HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Minggu, 2024/04/18 11:55 WIB
Klarifikasi Idham Masse Soal Mobil Untuk Ibu Catherine Wilson Mau Ditarik Leasing
-
Minggu, 2024/04/18 11:48 WIB
Ogah Disebut Nganggur, Ferry Irawan Ngaku Ada Proyek Film dan Dicalonkan Jadi Bupati
-
Sabtu, 2024/04/17 14:39 WIB
Melody Prima Baru Ungkap Alasan Bercerai Setelah Setahun Berlalu
-
Selasa, 2024/04/14 11:47 WIB
Sandra Dewi Hilang di Instagram, Keluarga Lakukan Hal Ini
-
Jumat, 2024/04/16 14:20 WIB
Olivia Nathania, Anak Nia Daniaty Bebas dari Penjara Kasus CPNS Bodong
-
Selasa, 2024/04/14 11:42 WIB
Soal Kabar Adopsi Bayi Perempuan, Ini Kata Raffi Ahmad
|
Thread Tools |
17th July 2013, 01:00 |
#801
|
Mania Member
|
Mulai minggu pagi, 30 agustus 1992, serial operet bobo di tvri
MULAI Minggu pagi, 30 Agustus 1992 pukul 08.10, serial Operet Bobo digelarkan lewat layar TVRI. Operet dengan judul penyerbuah ke Planet Elekton ini ditayangkan setiap hari Minggu hingga tanggal 25 Oktober 1992.
Keseluruhan cerita dipenggal dalam sembilan episode dengan durasi masing-masing 30 menit. Judul episode secara berurutan adalah Kecurigaan di Negeri Kelinci, Kekacauan di Negeri Dongeng, Zelda Penguasa Planet Elekton, Bobo Panglima Perang, Tak-tik di Kawah Tundra, Sulap di Planet Elekton, Sahabat Kebaikan dan Musuh Kejahatan, Pertempuran di Padang Tandus, serta Riang Gembira di Negeri Dongeng. Semula, naskah operet dibuat untuk enam episode, namun ketika dalam proses penggarapan, ternyata bisa dibikin hingga menjadi sembilan episode. Pembuatan serial operet ini dilakukan selama empat setengah bulan (sejak Februari 1992, kecuali bulan Ramadhan), setelah pihak majalah Bobo dan TVRI menandatangani naskah kerjasama sebulan sebelumnya (Januari 1992). Serial operet berjudul Penyerbuan ke Planet Elekton ini dibintangi oleh anggota Sanggar Bobo, Wayang Orang Bharata, serta mahasiswa IKJ. Jumlah seluruh pemain sebanyak 93 orang, dua di antaranya saat itu masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Di luar pemain, terdapat suara penyanyi Anggun C Sasmi. Operet Bobo sekurangnya telah lima kali tampil di depan khalayak ramai. Beberapa cerita yang pernah dimainkan antara lain Murni Hantu KKK dan Planet Komersia. Cerita Penyerbuan ke Planet Elekton sendiri pernah dipentaskan dua tahun sebelumnya (1990), di Jakarta dan Surabaya. Dok. Kompas, 30 Agustus 1992, dengan sedikit perubahan |
17th July 2013, 01:01 |
#802
|
Mania Member
|
Jurnalisme "baru-baru ini" dalam siaran tvri
SWASTANISASI televisi memaksa TVRI berubah. Memang, banyak perubahan telah dilakukan, meski secara esensial tak terlalu beda. Namun, teleconference dalam Berita Nasional dan sebagian Dunia Dalam Berita (DDB) atau Laporan Khusus – sejak 1 April 1992, sangat berarti. Setidaknya, julukan “berita kunjungan menteri” atau “berita gunting pita” pada mata tayangan ini, sedikitnya terkikis.
Tanpa mengurangi keberhasilan yang telah dilakukan, kedudukan sebagai perpanjangan tangan pemerintah belum bisa berubah waktu itu. Peranan dalam mencerdaskan bangsa, fungsi sebagai lembaga persuasi dalam konteks pembangunan nasional (Ashadi Siregar, dalam Citra 121, 22-28 Juli 1992) pun senantiasa dibawa. Namun, menginjak usianya yang ke-30 (tahun 1992), sahkah kalau TVRI bersikukuh dalam gayanya menyampaikan informasi? Jika diparalelkan dengan salah satu bagian dalam SK Menteri Penerangan No. 111/Kep/Menpen/1990, yang selama itu tak memberi kesempatan televisi swasta membuat berita seperti TVRI dipersilakan membuat berita apa saja, menyampaikan informasi dengan segala caranya. Artinya, persaingan antar pembuat berita televisi, sebagaimana terjadi di negeri multi stasiun penyiaran tak terjadi, Seputar Indonesia RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia)-SCTV (Surya Citra Televisi) atau Serbaneka TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), cukup disebut “majalah udara” pada waktu itu, meski peliputannya terkadang amat berciri berita. Staf Direktorat Televisi, JB Wahyudi, dalam Citra No. 120, 15-21 Juli 1992, pernah mengajukan pertimbangan pokok, yakni manfaat siaran, lebih daripada sekadar corong pemerintah. Dengan kata lain, semua materi berita dan informasi yang tersaji dianggap membawa manfaat bagi pemirsa dalam keseluruhan. Muncul kekhawatiran, kedudukan “pemrakarsa tunggal” menjadi ajang pengesahan untuk bisa seenaknya dan nyaris bebas koreksi. Beberapa yang asal menyebut waktu misalnya: “Petenis Yayuk Basuki dan Martina Navatilova ambil bagian dalam kejuaraan tenis di Jepang menjelang turnamen Virginia Slims, baru-baru ini” (DDB, 13/2/92); “Kesebelasan Belgia mengalahkan kesebelasan Perancis dalam pertandingan sepakbola baru-baru ini” (DDB, 4/3/92), “Dua pembalap Indonesia, Tinton Soeprapto dan Art Sasabone menjuarai Hongkong Malaysia Sportscar Championship 1992, belum lama ini” (DDB, Senin, 6/7/92); “Pergelaran adibusana karya Adjie Notonegoro baru-baru ini di Jakarta” (DDB, Minggu, 26/7/92); “Di Rusia, belum lama ini diselenggarakan kejuaraan kicik-boxing...” (DDB, Rabu, 12/8/92); “Tentara Jepang yang tergabung dalam pasukan penjaga perdamaian PBB meninjau jalan di Kamboja, baru-baru ini” (Berita Terakhir, Minggu, 16/8/92). Tak soal bahwa materi kiriman baik dari World Television Network, Visnews DPA e-t-e-s, Asiavision, Japan Video Topics, ataupun hasil liputan sendiri (sumber-sumber materi berita selama itu) dilengkapi data atau tidak. Padahal, ketika sebuah materi hendak ditayangkan sebagai berita, mestinya membuat unsur akurasi (Sir High Greene, dalam Francis Wheen, 1985). Intensitas tentang apa, siapa, kapan, di mana, bagaimana, dan mengapanya bisa berbeda, namun bukan berarti boleh diabaikan (John Langer, dalam Peter Dahlgren dan Colin Sparks, eds. 1992). Manfaatkan keunggulan Betapapun, berita televisi dibuat dan disajikan melalui kaidah khas televisi dan memanfaatkan keunggulan televisi. Sangat cepat, simultan, tapi tetap dramatis dan menarik (Daniel Menaker dalam Horace Newcomb, ed. 1982). Dalam bahasa David Brinkely, anchorman senior NBC, haruslah memanfaatkan “potensi tanpa celah”, Sebagaimana media tercetak yang memungkinkan pembaca mengabaikan bagian yang tidak disuka. Televisi RI bolehlah berdalih telah memenuhi kriteria-kriteria itu, yang beberapa kali memang telah terbukti. Meninggalnya Michael Landon pada Senin (1/7/91), segera di-DDB-kan pada Selasa (2/7/91), lengkap dengan narasi haru. Tewasnya Freddy Mercury karena AIDS pun, kendati bukan gambar tentang kematiannya, ditayangkan di Berita Terakhir pada 25 November 1991. Padahal pagi harinya, Kompas baru memberitakan Freddy yang mengidap AIDS, dan suara Pembaruan mewartakan kematian pada sore harinya. Asas manfaat dan keinginan Namun, apakah muatan di seluruh berita TVRI memang memberi manfaat, lebih berkategori perlu dipirsa daripada ingin dipirsa? Penggalakkan ekspor misalnya, perlukah diwujudkan dengan kelewat seringnya peliputan kegiatan Badan Pengembangan Ekspor Nasional, dengan pidato ketuanya di-live sound-kan dalam Berita Terakhir? Sementara, di luar itu, banyak berita yang lebih layak diketahui, sekalipun tanpa gambar (penembakan Presiden Aljazair, Mohammad Boudiaf, dalam DDB Senin (29/6/92), berdasarkan berita via teleks dari Reuters, misalnya). Pemirsa tetap mau menyaksikannya, tetap perlu menerimanya. Karenanya, selagi status pemrakarsa tunggal tetap melekat. Hendaknya gabungan asas manfaat dan asas keinginan lebih didekatkan, ini tidak hanya menyangkut sisi berita saja, melainkan juga untuk isi dan mata tayang lainnya. Tahun 1992 itualh, saatnya berkelit dalam situasi sulit, berbenah dalam suasana gundah. “Tuingsat warsa” alias usia 30 tahun tak Cuma diperingati dengan kekhawatiran menghadapi persaingan, atau usaha sia-sia membendung peluberan siaran. Mayong Suryolaksono, wartawan Intisari dan Citra, saat itu mengucapkan “Dirgahayu TVRI”. Dok. Kompas, 24 Agustus 1992, dengan sedikit perubahan |
17th July 2013, 01:03 |
#803
|
Mania Member
|
Sepekan sinetron 30 tahun tvri, membuat film lebih manusiawi
MEMESTAKAN ulang tahunnya ke-30, tepat pada hari Senin (24/8/92), mulai Selasa malam (25/8/92), TVRI menayangkan Sepekan Sinetron 30 tahun TVRI. Bukan pesta rutin biasa. Dalam perayaan, tujuh sinetron yang masing-masing ditayangkan tiap pukul 19.30 WIB itu, tampil pula karya-karya sutradara kondang di luar TVRI. Garapan sutradara Arifin C Noer, Taxi Oh Taxi, saat itu akan mengawali peristiwa pertama kali ini.
