar mengurus olahraga itu. Bahwa, jangan-jangan bikin teve karena dorongan hobi. Dok. Jakarta-Jakarta - No. 318, 1-7 Agustus 1992, dengan sedikit perubahan |
![]() |
#3948
|
Mania Member
![]() |
![]() ADEGAN keras di televisi kian marak, sementara jaring pengamanannya masih lemah. Pemerintah terkesan lambat mengantisipasi akibatnya.
Karena dendam setelah kematian istri dan anaknya, bekas anggota polisi Frank Castle berubah menjadi mesin pembunuh. Setiap dia beraksi, satu nyawa pentolan mafia melayang. Dalam sebuah adegan gerakan lambat, misalnya lemparan pisau yang memutar dan tertancap di dahi korban tergambar mulus tanpa guntingan sensor. Inilah salah satu adegan film The Punisher (Minggu Megah) yang ditayangkan ANteve (Andalas Televisi), pertengahan April 1994. Sajian film layar lebar lain yang biasa diputar saat 'prime time' di televisi swasta lainnya setali tiga uang. Lihat saja Scanners II dan Scanners III (Kamis Futuristis) di SCTV (Surya Citra Televisi) yang menampilkan tubuh manusia meledak. Atau The Hitman (Layar Emas) tayangan di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) yang dengan enteng menampilkan daging manusia berserpihan karena diletakkan atau diberundung peluru satu magazin penuh. Adegan-adegan keras yang banyak lolos di televisi itu tentu saja segera menimbulkan reaksi dari kalangan orangtua, pendidik, dan pakar. "Penyajian adegan kekerasan secara berlebihan sangat mempengaruhi pikiran pemirsa, terutama anak-anak," kata ahli ilmu komunikasi, Marwah Daud Ibrahim. Meski tak langsung berwujud dalam perilaku, menurut dia, adegan kekerasan itu terpendam dalam pikiran. Dan pemicunya dalam perilaku bisa macam-macam, misalnya dendam. Film laga ('action') sebetulnya lebih pas untuk sajian di bioskop. "Penonton layar lebar biasanya telah siap dengan tema apa pun yang disajikan karena memang itu pilihan mereka," kata Marwah. Sedangkan pemirsa televisi tak selalu siap menerima tayangan semacam itu. Lagipula, karakteristik pemirsanya sangat beragam. Pakar komunikasi dari UGM (Universitas Gajahmada), Ashadi Siregar berpendapat, bahwa peningkatan intensitas pemutaran film laga di televisi terjadi, karena jumlah stasiun penyiaran bertambah. "Itu juga dialami oleh jenis film yang lain," katanya. Ashadi juga menafikan pengaruh film kekerasan terhadap anak-anak. "anak-anak yang normal tentu lebih memilih bermain dengan teman sebayanya daripada menonton film berisikan adegan kekerasan melulu," ujarnya. Penilaian para ahli yang mengatakan adegan kekerasan mempengaruhi pemirsa, kata Ashadi, hanya berdasarkan asumsi dan bukan penelitian obyektif. Sampai saat itu, di Indonesia memang belum ada penelitian yang sahih mengenai pengaruh adegan kekerasan terhadap perilaku anak-anak. Tapi, di Amerika Serikat, yang acara televisinya sudah membudaya, menurut 'Journal of America Medical Association', anak-anak Amerika usia 2-5 tahun (waktu itu) menonton televisi 27 jam seminggu. Kebanyakan dari mereka percaya, yang mereka saksikan dalam tayangan televisi itu sepenuhnya kenyataan, meskipun orangtua mereka mendampingi dan menjelaskan bahwa film itu hanya adegan pura-pura. Akibatnya, kata Eduard Donnenstein, profesor ilmu komunikasi University of California, anak akan mengalami tiga hal: takut dan