HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Sabtu, 2024/04/17 15:35 WIB
Media Asing Soroti Ledakan Turis: Tak Seperti Bali yang Dulu
-
Sabtu, 2024/04/17 15:40 WIB
Kota Wisata Sekelas Dubai Dilanda Banjir Bandang, Kok Bisa?
-
Jumat, 2024/04/16 14:03 WIB
Megawati Kirim Amicus Curiae ke MK: Habis Gelap Terbitlah Terang
-
Sabtu, 2024/04/17 15:25 WIB
Sederet Tokoh Ajukan Amicus Curiae ke MK Terkait Pilpres 2024
-
Sabtu, 2024/04/17 14:58 WIB
Hai Warga Depok, Setujukah Pakaian Adat Diterapka untuk Seragam SD hingga SMA?
-
Minggu, 2024/04/18 14:48 WIB
Kisah Pasangan 13 Jam Terjebak Banjir Dubai, Tak Ada Makanan Cuma Minum Air
|
Thread Tools |
19th May 2020, 00:50 |
#1
|
Mania Member
|
Kisah Relawan di Lokasi Pengungsian Papua Barat
Para guru yang berdedikasi secara sukarela mendidik dan membantu anak-anak pengungsi Papua Barat yang melarikan diri dari amuk militer dan ancaman kekerasan.
Sabtu pagi awal Maret, sekelompok anak muda sibuk mengatur meja dan kursi di dalam bangunan darurat. Usia mereka bervariasi mulai dari balita hingga sekolah dasar. Di hari tertentu, apa yang mereka sebut sebagai ruang kelas ini biasa digunakan sebagai gereja komunitas. Kelas mereka dibangun seadanya dengan struktur sederhana, sebagian ebsar itu disusun dari potongan-potongan besi bergelombang dan tiang bambu. Begitu rampung menyiapkan ruang kelas, mereka menunggu kedatangan guru favorit, Mary Fairio dan teman-temannya. Fairio bersama rekan-rekannya ini tergabung dalam The Rainbow Project alias Proyek Pelangi, sekolah Sabtu yang dikelola oleh sukarelawan untuk anak-anak Rainbow Camp, sebuah pemukiman pengungsi di Port Moresby, Papua Nugini. Ketika kebanyakan orang berpikir tentang pengungsi dalam konteks Papua Nugini, mereka berpikir tentang pencari suaka yang ditahan di sini oleh Pemerintah Australia sebagai bagian dari rezim penahanan lepas pantai. Namun, Sarah Jacob, wartawan Independent Australia menulis, penghuni kamp ini adalah keluarga Papua Barat yang melarikan diri melintasi perbatasan dari bagian barat pulau New Guinea. Kebanyakan dari mereka telah sampai di sini lebih dari satu dekade lalu. Mereka bermigrasi untuk menghindari kekerasan dan penganiayaan oleh milisi dan militer Indonesia, yang telah berlangsung sejak Indonesia mencaplok wilayah tersebut pada 1962. “Mereka sangat cantik, mereka ada di sana setiap Sabtu di titik itu,” kata Fairio tentang murid-muridnya. Sejak kelas dimulai pada Januari 2019, sekitar 35 siswa telah menghadirinya setiap pekan. Sebelum pelajaran dimulai, kelompok siswa berkumpul untuk berdoa. Fairio meminta salah satu siswa di kelas untuk menjadi sukarelawan dan memimpin doa. Tangan terangkat ke seberang ruangan. Anak-anak yang pada awalnya terlalu malu untuk dinominasikan, sekarang mengangkat tangan mereka. Setelah doa selesai, kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil berdasarkan usia dan tingkat pendidikan. The Rainbow Project baru-baru ini merayakan peringatan pertamanya. Itu terletak di Rainbow Estate, sebuah perumahan berpenghasilan menengah di mana sebagian besar penduduk bermukim. Kamp pengungsian didirikan di sini 12 tahun yang lalu sebagai pemukiman sementara. Sebelum kamp didirikan, sekitar 200 orang Papua Barat tinggal di kanal drainase, karena tidak ada ruang bagi mereka di tempat lain. Saat ini, ada sekitar 35 rumah tangga di sini, dengan kondisi tiga generasi acap kali hidup di bawah satu atap. Seratus tujuh penghuninya adalah anak-anak berusia di bawah 18 tahun. Beberapa orang dewasa dipekerjakan sebagai supir, penjaga keamanan, atau petugas kebersihan. Namun, sebagian besar hidup dari sedikit uang yang mereka hasilkan dengan menjual ikan dengan tusuk sate, roti, dan donat di pasar lokal. . Ialah Fairio, seorang akademisi kelahiran Papua Barat yang datang dengan ide sekolah Sabtu. Gagasan itu disemai setelah seorang siswa dari Universitas Canberra mengunjungi Rainbow Camp dan menyumbangkan kotak buku serta alat tulis untuk anak-anak setempat. Fairio dengan cepat menyadari, hadiah itu hanya akan berdampak nyata di masyarakat jika orang dewasa setempat menawarkan waktu mereka untuk membantu anak-anak membaca buku. Fairio mengatakan kepada Independent Australia, “Kami sedang berupaya membangun kepercayaan diri mereka.” Di Papua Nugini, siswa sekolah sangat pasif. Umumnya mereka merasa sangat sulit untuk terlibat dan berkomunikasi, bahkan sekadar untuk mengajukan pertanyaan,” imbuhnya. Usaha Fairio membuahkan hasil. Para guru telah menerima umpan balik positif dari orang tua siswa, beberapa di antaranya telah melaporkan kemampuan bahasa Inggris anak mereka meningkat dan mereka sekarang aktif berbicara di rumah. Sekolah Sabtu telah membuat perbedaan besar dalam kehidupan anak-anak yang tidak dapat mengakses pendidikan yang disediakan pemerintah. Banyak keluarga yang tinggal di Rainbow Camp tidak mampu membayar biaya sekolah atau menghadapi hambatan lain, seperti cacat atau sakit. Rainbow Camp adalah salah satu dari tiga pemukiman pengungsi di Port Moresby dan ada juga dua perkemahan besar yang terletak di dekat perbatasan Papua Nugini. Survei Pengungsi Dunia pada 2008 memperkirakan, jumlah pengungsi Papua Barat di Papua Nugini sekitar 10.000 dan tidak ada data lebih lanjut saat ini. Dari Agustus hingga September 2019, sebuah peningkatan dalam kekerasan di Papua Barat mengakibatkan perpindahan hingga 45.000 orang dari Kabupaten Nduga, beberapa di antaranya diperkirakan telah menyeberang ke Papua Nugini. Pemerintah Papua Nugini telah mendukung beberapa orang Papua Barat untuk memperoleh kewarganegaraan, yang membuka akses yang lebih besar ke layanan pemerintah. Hanya saja, masyarakat tidak menerima dukungan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Mereka mengandalkan bantuan dari kelompok gereja dan individu untuk menciptakan peluang bagi umat mereka. Fairio berujar, kondisi di Rainbow Camp penuh sesak dan tidak sehat. “Seluruh komunitas hanya memiliki satu toilet yang digunakan bersama. Lubang toilet itu sudah ada di sana selama 12 tahun terakhir. Saya mencoba mengatur toilet portabel untuk anak-anak karena sangat tidak higienis,” ungkapnya. Warga hanya memiliki akses ke satu pasokan air. Anggota masyarakat harus membayar setiap kali menggunakannya–harganya 15 kina (sekitar 6,50 dolar Australia) selama dua jam penggunaan. Hanya ada satu sumber listrik, yang dibagi di antara 35 rumah tangga. Keadaan keuangan yang minim bagi banyak orang di Rainbow Camp juga membuat mereka tidak memiliki akses mudah ke layanan dasar seperti transportasi. Dalam situasi medis darurat, memiliki uang untuk ongkos bus dapat berarti perbedaan antara hidup dan mati untuk orang yang paling rentan di komunitas ini. Ini juga berlaku untuk etnis Papua Nugini, sekitar 40 persen di antaranya hidup dalam kemiskinan. Fairio menceritakan siswa sembilan tahun bernama Julie yang tidak dapat bersekolah di sekolah biasa karena cacat fisik. Fairio menggambarkannya sebagai siswa yang rajin dan cepat berkembang dalam kegiatan kelas, hingga kematian mendadak karena TBC pada awal 2020. Orangtuanya tidak dapat membawanya ke rumah sakit tepat pada waktunya untuk menerima perawatan yang memadai: “Dari hari pertama sekolah [Sabtu] hingga satu minggu sebelum dia meninggal dan meskipun dia tidak pernah bersekolah, dia selalu menjadi yang pertama mengangkat tangannya.” Fairio berkata dengan sedih, “Kami memberikan kesempatan itu. Saya merasa diberkati dia bisa datang ke sekolah.” The Rainbow Project sedang dalam masa hiatus, dihentikan oleh penguncian yang diberlakukan untuk menahan penyebaran COVID-19. Saat berita diturunkan, hanya delapan kasus virus telah dikonfirmasi di Papua Nugini, tetapi masyarakat takut apa yang akan terjadi jika wabah tidak dibendung. “Situasi kami sangat buruk,” kata Ketua Rainbow Camp, Olaf Wayangkau. “Kami tidak bisa keluar. Kami bergantung pada pasar di depan Rainbow. Sekarang pasar telah ditutup. Kami butuh bantuan.” Baca Lainnya: https://www.matamatapolitik.com/ |
detikNews
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer