Salah satu faktor kelambatan penyediaan listrik adalah minimnya partisipasi swasta. Wajar, karena liberalisasi kelistrikan baru dirintis sejak era reformasi. Pada masa Orde Baru pemerintah praktis hanya mengandalkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai satu-satunya BUMN pemegang mandat UU untuk membangun pembangkit listrik. UU Nomor 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan memberi hak monopoli kepada PLN untuk pengadaan sumber ketenagalistrikan. Padahal kebutuhan listrik terus meningkat, rata-rata 8,7% per tahun. Artinya, partisipasi swasta mutlak diperlukan.
(foto: Skalanews)
Ambisi Adaro
Minat Adaro, produsen batu bara terbesar di Indonesia, pada sektor listrik nyata sejak 2010 ketika mereka membentuk unit baru PT Adaro Power yang khusus mengurusi bisnis kelistrikan. Lini usaha ini dimaksudkan untuk melengkapi 2 unit bisnis lain yang sudah berjalan, yakni pertambangan batu bara dan jasa pertambangan dan logistik.
Perusahaan yang diawaki sejumlah mantan CEO PT Astra International ini ingin mewujudkan cita-citanya sebagai perusahaan energi yang terintegrasi secara vertikal dengan 3 motor penggerak utama yakni pertambangan batu bara, jasa pertambangan dan logistik, serta ketenagalistrikan. Menilai sudah saatnya terjun aktif dalam pengembangan pembangkit listrik di Indonesia, mereka bertekad menjadi pemain utama di sektor kelistrikan. Targetnya ingin membangun PLTU berkapasitas 20 Gigawatt hingga 2030 dengan total investasi diproyeksikan US$40 miliar.
Sekitar seperempat abad berbisis, sekian lama Adaro lebih banyak mengandalkan laba dari hasil penjualan batu bara yang diekspor ke sejumlah negara. Sekitar 75% batu bara yang diproduksinya dijual ke India, Cina, Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Hongkong. Pembelinya 90% adalah perusahaan pembangkit listrik; hanya 10% pabrik semen dan kertas. Pada 2016 Adaro mencatat penjualan batu bara 54,09 juta ton, naik 2% dari tahun sebelumnya.
Fluktuasi harga komoditas ‘emas hitam’ di pasar internasional yang tidak menentu ditambah prosedur ekspor yang makin ketat, mendorong korporasi memutuskan untuk tidak lagi mengandalkan profit dari hanya berjualan hasil tambang tersebut. Pilihannya adalah sektor listrik. Apalagi batu bara masih menjadi sumber terpenting pembangkit listrik di Tanah Air. Bahkan di tahun 2020 diperkirakan kapasitas PLTU batu bara meningkat lebih dari 100% dibandingkan tahun 2015. Dengan demikian kebutuhan batu bara sebagai sumber energi akan semakin meningkat. Kebutuhan batu bara untuk PLTU di dalam negeri ditaksir akan bertambah lebih dari 100 juta ton dalam kurun waktu 5 tahun. Di tahun 2015 realisasi pemanfaatan batu bara untuk PLTU sekitar 70 juta ton sedangkan di tahun 2020 sekitar 177 juta ton.
(foto: Tribunnews)
Sementara komoditas lain seperti energi terbarukan belum menjadi hirauan serius kendati pemerintah, lewat Kebijakan Energi Nasional, telah menetapkan kontribusi nya 23 % pada 2025 atau setara 45.000 Megawatt. Masalahnya harga listrik energi terbarukan masih mahal. Ia tak mampu bersaing dengan listrik yang dihasilkan dari PLTU berbasis batu bara yang relatif murah, terjangkau, dan berlimpah.
Sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi 6,7% per tahun dan peningkatan jumlah penduduk, PLN bahkan dalam rencana bisnis listrik periode 2016-2025 meramalkan permintaan listrik di Indonesia akan naik 8,6% per tahun sampai 2025. Karena itu PLN berencana menambah ketersediaan listrik 80,5 GW selama periode itu, dimana 34,8 GW akan menggunakan bahan bakar batu bara.
Walaupun profit margin binis listrik relatif kecil, pendapatan darinya lebih stabil. Presiden Direktur Adaro, Garibaldi Thohir atau yang akrab disapa Boy Thohir, menggarisbawahi dalam sebuah wawancara dengan DetikFinance pada Maret 2017 perlunya diversifikasi usaha dan keinginan memberi kontribusi lebih pada negara dan bangsa.
(foto: Merdeka)
“Value added batu bara adalah listrik. Kebetulan di Indonesia sumber batu baranya ada. Kenapa kita nggak pakai untuk pembangunan bangsa?” katanya.
Perusahaan, imbuhnya, memang tidak bisa lagi bergantung pada satu bisnis saja karena bisa kolaps. Adaro menargetkan kontribusi usaha kelistrikan naik menjadi 30% dari saat ini yang hanya 5-10 % dalam 5 sampai 10 tahun lagi.
sumber :
www.law-justice.co