cemas akan menjadi korban kekerasan, tak sensitif dan cuek terhadap orang lain yang menjadi korban kekerasan, dan mendorong mereka untuk melakukan tindak kekerasan. Sementara itu, Badan Sensor Film (BSF) yang diharapkan mampu menepis pengaruh buruk tayangan televisi tak mampu berbuat apa-apa. Terutama karena pihak stasiun televisi, menurut ketua pelaksana BSF, Soekanto, sering mengirim materi tayangannya kepada BSF justru setelah penayangannya. "Alasannya, mengejar jadwal siaran," kata Soekanto. Namun, menurut kepala humas SCTV, Budi Darmawan, pihaknya sudah memiliki mekanisme sendiri untuk menepis pengaruh buruk adegan keras. Misalnya, film-film tersebut ditayangkan di atas pukul 21.00. Pertimbangannya, usia pemirsa yang menonton pada jam siaran itu lebih dewasa dan matang. Pemerintah sendiri juga tak bisa berbuat banyak. UU Siaran yang ditunggu-tunggu sampai saat itu (Mei 1994) masih dalam tahap penyelesaian. "Kami kesulitan merumuskan adegan tindak kekerasan," kata Dirjen Radio, Televisi, dan Film (RTF), Alex Leo Zulkarnaen. Panduan yang ada tentang penyiaran televisi, Surat Keputusan (SK) Menteri Penerangan Nomor 111 tahun 1990, belum memadai (waktu itu). Ketentuan pemberian sanksi, seperti diatur dalam pasal 37 SK tersebut tidak menyoroti jenis pelanggaran dan semacam sanksi secara rinci. Alex mengakui, pihaknya telah beberapa kali memberikan peringatan, tapi tak berbekas. Karena itulah, agaknya sajian film berisi adegan keras (waktu itu) masih terasa dominan di televisi. "Daripada mereka merusak masyarakat, lebih baik izin siaran mereka dicabut," kata Alex. Dok. FORUM Keadilan, Nomor 3 Tahun III, 26 Mei 1994, dengan sedikit perubahan |
![]() |
#3949
|
Mania Member
![]() |
![]() VITAMIN tak hanya membuat Elma Theana Yuliantina, si gadis manis penjaga gerbang tol dalam film iklan Xon-Ce, jadi sehat. Tapi itu pula, yang mengantarkan Elma jadi bintang sinetron. "Saya enggak nyangka akan terkenal begitu," katanya.
Gadis (waktu itu) kelahiran Jakarta yang (kala itu) berusia 20 tahun itu, belakangan itu sibuk syuting film layar lebar dan sinetron. "Saya bingung karena banyak sekali tawaran main iklan dan film," tuturnya. Memang, (waktu itu) baru saja ia menuntaskan pengambilan gambar sinetron Hati Seluas Samudera (RCTI), ia sudah harus siap beraksi untuk Kepak Sayap Merpati Muda garapan Ali Shahab. Dalam sinetron Kepak Sayap Merpati Muda yang kabarnya menelan biaya sampai Rp 1 milyar, El, panggilan akrab Elma, berperan sebagai Yani, gadis nakal akibat 'broken home'. "Saya suka peran itu karena memang sesuai dengan jiwa saya," kata putri kedua penari ular, Wati Siregar. El menolak mengungkapkan honornya dalam sinetron berbiaya satu milyar rupiah itu. Tapi, menjadi terkenal ada bayarannya juga. Elma jatuh sakit karena kecapekan. Jadwal pengambilan gambar sinetron "anak nakal" itu yang (kala itu) akan ditayangkan di SCTV (Surya Citra Televisi), terpaksa ditunda. "Badan saya panas, jadi saya harus istirahat," kata El. Lha, Xon-Ce-nya mana? Dok. FORUM Keadilan - No. 8 Tahun III, 4 Agustus 1994, dengan sedikit perubahan |
![]() |
#3950
|
Mania Member
![]() |
![]() MULAI April 1994 ini, siaran lima stasiun televisi asing (waktu itu) akan meramaikan dunia pertelevisian Indonesia. Bagaimana dampak sosialnya?
