DetikForum

DetikForum (http://forum.detik.com/index.php)
-   Sejarah (http://forum.detik.com/forumdisplay.php?f=191)
-   -   Sejarah Perang Paderi 1821-1837 (http://forum.detik.com/showthread.php?t=80921)

makarabiru 18th January 2009 13:41

Mohon info apakah ada tulisan /referensi yang bisa saya baca mengenai riwayat Indlandsche Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero. Tks

b4hagia 18th January 2009 14:43

Quote:

Originally Posted by aguzaa (Post 6118869)
Di sini kita membahas sejarah perang Paderi dari berbagai versi sejarah...
Sopan santun dalam berforumnya dijaga ya.. biar ngga di gembok..
Sebelumberdiskusi ada baiknya membaca beberapa buku ini agar bisa melihat dari bermacam perspektif...
1. Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847.
2. HAMKA, Antara Fakta Dan Khayal. “TUANKU RAO.”
3. Mangaraja Onggang Parlindungan, ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’4. Basyral Hamidy Harahap, ‘Greget Tuanku Rao.’
5. Dsb.
Makin banyak buku referensi makin bagus. Mari giatkan membaca :singer:

(dari wiki) Secara garis besar Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda.
Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.
Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol.
Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.
Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838. Alam Minangkabau menjadi bagian dari pax neerlandica. Tetapi pada tahun 1842, pemberontakan Regent Batipuh meletus.

Akhir perang Paderi
Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah Letnan Kolonel Bauer, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang pertahanan Paderi.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Belanda menggunakan 2 benteng sebagai pertahanan selama perang Padri,Fort de Kock dan Fort van der Capellen di Batusangkar.
Kepala Perang Bonjol ialah Baginda Telabie. Kepala-kepala lain adalah Tuanku Mudi Padang, Tuanku Danau, Tuanku Kali Besar, Haji Mahamed, dan Tuanku Haji Berdada yang tiap hari dijaga oleh 100 orang. Yang memberi perintah ialah Tuanku Imam Bonjol dengan pertahanan enam meriam di daerah gunung. Halaman-halaman dikitari oleh pagar pertahanan dan parit-parit.

Perang 1833

Pada tahun 1832, benteng Bonjol jatuh ke tangan serdadu Kompeni. Hal ini memicu kembali peperangan. Pos Goegoer Sigandang yang dijaga oleh seorang sersan Belanda dan 18 serdadu dipersenjatai dengan sebuah meriam pada tahun 1833 diserbu oleh orang-orang Minang. Mereka membunuh sersan dan seluruh isi benteng. Kolonel Elout membalas dendam dengan cara memanggil beberapa pemimpin dari daerah Agam untuk menghadapnya di Goegoer Sigandang dan 13 orang menghadap. Atas perintah Kolonel, ke-13 orang itu digantung semua. Setelah kejadian ini Sultan Bagagarsyah Alam dari Pagaruyung dibuang ke Batavia.
Selain penduduk Bonjol, terdapat pula di benteng 20 orang serdadu Jawa yang telah menyeberang ke pihak Paderi. Di antara serdadu-serdadu yang telah meninggalkan tentara Belanda itu terdapat seorang yang bernama Ali Rachman yang berupaya keras untuk merugikan Kompeni. Juga ada seorang pemukul tambur bernama Saleya dan seorang awak meriam (kanonnier) bernama Mantoto. Ada juga Bagindo Alam, Doebelang Alam, dan Doebelang Arab. Doebelang Arab secara khusus berkonsentrasi untuk mencuri dalam benteng-benteng Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda kini telah menyadari bahwa mereka tidak lagi hanya menghadapi kaum paderi, tetapi masyarakat Minangkabau. Maka pemerintah pun mengeluarkan pengumuman yang disebut Plakat Panjang (1833) berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Kompeni ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri ini, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu adat mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak.
Karena usaha Kompeni untuk menjaga keamanan, mencegah terjadinya "perang antar-nagari", membuat jalan-jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi. Akhirnya benteng Bonjol jatuh juga untuk kedua kalinya pada tahun 1837.

Perundingan

Residen Belanda mengirim utusan-utusannya untuk berunding dengan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku menyatakan bersedia melakukan perundingan dengan Residen atau dengan komandan militer. Perundingan itu tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku datang ke tempat berunding tanpa membawa senjata. Tapi perundingan tidak terlaksana. Tuanku Imam Bonjol yang datang menemui panglima Belanda untuk berunding, malah ditangkap dan langsung dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan ke berbagai daerah hingga meninggal dunia tahun 1864.
Kolonel Elout mempunyai dokumen-dokumen resmi yang membuktikan kesalahan Sentot Ali Basya dengan kehadirannya di Sumatera. Sentot, setelah usai Perang Jawa, masuk dinas Pemerintah Belanda. Kehadirannya di Jawa bisa menimbulkan masalah. Ketika Kolonel Elout melakukan serangan terhadap Paderi tahun 1831-1832, dia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot yang telah membelot itu.
Setelah pemberontakan tahun 1833, timbul kecurigaan serius bahwa Sentot melakukan persekongkolan dengan kaum Paderi. Karena itu, Elout mengirim Sentot dan legiunnya ke Jawa. Sentot tidak berhasil menghilangkan kecurigaan terhadap dirinya. Belanda tidak ingin dia berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Padang. Pada perjalanan ke sana Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu di mana dia tinggal sampai mati sebagai orang buangan. Pasukannya dibubarkan dan anggota-anggotanya berdinas dalam tentara Hindia.


gw uda baca itu emg bnyk sekali korban di tanah batak, wahabi emg keras demi agama kekerasan diperbolehkan....

azka 28th January 2009 21:43

mo nanya
berdasarkan adat matrilineal di sumbar
apa bisa mengklaim
keturunan garis silsilah pihak ayah

aguzaa 30th January 2009 23:32

Quote:

Originally Posted by azka (Post 6338994)
mo nanya
berdasarkan adat matrilineal di sumbar
apa bisa mengklaim
keturunan garis silsilah pihak ayah

Untuk suku(marga) para raja. Suku piliang memakai sistem patrilineal memiliki hukum adat yang berbeda yaitu lareh Koto Piliang yang Patrilineal dan feodal. Berbeda misal dengan hukum adat Lareh Bodi Caniago yang matrilineal dengan musyawarah mufakat.

Klaim keturunan garis silsilah pihak ayah bisa dilakukan kecuali untuk harta pusako ( selain suku piliang).

sirisha 31st January 2009 07:28

Quote:

Originally Posted by b4hagia (Post 6188048)
gw uda baca itu emg bnyk sekali korban di tanah batak, wahabi emg keras demi agama kekerasan diperbolehkan....


kayaknya bukan wahabi aja... agama lain juga begitu... dah ahhh, jangan bahas itu...
tahun 1800an, indonesia belum ada... jadi apa yang terjadi (terhadap suku batak), biar itu menjadi sejarah... gak usah diungkit2 lagi, karena skrg semuanya satu... NKRI...

need_info 20th February 2009 00:07

ehem..
maap nh.. mw tanya dunk,, ada yg tw gau tdk aspek sosial dan budaya dalam perang padri tuh gmn??
aq di kasih tgs cari datanya.. tapi aq ga ngerti.. :confused:
mohon pertolongannya dunk

bojoloro 20th February 2009 10:20

Quote:

Originally Posted by b4hagia (Post 6188048)
gw uda baca itu emg bnyk sekali korban di tanah batak, wahabi emg keras demi agama kekerasan diperbolehkan....


1. pengetahuan saya ttg perang Pidari mainly datang dari Tuanku Raonya Mangaraja Onggang Parlindoengan.
2. Soal kekerasan seingat saya dilarang keras! Dalam Al Quran ada diktum/ayat yg jelas dan kuat bahwa dalam Islam dilarang ada pemaksaan!
Tp sekarang banyak sekali beredar tafsir yg datang dari luar ( Afghanistan?) yg menafsirkan Al quran dr satu sisi saja ( Rurat At-Taubah ) sehingga kekerasan jadi menonjol! Padahal tidak ada dlm contoh/hadis nabi atopun pd jaman sesudah nabi/ sahabat. Semua penafsirannya didasarkan Surat at Taubah yg dipotong2 sedemikan rupa lalu dikaitkan dengan riwayat yg terjadi pada jaman Nabi ( dus bukan hadis tapi hanya riwayat yg mungkin Nabi sendiri tahu menahu). Dan yg mengerikan ialah adanya 'benang merah' yg menghubungkan tafsir Afghan ini dengan ucapan2 Amrozi cs. Padahal menurut catatan Polisi ada sekitar 200 org 'alumni' Afghanistan!

aguzaa 20th February 2009 19:29

Pada hari Selasa, 22 Januari 2008, bertempat di Gedung Arsip Nasional
RI
telah diselenggarakan Diskusi Panel mengenai PERANG PADERI, 1803-1838,
ASPEK
SOSIAL BUDAYA, SOSIAL PSIKOLOGI, AGAMA, DAN MANAJEMEN KONFLIK.
Diskusi ini dapat dikatakan suatu peristiwa yang bersejarah, karena
untuk
pertama kalinya konflik kekerasan yang terjadi di masa lalu yang
melibatkan
tiga etnis/ suku, yaitu Minangkabau, Batak dan Melayu Riau, dibahas
bersama
dalam suasana keakraban dan persaudaraan dengan semangat menjaga
keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mungkin ini dapat menjadi "model penyelesaian" konflik yang terjadi
antar
etnis/suku lain di Indonesia.
Pembukaan oleh Kepala Arsip Nasional, Djoko Utomo
Pembicara:
1) Prof Dr Taufik Abdullah, tentang dinamika konflik dan konsensus
antara
Adat dan Islam di Minangkabau.
2) Prof Dr Franz Magnis Suseno, tentang pengalaman Perang 30 Tahun
antara
penganut Protestan dan Katolik di Eropa Barat, 1618-1648, serta
penyelesaiannya dalam Perjanjian Westphalia.
3) Prof Dr `Azyumardi Azra, M.A tentang aneka makna "Adat Basandi
Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah".
4) Dari MUI, tentang Mazhab Hanbali dan Kaum Wahabi.
Paparan makalah dari masyarakat Minangkabau, baik dari Ranah di
Sumatera
Barat,maupun yang di Rantau, masyarakat Mandailing/Batak di Provinsi
Sumatera Utara, dan masyarakat Melayu Riau di Provinsi Riau.
Makalah dari masyarakat Provinsi Sumatera Barat, disampaikan oleh:
1) Prof Dr. Asmaniar Idris,M.A.
2) Bachtiar Abna, SH, MH, Dt Rajo Penghulu.
3) Drs. H.Sjafnir Aboe Nain.
Makalah dari masyarakat Mandailing/Batak disampaikan oleh:
1) Prof. H. Bismar Siregar, SH.
2) Batara R. Hutagalung.
Makalah yang mewakili Provinsi Riau, disampaikan oleh Prof. Dr.
Suwardi M.S.
Acara ditutup oleh Mayjen TNI (Purn.) Asril Tanjung, Ketua Gebu
Minang
Di bawah ini adalah Kesimpulan sementara dari diskusi panel tersebut.
Arsip Nasional RI akan membukukan semua makalah.
Ringkasan buku Mangaraja Onggang Parlindungan: 'Tuanku Rao. Teror
Agama
Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 - 1833' dan makalah yang
disampaikan oleh Batara R. Hutagalung dalam diskusi panel tersebut,

================================================
TIM PERUMUS
DISKUSI PANEL PERANG PADERI, 1803-1838
ASPEK SOSIAL BUDAYA, SOSIAL PSIKOLOGI, AGAMA,
DAN MANAJEMEN KONFLIK
JAKARTA, 22 JANUARI 2008.
KESIMPULAN SEMENTARA
(Draft awal Kesimpulan Sementara ini disusun oleh Dr. Saafroedin
Bahar, dan
disunting pertama kali oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah. Naskah yang
sudah
disunting ini dibahas lebih lanjut oleh Tim Perumus yang nama-nama
dan
tandatangannya tercantum di bagian akhir naskah ini. Kesimpulan ini
kemudian
dibacakan di depan Sidang Paripurna oleh Bp. H.Azaly Djohan S.H dari
Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, didamping oleh Batara R.
Hutagalung dan Dr. Saafroedin Bahar.)
Suatu benang merah yang terlihat dengan jelas dalam demikian banyak
cerita
rakyat Indonesia di berbagai daerah adalah dambaan akan adanya suatu
masyarakat yang damai, makmur, dan sejahtera dan dipimpin oleh
pemimpin
visioner yang memerintah dengan adil dan bijaksana.
Gerakan Paderi berlangsung selama 35 tahun, 1803-1838, di daerah-
daerah yang
sekarang merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Barat, Provinsi
Sumatera
Utara, dan Provinsi Riau. Pada dasarnya Gerakan Paderi ini dapat
dipandang
sebagai bagian dari proses panjang penyesuaian antara adat dan budaya
Minangkabau yang bersifat lokal dengan ajaran agama Islam yang
bersifat
universal.
Gerakan Paderi ini mencakup tiga babak, yaitu babak Gerakan Paderi
1803-1821
sebagai gerakan intelektual pemurnian agama Islam dari berbagai
kebiasaan
masyarakat yang dilarang agama; Perang Paderi 1821-1833 merupakan
taraf awal
dari peperangan melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda; dan
Perang
Minangkabau, 1833-1838 sewaktu seluruh masyarakat Minangkabau bersatu
untuk
melakukan perlawanan bersenjata melawan pemerintah kolonial Hindia
Belanda.
Dalam babak ketiga melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini
sangat
terkenal peranan Tuanku Imam Bonjol di daerah Minangkabau dan Tuanku
Tambusai di daerah Riau, sehingga dalam rangka pembangunan semangat
kebangsaan pasca kemerdekaan, kedua beliau tersebut dianugerahi oleh
Pemerintah dengan gelar "Pahlawan Nasional" dan sudah barang tentu
merupakan
kebanggaan dari penduduk di daerah asalnya masing-masing, dan tidak
perlu
dipermasalahkan karena sudah berkekuatan hukum.
Diskusi panel ini adalah upaya pertama kalinya untuk menjernihkan
masalah
kekerasan yang terjadi dalam sejarah masa lampau yang meliputi
masyarakat
beberapa daerah. Walaupun pada mulanya ada kekhawatiran akan
terjadinya
reaksi yang bersifat emosional terhadap beberapa hal yang dirasakan
cukup
peka, namun dari beberapa kali pertemuan pendahuluan yang dilaksanakan
di
beberapa daerah terbukti bahwa bukan saja masyarakat daerah sudah
dapat
bersikap dewasa, tetapi juga telah memberikan penafsiran yang lebih
rasional
- bahkan bantahan -- terhadap pernyataan-pernyataan yang terdapat
dalam
beberapa buku dan artikel mengenai Perang Paderi ini.
Kajian yang dilakukan oleh beberapa pemakalah menunjukkan bahwa pada
awalnya
Gerakan Paderi bukanlah merupakan suatu gerakan bersenjata, tetapi
merupakan
cerminan dari revolusi intelektual yang keras untuk memurnikan
pengamalan
ajaran agama dalam masyarakat yang sudah menganut agama Islam selama
lebih
dari dua abad. Kekerasan yang terjadi kemudian adalah merupakan ekses
dari
fanatisme, yang baru disadari setelah amat terlambat. Dalam hubungan
ini
adalah juga amat menarik untuk diketahui, bahwa sambil melanjutkan
perjuangan bersenjata melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda,
Tuanku
Imam Bonjol dalam buku hariannya ternyata bukan saja mengadakan
renungan
ulang terhadap terjadinya kekerasan sesama penganut agama Islam,
tetapi juga
menyesalinya. Lebih dari itu beliau menyatakan bahwa perampasan,
pembakaran,
dan pembunuhan yang terjadi merupakan suatu hal yang tak diingini dan
dilarang agama Islam terhadap sesama muslim.
(Lihat makalah Drs. H. Sjafnir Aboe Nain Dt Kando Marajo, " Posisi
Sumpah Sakti Bukit Marapalam sebagai Kesepakatan Paska
Padri", makalah pada Diskusi Panel Perang Paderi, 22 Januari 2008, h.
7.)
Adapun mengenai kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Bukit Marapalam
atau
