Saat kamu lahir, apakah kamu pernah bersyukur akan hal itu? Mengurai senyum syukurmu karena hadir di dunia ini dan ga sabar jadi dewasa?
Waktu kamu kecil, ketika harus menengadahkan kepala saat liat mama-papa, paman-bibi, atau anak tetangga -- kawan sepermainan yg lebih tinggi dan udah bersekolah, pernah ga kamu mikir gini: aku mau seperti kakak ini -- nanti kalau sudah besar, aku juga akan ngobrol genit-genit sambil tertawa dengan televisi menyala tapi tak ditonton karena aku sibuk mengobrol genit dengan temanku.
Kamu pernah berpikir gitu, Dy?
Aku pernah. Dan ga pernah itu terjadi ketika aku mendewasa, aku ngobrol genit dengan temanku, disambi televisi menyala menghamburkan energi listrik.
Yang terjadi,
yah... yang terjadi aku menjejalkan banyak rupa -- jenis -- tetek bengek yang kadang sepatutnya dibuang, sebut saja itu kayu. Karena kayu yang sedang aku pikirkan sekarang.
Kayu penuh sesak di pikiranku hari ini.
....
....
....
Kelabang yang mengendap keluar dari celah batu lembap, merayap di antara dedaunan senada warna tubuh mengilatnya. Kamuflase -- berkamuflase. Itu yang dilakukan kelabang itu di bawah rimbunan daun kering.
Dan kayu itu telentang bagai bocah kurus hasil hubungan gelap, yang ibunya jarang memberinya asupan gizi; apa saja dimakan, asal lambung tak seperti sungai merana yang hanya terdapat air saja di dalamnya, tanpa serumpun rumput menghuni tepiannya. Ya, begitulah kayu itu -- teronggok di sana bagai bocah kurus menelentang yang ibunya sibuk memoles gincu semerah bekas tamparan tangannya di pipi bocah kurus itu.
Kayu kesepian. Tapi tidak merasa sunyi. Ia sendirian. Tapi tidak mau ditemani. Dirinya tanpa upaya dan usaha. Tapi tak pernah berkeluh sengsara dan tak pula tersiksa. Ia merasakan dunia. Tapi tidak sudi menggunakan indera perasanya. Ia hidup tanpa harapan apa-apa, namun apa-apa terjadi begitu saja. Ia tak bermimpi muluk-muluk, namun putus asa pun tidak. Hidupnya biasa saja, tak ribet dan mendramatisir. Baginya ya begitulah seharusnya: hidup saja jalani dan lihat apa yang terjadi.
Dilempar ke seberang sungai. Menepilah di atas rumput yang bertumbuh pohon nyaris punah namun masih ingin dilihat awet muda. Lambai -- melambai ranting-ranting rapuhnya disapu halus semilir angin.
Dedaunan kering, menutupi tubuh liat eksotis kelabang jantan yang liar mencari lubang anusss. Biasanya ada si jenis manusia serupa jin iprit yang pongah membuang kotorannya di bawah si pohon renta. Kali ini tidak ada. Mungkin dia sudah mati akibat kelaminnya dimakan ular weling di ujung tikungan sana. Kelabang kecewa, namun tak jua meratap dan memuntahkan liar amarah.
Apa salahku? Memangnya aku harus berkeliaran ke sana-kemari? Menghindari satu orang dan makhluk hidup yang tak berkepentingan denganku? Aku hanya benda mati. Mana kakiku, mana tanganku, mana mataku, dan bagaimana itu cara bekerja fungsi indera? Aku tidak tahu!
Nasib. Oh, sungguh menyusahkan sekelilingku. Apa salahku? Memangnya kenapa dengan aku? Aku dibuang dari sana ke sini, lalu dipinggirkan dan diambil kembali. Dibuang lagi dan dibutuhkan lain kali. Padahal aku diam saja. Tak berpihak atau memusuhi siapa pun. Kan aku sudah bilang, aku hanya benda mati. Aduh! Bagaimana menjelaskannya, sih!?
Heh! Tolong antarkan aku kembali ke gubuk reyot si gaek tua sinis di ujung desa sana. Karena setahuku, aku sudah akan dijadikannya abu demi kentang keras yang nanti akan dilunakkannya. Ayo, antarkan!
Hei, kalian!
Hei, hei! Dengar, tidak?
Sialan.
Untuk pertama kalinya di dunia ini, si kayu marah. Tidak murka, hanya marah tanpa membabi buta. Karena umbaran nafsu menghabisi apa saja yang ada -- apa saja yang ada di dunia ini, dimiliki si bocah kurus yang haram. Dia mengharamkan semuanya. Tidak boleh ada yang menginjak bumi ini selain dia.
Oh... tapi sayang.
Padahal aku sebagai kayu juga setuju kalau dia menumpas habis semua apa saja yang bernama -- teridentitas dengan baik. Habisi! Ayo, aku setuju! Lihat? Aku bertepuk tangan seperti manusia. Karena aku layak disebut manusia. Naluriku biadab dan tercela. Bahkan masih di usia belia ataupun renta.
Hmmm...,
aku ingin bocah itu bangkit lagi dan menenggelamkanku di sungai tenang. Aku berbau amis, sungguh memualkan! Itulah alasannya kenapa darah berbau amis. Hasil pergolakan ruh dan jiwa yang memperdaya sejatinya esensimu sebagai makhluk hidup. Manusia itu aneh. Gampang teperdaya dengan iming-iming hari tua, surga, neraka, Tuhan, malaikat, nabi, dan cinta.
Aku ingin membersihkan diri.
Bersih, bersih, bersih.
Bersihkan aku, tolong....
Aroma ini menyayat naluri matiku.
Tubuh kelabang yang menempel di tubuhku ini menciptakan muara kehidupan baru. Muara yang lebih terhormat dari benda mati mana pun.
Yesss! Aku dilihat jutaan mata sekarang.
"Barang bukti, barang bukti!" cerocos orang-orang berseragam.
....
....
....
(Curhatan yg ga jelas! Oleh, Pandis Manis yang Oportunis!)
Pagi-pagi sarapan nasi kuning dan dilanjut moccha sachetan membuat perut terasa penuh bingit. Moccha sachetan merk yg satu ini enak deh dy. Aku bikinnya pake air panas sedikit dan susu cair.. Abis itu dipanasin lagi di microwave.. Aku suka nyeruput minuman panas.. Apalagi kalo udaranya lagi dingin.
Eniwai dy... Aku seneng punya pekerjaan.. Kadang kalo lagi mumet, pekerjaan bisa menjadi pendistraksi pikiran.. Gaji yang aku terima sejak mulai bekerja masih utuh. Belum tersentuh. Segala kebutuhan dasar masih dicukupi dan tercukupi oleh dia. Aku kan emang punya masalah dengan spending.. Kalo orang lain susah nabung, kalo aku sebaliknya.. Aku susah untuk foya-foya dan boros. Aku low maintenance, emang gak into barang2 high end brand.. Mana udah gitu sukanya berburu diskonan pula hahaha. Kalo menelisik ke belakang, mgkn karena sedari kecil aku sadar uang gak tumbuh di pohon.. Hmm mungkin nanti uangnya buat jalan-jalan ke LN kali dy.. Atau buat modal aku mandiri jika aku pingin membuka lembaran baru. Tapi gak mungkin membuka lembaran baru juga sih dy.. Karena gak mudah utk menutup lembaran lama.. Rumit karena keputusannya bukan cuma melibatkan aku semata.
Dy, deep sigh.
Hmmmm.... hmmm... hmmm...
Lanjut nanti nanti deh dy ceritanya kalo udah mood dan sempet dan udah tau harus mulai cerita dari mana.
Aku usahakan yang terbaik. Namun yg terbaik bagiku, kadang di mata asing (orang lain), mungkin itu sebuah paksaan diri. Terlalu memaksa. Atau mungkin sebuah halusinasi atau bisa jadi, impian di siang bolong. Mungkin itu pikir mereka.
Namun, meski begitu, mataku adalah mataku -- milikku -- aku yang memandang duniaku, dengan skala besar melalui teropong harapan, maupun kecil hanya dengan mata telanjang.
Diri ini tak sempurna. Pembual besar rasanya jika aku mengatakan aku sempurna
Meski tak sempurna, apa yang kukerjakan, kucoba dan kupoles dengan intelegensi sebisaku, semampuku, setahuku, dan tak lupa, sehatiku -- biasa aku menyebutnya begitu; bila mengerjakan sesuatu, haruslah dengan hati. Karena ini bukan pekerjaan untuk kartel narkoba, hanya duit, duit, dan duit saja intinya. Melainkan dengan sosok -- makhluk jenis baru. Tokohku. Sayangku. Cintaku....
Oh, aku sudah akan mencintai dia.
Semudah itu aku jatuh cinta, dan tersuruk pada pemujaan yang mengikat.
Akhirnya aku bisa bersikap. Bisa menentukan apa mauku. Dan apa pun ke depannya, aku berusaha kuat -- ya, kuat. Harus kuat, tangguh!
Aku dimaki halus sama saudara sendiri.
Perihal perjodohan itu loh, Dy.
Aku kan disuruh buat dekat dan kalau bisa katanya, menikah sama Si Anu, panggil saja begitu.
Nah, aku ini lagi naksir seseorang. Aku kan lagi pedekate sama seseorang, walau belum official sampe sejauh ini: aku ini pacar dia atau apanya? Belum jelas!
Tapi prinsipku, biar kata masih pedekate, satu ya satu dulu. Kalau jelas ga diterima, ya nyari lageee
Kalau diterima cintakoe ini, alhamdulillah
Tapi... saat minta pendapat orang yg dipercayai, malah dimaki
Aku bodoh! Keras kepala! Di mana-mana, orang punya cadangan. Memilih yg jelas -- pasti!
Merasa seperti anak tiri yg menjatuhkan pajangan terus diumpat dan dijudesin. Heh, Bawang Putiiiiihhhhhh ga tahu diri! Gitu perasaanku saat itu. Rasanya aku ingin menitikkan air mata, namun saat itu bawang merahnya abis. Jadi kupakai saja obat tetes mata Insto!
Aku sayang banget orang ini.
Si Mata Kacangku. Sayangku tak ada tapi. Tapi ini, tapi itu, tapi, tapi, tapi... ga ada tapi!
Sayang itu sayang. Point!
Aku menolak halus.
Memang aku tidak merasa ada chemistry. Aku ga tahu mau obrolin apa. Dan aku merasa sebagai kertas koran penuh tulisan ga berguna. Dia (Si Anu) bahkan ga penuh minat terhadap isi korannya -- ga berusaha mau membaca aku.
Memangnya -- seandainya aku menerima perjodohan ini, terus biduk rumahtangga hanya diisi membuat anak aja gitu? Ngebesarin anak? Udah, gitu? Ga!
Apa namanya kalau di sebuah hubungan suami-istri tanpa komunikasi? Kita bukan orang bisu, dan ga tuli juga.
Hidup yg dijalani ini setiap hari, tetapi Tuhan memberikan kesempatan hidup hanya satu kali, bukan?
Yah... memang. Aku jenis orang yang bisa merawat apa saja yang aku miliki. Tak peduli itu batu koral, kerikil pasir, atau permata sekali pun. Jika itu ada di dalam 'rumahku', maka aku akan merawatnya. Namun begitu, proses merawatnya akan ada perbedaan antara dirawat dengan sukacita, dan dirawat hanya karena memang harus dirawat.
Itu contohnya jikalau aku menikahi seseorang tanpa cinta atau dengan cinta.
Ini hidupku.
Aku dewasa. Telat hitungannya untuk ukuran keluargaku masih tetap menyendiri di usia begini.
Dan apa peduli mereka dengan sebuah pertanyaan, "Apa kamu bahagia?"
Tidak! Mereka bahkan ga bertanya akan hal tersebut. Seolah menikah itu adalah bentuk ritual monoton dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa peduli ada rasa cinta atau tidak, ada respek atau tidak di dalamnya. Intinya, berstatus istri dan ibu. Walau tanpa cinta.
Aku seekor burung.
Burung yg hinggap di tepian atap saat malam sendirian. Setidaknya aku seekor burung, bukan serangga macam Gregor Samsa. Setidaknya aku masih bisa bersembunyi dan terbang ke sana-kemari -- menghindari caci atau maki. Tidak seperti Samsa terimpit sepi dan mati sendiri.
Setidaknya aku sering bertanya pada diri sendiri, "Bagaimana kabarmu?".
Tidak seperti Samsa. Yang semua orang bertanya, "Di mana Samsa?" alih-alih bertanya, "Bagaimana Samsa?".
Setidaknya aku berkesempatan mempertanyakan keadaanku sendiri.
"Bagaimana kamu?"
Lalu jawabku pula,
"Sangat baik. Terima kasih sudah bertanya. Semoga harimu menyenangkan."
Dear dy,
Kenapa manusia diberi hasrat menginginkan tapi dibatasi
Kenapa manusia diberi jiwa yang liar tapi dibatasi.
Norma-norma yang ada
Mengungkung jiwa kita.
Kata orang beberapa di antara kita berjiwa bebas
Tapi manusia berjiwa bebas paati tidak ada ruang disini.
Dimana norma - norma dan hukum tak tertulis begitu kuat mengakar hidup berdampingan di antara kita.
Jiwa liar ini kini sudah dijinakan oleh jiwa yang teratur dalam rantai komitmen yg terkadang menyesakkan, terkadang melenakan....