Para pemilik antena parabola saat itu semakin terjepit. Mulai April 1994 ini, mereka tak bisa menyaksikan lagi film-film terbaru yang dipancarkan stasiun televisi kabel, Home Box Office (HBO) atau siaran olahraga terbaru dari ESPN, Amerika Serikat. Juga informasi dan berita aktual dari CNN (Cable News Network). Sebab, semua siaran itu (waktu itu) akan diacak. Siapa ingin menyaksikan siaran stasiun televisi asing itu, harus merogoh kocek lagi: Rp 1,5 juta untuk pemasangan dekoder dan biaya langganan sebesar Rp 82 ribu (sekitar 40 dollar AS) per bulan. Biaya tersebut untuk berlangganan sekaligus lima stasiun televisi asing, yakni HBO, ESPN, CNN, TNT, dan Discovery, kata Vicky Supit, 'account executive' PT Matahari Lintas Cakrawala, agen kelima stasiun televisi asing itu dan yang mengoordinasi pembayaran iuran langganan dari hotel dan rumah tangga di Indonesia. Sampai akhir April 1994 ini, Matahari Lintas mengharapkan dapat memasuki 10 ribu kamar hotel. Sedangkan untuk pelanggan rumah tangga, menurut komisaris Matahari Lintas, Peter F Gontha, perusahaannya menargetkan 35 ribu dekoder sepanjang tahun 1994 ini. "Berdasarkan pengalaman ketika memasarkan dekoder RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), saya yakin pada akhir tahun ini (1994) paling kurang 150 ribu dekoder bakal terjual," ujarnya. Sebagai agen, Matahari Lintas, anak perusahaan PT Bimantara Citra, tidak merelai siaran stasiun televisi asing tersebut, karena dilarang pemerintah. "Yang mengelola siaran, ya tetap mereka sendiri. Jadi, kami tidak melanggar peraturan," kata Peter. Peraturan yang dimaksud Peter adalah Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 111 tahun 1990 pasal 35, yang mengatur siaran stasiun televisi asing. Ayat 1 pasal itu melarang siaran stasiun televisi asing yang sengaja dipancarkan ke Indonesia. Dan dalam ayat 2, di samping melarang relai siaran stasiun televisi asing, disebutkan juga, "Larangan kerjasama bagi stasiun televisi swasta dalam bentuk apapun yang memungkinkan siaran asing masuk atau dapat ditangkap di Indonesia." Menurut Peter, apa yang dilakukan pihaknya merupakan upaya menaikkan citra Indonesia di mata dunia. "Dengan begitu kita menunjukkan sikap menghargai hak cipta, yang justru sering dilanggar negara dunia ketiga," kata Peter, yang juga menjabat wakil presiden direktur Bimantara Citra dan komisaris di RCTI. Untuk sementara, pemancaran siaran stasiun televisi asing tersebut menggunakan jasa satelit Palapa B2. Namun mulai awal 1996, peran satelit Palapa (waktu itu) akan digantikan oleh satelit Indostar I yang dikelola Media Citra Indostar, anak perusahaan Bimantara lainnya. Satelit yang menelan investasi 100 juta dollar AS (sekitar Rp 200 milyar) itu, berfungsi bukan hanya menyalurkan siaran stasiun televisi asing, tapi juga siaran RCTI, SCTV (Surya Citra Televisi), dan siaran beberapa radio milik Bimantara ke seluruh Indonesia. Inilah yang disebut dengan teknologi 'direct broadcasting satellite' (DBS). Selain itu pemerintah pun telah resmi merestui rencana pengoperasian DBS sejak Oktober tahun 1993 lalu. Dan sejauh itu, pihak, Departemen Penerangan belum menganggap serius soal dampak sosial yang ditimbulkan teknologi itu. "Kita lihat nanti, tergantung bagiamana kita menggunakannya," kata Dirjen Radio, Televisi, dan Film (RTF), Alex Leo Zulkarnaen (waktu itu). Namun, pakar komunikasi dari Bandung, Jalaluddin Rakhmat, memperkirakan (waktu itu) bakal terjadi beberpaa perubahan perilaku masyarakat sebagai dampak kehadiran teknologi DBS. Penguasaan teknologi DBS oleh pihak swasta berarti juga penguasaan sumber informasi berpusat di elite tertentu yang menguntungkan secara ekonomis. "Pada galibnya, yang menguntungkan secara ekonomis adalah inforamsi yang kadar kekerasan dan seksnya tinggi," katanya. Selain itu, menurut Jalaluddin, pemancaran siaran melalui teknologi DBS secara serentak di Indonesia - dengan pembagian tiga waktu: Indonesia barat, tengah, dan timur - juga akan menyebabkan penjadwalan kembali kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi seperti itu pernah dialami sebuah masyarakat di Sulawesi Selatan, ketika siaran televisi pertama kali disiarkan dari Jakarta. "Petani menjadi lebih siang berangkat ke sawah dan anak-anak memundurkan waktu belajar dan mengajinya setelah acara kesukaannya ditayangkan," ujarnya. Secara psikososial, gejala itu bisa menjadi ancaman terhadap budaya lokal. "Akibatnya, terjadi standarisasi informasi yang hanya berpusat di Jakarta, dan kepentingan pengusaha," kata Jalaluddin. Dok. FORUM Keadilan - No. 26 Tahun II, 14 April 1994, dengan sedikit perubahan |

- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer