Meskipun thread ini kuibaratkan wadah kala sendu, ceria, masam, manis dan berwarna untukku pribadi, akan tetapi siapa pun boleh duduk santai di sini, dan mengenang apa pun lalu menorehkan momennya.
Memorabilia....
Sesuatu atau objek dari momen tertentu, membawamu pada hari ini, kehidupan kini, dan... dan... pengalaman menemukan jati diri.
Bunyi gergaji kayu. Bunyi ini, menyeretku pada masa bertahun-tahun silam. Bunyi -- suara gergaji kayu, terutama bila kudengar dari kejauhan, pastilah aku tergugu sejenak. Lalu di sanalah aku berdiri. Di masa lalu. Aku yang kecil, ringkih, berambut keriting, dengan rok merah muda sepaha, dan kaus menampilkan ketiak, disertai bisul di kedua kelopak mata.
Yah... bisul itu penyakit kampungan. Bisa diistilahkan begitu. Kadang pernah terpikir olehku pula, bisul itu seperti sakit kotor. Sebuah kekotoran yang mengendap di balik kulit ari, dan hasilnya kekotoran itu timbul tak mampu lagi ditopang oleh tameng bernama kulit.
Sebegitu kotornya aku ketika masih kecil pun, sampai bisul tumbuh sempurna meminta dilaknat ketika gatalnya berujung pada rasa perih!
Seperti apa ya, jika dideskripsikan oleh kata-kata bunyi gergaji kayu itu? Weeengggg-ngeeengggg-drttttttttt? Seperti apa padanan kalimat bakunya? Hahaha aku sendiri tidak tahu. Mesti membuka KBBI sepertinya.
Namun kurasa, kalian pasti pernah mendengar bunyi tersebut -- paling tidak, membayangkannya sajalah.
Aku merebah di lantai -- ubin hitam dengan gompalan di sana-sini. Ubinnya banyak yang retak, kadang dari celah retakan itu, tercium wangi tanah dan lumut.
Saat terlentang atau tiduran miring, di tengah siang bolong, maka samar-samar, bunyi gergaji kayu pun terdengar. Suara itu -- suara beraturan benda tajam menyentuh kulit kayu, mengikuti ritme arah angin; anginnya ke Tenggara, maka suara gergaji kayunya sayup-sayup. Jika ke Barat, maka suaranya terdengar jelas lalu tiba-tiba menghilang begitu saja. Dan yang favoritku, ketika angin Tenggara membuat melodi suara gergaji kayu itu menjadi samar. Aku suka. Aku bagaikan hilang separuh, kesadaranku karena mengantuk. Anggap saja suara samar gergaji kayu itu lagu nina bobo di telingaku.
Dan kini....
Suara itu jarang kudengar. Kaki ini berpijak di tanah mana pun, atau menatap angkasa raya di pelosok bumi mana saja, aku sudah kehilangan satu bagian dari masa lalu. Suara gergaji kayu.
Tak bagus kondisiku kala itu -- kala memori suara gergaji kayu terpatri dalam ingatan masa kecil. Namun, kenangan tetaplah kenangan. Tak peduli manis atau pahit sekalipun. Meskipun aku tengah bisulan di kelopak mata pada waktu itu, tetap saja, Tuhan meninabobokan diriku dengan pendengaran yang normal -- aku tidak tuli, apalagi bisul di kuping!
Suara gergaji kayu merupakan salah satu teman masa kecilku.
Dan sekarang....
Kerumunan -- celoteh orang dan yang lainnya yang kerap kudengar. Atau paling tidak, suara burung gagak melintas di sepanjang siang, atau bunyi angin lemah lembut dan kadang garanglah yang menjadi kawan telingaku sehari-hari.
Dan nanti....
Bilamana aku tak sengaja mendengar suara gergaji kayu itu lagi, maka akan kunikmati tiap gesekannya; tak peduli sedang mengerjakan apa aku nantinya, aku hanya ingin mendengarnya dengan khidmat dan tentunya mengucek kedua mataku. Tentu saja, aku tak akan melewatkan mengenang dua bisul masa lampau itu secara bersamaan. Karena, yah... kenangan itu saling bertautan. Tak bisa dicabut paksa salah satunya (yang tak baik/buruknya) tanpa diikut sertakan. Karena apa? Karena jika aku tidak bisulan di kelopak mata, maka mungkin saja aku tak akan pernah mendengar suara samar gergaji kayu. Dan tulisan hari ini tidak akan pernah ada; karena aku tak memiliki kenangan suara gergaji kayu.
... dan karena, satu momen berbeda dari seharusnya, maka hasilnya pun tak akan sama dikenang pada hari ini.
Cheers!
Last edited by luntzpandis; 29th July 2020 at 07:18..
Telurnya setengah matang. Kuning telur itu menetes-netes jika dimasukan ke mulut. Sungguh meleleh! Menurutku, telur kuning yang belum matang sempurna itu bau amis, atau paling tidak, bau borok bernanah. Serius deh! Seperti itu yang tertanam di pikiranku hahaha.
Aku lupa mengatakan, ramen pesananku tidak perlu diberi telur. Tapi, karena pikun dini ini, aku mau tak mau harus memakannya dengan wajah senang dan menikmati. Tak baik rasanya, menyisihkan makanan begitu saja. Itu akan melukai si pembuatnya -- chef atau apa pun itu namanya orang yang memasaknya. Dan jadilah aku dengan mata membulat, bibir melengkung ke atas -- tersenyum riang, menelan telur setengah matang dengan kuningnya yang menetes-netes di sudut bibir. Demi celana dalam kendor talinya! Aku ingin muntah dan tenggorokan bergerak-gerak masih merasakan penderitaannya.
Ramennya enak. Apalagi kuahnya. Irisan dagingnya (kupesan daging sapi) lembut, dan bisa memenuhi separuh lambung! Banyak banget, dan itu tak mustahil aku habiskan sendiri hihihi.
Di salah satu sudut stasiun, ada kedai ramen ramai pengunjung menjelang siang saat makan siang dan sore ketika jelang malam saat orang-orang pulang selepas beraktivitas. Tapi enaknya, makan ramen itu siang-siang. Menurutku. Namun, bukan hal haram juga memakannya malam-malam begini, kan? Kuahnya hangat. Dan ada kecap asin wijen tambahan sebagai sambal cocol makanan sampingan seperti gyoza.
Perut kenyang, terbitlah kenangan....
Satu seruput ocha, kemudian mengembalikanku pada masa lalu.
Masaku dan ramen alias mi instan....
Sarimi. Itu merek mi instannya. Sarimi Rasa Ayam Bawang. Dulu, mi ini terkenal di zaman aku ketika kecil. Mi-nya lembut dan kenyal, walaupun jika disandingkan dengan banyak brand masa kini, mi tersebut jelas kalah telak. Tetapi dulu, mi itu sangat populer dan aku selalu gembira saat memakannya. Apalagi ada gambar Om Jin di bungkusnya. Aku memanggilnya begitu -- Om Jin ketawa.
Mendiang Nenek, selalu membuatkannya dengan campuran sayuran. Banyaknya sayur sawi. Dan ditambah telur! Tapi telurnya tidak setengah matang, melainkan benar-benar matang. Mungkin karena sering makan telur -- kuning telur, aku jadi gampang sakit bisul. Itu asumsiku saja.
Mi instan di masa lalu itu, memang tidak sama dengan ramen yang barusan kumakan. Dari nama dan rasa saja, sudah berbeda jauh. Akan tetapi, mi ramen itu panjang tersulur. Membuatku teringat Sarimi di masa laluku jadinya. Terlebih, yang membuatkan mendiang Nenek. Dan itu inti dari kenangan ini sebenarnya. Nenek. Beliau yang apakah akan senang menyaksikanku hidup saat ini? Atau memiliki rasa ketidakpuasan atau pencapaian -- tolok ukur kebahagiaan menurut versiku sendiri? Apa pendapat beliau jika masih hidup?
Beep, beep!
Getaran ponselku membuatku harus menghentikan memori ini sampai di sini dulu.
Memorabilia. Ramen. Mi instan. Memorabilia kali ini.
Kakiku melangkah menjauhi kedai, dan apa yang akan aku temui kemudian lagi sebagai memorabilia masa lalu?
Kejutan! Hidup itu kejutan; kejutan mencengangkan membuat jantungan atau perut melilit bagaikan ada kupu-kupu di dalamnya, tergantung kita menyikapinya.
Seseorang pernah mengatakan ini padaku: Hidup itu 10% dari apa yang terjadi, sisanya 90% adalah dari sikap dan reaksi kita sendiri.
Cheers!
Last edited by luntzpandis; 29th July 2020 at 07:18..
Kiwi kuiris jadi dua bagian. Dan stroberi, tak perlu diiris. Biarkan saja utuh. Besar, manis, merah cerah warnanya. Aku suka! Bagian dari stroberi yang kusuka, itu karena permukaan kulitnya yang terdapat biji-biji kecil. Dan jika dipreteli bijinya, maka stroberi telanjang itu bopeng-bopeng -- berlekuk bolong. Itulah bagian menariknya. Stroberi itu sudah cantik dengan bentuk hatinya, serta warna merah meriahnya. Tetapi, karena ada bintil-bintil di tubuhnya itu, membuatnya lebih menarik di mataku; kecantikan tiada yang sempurna. Itulah stroberiku. Pagi ini, kujadikan ia dan si temannya -- buah kiwi sebagai sajian utama roti lapis.
Rotinya, roti utuh seperti kubus. Kuiris tak tebal, juga tak tipis. Pas. Cukup untuk menahan krim dan buah-buahan. Lalu, ditekan-tekan sedikit, dan dirapikan dengan plastik wrap. Dan potong menjadi dua; melintang segitiga atau segi empat, apa pun bolehlah. Sesuai selera. Minumnya, susu kedelai! Ah, enaknya.
Rotinya lembut, mungkin terasa enak banget karena krim dan buah stroberi serta kiwinya. Jika rotinya dimakan seorang diri, sepertinya rasanya akan biasa saja.
Di potongan terakhir, krim itu menempel di ujung jari telunjukku. Dan kujilat, lalu secuil roti lagi kumasukkan tanpa krim dan buah-buahan.
Susunya habis. Dan saat mencuci gelas bekas susu, di wastafel aku mendengar bunyi gemuruh kecil air masuk pada salurannya. Bunyi yang sama persis kudengar ketika dulu. Saat aku sekolah dasar di tingkat lima, pada masa-masa kesedihan karena bermain sendiri, makan, tidur, dan apa pun sendiri. Sebagai anak tunggal, dan seorang ibu yang pekerja keras tak punya waktu untuk anaknya, maka aku bermain ke mana saja dan dengan kawan khayalan siapa saja.
Masa itu....
Kami pindah rumah. Masih satu kabupaten, hanya berbeda kecamatan. Rumah baru kami, lebih kecil dan berimpit-impitan. Jika seseorang mendesah pun, rasanya akan terdengar nyaring. Itulah keadaan kami kala itu. Menyesuaikan hidup dengan keadaan finansial dan segala macam tetek bengeknya yang seadanya.
Rumahnya tak terlalu buruk, mengingat tangan ajaib Mama selalu mampu mengubah rumah keong sekalipun menjadi istana kurcaci. Bersih dan menawan!
Lupa. Aku tak pernah ingat percakapan terakhirku dengan Mama. Kami satu atap, namun tak pernah terikat secara kasih. Kita lewati saja bagian ini.
Setiap sore, sekitar pukul tiga menjelang waktu Ashar. Aku selalu main di pinggiran parit -- bisa disebut juga comberan. Suara aliran kotornya, mengalir bergemuruh kecil. Kadang suara riak air itu, menyebabkanku membuang sandalku sendiri. Aku membayangkan, sandalku adalah perahu di tengah samudera luas; ombaknya yang ganas, deru gemuruh nyaring dari palung terdalamnya, dan kebengisan air asinnya, membuatku melamun lama jika memang seandainya, ranting kering yang ada di atas sandalku itu adalah aku sendiri -- di lautan lepas terombang-ambing. Pasti seru!
Asal jangan ada harimaunya. Karena aku bukan pemeran utama Life of Pi.
Di sepanjang parit dekat rumah, ada sebuah rumah yang terpisah jaraknya tiga rumah. Rumah itu dialihfungsikan menjadi pembuatan roti rumahan. Roti yang mereka produksi bermacam-macam rasa. Andalannya, roti isi mentega. Entah kenapa, mentega di isian roti itu manis sekali! Sedangkan mentega yang sering kubeli di masa kini, asin dan agak getir di lidah. Mungkin, pikirku saat ini, mentega itu bercampur gula. Karena jika mentega saja isiannya, orang-orang di kampung tak akan suka. Lebih baik menjilat terasi ibaratnya, ketimbang harus menjilat mentega asin dan licin.
Setiap sore, harum adonan roti matang dari panggangnya, tercium jelas. Aku selalu lapar jika sudah membaui udara sore hari yang tercemari wangi ragi beserta bahan lainnya.
Mama selalu datang setelah Magrib. Dan makanan kosong melompong di periuk nasi pun.
Tapi ini yang kuingat.
Seorang pemilik, pria paruh baya ketika itu. Mungkin sekarang, beliau sudah tua. Dan namanya saja, aku tak pernah tahu.
Ia pernah satu atau dua kali memberiku roti gagalnya. Roti yang bagian bawahnya terlalu gosong atau bantet. Roti gagal itu, biasanya ia berikan kepada anak-anak atau tetangga sekitar. Biarpun dikatakan gagal adonannya, sesungguhnya sangat layak untuk dimakan. Tetap empuk, manis, lumer, dan tentunya masih panas! Itu mungkin yang membuat nikmat. Keluar dari oven, langsung masuk mulut.
Waktu berlalu....
Aku tak pernah mau makan roti isi mentega manis ataupun tak manis.
Sehari setelah aku makan roti pemberian orang lain -- tetangga itu, aku pergi dari rumah itu. Mama tak pernah pulang untuk bertahun-tahun. Dan kembali lagi kemudiannya membawaku ke rumah baru lagi.
Lebih bagus, kan? Begitu katanya.
Makanan malam pertama kami di rumah baru yang katanya lebih bagus, adalah roti. Bukan isi mentega manis, melainkan roti tawar dengan selai stroberi.
Beliau tidak mau masak. Terlalu letih. Dan aku sudah besar. Sudah Sekolah Menengah Atas. Aku tak mau makan roti, engganku. Aku harus makan lebih bergizi.
Tick... tock... tick... tock....
Time ticking so fast!
Nanti siang....
Sepertinya aku ingin membeli roti isi mentega. Yang manis kalau ada, dan bundar bentuknya tentunya.
Akan kumakan dengan santai, menatap ke depan -- masa depan di sana dengan jauh lebih baik. Lelah mungkin, tapi aku tak boleh menyerah mengunyah roti isi mentega itu!
Apa yang kau takuti, sebisa mungkin cara terbaik menghadapinya adalah melawannya -- melaluinya.
Dan akan aku lalui setahap demi setahap. Sampai akhirnya menyatu sempurna: aku dulu dan kini serta nanti, tetaplah aku. Tetap dari adonan yang sama, namun akan menghasilkan roti dengan rasa berbeda, dan kelembutan teksturnya yang pula tak sama di indera perasa. Aku akan jauh lebih baik dari metode lama....
Cheers!
Last edited by luntzpandis; 29th July 2020 at 07:22..
Apa yang kaulakukan? Tanya seseorang. Dan dengan tersenyum penuh kerinduan akan masa lampau, berlarian bersama kawan seumuran, di surau, di Malam Takbiran.
Yah, ini Malam Lebaran Haji. Aku senang masih diberikan hidup. Sampai detik ini, udara yang kuhirup, membuatku makin mensyukuri dan belajar arti dari hidup cukup namun tetap berusaha untuk bisa lebih dari cukup.
Tak ada takbir berkumandang, tak ada bapak-bapak sibuk menjadi panitia di hari esok untuk hewan qurban, pun tak ada ibu-ibu yang repot mengurus keperluan dapur bilamana esok mendapat daging bagian dari orang yang berqurban.
Semuanya -- di sini, berjalan biasa saja. Seperti hari ini dan hari-hari kemarin. Hanya aku sendiri dan mungkin beberapa orang yang berkeyakinan sama denganku yang merayakannya dalam hati dan berkumandang takbir sendirian pula.
Ingin kuceritakan asal mula sejarah qurban ini kepada orang terdekatku, namun aku urungkan saja. Jika ia bertanya, maka akan kujawab. Jika tidak, kuheningkan diri saja dan mencungkil sedikit demi sedikit memoar di masa lalu itu.
Surauku tempat mengaji....
Pak Ustaz, guru mengajiku yang tampan. Aku tak mengada-ada, karena memang beliau sangat tampan. Dengan hidung bangir dan mata tajam seperti elang, rambutnya lurus terbelah tengah, zaman dulu itu, rambut jenis Andy Lau begitu populer. Dan kadang ada helaian uban mencuat di antara rambut hitamnya, justru membuatnya tampak dewasa.
Pak Ustaz itulah yang pertama kali mengajariku baca-tulis Arab gundul. Juga membaca Kitab Kuning dan Berzanji. Latihan berbulan-bulan, membuahkan hasil. Aku bisa menjadi bagian dari anak didik pesantrennya yang jikalau dipanggil untuk acara 40 hari orang lahiran, maka aku turut serta. Dari sanalah aku mendapat bayaran -- aku dan anak-anak santri lain, serta Pak Ustaz sendiri pun, mendapat upah dari membawakan acara tersebut.
Aku bahagia. Selalu ada kebahagiaan di sela pilu derita hidup. Itulah yang kupelajari selama dua puluh sembilan tahun ini. Jangan dipikir, sejak dulu aku sudah bisa membawa berkat di setiap desah napasku. Tidak segampang itu; sebelum pada fase pasrah dan mengambil hikmah dari setiap keadaan, aku adalah orang yang gusar dan terlampau pesimis -- mungkin sekarang pun masih. Hanya saja, kadarnya tak sebanyak dulu.
Hari di mana, ketika menjelang Lebaran Haji, aku dan teman santri lain sibuk menjadi panitia bagi penyetor yang ingin berqurban. Pak Ustaz, seorang pekerja keras dan terlalu humoris kadang -- kami, para santrinya, selalu dibuatnya tertawa di tengah kesibukan apa pun. Benar apa kata orang bijak: tertawa itu obat paling mujarab!
Ya! Sangat mujarab. Dan itu kuaplikasikan di hidupku sekarang. Jika aku mengalami hari buruk, lihatlah sesuatu yang lucu, yang minimal bisa membuat bibir tersenyum. Tidak akan lantas menghapus hari burukmu, akan tetapi cukuplah itu memberi secuil energi positif.
Hal yang biasa orang berada -- orang-orang kaya lakukan saat menyumbang banyak hewan berkaki empat untuk dijadikan qurban, adalah mereka tak pernah mau menyebutkan nama sebenarnya. Selalu saja selepas Salat Idul Adha, dari pengeras suara, akan ada nama-nama "Hamba Allah berqurban sapi sekian ekor." atau "Hamba Allah berqurban kambing belasan ekor." Dan dalam hati kuberujar, kelak... mungkin di kesempatan di mana jika aku masih patuh akan hukum Tuhan dan meyakini sesuatu bernama qurban, maka aku ingin berqurban sapi satu ekor saja. Dan tentunya, atas nama Hamba Allah.
Waktunya makan malam....
Aku menggoreng ikan tuna. Agak gosong sebagian, dan biarkan itu kumakan. Bagian yang bagus, untuknya saja. Aku terlalu asyik masyuk pada kisah-kisah lalu.
Tolong ambilkan olive oil. Suara permintaannya seperti gelombang echo dan mendadak mengecil bagai di ujung bercelah batu lembap.
Ia membuat salad. Dan kuberikan pula apa yang dimintanya. Warna kuning agak kehijauan dan kental dari minyak zaitun itu, membangunkan ingatan lampau suara gelak tawaku di usia yang begitu ranum.
Minyak.
Minyak.
Minyak.
Agar lembap. Anggap saja ini body lotion. Lalu dibalurnya betis kiri-kanan Pak Ustaz olehnya sendiri dengan minyak sayur untuk menggoreng daging.
Kami semua; para santri tertawa dan seorang yang memegang susuk penggorengan berkata disertai tawa terbahaknya, "Siap digoreng!"
Pak Ustaz nyengir dan katanya, "Seriusan! Kulitnya jadi sehalus artis!"
Dan semua tertawa....
Kami makan lahap dengan daging qurban bersama-sama. Kemudian kembali merafalkan banyak kitab setelahnya.
Makanlah yang banyak, cintaku....
Hidup sesungguhnya selalu menunggu kita tanpa pemberitahuan lebih dulu; akan menyenangkan atau menyedihkan, adalah tugas kita menyeimbangkannya.
Sepertinya, aku pun ingin mengoleskan minyak zaitun itu di tumitku yang kena kutu air!
Menatap matanya, itulah keindahan.
Memandangi juntaian rambutnya yang jatuh ke kening, itulah keelokan.
Memicingkan mata menikmati cantik daun telinganya, lubang sendu di baliknya, bibir tipis atasnya, rambut-rambut halus berpori di pergelangan tangannya; gerak tangan -- siku, kibasan telapak tangan, lutut tertekuk, bergerak -- tungkai pragmatisnya, tumit kepercayaan dirinya, dan... dan... dan setiap pergerakan nyawa di dalam raganya, itulah kesyukuran yang suci tak terelakkan lagi.
Mengamati setiap jengkal langkahnya, itulah keinginan untuk hidup.
Meneliti gelombang suara tawanya, nada bicara, bahkan rintihan sakit dan tangisnya, itulah kekuatan.
Dialah kekuatanku....
Di mana ada kekuatan, di situ ada keinginan untuk hidup. Di mana ada keinginan untuk hidup, disitulah ada kemauan untuk berjuang. Di mana ada kemauan untuk berjuang, di sanalah ada hasrat untuk berusaha. Di mana ada hasrat untuk berusaha, pastilah ada harapan.
Di mana ada harapan,
kemungkinan besarnya, ada celah untuk menggapai kebahagiaan.
Dia kebahagiaanku....
Setetes madu rasanya manis, namun alangkah manisnya perasan mengkudu jikalau diteguk bersamanya.
Secuil ikan sardin gurih di lidah, akan kalah nikmat rasanya dibandingkan kulit sandal apabila dimakan dalam pelukannya.
Segigit apel, sungguh empuk dan manis! Tetapi, jauh lebih renyah dan giung bilamana kulit manggis kumakan saat mencium bibirnya.
Sutra lembut membuat nyaman kulitku, ah itu biasa. Ada yang lebih halus dan begitu nyaman dikenakan; karung goni yang tersulam oleh tangan tulusnya.
Jepit rambut mutiaraku, berkilau dan elok membuat mahkotaku bangga. Masa iya, mahkotaku tak merasa bangga jika mengenakan akar dari pohon nestapa yang ribuan tahun tumbuh? Daripadanya aku dibuatkan ikat rambut bernama tali cinta -- cintaku sendiri yang membuatnya.
Begitu banyaknya kekuatan yang kaupunyai, lalu kau merasa kalah begitu saja? Jauh di dasar relung hati musuh, mereka mengibarkan bendera putih; menyerah! Dan kau masih berkutat pada kelemahan diri? Tidaklah begitu cara untuk hidup. Menurut paham hidupku, tidaklah begitu.
Kekuatanmu begitu banyak, ibarat kucing yang memiliki sembilan nyawa, maka kau memiliki ribuan tameng -- kekuatan yang bisa mengahalau panah bernama ujian hidup.
Kau kekuatanku, katakan padaku apa kekuatanmu?
Jangan bilang, nasi dan lauknya. Karena terus terang saja, tanpa itu pun aku tak akan bisa hidup.
Kau memang kekuatanku, dan cacing dalam perutku, mengaku lain. Katanya, berhenti bermabuk-mabukkan asmara, ia lapar dan mau semangkuk nasi dan daging sapi berlemak setengah matang!
Baiklah, baiklah....
Ayo, kita makan! Habis itu, kita makin perkuat kekuatan kita sampai manusia lainnya muak melihat kelakuan mesum kita hahahaha~
Cheers!
Last edited by luntzpandis; 3rd August 2020 at 20:56..
Jauh di dasar palung hati, sesungguhnya aku tak pernah tahu siapa itu pria? Seperti apa ia atau mereka? Bagaimana menghadapi ia? Apa ada cara membuatnya tunduk atau takluk? Berbahayakan ia? Selain untuk ditiduri, ia itu untuk apa?
Ia ialah pria. Laki-laki. Jantan. Cowok.
Begitu banyak sebutan untuk ia yang dinamakan pria. Hanya empat huruf: p - r- i- a -- pri-a -- pria -- PRIA! Hanya empat huruf, akan tetapi mengurai banyak makna menjadikannya hidup sebagai sel dari inti kehidupan, pria tak bisa hidup sendirian, harus ada sesuatu yang membuatnya bertahan sampai ribuan turunan. Dan itu, aku atau kita? Akulah yang dibutuhkan ia; kitalah yang dibutuhkan mereka; wanitalah yang dibutuhkan pria.
Sejauh antara bimasakti dan blackhole, aku ingin tahu lebih tinggi, jika kata jauh terlalu biasa, karena jauh itu datar -- di bawah, sedangkan tinggi itu di atas -- menjulang! Aku ingin tahu lebih tinggi tentang seseorang yang dinamakan pria.
Beri saja aku satu bongkah daging bersaraf, tulang-belulang tersusun rapi dengan motorik sepanas pukul sepuluh pagi, atau labirin otak dalam tengkorak yang masih berkedut, dan juga semua jeroan sistem kehidupan: jantung serta kawan-kawannya, tolong beri satu itu semua dalam bentuk satu rumah bernama tubuh seorang pria.
Aku berkutat bak seorang pertapa lesu kurang makan, lalu menggerutu seorang diri. Seberapa pun usahaku mencari yang terbaik dari seorang ia, dari seorang pria, aku muak pada diri sendiri. Setidak mampu itukah aku, huh? Sedungu itukah mengobrak-abrik ia, lalu masih belum memahami arti dari seorang ia. Belum tahu juga siapa itu pria?
Sebelum fajar menyingsing....
Selalu ada energi kelabu namun menyimpan endorfin berlipatganda. Yang merasakan aku saja, mungkin kalian tidak. Gelenyar euforia semacam ini, kunamakan seni kegilaan. Tidak mengerti, ya? Tak usah dimengerti, karena hanya sesama penggila pria yang akan mengerti hal macam begini. Kalian waras, makanya mengerti pria, yang gila biasanya masih sibuk mencari siapa itu pria. Bosan, ya? Selalu berputar di pertanyaan siapa itu pria? Apa itu pria? Seperti apakah pria? Bah! Aku pun bosan, serius!
Jadi....
Saat tap-tap-tap tanganku menari di atas tuts dan menuliskan ini di sini, aku sedang dirundung kemalangan bernama jatuh cinta. Aku merasa malang saat jatuh cinta -- sengsara! Pasalnya, aku selalu bisa membaui sesuatu yang tak kasat mata dari sosok ia. Dari jenis pria. Kadang, aku membenci membabi buta setelah memutuskan sedetik jatuh cinta, dan tak jarang, kadang pula aku merasa ingin mengecil menjadi partikel mungil bak virus yang kemudian menyusup melalui rongga entah apa saja yang berlubang di tubuhnya. Aku ingin terus bersamanya karena terlalu cinta! Dan semua reaksi hasil dari kemalangan cinta itu, tergantung si ia -- tergantung pria.
Kepalaku sakit sekali.
Sebelah kepalaku sakit, yang kiri. Kadang sampai meneteskan airmata. Terlalu berat jika aku kambuh ingin mencari tahu terus menerus sampai rasanya batok kepalaku menipis karena terkikis rasa lapar keingintahuan di pikiranku! Otakku merintih, hentikan! Begitu katanya.
Kadangkala, kalau sedang iseng, aku menertawakannya saja. Si otak malah sinis dan membeku lalu katanya, "Sana pergi ke si hati saja!"
Jika sudah ngambek begitu, aku bisa apa? Aku tak bisa hidup hanya mengandalkan hati saja; karena hatiku terliputi nafsu, dan itu tak bagus! Aku kemudian merengek dan meminta maaf, lalu si otak malah marah-marah dan menangis pada akhirnya.
"Cukupkan pemikiran itu... tolong cukupkan...." Kalau suaranya sudah parau menderita macam begitu, si otak yang begitu serius ketakutan dari bayang keganasanku, buah fantasiku, ya sudah... aku menurut. Aku berhenti saja sampai di sini menyinggung soal pria.
Yah... sudahlah. Kenapa aku mengetik di sini, ya? Kurasa, tadi aku tengah memasak hati ayam untuk sarapanku nanti. Aku ingin makan hati tanpa apa-apa -- tanpa nasi. Agak pahit memang, tapi lembut dan pekat teksturnya. Karena begitulah hati, lembut dan kerap pekat terhadap sesuatu yang namanya mencintai.
Tak ada cheers hari ini, maaf!
Spoiler
Pelukan saja, oke?
Last edited by luntzpandis; 6th August 2020 at 05:21..