Sumpah Satie Bukik Marapalam, yang berisikan ajaran 'Adat Basandi
Syarak
Syarak Basandi Kitabullah' - yang biasa disingkat sebagai ABS SBK dan
biasanya dianggap disepakati pada tahun-tahun terakhir Perang Paderi
sekitar
tahun 1837 - walaupun ada informasi bahwa ajaran tersebut] sudah ada
sejak
tahun 1686, atau 151 tahun sebelumnya. Di Bukit Marapalam ini juga
berlangsung beberapa kali pertemuan dengan tema serupa. (Dengan
demikian,
kelihatannya posisi Bukit Marapalam pada saat itu bagaikan posisi
Jenewa di
zaman sekarang, yaitu sebagai lokasi terjadinya beberapa peristiwa
besar.
Drs. H. Sjafnir Aboe Nain Dt Kando Marajo, op.cit. h. 2, h.8. Amat
menarik
untuk diperhatikan bahwa masalah yang menjadi pusat perhatian ABS SBK
ini
adalah masalah harta pusaka dan harta pencaharian, yang ternyata
masih
menjadi masalah sampai saat ini.)
Kajian kesejarahan terhadap Perang Paderi ini bukan hanya bermanfaat
untuk
sekedar mengetahui kebenaran fakta-fakta sejarah masa lampau, tetapi
juga
untuk memantapkan identitas masyarakat dari masyarakat yang terkait.
Bagi masyarakat Batak, kajian kesejarahan terhadap Perang Paderi akan
memberikan pencerahan bukan hanya tentang mengapa masyarakat Batak
bagian
utara beragama Kristen dan masyarakat Batak bagian selatan beragama
Islam,
tetapi juga untuk mengambil hikmah dari sejarah ketika kekerasan
dilakukan
atas nama sesuatu yang tidak bisa diperdebatkan.
Bagi masyarakat Minangkabau, kajian terhadap sejarah Gerakan Paderi
ini
bukan hanya menjelaskan tentang adanya tiga babak Gerakan Paderi
tersebut,
tetapi juga kenyataan bahwa adanya kesadaran pimpinan Paderi bahwa
Islam
adalah agama yang membawa kedamaian dan keadilan. Kajian ini memberi
bahan
bagi kaum terpelajar Sumatera Barat untuk membantu menyelesaikan
draft
pertama Kompilasi Hukum ABS SBK yang sudah dikumandangkan sebagai jati
diri Minangkabau.
Pada masyarakat Melayu pada umumnya, kajian terhadap Perang Paderi ini
lebih
mengukuhkan kebanggaan terhadap Tuanku Tambusai, Panglima Perang
Paderi
terakhir, yang telah melanjutkan Perang Paderi dan tidak dapat
ditundukkan
oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Diskusi panel ini bukanlah akhir dari wacana mengenai Perang Paderi
yang
terjadi lebih dari 200 tahun yang lalu. Diskusi panel ini merupakan
awal
dari rangkaian kajian pendalaman demi membangun masa depan yang
damai,
makmur, dan sejahtera, sebagai bagian menyeluruh dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang kita bangun dan kembangkan bersama.
Kepada seluruh kalangan yang telah memungkinkan terlaksananya Diskusi
Panel
ini, khususnya kepada pimpinan dan jajaran Arsip Nasional, pimpinan
Gebu
Minang, Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, para panelis,
serta para
donatur, atas nama seluruh peserta Diskusi Panel Tim Perumus
mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya.
Semoga Allah subhana wa taala menganugerahkan taufiq, hidayat, dan
inayah-Nya kepada kita semua.
Jakarta, 22 Januari 2008.
TIM PERUMUS,
1. H.M. Azaly Djohan S.H. Sekr.Nasional M.H.A.
2. Batara R.Hutagalung.
3. Prof. Dr.Suwardi M.S.
4. Bachtiar Abna S.H., M.H. LKAAM Sumbar.
5. R.E.Ermansyah Yamin Gebu Minang
6. Drs. H.Sjafnir Aboe Nain Penulis.
7. H.Mas'oed Abidin PPIM
8. Drs. H. Farhan Moein Dt Bagindo.
9. Prof.Dr. Syafrinaldi, S.H. MCL
10. Amrin Imran.
11. Dr. Saafroedin Bahar
Diketik kembali dengan suntingan redaksional seperlunya oleh
Dr.Saafroedin Bahar
Jakarta, 23 Januari 2008.

bojoloro 22nd February 2009 15:23

Gimana ya agar bisa tahu dan ikut ama seminar seperti diatas? ada yg tahu?

jonikadhang 24th February 2009 15:34

Quote:

Originally Posted by makarabiru (Post 6187373)
Mohon info apakah ada tulisan /referensi yang bisa saya baca mengenai riwayat Indlandsche Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero. Tks


Maap ternyata sy keliru dalam buku 'dinegeri penjajah' ; Harry A poeze; terbaca ada beberapa org Indonesia yg ikut tentara Belanda disekitar PD I diantaranya ada yg namanya Noto Suroto, bahkan calon Mangkunegoro VII juga tercatat sbg tentara cadangan di Belanda sono hampir bersamaan dengan si Noto Suroto ini.


All times are GMT +8. The time now is 11:42.


Powered by vBulletin
Copyright © 2000 - 2006, Jelsoft Enterprises Ltd.