Disebut peristiwa pertama, karena baru pada pesta saat itu, biaya pembuatan sebuah sinetron mencapai Rp 109 juta. Inilah biaya produksi untuk Taxi Oh Taxi, sejumlah itu pula ongkos produksi untuk setiap garapan dua sutradara lain di luar TVRI, yakni Arak-Arakan (Teguh Karya) dan Anak Hilang (Slamet Rahardjo). Umumnya, ongkos pembuatan satu sinetron di TVRI saat itu, berkisar Rp 25-28 juta (bisa Rp 30-35 juta untuk acara sepekan). Lantas, muncul beberapa sutradara macam tanggapan dari sutradara TVRI yang ikut tampil dalam sepekan kali ini. Agoes Widjojono yang menggarap Lelaki dari Tanjung Bira, memilih tidak banyak berkomentar. Sementara sambil tertawa, Chep Masduki yang menyutradarai Misteri Kecapi, beberpaa kali mengaku tidak cemburu pada ongkos produksi Rp 109 juta. R Wiedjajanto, penggarap Melodi Yus Riri, lain lagi. Menurut Wiedjajanto, tidak fair jika produksi garapan para sutradara TVRI dengan biaya standar itu diperbandingkan dengan garapan sutradara luar. “Meskipun mereka harus membayar ongkos peralatan, paling banyak sewa peralatan sehari itu Rp 1,5 juta. Saya rasa penonton televisi harus tahu ini, supaya fair dalam menilai tujuh sinetrno yang akan ditayangkan dalam sepekan ulang tahun,” katanya waktu itu. Kepala seksi produksi acara drama TVRI Stasiun Pusat Jakarta, DJ Nawi, mengatakan bahwa hadirnya sutradara-sutradara di luar TVRI bisa membuahkan tukar-menukar pengalaman. “Sampai sekarang, saya tidak merasakan adanya semacam persaingan yang tidak sehat antara sutradara TVRI dengan sutradara luar. Teman-teman di sini sudah terbiasa dengan acara ‘sepekan’. Mereka biasa bekerja dengan situasi yang ada,” katanya waktu itu. Nawi mengakui, bahwa idealnya berlaku subsidi silang dalam pembiayaan sinetron, tergantung pada tuntutan naskah. Ukuran jumlah ideal ini Rp 327 juta (3 X Rp 109 juta), ditambah dengan penjumlahan biaya produksi standar untuk keempat sinetron, didistribusikan untuk setiap produksi. “Tapi yang sekarang ini, kebetulan sudah ditentukan oleh TVRI, John Hopkins dan KLH,” katanya waktu itu. Seperti diketahui, atas jasa Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) maka terjalinkan kerjasama TVRI dan John Hopkins University AS untuk emmbuat sinetron dengan tema kependudukan dan lingkungan hidup. Dalam hal ini, John Hopkins yang memiliki Pusat Komunikasi Kependudukan (lembaga yang bekerjasama dengan berbagai lembaga lain, terutama di negara berkembang untuk komunikasi KLH), menyangga setengah dari biaya produksi tiga sinetron yang digarap sutradara di luar TVRI. Bagi Arifin yang lebih senang menyebut “sinetron” dengan “film televisi”, ongkos produksi yang diterimanya saat itu, membuat filmnya lebih manusiawi. “Kalau dua yang terdahulu (film televisi Sebuah Dongeng Cinta dan Bulan dalam Baskom dengan ongkos produksi mendekati standar TVRI-red), terus terang saja, imbalannya bagi pesawat yang terlibat di dalamnya tidaklah begitu terasa artinya,” katanya. Sementara itu, Slamet Rahardjo mengatakan bahwa dari jumlah Rp 109 juta itu termasuk untuk penyewaan alat, studio, dan pasca-produksi. Ini perbedaannya dengan produksi yang digarap sutradara TVRI sendiri. “Apa yang diterima sutradara TVRI sebesar rata-rata Rp 30 juta itu sebetulnya lebih enak,” kata Slamet waktu itu. Ditambahkannya, bahwa ia saat itu masih harus nombok Rp 12,3 juta untuk peralatan. Teguh Karya menyangkal ketika ditanya tentang honor yang diterima oleh Djaduk Ferianto, ilustrator musiknya. Sumber Kompas mengatakan, bahwa untuk Arak-Arakan, Djaduk mendapatkan honor Rp 4,5 juta. “Saya tidak mau bicara soal honor. Yang jelas kami masih harus menanggung biaya peralatan. Jadi, honor itu masih dalam kondisi TVRI,” kata Teguh waktu itu. Apakah finishing sinetron Arak-Arakan yang dilakukan di TVRI juga di-charge? “Saya belum tahu,” kata Jossi Enes, sutradara TVRI yang kali ini menjadi semacam produser pelaksana untuk ketiga sutradara di luar TVRI, waktu itu. Kebutuhan akan peningkatan biaya produksi sinetron, yang antara lain berkaitan dengan peningkatan honor para pemain dan penulis skenario ini, bukanlah hal baru ketika itu. “Tapi, untuk menaikkan honor itu sulit. Yang mungkin adalah subsidi silang. Jadi, ongkos produksi sinetron tidak dibuat rata-rata, tapi berdasarkan tuntutan naskah. Persoalannya, ketika pola acara terpadu ditetapkan tiap awal April, kita belum mempunyai stok naskah yang cukup, yang telah di-ACC, untuk membuat rencana alokasi anggaran setiap sinetron,” kata DJ Nawi waktu itu. Membuat semacam bank naskah, berarti mengandaikan bahwa TVRI mampu membayar penulis naskah, begitu naskah tersebut dinyatakan ACC. Sehingga penulis naskah tersebut, tidak perlu menariknya kembali untuk diserahkan pada stasiun televisi lainnya. Tapi, jangankan untuk membayar sekitar setahun di muka, membayar begitu sinetron diproduksi kadang-kadang waktu itu masih susah. Menurut R Wiedjajanto, kalau dia tidak pinjam uang Rp 700.000 atas nama pribadi ke TVRI. YB Mangunwijaya, penulis cerita Melodi Yus Riri, sampai detik itu belum menerima honor. Dok. Kompas, 24 Agustus 1992, dengan sedikit perubahan |
17th July 2013, 01:05 |
#804
|
Mania Member
|
Dirgahayu tvri, rcti, & sctv:masalah birokrasi, investasi, & teknologi di layar kaca
RENCANA peluncuran satelit baru 1990-an bernama Indostar, pada Agustus 1992 adalah isu paling aktual di tengah acara “selamatan” tiga televisi Indonesia, yang hari Senin (24/8/92) merayakan ulang tahun. Tanggal 24 Agustus 1992 itu, TVRI merayakan ulang tahun ke-30, RCTI ulang tahun ketiga, dan SCTV ulang tahun kedua.
Pertama-tama, Kompas saat itu mengucapkan selamat ulang tahun bagi ketiganya. Selanjutnya, di tengah rencana peluncuran satelit baru yang dalam beberapa hal bisa disebut “kemajuan revolusioner” di bidang teknologi itu, peranan modal, serta berbagai interest lain, dunia pertelevisian Indonesia memang waktu itu tengah memasuki era baru, sekaligus menghadapi tantangan yang barangkali tidak tanggung-tanggung rekonseptualisasi diri. Saat itu belum reda rasanya, gaung “kejutan” yang terjadi di pertelevisian Indonesia menjelang ulang tahun itu. Direktur Televisi Drs. Ishadi SK, M.Sc, yang menduduki jabatannya sejak Desember 1987, dan dikenal dengan berbagai tindak terobosan, dimutasikan 6 Agustus 1992. Tak ada mutasi jabatan di tingkat eselon II mengundang perhatian media massa seramai saat pergantian jabatan dari Ishadi ke pejabat baru ketika itu, Drs. Abdul Aziz Husein. Mutasi di kalangan pegawai negeri, bisa dianggap persoalan biasa. Masalahnya, “citra terobosan” yang melekat pada Ishadi, serentak mengurai persoalan bagaimana pengelolaan televisi di Indonesia digagas dan hendak dilaksanakan oleh pemerintah, sementara pada tingkat pelaksanaan teknis, media itu ternyata sulit dikelola dengan manajemen birokratis ala pemerintah. Atau kalau yang terakhir itu tetap dipaksakan, maka inilah beberapa catatan yang berhubungan dengan pengelolaan media televisi, dari soal birokrasi, pengaturan, teknologi, sampai uang. Tentang birokrasi TVRI, sebagai televisi paling tua di Idnonesia dibanding televisi-televisi yang lain, bak “raksasa” yang sulit melangkah, dibebani kaki yang besar dan berat, “kaki administrasi”. Itu adalah salah satu konsekuensi dari “manajemen birokrasi”, di mana seperti tercermin dari rekrutmen pegawai, pemilihan pegawai tidak pertama-tama didasarkan pada pertimbangan profeisonal. “Seperti yang terjadi dalam rekrutmen pegawai negeri. Sarjana, langsung golongan IIIA. Maka pernah terjadi, seorang pengarah acara gajinya lebih rendah dari sopir, karena sang pengarah acara gajinya lebih rendah dari sopir, karena sang pengarah acara meski karya-karyanya hebat, dia hanya lulusan SMP,” kata sebuah sumber di TVRI waktu itu. Dropping pegawai ke TVRI sebagai lembaga yang bernaung di bawah Departemen Penerangan, waktu itu terakhir terjadi tahun 1988. Sumber di TVRI menyebutkan, waktu itu TVRI di-drop 60 pegawai baru, dan di antara 60 orang itu, kata sumber tadi hanya satu orang yang tidak punya hubungan keluarga dengan orang Deppen. Dirjen RTF, Drs. Alex Leo Zulkarnaen, saat itu mengakui perimbangan pegawai TVRI yang untuk saat itu disebutnya “piramidanya berat ke bagian administrasi”. “Nantinya, kita akan tingkatkan mutunya, dan dicari perimbangan yang wajar antara bagian siaran, teknik-umum, administrasi, agar benar-benar efisien,” kata Alex Leo waktu itu. Pegawai TVRI, saat itu sejumlah 6.000 orang. Tentang tingkat profesionalisme para pekerja TVRI ini, barangkali dapat dilihat. Taruhlah dalam perbandingan dengan televisi swasta SCTV. Pegawai SCTV saat itu berjumlah 200 orang, dan dari jumlah itu, puluhan di antaranya bergelar insinyur. Sedangkan di TVRI, menurut sebuah sumber, dari 6.000 pegawai, insinyurnya waktu itu paling sekitar 20 orang. Jumlah pegawai pula rekruitmen, pola remunerasi, sistem penjenjangan, dan administrasi yang birokratis itu, bertaut-taut membawa persoalan betapa repontya menangani lembaga broadcasting ini. Di kalangan TVRI, sudah dikenal keadaan di mana seorang pengarah acara yang jenjang pendidikannya rendah dan bekerja setengah mati di lapangan, menerima gaji lebih kecil dari sopir yang pendidikannya lebih tinggi darinya, meski di tempat produksi, sang sopir tak punya pekerjaan apa-apa selain melewatkan waktu dengan tidur. Pihak pengisi acara kadang juga terlambat menerima pembayaran, gara-gara lambatnya cara kerja mesin birokrasi. Pada kasus semacam ini, seorang pengisi acara pernah sampai meninggalkan arena produksi karena tak dibayar-bayar, sehingga produksi terancam gagal. Itu adalah contoh sehari-hari tentang TVRI, sehingga “terobosan” kadang “unvoidable” alias tak terhindarkan. “Terobosan Ishadi adalah terobosan terhadap kepedulian dalam menghadapi orang-orang sekeliling, dan tak hanya seniman,” ujar sutradara terkenal yang beberapa kali menjadi pengisi acara TVRI, Teguh Karya. Kata-katanya itu mewakili ungkapan-ungkapan dari sumber-sumber lain yang mengungkapkan nada serupa. Tentang uang Simpul lain dari persoalan TVRI adalah soal uang. Sejauh itu, keuangan TVRI sebagian besar disandarkan dari iuran pemirsa. Khusus masalah ini, waktu itu pernah terjadi gunjingan ramai, ketika PT Mekatama Raya yang terikat perjanjian dengan Yayasan TVRI (lewat perjanjian kerjasama Nomor 222/SP/DIR/TV/1990) yang bertindak sebagai pemungut iuran, ternyata tidak bisa memenuhi target yang diproyeksikan. Tahun 1991, dari proyeksi penerimaan iuran televisi Rp 90 milyar, PT Mekatama Raya baru menyetor Rp 82.541.890.850,59. Kekurangan lebih dari Rp 7 milyar itu, hingga saat itu dicantumkan sebagai piutang Yayasan TVRI. Persoalannya, karena yayasan ini milik pemerintah, maka piutang tersebut bisa dianggap piutang negara, yang bisa dihapuskan atas usulan Menpen dan disetujui Menkeu. Karena kegagalan PT Mekatama Raya, sejak April 1992, pemungutan iuran dialihkan ke Yayasan TVRI. PT Mekatama Raya masih dipakai sebagai konsultan, dengan fee 10%. Jadi, jumlah seluruh iuran dari pemirsa, setelah dipotong 17% untuk koordinator daerah, jumlah iuran yang terkumpul masih harus dipotong lagi 10% untuk PT Mekatama Raya. Kerjasama ini saat itu akan ditinjau kembali 31 Oktober 1992. Tetapi yang jelas, lewat surat perjanjian di atas, Yayasan TVRI terlibat kerjasama dengan PT Mekatama Raya sampai 31 Desember 2005. Apapun bentuk kerjasama itu. Bagaimanakah alokasi keuangan TVRI itu? Dari data di Sub-Bagian Keuangan Direktorat Televisi, didapat keterangan, tiap bulan gaji seluruh pegawai dari Yayasan TVRI saat itu adalah Rp 1.214.911.777,50. Dari jumlah itu, yang diganti oleh Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) adalah Rp 874.074.350. kekurangannya ditutup oleh TVRI dengan menggunakan penerimaan anggaran pendapatan dan belanja TVRi, yang sebagian besar berupa iuran tadi. Jadi, ada yang di luar iuran? Ada. Itulah yang disebut sponsor. Keberadaan sponsor berikut dinamika bisnis modern yang berada di baliknya, mau tak mau memang mempengaruhi dinamika TVRI (meski dalam beberapa hal menyulitkan term untuk “keterlibatan” TVRI dengan dunia bisnis. Kesulitan merumuskan term itu memanifestasi dalam istialh-istilah seperti “iklan terselubung”, “iklan resmi”, dll. Itulah salah satu tantangan TVRI, rekonseptualisasi diri di tengah masalah keuangan yang dihadapinya, sekaligus keberadaan dirinya di tengah rimba bisnis. Tentang peraturan Pada segi keuangan, entah berapa pun dan apapun bentuk investasi televisi, televisi di Indonesia sebetulnya terikat pada peraturan antara lain SK Menpen No. 111/Kep/Menpen/1990 tertanggal 24 Juli 1990 (dan direvisi 1 Mei 1992 untuk pasal 7 dan pasal 14 yang di antaranya mengatur kembali penyiaran oleh pihak swasta). Dalam SK tersebut tertulis jelas, bahwa “Penyiaran televisi berfungsi sosial sebagai sarana perjunagan pembangunan bangsa untuk membudayakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam semua segi kehidupan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan siaran.” Fungsi sosial ini dengan sendirinya, tidak bisa menjadikan pihak manapun yang terjun ke bisnis televisi, menjadikan interest bisnis dalam main-stream usaha. Tapi, perubahan yang saat itu baru saja terjadi seperti menyangkut pasal 7 dan pasal 14 itu, juga menunjukkan bagaimana pemerintah harus berhadapan dengan pihak-pihak bisnis yang rupanya makin melirik ke usaha-usaha pertelevisian. Sebelum direvisi, pasal 14 yang mengatur pihak-pihak yang berhak mengadakan siaran ditulis, bahwa “siaran nasional hanya dapat diselenggarakan oleh TVRI dan SPTSP (stasiun penyiaran televisi swasta pendidikan-red).” Revisi pasal ini menyebutkan “siaran nasional hanya dapat diselenggarakan oleh TVRI, SPTSP, dan SPTSK (stasiun penyiaran televisi swasta khusus-red).” Jadi, ada komponen baru waktu itu masuk dari situ, yakni sebuah stasiun televisi swasta (di luar televisi pendidikan yang selama itu dipegang TPI/Televisi Pendidikan Indonesia), yang ketika itu bakal boleh menyelenggarakan siaran nasional. Bagaimanakah memahami latar belakang perubahan-perubahan seperti itu? Latar belakangnya, menurut beberapa sumber saat itu, telah ada rencana masuknya seorang pengusaha terkemuka (Liem Sioe Liong) untuk membuka televisi nasional (dalam hal itu Indosiar) yang waktu itu khusus akan memberikan informasi mengenai ekonomi pembangunan. Saat itu tidak jelas, bagaimana bentuk siarannya setelah itu, kalau mengingat bahwa TVRI pun selama itu juga telah banyak menyelenggarakan acara berupa pembangunan di berbagai desa di Indonesia. Untuk melengkapi perubahan yang saat itu akan segera terjadi pada konstelasi dunia pertelevisian di Indonesia, perlu dicatat bahwa saat itu pemerintah telah mengeluarkan lagi izin prinsip bagi enam televisi swasta. Keenamnya adalah PT Merdeka Citra Televisi Indonesia/MCTI (di Semarang), PT Ramako Indo Televisi/RIT (Batam), PT Cakrawala Andalas Televisi/ANteve (Lampung), PT Sanitya Mandara Televisi/SMTV (Yogyakarta), PT Cakrawala Bumi Sriwijaya/CBS TV (Palembang), dan PT Indosiar Visual Mandiri (Jakarta). |
17th July 2013, 01:06 |
#805
|
Mania Member
|
Dirgahayu tvri, rcti, & sctv:masalah birokrasi, investasi, & teknologi di layar kaca
Lima izin yang pertama siarannya bersifat lokal, sedangkan yang terakhir bersifat nasional, dan itulah yang saat itu akan mengkhususkan diri di informasi pembangunan tersebut. Beberapa nama pengusaha/perusahaan terlibat dalam proyek-proyek tersebut, di antaranya grup Salim, grup Suara Merdeka, dan grup Bakrie.
Tentang antisipasi masa depan Peraturan tentang pertelevisian pada akhirnya memang seperti “sebuah pakaian” yang pada suatu waktu terasa tak bisa lagi memuat berbagai kemajuan pertelevisian, baik yang menyangkut bisnis maupun teknologinya. Belum jelas saat itu, bagaimana kiranya aturan main tentang televisi hendak dirumuskan lagi, semenjak saat itu mulai ada gagasan oleh pihak swasta, yakni PT Media Citra Indostar (anak perusahaan Bimantara) untuk mengintroduksikan program yang diseubt DBS-Indostar. Sistem baru waktu itu yang ringkasnya hendak menjual satelit berikut alat penerimanya sekaligus kepada pelanggannya di seluruh nusantara ini, tentu waktu itu belum termaktub dalam soal penyelenggaraan penyiaran yang selama itu diatur dalam SK Menpen Nomor 111/90 itu. Padahal dalam soal terakhir itu, di mana nantinya, waktu itu barangkali akan diintroduksikan pesawat televisi khusus untuk khalayak, menurut sebuah sumber artinya juga kemungkinan kerjasama pihak penyelenggara siaran itu dengan perusahaan televisi tertentu. “Ini bisa membawa monopoli,” kata sumber tadi waktu itu. Antisipasi kebijaksanaan tentang pertelevisian terlihat kompleksnya di situ. Oleh karenanya, barangkali memang tak ada istilah yang lebih tepat, selan istilah “rekonseptualisasi”. Dok. Kompas, 24 Agustus 1992, dengan sedikit perubahan |
17th July 2013, 01:07 |
#806
|
Mania Member
|
Masih dibahas peluncuran indostar (bimantara siapkan rp 176 milyar)
MENTERI Penerangan Harmoko mengatakan bahwa kemungkinan peluncuran satelit Indostar oleh perusahaan swasta, sampai Agustus 1992 masih dibahas. Hal itu disebutkannya menjawab pertanyaan Kompas seusai hadir dan memberikan sambutan ulang tahun ke-30 TVRI di Gedung TVRI (Senayan, Jakarta), Senin (24/8/92).
Dijelaskan oleh Menpen Harmoko, pihaknya saat itu masih membahas berbagai aspek, termasuk footpoint (wilayah liputan-red) satelit Indostar. “Dalam sidang Polkam, hal ini juga akan dibahas,” katanya saat itu minta maaf harus cepat-cepat pergi sebelum usai ramah-tamah ulang tahun TVRI, untuk segera mengikuti sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam di Jakarta, Senin (24/8/92). Pertanyaan tersebut diajukan sehubungan berita Kompas (24/8/92) bahwa satelit Indostar akan diluncurkan Mediacitra Indonesia (MCI), anak perusahaan Bimantara, dan saat itu akan beroperasi bulan Januari 1995. Berbeda dengan Satelit Palapa, Indostar yang saat itu akan dibuat International Technologies Inc. AS itu memiliki spesifikasi direct broadcasting atau siaran langsung. Satelit itu mampu mengatasi hambatan topografi wilayah Indonesia yang berlembah dan bergunung. Daya pancarnya yang besar, besarnya 100 watt, membuatnya mudah diterima pesawat televisi dengan antena murah dan tidak terlalu rumit. Kecepatan perubahan peta pertelevisian, lagi-lagi tampak. Dilengkapi dua unit penerima di stasiun bumi yang berkapasitas 45 saluran televisi, memungkinkan operator Indostar menyewakan fasilitasnya untuk berbagai stasiun pemancar televisi. TVRI konon mendapat tempat gratis di Indostar ini. Rp 176 milyar Direktur MCI, Arief Juwanto, ketika dihubungi hari Senin (24/8/92), mengatakan pihaknya sudah menyiapkan anggaran sebesar 88 juta dollar AS (waktu itu sekitar Rp 176 milyar), untuk terjun ke bisnis satelit. Anggaran itu dipersiapkan untuk membeli satelit dan membangun stasiun pengendali. “Satelit ini berbeda dengan Satelit Palapa yang membutuhkan stasiun bumi. Satelit ini hanya membutuhkan stasiun kecil yang bisa dibangun di atas gedung Bimantara misalnya, untuk pengoperasiannya,” tutur Arief menjelaskan. Sampai saat itu, di mana tempat pengendalian itu akan dibangun, belum ditentukan. “Kami belum menentukan itu, karena izin bagi peluncurannya sendiri belum diperoleh yang pasti, tempat pengendalian itu akan ada di sekitar Jakarta,” tutur direktur MCI waktu itu menambahkan. Sekretaris perusahaan Bimantara, Achmad Fuad Afdhal, sebelumnya menjelaskan, maksud dari MCI untuk terjun ke bisnis satelit bukan sekadar meningkatkan mutu gambar yang dihasilkan, tetapi mendukung program pendidikan. Siaran televisi melalui Palapa, saat itu masih belum menjangkau seluruh masyarakat Indonesia, dan itu dapat diterobos oleh Indostar yang menggunakan sistem DBS. Arief mengaku, bahwa Indostar setelah itu, masyarakat pengguna harus mengeluarkan biaya setidaknya untuk membeli receiver yang harganya sekitar 100 dolar AS (waktu itu sekitar Rp 200.000). Namun, Arief tidak menutup kemungkinan pihaknya cuma memberikan cuma-cuma kepada daerah-daerah tertentu yang membutuhkan, namun tidak membelinya. Ketika ditanyakan perhitungan terhadap investasi yang dilakukan, Arief mengatakan seluruh modal yang ditanamkan waktu itu diharapkan bisa kembali di tahun keenam (2000). Itu semua dengan perhitungan sekitar 1 juta pendengar radio dan 500.000 pemirsa TV yang menggunakan receiver yang ditawarkan MCI setiap tahunnya, di samping penyewaan transponder oleh televisi dan radio swasta yang menggunakan. Peta berubah Dalam sambutan ulang tahun ke-30 TVRI, Menpen Harmoko mengatakan bahwa saat itu TVRI sudah berada di tengah-tengah arus penyiaran televisi global sebagai akibat perkembangan teknologi informasi yang bergerak sangat cepat. Peta pertelevisian katanya, telah berubah secara total dan perubahan itu merambat pula ke layar TVRI. “Sekalipun hal seperti ini dapat dianggap wajar-wajar saja, namun kita harus mampu menentukan ukuran yang layak, sebatas mana kewajaran itu masih bisa ditolerir, sehingga kita tidak akan terbawa arus tanpa kendali. Kendali yang saya maksudkan itu tidak lain adalah komitmen TVRI sebagai media massa yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan landasan idiil Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan operasional GBHN,” katanya waktu itu. Bersama-sama televisi swasta nasional, demikian jelasnya, TVRI berkewajiban menjadikan dirinya sebagai benteng penyaring dan pemandu sehubungan membanjirnya siaran televisi luar negeri. Untuk itu, TVRI dan televisi swasta nasional harus saling melengkapi dengan cara lebih banyak menyiarkan materi siaran yang mengacu pada kepentingan nasional. “Dalam hal ini, TVRI seyogyanya mampu menjadikan dirinya sebagai barometer pengambil inisiatif untuk menghindarkan diri dari pengaruh-pengaruh negatif arus siaran televisi global,” katanya waktu itu. Pada bagian lain sambutannya, Menpen Harmoko mengatakan bahwa awal bulan September 1992, TVRI saat itu akan diuji lagi kemampuannya untuk berperan aktif menyukseskan KTT GNB (Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok), yang disusul peristiwa lainnya seperti pelantikan keanggotaan DPR dan MPR. Kemudian, pada bulan November 1992, TVRI dan RRI waktu itu akan diuji lagi sebagai tuan rumah sidang umum Persatuan Badan-Badan Penyiaran Asia Pasifik (Asia Pacific Broadcasting Union/ABU) ke-29 di Bali. 400 orang Dalam pidatonya, Direktur Televisi, Drs. Abdul Aziz Husein, melaporkan kepada Menpen Harmoko bahwa TVRI saat itu siap menyukseskan berbagai peristiwa penting dalam waktu dekat setelah itu. “Tidak kurang dari 400 kerabat kerja TVRI Pusat dan daerah terlibat dalam usaha menyukseskan KTT GNB di Jakarta,” katanya ketika itu. Dalam KTT ini, TVRI juga bertindak sebagai pusat televisi yang melayani stasiun penyiaran televisi luar negeri. Menyinggung tambahan fasilitas, Aziz mengemukakan bahwa saat itu TVRI telah diperkuat oleh 13 stasiun penyiaran (dari 10 stasiun sebelumnya), yakni di Banda Aceh, Ambon, dan Samarinda, yang saat itu sudah memulai siaran percobaan. Di samping itu, tambahnya, TVRI sudah memiliki 300 stasiun transmisi yang memungkinkan siaran TVRI mampu menjangkau 70% penduduk Indonesia, meskipun dilihat dari daya jangkau wilayah ketika itu baru mencapai 41,1%. Pada bagian lain, Aziz mengatakan bahwa keberadaan televisi swasta nasional merupakan mitra kerja TVRI, untuk dapat saling mengisi dalam usaha mengimbangi siaran televisi luar negeri yang semakin tidak terbendung. Itulah, demikian Aziz ketika itu, “Usaha antara TVRI dan televisi swasta nasional seperti RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), SCTV (Surya Citra Televisi), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), dan yang akan muncul dalam waktu dekat ini.” TV Ikobang Sebuah sumber menyebutkan bahwa televisi yang saat itu akan muncul dalam waktu dekat setelah itu, adalah televisi yang mengkhususkan diri di bidang informasi ekonomi pembangunan (Ikobang) – dalam hal ini Indosiar. Hal ini bisa dipercaya, karena telah keluar SK Menpen 84A/1992, revisi SK Menpen 111/1990, yang memperbolehkan televisi swasta di luar kategori umum dan pendidikan. Dalam SK sebelumnya, hanya diakui dua kategori televisi swasta: yakni televisi swasta umum (RCTI/SCTV) dan pendidikan (TPI). Sementara TV ABRI yang saat itu pernah diberitakan akan berdiri, ketika itu masih belum jelas kapan realisasinya. “Sambutan memang sudah banyak. Tapi modal untuk membangun stasiun TV kan besar. Diperlukan permodalan dari luar. Tapi prinsipnya dari dalam negeri,” kata Kapuspen ABRI Brigjen TNI, Nurhadi Purwosaputro, M.Sc, yang hadir dalam acara ulang tahun ke-30 TVRI. Ditambahkannya, studi kelayakan untuk mendirikan TV ABRI, saat itu juga belum dilaksanakan. Hadir dalam acara ulang tahun itu, para pejabat eselon I dan II Deppen, mantan pejabat di lingkungan Deppen seperti Maladi, BM Diah, mantan Direktur Televisi 1987-1992 Ishadi, para pemimpin televisi swasta nasional, karyawan TVRI, dan para artis. Sementara itu, menyambut HUT ke-30 TVRI, kepala stasiun TVRI Yogyakarta, Drs. Suryanto, menyebutkan TVRI selama itu unik dalam aspek jaringan organisasi, operasional, teknis, programatis, serta dukungan sumber daya manusia dan sumber dana, serta sasaran siarannya. Katanya, status pegawai TVRI saat itu adalah pegawai Departemen Penerangan yang diperbantukan pada Yayasan TVRI, namun eselonisasi struktur organisasi TVRI dari pusat maupun daerah, waktu itu belum diakui. Dok. Kompas, 25 Agustus 1992, dengan sedikit perubahan |
17th July 2013, 01:09 |
#807
|
Mania Member
|
Kembalikan tvri kepadamu
SEBAGIAN besar penduduk Indonesia sayang akan TVRI. Tak pelak, media pandang dengar milik pemerintah ini menjadi sahabat di banyak tempat. Meskipun di tempat-tempat terbatas disaingi oleh televisi swasta dan televisi luar negeri. Kadang-kadang kita terhenyak bila menghadapi persoalan mendadak di TVRI yang sebenarnya keterhenyakan itu muncul karena kesadaran akan pemilikan bekerjasama tersebut.
Kelemahan TVRI yang menonjol tampaknya adalah soal dana. Sebenarnya dapat dilakukan pembenahan yang jelas dalam waktu dekat setelah itu. Apa saja yang perlu penekanan dan bagaimana melakukannya, itulah intinya. Kelebihan TVRI TVRI mempunyai beberapa kelebihan. Secara teknis, TVRI mempunyai fasilitas jaringan menasional. Hanya di tempat-tempat kosong (blank-spot), tayangan TVRI tak tertangkap, wilayahnya pun sempit. TVRI saat itu memiliki 13 stasiun siaran, enam stasiun produksi keliling (SPK), dan 298 stasiun transmisi. Pihak swasta saat itu tidak akan “membuang” dana untuk penanaman fasilitas teknis yang demikian besar. Dari segi pendanaan, TVRI juga mempunyai kelebihan. TVRI saat itu berhak memungut iuran dari tiap pesawat penerima, yang saat itu jumlahnya diperkirakan sudah mencapai 10 juta. Selain itu, TVRI juga waktu itu masih menerima sumbangan wajib dari imbalan pemasangan iklan pada televisi swasta. Dari APBN juga tersedia dana bantuan. Mengapa TVRI sampai saat itu masih terus mengeluh? Tampaknya, pungutan iuran saat itu memang belum tertib. Dulu dilakukan oleh Pos & Giro, lalu dipindahkan ke tangan swasta (Mekatama Raya), dan yang terakhir, waktu itu akan ditangani sendiri oleh TVRI. Pengorganisasian yang selama itu belum mantapi ni, cukup mengguncangkan kehidupan TVRI karena biaya-biaya operasional tetap keluar, sedangkan pemasukan jumlahnya tidak sesuai dengan harapan. Biaya tiap bulannya sekitar Rp 9 milyar, untuk operasi TVRI Stasiun Pusat (Rp 2,2 milyar), operasi stasiun daerah, SPK dan transmisi (Rp 3,5 milyar), dan untuk Direktorat Pemberitaan (Rp 3,3 milyar). Kemungkinan-kemungkinan Selama itu, banyak tayangan TVRI yang diproduksi sendiri. Dengan memproduksi sendiri, biaya yang dikeluarkan banyak sehingga membengkakkan pos pengeluaran yang tidak kecil. Sudah waktunya, bagian produksi ini dilepaskan. Boleh jadi, bagian produksi berdiri sendiri selayak rumah produksi (production house). Rumah produksi ini boleh mengerjakan order dari pihak luar, misalnya untuk televisi swasta, biro iklan, dll. Di sini, saat itu akan diperoleh pemasukan. Dengan demikian, peralatan yang ada dimanfaatkan untuk tujuan komersial dan maksimal. TVRI sendiri, jika memanfaatkan hasil kerja rumah produksinya tidak dikenai harga yang mahal. Tenaga kerja bisa dikurangi. Bisa juga bagian produksi dipindahkan ke tangan swasta. Barang modal yang berhubungan dengan produksi dijual. TVRI hanya berlangganan, jika ingin memanfaatkan hasil rumah produksi itu. Memang, dalam waktu dekat setelah itu, belum terlihat manfaatnya. Harga satuan hasil produksinya saat itu masih tampak tinggi, karena saat itu stasiun televisi swasta masih sedikit. Jika setelah itu di Indonesia, stasiun televisi swastanya sudah puluhan, harga per satuannya akan bisa ditekan rendah. Keuntungan lain dapat dilakukan dengan menjual hasil rumah produksi kepada negara-negara tetangga. Di lain pihak, tayangan hidup dikurangi dengan drastis. Hanya kegiatan paling penting yang disiarkan secara langsung. Warta berita dengan sistem konferensi jarak jauh, terus dilanjutkan dengan pilihan berita yang ketat. Di Amerika sendiri, makin lama penggunaan hasil rumah produksi hasil banyak (lihat tabel). Siaran hidup yang biayanya mahal, sangat dikurangi. Tayangan pada akhirnya bergantung pada isi siaran yang sudah direkam, kebanyakan produksi pihak lain. Biaya pembeliannya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan biaya bila diproduksi sendiri, lebih-lebih bila dibandingkan dengan biaya tayangan hidup. Tabel Perubahan dari Siaran Hidup ke Program Video Tahun Hidup Film Video 1955 87% 13% 0% 1960 27% 35% 38% 1970 15% 36% 49% Samuel L Becker, 1987:285 Saat itu ditanyakan, adakah suatu kejutan akan berlangsung di TVRI? Orang boleh saja menduga tidak, tetapi kemungkinan sebaliknya bukanlah mustahil. Kebijaksanaan yang sudah baik sebagai hasil kerja pendahulunya, jelas waktu itu akan dilanjutkan oleh Aziz. Perhatian yang besar, saat itu akan diberikannya kepada bagaimana memecahkan soal dana. Pengeluaran yang berlebihan, waktu itu akan diguntingnya. Peralatan yang ada, saat itu akan dimanfaatkan semaksimal bisa. Saat itu dipertanyakan, masih akan tetapkah harapan pada alokasi anggaran 87% dari iuran televisi dan sumbangan 13%? Jika organisasi dan pelaksanaannya mantap, iuran saat itu akan maksimal. Pendataan ketika itu perlu ditingkatkan, angka yang dipakai sementara itu, jumlah pesawat televisi ada 6 juta. Sedangkan dugaan di luar sudah naik menjadi 10 juta set. Sumbangan datang dari pemerintah (APBN dll), SDSB, dan TV swasta. Sesungguhnya, TVRI memerlukan biaya keseluruhan Rp 120 milyar, untuk tahun yang sebelum itu (1991-1992). Diharapkan, dana kutipan iuran yang dilakukan Mekatama Raya Rp 90 milyar, subsidi pemerintah Rp 10 milyar, televisi swasta Rp 15 milyar, dan SDSB Rp 5 milyar. Harapan itu meleset, angka jelasnya jauh lebih kecil, tetapi tak diumumkan. Konon, kutipan iuran kurang tertib, subsidi pemerintah hanya separuhnya (Rp 5 milyar), dari televisi swasta bahkan diperkirakan waktu itu hanya 20%-nya (Rp 3 milyar). Soal iklan Apakah stasiun televisi jenis publik seperti TVRI memang tabu terhadap penayangan iklan? Tidak ada yang secara hakiki menjelaskan ketabuan itu. TVRI ‘kan pernah menayangkan “Manasuka Siaran Niaga” (sekitar tahun 1960an hingga awal 1980an) yang memuat iklan, kemudian dilarang (sejak 1 April 1981). Pelarangan ini kemudian kemungkinan dikaitkan dengan akan lahirnya stasiun televisi swasta (komersial) yang memang mengalokasikan waktunya untuk tayangan iklan. Jika memang mengalami kesulitan untuk pengumpulan dana, penayangan iklan di TVRI selayaknya saat itu dibuka kembali. TVRI tidak hanya menjual waktu tayangannya, tetapi juga menjual khalayaknya. Khalayak TVRI sangat luas, menasional, karena itu penonton iklan juga akan luas. Agar tayangan non-iklan tidak terpotong-potong oleh iklan, seperti pada televisi swasta, maka sebaiknya tayangan iklan TVRI setelah itu dijadikan satu, dikemas dengan apik. Isi iklannya pun harus spesifik, misalnya hanya dibatasi pada jenis produk yang berhubungan dengan kesehatan (obat-obatan, penjagaan kebersihan, sabun, pasta gigi, pembersih lantai, obat nyamuk, dll). Dengan penyediaan tayangan iklan, sebaiknya TVRI waktu itu melepaskan dana yang diperoleh dari sumbangan pemerintah (APBN). Orang akan memberi pujian jika setelah itu TVRI tidak bergantung pada sumbangan pemerintah. Sekali lagi, persoalan dari TVRI cukup sederhana. Inti darinya adalah mengoptimalkan pendapatan melalui iuran dan menayangkan kembali iklan pilihan. Usaha itu sewajarnya diimbangi dengan perampingan organisasi dan penekanan pengeluaran keuangan. Anjing penjaga TVRI adalah milik pemerintah, media yang menyediakan informasi, terutama dari pemerintah. Dari TVRI jangan mengharap adanya kerabat sosial, kalaupun ada dalam bentuk tersamar, misalnya kritik dalam sinetron atau lawak. Oleh karena itu, berharap TVRI sebagai “anjing penjaga” (watchdog) terhadap pemerintah, sangat tidak mungkin. Peran tersebut dapat dilakukan oleh televisi swasta. Jalan tengah mungkin dapat diambil, yaitu kalau toh masih perlu menggunakan istilah “anjing”, maka TVRI saat itu akan menjadi “anjing nasional”, menjaga kepentingan nasional. Pada saat-saat tertentu, TVRI berperan sebagai pemersatu, misalnya pada waktu tayangan kemenangan olahraga, tingkat dunia, pada tayangan pengusiran kapal Portugis Lusitania dari perairan Timor Timur, dll. Untuk menjadi penjaga nasional, rasa pemilikan bersama memang perlu dikembangkan terus. Caranya, antara lain dengan usaha agar TVRI berada di tengah, menjadi suara pemerintah dan masyarakat secara bersama0sama. Kalau selama itu, untuk sebagian dirasakan TVRI semata-mata atau sama sekali menjadi milik pemerintah, perlu diluruskan. Pemerintah mewakili rakyat Indonesia, karenanya TVRI juga milik rakyat. Sebenarnya, kepemilikan oleh masyarakat waktu itu sudah berlangsung, barangkali pencerminannya yang kurang tampak. Mengembalikan citra TVRI kepadamu (masyarakat), bukanlah sekadar dalam kata-kata, tetapi selayaknya dalam langkah-langkah yang lebih jelas. Menekan pengeluaran dan memaksimalkan pendapatan adalah bagian dari cermin yang diharapkan masyarakat. Dok. Kompas, 25 Agustus 1992, dengan sedikit perubahan |
17th July 2013, 01:16 |
#808
|
Mania Member
|
Tvri & dongeng anak-anak
SUATU pertemuan para germo di Mojokerto, Februari 1994 lalu terpaksa ditunda pelaksanaannya. Ini gara-gara mereka ingin melihat film Maria Marcedes yang diputar SCTV(Surya Citra Televisi) jam 11.00-12.00.
Pada perebutan Piala Dunia 1994, hampir setiap hari kesibukan masyarakat adalah membicarakan soal bola. Seluruh energi nyaris dipusatkan ke sana. Kedua fenomena tersebut sekadar menunjuk secara visual bahwa televisi memiliki pengaruh yang dahsyat terhadap perilaku sosial. Baik iklan maupun acara-acara menarik memiliki daya sentuh yang sama kuat. Bedanya, iklan dapat mendorong gejala konsumerisme, sedangkan acara-acara yang menarik dapat memberikan rasa puas. Kuatnya pengaruh televisi itu juga dirasakan oleh anak-anak. Mereka telah kecanduan terhadap beberapa acara yang diputar di televisi swasta. Anak-anak pun kemudian mempunyai refrensi baru mengenai tokoh idolanya. Mac Gyver, Doraemon, Candy-Candy, Ksatria Baja Hitam (KBH) – keempatnya ditayangkan RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) -- adalah nama-nama yang lekat dengan dunia mereka. Boleh jadi penayangan acara tersebut menjadi "kewajiban" bagi anak- anak untuk melihatnya. Dan untuk itu bisa jadi kewajiban belajar menjadi terlupakan. Ekspresi kecewa sering ditampilkan oleh anak-anak yang karena sesuatu hal tidak dapat menyaksikan acara tersebut. Misteri "kotak ajaib" itu sungguh telah merubah seluruh gambaran tentang dunia nyata menjadi harapan tentang ilusi. Belajar dan pemecahan masalah pelajaran adalah dunia nyata. Tapi dunia nyata itu tergilas oleh harapan-harapan akan hadirnya tokoh-tokoh, seperti Mac Gyver, Doraemon, Candy-Candy, dan Ksatria Baja Hitam. Menurut studi Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), pada umumnya anak-anak menonton televisi 20-25 jam setiap minggu. Mereka menonton apa saja yang ada di layar teve. Tak peduli acara itu untuk orang tua, dewasa, atau pun anak-anak. Pengaruh yang sangat dirasakan adalah gerak fisik mereka menjadi berkurang. Sedangkan pengaruh nonfiksi adalah menimbulkan sikap malas belajar, sikap yang keliru mengenai sesuatu hal, menumbuhkan sikap pasif, menumpulkan kreativitas, dan berkurangnya komunikasi personal. Dunia cetak baik buku, koran, maupun majalah juga merasakan pengaruhnya. Mereka melaporkan, bahwa terjadi penurunan oplah semenjak masyarakat diserbu hiburan atau acara-acara di televisi secara beruntun. Minat baca masyarakat yang masih rendah langsung dilibas oleh maraknya acara-acara televisi. Tapi ini dapat terjadi karena tidak ada jalinan kerja sama yang saling menguntungkan. MEMBANJIRNYA siaran televisi swasta -kemudian diikuti peningkatan frekuensi siaran TVRI- sebetulnya dapat menjadi pendorong meningkatnya minat baca masyarakat. Yang diperlukan di sini adalah siasat untuk bertindak. Yaitu, membentuk jalinan kerja sama yang saling menguntungkan antara dunia cetak dan TVRI. Populernya cerita-cerita impor, seperti Ksatria Baja Hitam (RCTI), Kungfu Boy (TPI), Candy-Candy (RCTI), dan Oshin (TVRI) di kalangan anak-anak Indonesia, tidak lain karena ditunjang oleh publikasi di televisi yang sangat gencar. Pertama-tama cerita tersebut diintrodusir di televisi, dan setelah populer dunia cetak kemudian memanfaatkan kepopulerannya tersebut untuk menjual buku ceritanya. Gagasan Pamusuk Eneste agar "cerita rakyat perlu digalakkan di SD, untuk mengimbangi bacaan impor" (Kompas, 6/8 94) juga dapat terealisir baik bila didukung oleh publikasi yang gencar di televisi. Terhambatnya bacaan yang mengambil setting budaya lokal semata-mata karena lemah dalam publikasi. Pada pertengahan tahun 1970-an, melalui proyek Inpres pemerintah telah mencetak banyak buku dongeng anak-anak dengan mengambil cerita lokal. Tetapi sekarang hampir tidak berbekas. Kendalanya selain minat baca yang masih rendah, juga tidak ditopang dengan publikasi yang gencar di TVRI. TVRI, dalam hal ini memiliki peluang yang sangat besar untuk ambil peran sosialisasi. Pertama, TVRI tidak komersial, sehingga tidak perlu khawatir terhadap pemasang iklan. Dan ini membuat acara lebih enak ditonton. Kedua, jangkauan TVRI lebih luas. Ketiga, sumber daya manusia dan teknologinya lebih kaya, sehingga gambarnya lebih jelas. Keempat, TVRI itu milik masyarakat, hingga masyarakat berhak atas layanan yang baik. Kerisauan sebagian masyarakat terhadap membanjirnya bacaan impor cukup beralasan. Mengapa untuk cerita impor mendapat dukungan publikasi teve swasta, tapi untuk cerita lokal TVRI tidak mendukungnya? TVRI Yogyakarta sejak Ishadi S.K. mejabat Kepala Stasiun (1985-1987), menyajikan acara "Khasanah Pustaka" yang menampilkan karya-karya para pengarang terkenal, profil budaya, dan appresiasi sastra. Acara-acara tersebut selain bermutu juga memiliki daya sentuh yang kuat terhadap minat baca masyarakat. Paling tidak pemirsa berminat untuk membaca salah satu buku dari pengarang yang ditampilkan di TVRI. Jika acara-acara sejenis dapat dikembangkan menjadi acara nasional dan diikuti oleh televisi swasta, maka akan memiliki dampak yang lebih luas. Ada keuntungan timbal balik antara kehadiran televisi dengan dunia cetak. Televisi secara langsung menjadi media promosi buku-buku bacaan, tapi sebaliknya televisi juga memperoleh menu acara yang edukatif. Seandainya saja, TVRI pusat sudi membuat suatu acara "Dongeng Anak-anak" setiap sore. Atau memvisualisasikan dongeng-dongeng cerita lokal dalam bentuk sinetron anak-anak. Maka dapat dipastikan bahwa acara itu akan berdampak pada larisnya buku-buku yang didongengkan. Acara tersebut juga memiliki dimensi yang luas. Dari aspek budaya dapat menjadi media sosialisasi budaya lokal; dari aspek kreativitas mampu mendorong munculnya pendongeng/pemain anak-anak; dan dari dimensi ekonomi memberikan lahan yang luas bagi penulis/pamain dongeng cerita lokal. Kelemahan TVRI selama itu adalah acara untuk anak-anak sangat sedikit. Kecuali Aneka Ria Safari Anak-anak (lebih tepatnya Aneka Ria Anak-Anak Nusantara), TVRI waktu itu tidak memiliki acara unggulan yang mampu memikat anak-anak seperti yang ditawarkan TV swasta. Dari daftar acara satu bulan, misalnya, TVRI paling sedikit menyelenggarakan acara yang eksplisit untuk anak-anak. Lewat RCTI anak-anak era 90-an dapat menyaksikan Mac Gyver, Ultraman, Doraemon, Candy- Candy, Batman Animated, Ksatria Baja Hitam, Super Boy, dan Abumawas. Beberapa diantaranya sering diputar bergantian dengan SCTV. Disamping itu, SCTV juga masih menyajikan Krucil dan Hom Pimpa. Sedangkan di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), anak-anak era 90-an dapat melihat Lenong Bocah, Dolanan Anak-anak, dan beberapa film seri kartun. Persoalan serius dengan membanjirnya bacaan-bacaan impor; bagi saya adalah mengalirnya rupiah secara besar-besaran ke negara maju. Jika dari film dan bacaan rupiah kita disedot, lalu kita mendapat apa? Sedangkan para pengarang dan seniman dalam negeri lebih banyak menganggur. Ini adalah sesuatu yang sangat kongkrit, sebab soal pengaruh budaya luar sifatnya abstrak. MENURUT catatan Pos dan Giro, jumlah pesawat televisi di masyarakat mencapai enam juta. Bappenas bahkan mencatat 10 juta, dan Departemen Perindustrian mencatat sekitar 12 juta (TEMPO, 23 Agustus 1990). Seiring dengan meluasnya siaran televisi swasta ke seluruh wilayah nusantara, maka jumlah tersebut dalam tida tahun terakhir tentu lebih banyak dari yang diperkirakan. Jika diandaikan setiap pesawat televisi dilihat oleh lima orang berarti paling sedikit 60 juta penduduk Indonesia menonton televisi. Jumlah tersebut sangat besar sebagai sasaran sosialisasi gagasan atau produk, termasuk bacaan anak-anak yang mengambil setting budaya lokal. Televisi swasta dengan pertimbangan bisnis mungkin enggan memproduksi acara-acara yang kurang promotif. Mereka takut tidak ada iklan yang masuk. Tapi bagi TVRI yang tidak ada urusan dengan secara langsung, seharusnya tidak ada alasan untuk tidak mensosialisasikan cerita-cerita lokal kepada anak-anak melalui siarannya. Di Amerika Serikat, 50 persen dari rumah tangga yang ada menikmati siaran dari teve kabel. Mereka umumnya membayar iuran untuk berlangganan sebagai reaksi atas membanjirnya siaran iklan di sejumlah stasiun televisi lainnya. Jadi teve kabel umumnya mengandalkan penerimaan dari iuran dan tidak menyiarkan iklan (Rhenald Kasali, 1992). Langkah yang sama mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengimbangi derasnya bacaan-bacaan impor. Dok. Kompas, 24 Agustus 1994, dengan sedikit perubahan |
17th July 2013, 01:20 |
#809
|
Mania Member
|
Jazz, tayangan miskin iklan
JAZZ. Jenis musik ini hanya beredar pada kalangan tertentu, dan tampaknya masih butuh waktu teramat panjang untuk go public. Proses agar musik ini dapat masuk ke khalayak lebih luas tak begitu mudah. Media massa - khususnya media elektronik televisi - sulit diharapkan dapat membantu terjadinya percepatan proses sosialisasinya.
Lima stasiun televisi yang ada pada 1994 - empat stasiun swasta dan satu milik pemerintah – waktu itu belum berminat untuk menjadi "humas" bagi musik jazz. Tak satu pun paket acara yang mereka rancang memberi tempat khusus buat musik ini. Kalau pun ada, musik jazz hanya tampil sesekali dan bukan sebuah program tetap seperti yang dirancang untuk jenis musik lain, pop, dangdut, atau keroncong. Kemeriahan Jak Jazz '94 yang berlangsung 1 Desember - 4 Desember 1994 di Parkir Timur Senayan tak mengusik minat para pengelola televisi untuk turut menambah semarak kemeriahan itu. Tak satu pun stasiun televisi yang menyajikan tayangan musik jazz yang diambil dari panggung di arena Jak Jazz. Kalaupun ada yang berminat menayangkan pertunjukan di arena Jak Jazz, tayangan itu pun baru dapat dinikmati bulan Januari tahun 1995. SCTV (Surya Citra Televisi), stasiun televisi swasta yang menjalin kerja sama dengan panitia penyelenggara Jak Jazz '94 waktu itu akan menayangkan hasil rekaman pertunjukan beberapa kelompok yang tampil di arena itu. "Kami pilih beberapa penampilan yang baik, kami rekam dan hasil rekaman itulah yang akan ditayangkan setiap hari Jumat pukul 23.00 - 23.30 di layar SCTV bulan Januari (1995) mendatang," tutur Humas SCTV, Budi Darmawan waktu itu. Minat untuk menayangkan jazz sebagai paket khusus, menurut Budi, sebagai langkah awal memperkenalkan jazz secara intensif kepada pemirsa. Selain tentunya untuk melihat peluang pasar yang dapat diraih oleh tayangan jenis ini. BAGI stasiun televisi, mengenal dengan baik peluang pasar buat sebuah tayangan adalah syarat mutlak. Kehidupan stasiun televisi yang sepenuhnya bertumpu pada pemasukan dari iklan, mau tidak mau membuat orientasi pertama sebuah tayangan adalah kemampuannya meraih peluang pasar iklan. Karena itu, tak heran bila musik jazz menjadi barang langka di layar kaca kita. Jenis musik ini, diakui atau tidak, memang hanya menjadi milik sekelompok kecil masyarakat pecinta musik - apalagi masyarakat secara keseluruhan. Penggemar jazz yang sangat terbatas tidak akan menarik minat para pemasang iklan. Apalagi dari yang terbatas itu, hanya sebagian kecil yang dengan setia menjadi penonton televisi. "Penggemar musik jazz biasanya bukan mereka yang banyak menghabiskan waktu luangnya di depan televisi. Dan biasanya mereka memenuhi minat terhadap musik ini di pub-pub yang memang telah banyak menampilkan musik jazz," kata Budi. Karena itu, beralasan kalau TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), SCTV, ANteve (Andalas Televisi), RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), dan TVRI hanya menayangkan paket musik ini hanya sesekali. Penanggung Jawab Mata Acara Musik TPI, Eddy Santosa, menyatakan, TPI tidak membuat program khusus musik jazz. "Tapi grup musik yang memainkan irama jazz beberapa kali kami tampilkan di paket acara Apresiasi Musik Indonesia," ujarnya. Apresiasi Musik Indonesia adalah tayangan musik yang waktu itu disiarkan TPI setiap hari Minggu pukul 20.00 WIB, menampilkan seorang penyanyi, atau sebuah grup musik, selama satu jam tayang. Selain itu, TPI waktu itu juga menyelipkan paket musik jazz dalam Bingkai Musik yang ditayangkan bulan Maret 1994. Acara itu dikemas dalam dua paket menampilkan Jamz All Star yang terdiri dari Idang Rasidi, Ermy Kullit, dengan bintang tamu Coco York, penyanyi jazz dari AS. "Saat itu sambutan pemirsa cukup baik," kata Eddy. Sementara itu, ANteve menampilkan musik jazz sesekali saja di pagi hari, pada jam tayang pukul 08.30 - 09.30 WIB yakni dalam paket acara Documentary Features. Paket acara itu sendiri sebenarnya bukan khusus paket tayangan musik, tapi sebuah features yang bertutur tentang sejarah musik. Bisa musik blues, country, R&B, atau jazz. Paket tersebut sebagian besar diperoleh ANteve dari USIS (United States Information Service). Tayangan yang berbau jazz misalnya muncul saat membicarakan musik yang tumbuh dan hidup di New Orleans AS. Dikisahkan dalam paket itu, New Orleans kota yang tak pernah sepi dari musik, berbagai musisi besar - khususnya musisi blues, jazz, dan R&B - lahir dan beranjak menjadi "besar" dari kota itu. Selain itu, di layar ANteve, waktu itu musik jazz sesekali muncul dalam acara Sensasi Selasa, yang ditayangkan setiap hari Selasa pukul 21.30 - 23.30 WIB. Tayangan ini berasal dari rekaman