Aaaaaaa... Sukaaaa, mbak.. Twisted ending banget... Sedari awal, semua yang baca aku rasa akan tergiring opininya bahwa ini tentang poligami dan ternyata tentang ibu-anak-mantu..
Tapi kalau dipikir-pikir, rapi banget mbak menyusupi detailnya.. Sprti soal dering lagu smartphone yang si perempuan pertama ini bahkan gak tau lagu apa itu yang diputar.. Salah satu clue bahwa mereka beda generasi ya, mbak...
Oh ya, mbak ada aplikasi Ijak gak? Disitu bisa pinjam buku kumpulan cerpen / novel dengan gratis. Mudah banget juga cara daftarnya, mbak.. Cuma perlu install apps nya dan email address..
Kumpulan cerpen yang aku rekomen: A to Z. Kalo gak salah judulnya itu.. Itu sebuah proyek garapan banyak penulis.. Jadi stp penulis ngambil kertas undi yang berisi abjad A sampe Z dan masing-masing harus menulis cerpen sesuai abjad yang didapat...
Mbak Freya, aplikasi Ijak itu cuma Ijak,namanya?
Ntar aku mau instal
Be patient. For what was written for you, was written by the Greatest of Writers
Kematian Yang Kita Inginkan... Sebuah kontemplasi Bagian 1
Setiap akhir tahun, rasanya kebanyakan orang sudah sibuk melihat seberapa jauh list-list mimpinya telah terpenuhi, dan membuat resolusi baru untuk tahun ke depannya. Rata-rata, semua hanya menyangkut kebutuhan dunia yang fana. Adakah kita berani jujur justru untuk meresolusikan satu hal yang justru pasti akan kita hadapi?
Ini tulisan kontemplasi saya di tahun 2015. Tentang yang pasti tersebut, yakni, mati!
Spoiler
Setiap kali melintasi jalan yang ada kuburan, saya pasti akan menolehkan kepala kearah sana. Lalu dalam hati akan mengucap salam yang ditujukan kepada mereka yang terlebih dulu menempati alam kubur. Suatu waktu, saya pasti akan seperti mereka, membusuk jasad di sana, sementara ruh bersemayam di alam barzah, menunggu do’a-do’a yang dikirimkan oleh anak-anak saya,ditemani oleh amalan baik yang (mungkin) pernah saya lakukan dengan iklash dan hanya mengharap ridho-Nya.
Saya memang suka melihat areal pemakaman, namun tidak pula setiap kali berjalan sengaja mencari-cari kuburan. Saya suka karena areal pemakaman selalu berhasil mengingatkan saya pada kematian. Di satu sisi, saya takut banget akan mati, merasa tidak siap dengan bekal yang akan saya bawa, dan akan meninggalkan orang-orang yang saya cinta. Di sisi lain, saya belajar menerima fakta, bahwa suatu waktu saya akan mati. Dan itu pasti!
Kepastian akan mati yang selalu membawa saya untuk berkontemplasi hakekat saya diberi hidup di dunia ini.
Sepanjang hayat otak kita selalu dijejali oleh pemikiran terhadap pencapaian hidup yang kita –manusia- inginkan. Sejak kecil pikiran kita dipenuhi bahwa sekolah itu untuk menjadikan diri kita pintar, lalu kemudian akan memudahkan kita mencari kerja ke depannya. Bahkan hari ke hari obsesi untuk menghasilkan generasi pintar agar semakin mudah mencari penghidupan, semakin besar gaungnya. Tak heran kursus ini itu semakin marak, bimbingan belajar semakin laris, dan test ini itu untuk mengetahui sejak dini minat anak semakin bertaburan. Semuanya demi masa depan. Dan semuanya, hanya bersifat keduniawian.
Lalu, setelah dewasa,berkarir, menikah dan punya keturunan, obsesi keduniawian itu kita turunkan kembali pada generasi kita. Dan sekarang lebih masif karena alasan tuntutan jaman dimana situasinya semakin kompetitif. Kita pun semakin terbawa putaran arus jaman, bahkan tak sedikit dari kita yang terseret arus , sampai-sampai, fitrah kita sebagai manusia yang akan selalu rindu untuk dekat pada Rabbnya pun menjadi terkikis karenanya.
Dalam putaran keduniawian, kita pun diajak untuk merumuskan mimpi-mimpi kita, menuliskannya di mana saja, di buku, di hati, di pikiran, di timeline, dan dimana saja, sehingga alam akan mengamininya, semesta akan mendukungnya, serta Tuhan akan mengabulkannya.
Saya adalah termasuk orang yang sangat meyakini keampuhan mimpi-mimpi terhadap pencapaian hidup yang kita inginkan ke depannya. Perjalanan hidup saya sendiri pun membuktikan, bahwa hampir semua mimpi-mimpi yang saya tuliskan mau pun cuma dalam hati saja, tercapai. Semesta mendukung, alam
mengamini, dan Allah SWT pun mengijinkan itu terjadi. Namun lagi-lagi, semua hanya bersifat keduniawian.
Tak heran, dalam putaran arus keduniawian, demi mencapai mimpi-mimpi hidupnya, banyak dari kita menjadi homo homini lupus, pemangsa yang menjadi kanibal bagi sesamanya. Sikut menyikut tak apa, asal tujuan hidup tercapai. Yang halal bila menyulitkan, terpinggirkan. Yang abu-abu di cari dalilnya agar menjadi putih, sedangkan yang haram sebisa mungkin tidak usah diingat-ingatkan.
Tak heran pula, atas nama kekinian, ribawi pun menjadi sesuatu hal yang seperti aneh bila kita memilih tak ikut di dalamnya. Atau, kegagalan dan keberhasilan hidup kita ditentukan seberapa banyak aset dunia yang kita miliki, seberapa banyak daerah yang telah kita kunjungi, dan seberapa banyak kotak list mimpi-mimpi yang telah berhasil kita tandai.
Dan kita pun jadi lupa, bahwa kita akan mati. Padahal itu sesuatu yang pasti.
Sejatinya, tak banyak yang suka bicara tentang kematian. Karena selalu menyangkut kesedihan. Kesedihan bagi si mati karena meninggalkan apa-apa yang disenanginya;harta,keluarga, atau tahta. Kesedihan bagi yang ditinggalkan karena perasaan kehilangan. Tapi percayalah, perasaan kesedihan bagi yang ditinggalkan hanya sesaat semata. Setahun dua tahun mungkin masih berat bagi yang ditinggalkan, tapi seiring waktu, kesedihan itu akan berganti dengan kenangan. Sedangkan bagi si mayit?
Bagi saya, agama saya mengajarkan kehidupan sesungguhnya itu justru setelah mati. Dan bagaimana kita mati, apakah husnul khotimah atau pun su’ul khotimah, itu cikal bakal jalan yang akan kita lalui di kehidupan setelah mati tersebut.
Untuk berakhir husnul khotimah, bukanlah perkara mudah. Itu perkara yang harusnya kita perjuangkan sejak akal kita mampu berpikir jernih. Sejak bagi laki-laki dengan dimulai mimpi basah, dan bagi perempuan keluar darah haidnya. Dan sejak itu pula malaikat raqib dan atit mencatat segala sesuatunya dengan detil setiap amal perbuatan kita semasa hidup, sampai tarikan napas terakhir di tenggorokan.
Menuliskan Kematian Yang Diinginkan Dalam List Mimpi-Mimpi Kita
Sejatinya, karena mati adalah sesuatu yang pasti, harusnya kita pun menuliskan mati seperti apa yang kita inginkan saat kehidupan dunia kita akan selesai, bukan?
Bukankan kalau kita memperlakukan keinginan mati kita seperti apa, sama halnya dengan keinginan terhadap pencapaian dunia kita; alam pun akan mengamini, semesta akan mendukung, serta Tuhan akan mengabulkan? Mengapa jarang dari kita yang berani menuliskan mati seperti apa yang kita mimpikan?
Apa karena berbicara mati itu begitu menakutkan sehingga enggan menuliskan kematian seperti apa yang kita inginkan? Padahal kalau ditanya, pasti yang seiman dengan saya hampir seluruhnya menjawab ingin mati dalam keadaan husnul khotimah. Lalu mengapa tidak menuliskannya dalam bagian list mimpi-mimpi yang ingin kita capai?
Bagi saya, menuliskan list mimpi berkaitan dengan kematian yang saya mimpikan inginkan akan terkait dengan konsekswensi hidup yang akan saya jalani pula. Menjadi pengingat diri saat menjalani kehidupan yang sementara ini. Semacam rel atau rambu-rambu yang harus saya patuhi agar tujuan saya tercapai seperti yang saya inginkan. Karenanya, di sini saya tuliskan list mimpi kematian yang saya inginkan seperti apa yang akan terjadi pada saya saat tiba ketentuanNya tersebut.
Be patient. For what was written for you, was written by the Greatest of Writers
Kematian Yang Kita Inginkan... Sebuah kontemplasi Bagian 2
Spoiler
Menuliskan Kematian Yang Diinginkan Dalam List Mimpi-Mimpi Kita
Sejatinya, karena mati adalah sesuatu yang pasti, harusnya kita pun menuliskan mati seperti apa yang kita inginkan saat kehidupan dunia kita akan selesai, bukan?
Bukankan kalau kita memperlakukan keinginan mati kita seperti apa, sama halnya dengan keinginan terhadap pencapaian dunia kita; alam pun akan mengamini, semesta akan mendukung, serta Tuhan akan mengabulkan? Mengapa jarang dari kita yang berani menuliskan mati seperti apa yang kita mimpikan?
Apa karena berbicara mati itu begitu menakutkan sehingga enggan menuliskan kematian seperti apa yang kita inginkan? Padahal kalau ditanya, pasti yang seiman dengan saya hampir seluruhnya menjawab ingin mati dalam keadaan husnul khotimah. Lalu mengapa tidak menuliskannya dalam bagian list mimpi-mimpi yang ingin kita capai?
Bagi saya, menuliskan list mimpi berkaitan dengan kematian yang saya mimpikan inginkan akan terkait dengan konsekswensi hidup yang akan saya jalani pula. Menjadi pengingat diri saat menjalani kehidupan yang sementara ini. Semacam rel atau rambu-rambu yang harus saya patuhi agar tujuan saya tercapai seperti yang saya inginkan. Karenanya, di sini saya tuliskan list mimpi kematian yang saya inginkan seperti apa yang akan terjadi pada saya saat tiba ketentuanNya tersebut.
Saya ingin mati dalam keadaan husnul khotimah, dalam keadaan sujud padaNya, mengingatNya, dan bibir bertasbih padaNya . Saya ingin mati dalam keadaan iman yang tertinggi saya padaNya.
Karena mati tidak tahu kapan datangnya, sementara dia pasti adanya, maka setiap detik dalam kehidupan saya haruslah dalam keadaan waspada utnuk selalu ingat padaNya, menjalankan apa yang diwajibkanNya, serta meninggalkan apa yang diharamkanNya. Memegang teguh akidah dengan hanya ber-Illah padaNya.
Masihkah saya hanya menuhankanNya, bukan berTuhan pada tuhan-tuhan yang lain? Entah-entah saya cuma omong doang, beriman padaNya, mengaku tidak menduakanNya, sementara dalam kenyataan hidup saya memilih menuhankan yang lain, baik saya sadari atau tidak. Entah-entah, saat duduk di kursi yang nyaman dalam ruangan sejuk karena pendingin udara, dan diantara orang-orang hebat yang katanya mewakili suara kebanyakan, saya malah menuhankan aturan manusia dan mengesampingkan aturan Allah dengan alasan kemaslahatan?
Saya menuliskan keinginan mati dalam keadaan husnul khotimah, mudah sakratul mautnya.
Maka untuk itu, saya berusaha yakin, bahwa apa yang masuk ke perut saya adalah halal, sepenuhnya halal. Bukan halal yang tidak berkah karena ada orang lain yang terzholimi karena cara saya mencari nafkah misalnya. Bukan pula halal yang saya cari-cari dalil pembenarannya agar saya merasa nyaman dengan pilihan hidup saya. Bukan pula halal, tapi caranya nyikut sana sini, dan melakukan suap sana sini. Halal, tentu seperti yang saya yakini sudah sesuai tuntunan yang telah dibawa Rasulullah pastinya.
Karena saya ingin mati dalam keadaan husnul khotimah, bibir menyebut namanya dan hati berzikir untuknya, maka setiap detik perjalanan yang saya lalui sebisa mungkin saya menyebut-nyebut namaNya, menghindari bergunjing mengenai keburukan orang lain, apalagi menyebar-nyebar fitnah. Naudzubilla. Karenanya, setiap kali bibir tergoda untuk sumbang suara untuk hal yang sia-sia, segera hati menegur agar berucap istighfar. Mana tahu, saat itu pula perjanjian saya tiba, saat kehidupan dunia untuk saya selesai, dan malaikat Izrail menjemput saya.
Saya ingin mati dalam keadaan husnul khotimah, tidak dalam keadaan pikun, tetap dalam keadaan sehat dan tidak menyusahkan siapa saja.
Karenanya pula agar tetap menjaga kesegaran otak saya selalu, lebih banyak membaca Qur’an dan mencoba menghafal semampunya kalam suci tersebut. Kalau saya bisa baca novel setebal ratusan halaman tiap harinya, mengapa minimal satu zuj setiap harinya saya harus malas melakukannya? Kalau saya masih ingat dan bisa menceritakan ulang buku yang saya baca, mengapa ayat-ayat suci itu saya abaikan untuk terekam jelas dalam benak saya. Bukankah hapalan saya yang akan menjadi peneman saya di alam kubur nantinya?
Agar tubuh saya sehat dan bugar, sholat saya pun akan saya benarkan rukun dan pelaksanaannya. Bukan sekedar meluruhkan kewajiban semata. Bangun di sepertiga malam harus sudah menjadi kebiasaan baik yang selalu dilakukan. Agar bukan tubuh saya saja yang sehat dan bugar, tetapi ruhiyah saya selalu diliputi ketenangan karena kedekatan yang terjalin padaNya.
Lalu menjaga asupan gizi yang benar-benar halal saja yang masuk ke dalam tubuh, adalah salah satu upaya menjaga kesehatan tubuh dan jiwa.
Saya ingin mati dalam keadaan husnul khotimah, meninggalkan manfaat bagi sesama manusia dan alam sekitar, serta dikelilingi oleh orang-orang yang saya cinta dan mencintai saya (keluarga).
Karenanya, sedapat mungkin saya menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, menahan lidah dari perkataan yang mungkin bisa menyakiti dan melukai hati orang lain. Menyayangi anak-anak, suami dan keluarga sepenuh hati. Tidak melukai makhluk hidup dengan semena-mena, menjaga lingkungan dengan sepenuh cinta karena alam yang dijaga dengan cinta akan memberikan kembali cintanya yang luar biasa untuk manusia itu sendiri.
Karenanya pula, saya harus memulai kembali menyambung silaturahmi yang terputus, silaturahmi yang terkoyak, silaturahmi yang tertahan. Saya harus meluaskan sabar dan belajar untuk bersabar tanpa batas (seperti yang diajarkan suami saya selalu bahwa sabar itu tidak berbatas), memantapkan untuk selalu bersyukur dan iklash terhadap ketentuan-ketentuan yang Allah ijinkan terjadi pada saya, belajar memaafkan, dan belajar menerima diri dan menyamankan diri sendiri.
Dengan demikian saya akan menjadi orang yang mampu mencintai diri sendiri dan memberikan cinta pada sekeliling saya. Bukankah apa yang akan kita beri akan berbalik ke diri sendiri? Banyak-banyak memberi cinta kita akan menuai hasilnya. Itu yang saya inginkan. Wafat dalam naungan cinta orang-orang yang menyayangi saya.
Saya ingin mati dalam keadaan husnul khotimah, meninggalkan warisan ilmu dan harta yang bermanfaat, generasi sholih-sholihah yang tangguh, serta tidak dalam keadaan berhutang, tidak terjerat riba, dan orang-orang tidak mengingat saya kecuali mengingat saya dengan kebaikan.
Karenanya, saya harus mejaga diri dan keluarga dari memakan yang haram dan syubhat, mendidik anak-anak agar menjadi generasi yanng tangguh, tidak cengeng dan manja, serta baik ahlaknya serta teguh dan istiqomah keimanannya, baik dan mulia sikapnya terhadap sesama manusia, tak perduli dari mana asalnya, agamanya, dan suku bangsanya, dan peduli pada lingkungannya.
Saya juga harus proaktif mengingatkan suami agar memberi kami nafkah hanya dengan jalan yang halal, mempertanyakan kelebihan nafkah yang dia peroleh, agar dia sebagai pemimpin rumah tangga tidak terjerat dosa. Saya harus mengajarkan anak-anak sabar dengan keterbatasan, yang penting hidup berlandaskan tuntunan yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW. Terbatas tak apa, yang penting yakin akan halalnya.
Ya Rabb..
Sebagaimana kau mengabulkan segala mimpi-mimpi keduniawianku, baik itu pernah kutuliskan atau pun hanya tersirat di hati, maka kabulkanlah mimpi-mimpiku mengenai kematian yang aku inginkan. Ijinkan aku kembali padaMu kelak dengan husnul khotimah dan mengabulkan semua list yang telah kutuliskan di atas. Amin Ya Rabbal Alamin.
Be patient. For what was written for you, was written by the Greatest of Writers
Baru masuk ke tritnya jeng kayara. Imo, jeng punya bakat yg cukup mumpuni untuk jd cerpenis.
Genre bacaan aku sebenernya seputar kriminal, aneka konspirasi ato yg berbau mitologi yunani. Tp karya jeng kayara enak juga buat aku baca. Ide2nya simple tp dalem, twist2nya cakep..
Klo boleh sedikit beropini, ada beberapa yg ambil dr pengalaman pribadi kah?
Apapun itu, two thumbs up buat jeng kayara..
Ditunggu karya selanjutnya
Cerita pendeknya masih on proses. jadinya berbagi tulisan hasil kontemplasi ya. Tentang luka, yang semua orang pasti peernah mengalaminya. Ini cara saya memaknai luka dalam kehidupan.
Spoiler
Berbicara mengenai kehidupan, kita cenderung menampilkan diri sebagai seorang yang berjiwa positif, penuh percaya diri, penuh cinta, bertanggung jawab, sensitif, optimis, bersemangat, sukse, bahagia, dan banyak lagi. Kesemuanya merupakan sisi baik dari manusia. Seolah-olah, begitulah seluruh keseharian hidup yang kita jalankan. Sedikit dari kita yang penuh kesadaran diri menampilkan sisi sebaliknya, walau hal itulah yang sedang terjadi pada kita.
Kita terdoktrinasi sejak kecil untuk tidak boleh mengeluarkan keseluruhan emosi yang kita miliki. Saya masih ingat, saat kecil, bila menangis, maka orangtua pasti akan dengan tak sabaran menyuruh saya berhenti menangis. Tidak pernah ada yang membiarkan saya menangis sampai rasanya rasa sakit yang saya alami ikut menghilang bersama tetesan airmata. Menangis seperti menunjukkan kelemahan yang yang tak layak terlihat, bahkan kalau perlu disembunyikan rapat-rapat dari muka umum. Jadilah kemudian airmata itu terhenti, tapi rasa sakit tetap terbawa-bawa sampai ke dalam hati.
Betapa sering kita sendiri pun sebagai orangtua, memaksa anak untuk tidak menangis lama-lama, walau mungkin saja hal itu sebab rasa sakit yang ia alami, misalnya, terjatuh sampai kakinya berdarah. Kita lebih suka melihat mereka berbuat tingkah lucu yang membuat kita terpingkal-pingkal karenanya. Begitulah kita, manusia, tumbuh menjadi pribadi yang cenderung menutupi luka, dan hanya menampilkan sisi positif diri kita semata.
Sejatinya, perasaan luka dan sakit yang mendera kita pun adalah emosi yang membuat kita tumbuh lebih bijak dan arif. Bukan semata-mata perasaan emosi yang bernilai kegembiraan, cinta, keberanian untuk bersikap tegar yang hanya menjadikan kita menjadi pribadi yang bertumbuh.. Perasaan luka dan sakit pun bila disikapi dengan cara yang positif akan membuat kita tumbuh menjadi pribadi yang bijak.
Perasan luka dan sakit dimaksudkan untuk membangkitkan kita, menyadarkan kita akan potensi diri yang selama ini terpendam. Perasaan luka dan sakit itu merupakan suatu perasaan yang harus diterima dengan rasa iklash dan sukarela. Dengan demikian, penerimaan kita terhadap perasaan luka dan sakit, sama halnya dengan penerimaan kita terhadap perasaan hidup dan kebutuhan akan cinta. Sama-sama perasaan. Jadi tak perlu menyembunyikan perasaan luka dan sakit, serta merasa malu terhadap apa yang kita rasakan mengenai rasa sakit dan luka yang kita derita.
Dengan menerima sepenuhnya bahwa kita mengalami luka dan sakit, sesungguhnya itu penerimaan hakiki kita terhadap hidup kita sendiri. Kita belajar untuk mengatasi, berhadapan serta bekerja sama dengan perasaan tersebut. Jika kita menghindari, bahkan bersikap malu bahwa kita mengalami kelukaan dan rasa sakit, justru menunjukkan kita tidak merasa nyaman dengan diri kita sendiri. Kita hidup di balik tabir. Diri kita yang ingin kita tunjukkan pada dunia, dan diri kita sesungguhnya dalam hal ini menjadi pribadi yang berbeda.
Berdiri diatas perasan yang luka dan tersakiti, serta menyadari hal itu sepenuhnya, bukanlah pula menunjukkan kelemahan diri. Justru dengan menyadari bahwa kita harus berhadapan dengan perasaan luka dan sakit, akan membangun kekuatan diri untuk bisa bekerja sama dengan perasaan tersebut dan melanjutkan hidup.
Bukankah saat kita menyadari realita kehidupan yang sebenarnya, dimana menjadi pribadi yang kuat adalah satu-satunya pilihan yang harus diambil saat pdiri kita merasa luka dan tersakiti, adalah kekuatan diri yang akan kemudian menyembuhkan, setidaknya mengurangi luka hati kita? Dan itulah yang membentuk proses kita tumbuh menjadi lebih bijak dan arif menyikapi hidup.
Saya itu orang yang cukup terus terang dan mengatakan hal apa adanya.. Suatu ketika (tahun lalu) di depan kelompok kecil sahabat saya (kita lagu kumpul bareng), saya membuka keadaan saya saat itu dengan ngucapin sebuah kalimat yang mengejutkan tapi saya ucapin dengan santai banget.. Mereka sampe kaget dan ngeliat saya trus nanya, "elo serius??" "Ini beneran??" Tapi udahannya mereka ngeresponnya baik-baik aja sih.. Malah setelah saya ngomong gitu, salah satu temen saya baru bisa terbuka cerita keadaannya.
Di lain waktu (kira-kira setahun lalu juga), (di group whatsapp -small circle only), saya ditanya apa resepnya berat badan saya bisa nyusut.. Trus saya jawab dengan apa adanya, tapi cara saya jawab kayak sambil bercanda... dan reaksi si pe-nanya denger jawaban saya yg apa adanya seolah saya itu salah memberikan jawaban.. Bukan itu jawaban yang dia mau dengar.. karena jawaban saya itu hal yang tabu.. Hal yang gak nyaman utk di diskusikan.. Saya merasa sedikit tersinggung karena jawaban saya yang apa adanya seolah dianggap inappropriate.. Kenapa saya gak boleh ngomong apa adanya??? Kenapa saya seolah harus menjawab seperti yang dia ingin dengar?? Kenapa saya hanya boleh menjawab seperti apa yang dapat dimaklumi masyarakat?? Kalau gitu ya dia jangan nanya sama saya lah
Tulisannya mengingatkan manusia untuk tidak hanya mengejar duniawi tapi juga mempersiapkan hati untuk sesuatu yang pasti, yakni mati.
Kematian yang saya inginkan:
1. Sebagai seorang Katholik, saya ingin saat menjelang ajal saya masih sempat menerima Sakramen Pengurapan orang sakit / sakramen perminyakan.. dan memohon pengampunan dosa (Sakramen rekonsiliasi).
2. Saya ingin kematian yang berlangsung cepat dan dengan rasa sakit yang seminimal mungkin. Mati perlahan-lahan dan mengalami rasa sakit selama prosesnya saya rasa adalah hal yang menakutkan.
3. Saya ingin mampu memaafkan siapapun yang pernah bersalah pada saya dan dimaafkan kesalahan-kesalahan yang telah saya perbuat. Saya ingin meninggal dalam damai.
4. Saya ingin dikelilingi oleh orang-orang yang saya cintai dan orang-orang yang mengasihi saya.
5. Saya ingin kematian saya tidak menyusahkan dan tidak melemahkan orang-orang yang saya tinggalkan.
Baru masuk ke tritnya jeng kayara. Imo, jeng punya bakat yg cukup mumpuni untuk jd cerpenis.
Genre bacaan aku sebenernya seputar kriminal, aneka konspirasi ato yg berbau mitologi yunani. Tp karya jeng kayara enak juga buat aku baca. Ide2nya simple tp dalem, twist2nya cakep..
Klo boleh sedikit beropini, ada beberapa yg ambil dr pengalaman pribadi kah?
Apapun itu, two thumbs up buat jeng kayara..
Ditunggu karya selanjutnya
Wah, makasih udah mampir di thritnya aku ya Mbak rea-ja. Soal ide yang diambil dari pengalaman pribadi, kayaknya bagi pemula yang lagi belajar nulis, kebanyakan sih tulisannya dipengaruhi dari pengalaman pribadi. Tapi tidak semua plek ketiplek, alias tidak 100%. Begitu juga tulisan aku (cerpen).
Btw, genre kesukaan kita sama kok. Aku suka baca cerita detektif dan konspirasi, plus horor. Kalau horor mungkin karena banyak bersinggungan dgn dunia itu.
kalau nulis cerita detektif, dulu pernah coba nulis. Tapi enggak selesai, sekerang draftnya entah kemana...
Be patient. For what was written for you, was written by the Greatest of Writers
Saya itu orang yang cukup terus terang dan mengatakan hal apa adanya.. Suatu ketika (tahun lalu) di depan kelompok kecil sahabat saya (kita lagu kumpul bareng), saya membuka keadaan saya saat itu dengan ngucapin sebuah kalimat yang mengejutkan tapi saya ucapin dengan santai banget.. Mereka sampe kaget dan ngeliat saya trus nanya, "elo serius??" "Ini beneran??" Tapi udahannya mereka ngeresponnya baik-baik aja sih.. Malah setelah saya ngomong gitu, salah satu temen saya baru bisa terbuka cerita keadaannya.
Di lain waktu (kira-kira setahun lalu juga), (di group whatsapp -small circle only), saya ditanya apa resepnya berat badan saya bisa nyusut.. Trus saya jawab dengan apa adanya, tapi cara saya jawab kayak sambil bercanda... dan reaksi si pe-nanya denger jawaban saya yg apa adanya seolah saya itu salah memberikan jawaban.. Bukan itu jawaban yang dia mau dengar.. karena jawaban saya itu hal yang tabu.. Hal yang gak nyaman utk di diskusikan.. Saya merasa sedikit tersinggung karena jawaban saya yang apa adanya seolah dianggap inappropriate.. Kenapa saya gak boleh ngomong apa adanya??? Kenapa saya seolah harus menjawab seperti yang dia ingin dengar?? Kenapa saya hanya boleh menjawab seperti apa yang dapat dimaklumi masyarakat?? Kalau gitu ya dia jangan nanya sama saya lah
eh tadi aku udah jawab. kok enggak terinput ya.
Dalam pandangan aku, org yg tidak nyaman mendengar ucapan kita karena tdk sesuai dengan "kaidah normal ", sebenarnya di alam bawah sadarnya mungkin merasakan atau pernah mengalami hal yg sama dengan kita. Hanya saja berusaha mengingkarinya, sehingga saat mendengar itu diucapkan, naluri untuk mempertahankan diri muncul. Ini pengamatan kecil-kecilanku sih...
Be patient. For what was written for you, was written by the Greatest of Writers