pertunjukan musik yang ada di Hard Rock Cafe. Kalau kebetulan musisi yang dikontrak bekiprah di jalur jazz, maka pemirsa ANteve pun mendapat suguhan musik jazz. LANGKANYA tayangan musik jazz di layar kaca bukan sebuah persoalan yang berdiri sendiri. Secara keseluruhan, tayangan musik di televisi waktu itu memang langka. TPI misalnya, saat itu hanya menyediakan 10 persen dari jam tayangnya untuk paket acara musik. Dari jumlah itu, 80 persen diisi dengan tayangan produk lokal, dan 20 persen menampilkan musisi manca negara. Paket musik yang dimiliki TPI adalah, Khas Musik, Pentas Musik, Panorama Musik, ketiganya diisi dengan tampilan musik pop terbaru. Untuk pecinta musik dangdut, diberikan Aneka Musik Dangdut. Sementara untuk para pelajar SMP dan SMA ada paket musik yang bersifat setengah kompetisi, yakni Bahana Suara Pelajar dan Aneka Bakat dan Gaya. Untuk anak-anak dikemas dalam Panggung Prestasi Anak dan Bintangnya Bintang Cilik. Dan ada paket musik yang sifatnya menampilkan profil penyanyi atau kelompok, Apresiasi Musik Indonesia. Tayangan musik manca negara dikemas dalam Musik Manca Negara dan Loko Musik Dunia. Sementara SCTV dari 140 jam tayangnya per minggu (saat itu), hanya mempunyai empat paket tayangan musik, yakni Zimfoni yang menampilkan hit lagu-lagu Indonesia dan biasanya dipenuhi oleh lagu dari jalur pop. Kharisma, yang mencampurkan antara musik manca negara dan hit dari dalam negeri. Barometer Musik, dan Video Hits. ANteve, selain punya Sensasi Selasa, dari 134 jam tayang per minggu juga mempunyai tayangan musik manca negara yang diberi nama Hit Senin dan Hit Jumat. Selain itu juga ada Musikan yang ditayangkan dari hari Senin hingga Jumat setiap pukul 18.00 - 18.30 WIB. Kelangkaan paket musik ini tak bisa dihindari. Musik memang bukan tayangan yang mengundang banyak pemirsa. "Kalau sinetron bisa dipastikan banyak peminatnya, selain itu bisa dipakai untuk memasang iklan produk apa pun juga karena pemirsanya pun mencakup berbagai golongan usia dan tingkat sosial. Tapi kalau musik, pemirsanya terbatas, dan itu pun masih terseleksi untuk penggemar musik tertentu," tutur Budi. Kenyataan itu tak dapat dipungkiri, dari rating yang dibuat oleh Survey Research Indonesia (SRI), yang menjadi acuan utama para pemasang iklan, tak satu pun acara musik yang memiliki rating di atas 15. Hasil penghitungan rating untuk periode 13 November - 19 November 1994 menunjukkan, tak satu pun paket tayangan musik yang masuk dalam 30 acara dengan rating tertinggi. Kalau pun ada tayangan musik yang masuk dalam daftar tayangan yang banyak digemari pemirsa, itu adalah Zimfoni, dan khusus untuk pengambilan sample wilayah Surabaya. Di kota ini, Zimfoni waktu itu menempati tayangan urutan ke-29 yang diminati pemirsa dengan rating 14. Dok. Kompas, 4 Desember 1994, dengan sedikit perubahan |
17th July 2013, 01:22 |
#810
|
Mania Member
|
Rcti angsur utangnya rp 1 milyar/bulan
PIHAK pengelola televisi swasta RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), di akhir 1994 menyatakan akan melunasi sisa utangnya dengan mengangsur Rp 1 milyar per bulan. Keputusan itu, menurut Manager Humas RCTI, Eduard Depari, merupakan kesepakatan yang telah dibuat oleh RCTI dan pihak yayasan TVRI.
"Sebenarnya tidak ada persoalan, karena memang sudah ada kesepakatan dengan pihak TVRI tentang sisa pembayaran fee iklan itu," tutur Eduard kepada Kompas di Jakarta, Selasa (13/12/94). Menteri Penerangan Harmoko dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI, Senin (12/12/94) di Jakarta menyatakan, televisi swasta yang diberi izin menayangkan iklan dan harus membayar fee dari pendapatan yang diperoleh dari iklan kepada TVRI, sampai saat itu masih menunggak pembayarannya. Tunggakan tersebut sebesar Rp 11,3 milyar pada periode 1993. Rinciannya, ungkap Harmoko, TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) menunggak sebesar Rp 6 milyar, RCTI Rp 5 milyar, dan ANteve (Andalas Televisi) Rp 300 juta. Hanya SCTV (Surya Citra Televisi), tambah Menteri Penerangan Harmoko, yang waktu itu telah melunasi fee periode 1993/1994. Menteri Penerangan Harmoko juga merinci nilai kontribusi televisi swasta, sebesar 12,5 persen pendapatan bersih TV swasta dari iklan, yang telah diterima oleh Yayasan TVRI. Hingga periode 1994/1995 kontribusi yang telah diberikan televisi swasta waktu itu sebesar Rp 64,5 milyar. Rinciannya, Rp 8,5 milyar pada periode 1991/1992, Rp 12 milyar untuk 1992/1993, Rp 25,1 milyar pada 1993/1994, untuk periode 1994/1995 (sampai bulan Desember 1994) sebesar Rp 18,1 milyar. Menanggapi pernyataan itu, Edward menyatakan, kewajiban yang harus dipenuhi oleh RCTI selama tahun 1990-1994 sebesar Rp 49,016 milyar. Hingga saat itu, RCTI telah membayar Rp 44,186 milyar. "Sisanya sebesar Rp 4,809 milyar itulah yang kemudian disebutkan sebagai hutang. Padahal, sudah ada kesepakatan dengan pihak TVRI akan dicicil Rp 1 milyar per bulan," ujarnya ketika itu. Menurut sumber Kompas, RCTI sebenarnya telah membayar sisa pembayarannya itu dengan pembelian peralatan. Ini, tambahnya, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, yakni pihak TVRI minta agar pembayaran itu dilakukan dengan pembelian peralatan baru untuk TVRI. Harga peralatan itu sekitar Rp 4,8 milyar. "Namun rupanya setelah alat dibeli, kesepakatan itu diubah," katanya ketika itu. Kewajiban RCTI membayar fee telah dilakukan sejak tahun 1990. Tahun 1990 kewajiban itu sebesar Rp 2,5 milyar, 1991 sebesar Rp 8,09 milyar, tahun 1992 Rp 13,024 milyar, dan tahun 1993 dari kewajiban sebesar Rp 19,681 milyar baru dibayar Rp 14,840 milyar. "Untuk tahun 1994 memang belum dibayar karena belum jatuh tempo. Penghitungan oleh akuntan publik baru dilakukan saat tutup buku, yaitu bulan Maret 1995," ujar Eduard waktu itu. Pernyataan di depan Komisi I DPR itu, menurut Eduard, membuat RCTI harus melakukan langkah-langkah baru untuk meyakinkan masyarakat bahwa stasiun televisi swasta pertama ini tidak mengingkari tanggung jawabnya. "Kita mau go public saja belum diberi izin, dan masih harus meyakinkan berbagai pihak bahwa kondisi kita baik. Kini (akhir 1994) sudah diberi soal baru, publikasi tunggakan," ungkapnya ketika itu. Eduard menyatakan, RCTI saat itu ingin membangun citra yang baik karena itu tak mungkin dengan sengaja melakukan kelalaian, apalagi mengingkari kewajibannya. "Mana mungkin kami buat kegiatan seperti RCTI Peduli, yaitu bea siswa untuk anak-anak guru kalau lalu kami hancurkan sendiri dengan sikap seperti itu. Kini kami hanya ingin masyarakat melihatnya secara proporsional,” tambahnya ketika itu. Hingga saat berita ini ditulis Kompas, TVRI belum dapat menghubungi stasiun televisi lain, TPI dan ANteve, untuk meminta penjelasan tentang pernyataan yang dikemukakan oleh Menteri Penerangan Harmoko di depan Komisi I DPR. Komisi bersama Selain mengungkap soal tunggakan televisi swasta terhadap Yayasan TVRI, Menteri Penerangan Harmoko juga mengatakan, tentang jumlah persentase tayangan produk lokal yang berlaku di televisi. Dikatakannya, tayangan produk lokal minimal harus 35 persen. "Idealnya memang 80 persen, tapi itu tidak mungkin dilakukan saat ini. Untuk 35 persen tayangan lokal saja kita butuh 1.500 sinetron per tahun. Itu artinya kita harus memproduksi satu sinetron satu hari," kata Harmoko. Dengan tuntutan seperti itu, maka jumlah rumah produksi (production house) saat itu diperkirakan masih akan terus bertambah. Saat itu, menurut Menteri Penerangan Harmoko, ada 300 rumah produksi. Menteri Penerangan Harmoko juga menjelaskan pada bulan Januari 1995, jumlah stasiun televisi swasta di Indonesia waktu itu akan menjadi lima, dengan hadirnya Indosiar Visual Mandiri. "Dengan semakin banyaknya stasiun televisi, maka akan dibentuk komisi bersama antara TV swasta dan TVRI. Komisi ini akan membahas masalah-masalah penting yang bersangkutan dengan dunia pertelevisian," ujar Harmoko waktu itu. Dok. Kompas, 14 Desember 1994, dengan sedikit perubahan |
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer