View Single Post
Old 27th May 2016, 23:03
#4057  
MrRyanbandung
Mania Member
MrRyanbandung is offline

Join Date: Mar 2012
Posts: 5,580
MrRyanbandung is a new comer

Default RANO KARNO: %u0025u201CSAYA TIDAK MAU JADI VOTEGETTER%u201D

NAMA Rano Karno tidak bisa dilepaskan dari sosok Si Doel. Si Doel adalah Rano, dan Rano tak lain dari Si Doel. Itu lantaran keberhasilan serial Si Doel Anak Sekolahan (RCTI) membuat nama lelaki (waktu itu) 36 tahun ini kian mengkilat. Anak kelahiran Kemayoran yang bangga jadi orang Betawi ini, juga menjadi maskot PIN bersama si "bibir dower" Mandra.

Maka, ketika namanya muncul menjadi salah seorang calon legislatif (caleg) untuk MPR dari Golongan Karya (Golkar), banyak orang yang maklum. Paling tidak, Rano tentunya (waktu itu) akan menjadi aset bagi Golkar, termasuk dalam menarik massa. Apa motivasi Rano terjun aktif di politik? Kenapa dia memilih Golkar? Apa yang dia cita-citakan? Apa pula buah pikirannya tentang budaya Betawi?

Lokasi syuting Si Doel di suatu sore, pertengahan Oktober 1996. Rano Karno, sutradara Si Doel Anak Sekolahan, terlihat serius memperhatikan monitor. Sementara itu, tak jauh dari situ, Pak Tile yang berperan sebagai Engkong, siap beraksi di depan kamera, "Action," perintah Rano. Dengan gaya Betawi yang kental, Pak Tile nyerocos, nyaris tanpa koma dan titik, menceramahi Mandra soal tidak perlunya pacaran sebelum menikah. Adegan pertama belum membuat sang sutradara puas. Ia pun ikut mengatur bloking. Ketika matahari mulai menyurut ke barat, syuting diberhentikan. Semburat kelelahan tampak di wajah Rano Karno, matanya memerah. "Saya masih harus ngetik lagi untuk naskah selanjutnya," katanya pelan.

Waktu 24 jam sehari bagi Rano Karno memang tidak cukup untuk mengakomodasi semua kesibukannya. Syuting Si Doel saja sudah menyita seluruh waktunya. Apalagi belakangan itu, ia juga sibuk mengurusi persiapan ulang tahun Golkar, 20 Oktober 1996. "Manajemen waktu itu, penting bagi saya," katanya. Waktunya di masa depan pun (waktu itu) akan semakin mahal harganya. Maklumlah, di usia 36 tahun (1996) ini, Rano memulai lembaran baru hidupnya menjadi calon legislatif di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namanya, mulai dilemparkan beberapa bulan sebelumnya, berbarengan dengan munculnya nama Rhoma Irama sebagai calon anggota legislatif dari Golkar. Toh, namanya tak sempat seberkibar si Satria Bergitar. Mungkin karena dia "hanya" menjadi caleg MPR, mungkin juga lantaran Rano bukanlah tokoh sekontroversial Rhoma.

Namun yang jelas, banyak juga kalangan yang menaruh harapan kepada Rano. Harian Kompas bahkan sengaja menuliskan Tajuk Rencana khusus tentang Rano. Tajuk Rencana itu berkaitan dengan pernyataan Rano di Pos Kota. "Saya akan mengutamakan kepentingan rakyat banyak," itu salah satu ucapan yang dilontarkan Rano. Pernyataan ini, demikian Tajuk Rencana Kompas, menunjukkan pemahaman dan sikapnya menjadi seorang wakil rakyat, apalagi dengan sikap Rano yang siap meninggalkan pekerjaannya sebagai eksekutif dalam usaha sinetron. "Menjadi wakil rakyat bukan sekadar pekerjaan atau profesi, tapi panggilan," ujarnya.

Di kantornya yang tak seberapa luas dan terbilang sederhana di bilangan Karangtengah - tak jauh dari lokasi syuting Si Doel - Rano menerima FORUM.

FORUM (F): "Apakah sebelumnya anda memang aktif di Golkar?"

Rano Karno (RK): "Terjun langsung dalam pengertian diminta dan memang berminat, baru dua tahun belakangan ini (1994-1996), sewaktu saya masuk Tim Asistensi Seni dan Budaya Golkar bersama Ais Ananta Said dan Bobby Suhardiman. Ais itu sudah lama saya kenal. Kami sama-sama alumni SMA 6."

F: "Bagi Anda sendiri, apa sih maknanya terpilih menjadi salah seorang calon legislatif ini?"

RK: "Jelas ini adalah anugerah, saya enggak pernah bercita-cita menjadi anggota legislatif. Membayangkannya saja tidak pernah. Jangankan jadi anggota legislatif, menjadi sukses seperti ini saja saya enggak pernah memimpikannya. Cita-cita saya sederhana saja, ingin hidup layak.

Saya tahu soal pencalonan ini dari telepon Bobby Suhardiman. Kenapa mereka mengajak saya, mungkin karena kami sama-sama merasakan sebuah kegelisahan yang sama. Kita sekarang (Oktober 1996) sedang mengalami 'culture shock' yang sangat besar. Di pertelevisian, misalnya masukan kultur baru ini lebih luar biasa. Kalau kita tidak segera mengantisipasi, pupuslah budaya Indonesia.

Dari sudut ini, saya ingin membantu, karena cuma itu yang saya bidangi. Barangkali, dengan aktif di Tim Asistensi itu, dan juga jika kelak jadi anggota MPR, saya bisa memberikan kontribusi, sekecil apapun kontribusi itu.

Globalisasi itu tidak bisa dibendung. tapi, kita harus bisa mengantisipasinya. Salah satu jalan adalah dengan membuat produk yang bermuatan lokal, cerita-cerita lokal. Itu salah satu antisipasi yang saya kuasai karena saya memang tidak menguasai hal yang lain. Si Doel adalah salah satu kontribusi yang saya buat untuk mengantisipasi melubernya budaya luar."

F: "Tapi apa tidak mungkin, nama anda dimasukkan sebagai calon legislatif justru untuk menarik massa sebanyak-banyaknya. Jadi, ada unsur pemanfaatan?"

RK: "Selama ini, kalau dibilang ada unsur pemanfaatan, jelas memang ada. Tapi, saya sendiri tidak ingin dimanfaatkan. Dalam pengertian begini, saya bersedia dijadikan calon legislatif dari MPR, tapi saya tidak mau jadi 'votegetter'. Memang, kawan-kawan dari media massa sering salah menyebut.

Saya itu disebut calon legislatif DPR, padahal saya khan caleg MPR. Banyak teman saya bilang, "Wah nanti kamu sibuk." Ya memang. Tapi saya khan di MPR. Bukan berarti saya uncang-uncang (goyang-goyang) kaki saja di MPR.

Tapi khan frekuensinya tidak sesibuk bila jadi anggota PR. Jadi, anggota MPR tugasnya lebih ringan, mengesahkan GBHN dan memilih presiden. Maka, orang bilang anggota MPR ini kerjanya cuma lima tahun sekali."

F: "Bagaimanapun, nama Rano Karno dimaksudkan untuk menarik massa?"

RK: "Jangan lupa, itu khan baru pencalonan. Bisa jadi, bisa tidak. Tapi bagi saya sendiri, yang penting adalah apa yang ada di benak saya sudah saya sampaikan, bahwa saya tidak mau kalau jadi 'votegetter' saja. Dari awal pun mereka tidak pernah meminta saya untuk jadi 'votegetter'."

F: "Apakah ada motivasi khusus mengapa Anda bergabung dengan Golkar, tidak dengan organisasi politik lain?"

RK: "Soalnya, saya tidak pernah diminta sama organisasi lain. Saya tidak pernah dihubungi. Padhaal, kalau saya diminta bergabung dengan dua organisasi lain, mungkin saya ikut.

Tapi memang saya melihat Golkar konsisten memperjuangkan masalah budaya ini. Setahu saya, yang lain tidak punya tim asistensi seni dan budaya. Bagi saya, saya bergabung dengan Golkar ini bukan semata-mata untuk kepentingan organisasi. Tidak. Ini untuk kepentingan bersama. Kalau kita ingin melihat sesuatu yang besar, kita khan harus punya wadah. Tim Asistensi ini khan bisa dijadikan wadah untuk membicarakan problem-problem kebudayaan."

F: "Apakah benar tidak punya motivasi bisa mendekati pusat kekuasaan?"

RK: "Saya enggak mencari sebuah keuntungan. Saya berangkat keil sampai sekarang (1996) besar tidak dengan motivasi mencari keuntungan. Kalaupun saya ada, ya karena saya ada saja. Tanpa ambisi pribadi, saya hanya ingin berbuat sesuatu. Bagaimana kita bisa menyelamatkan budaya bangsa ini?

Barangkali impian saya ini terlalu tinggi, tapi itu memang realitasnya. Salah satu contoh kecil, dengan adanya Si Doel, maka Power Ranger, Ksatria Baja Hitam (keduanya RCTI), sudah tidak terdengar lagi.

Itu khan sebuah keberhasilan. Bukan keberhasilan saya. Hadirnya tokoh Si Doel di tengah anak-anak itu sebuah keberhasilan. Mungkin bukan kebudayaan dalam akti makro. Tapi paling tidak, pola pikir anak-anak sudah mulai berpihak ke Si Doel - produk budaya Indonesia - daripada produk budaya film.

Kalau kita tidak melanjutkan ini, akan sulit menyelamatkan budaya bangsa. Budaya ini bukan sebatas budaya tari dan lainnya, tapi yang penting adalah pola pikir. Itu sangat hakiki, kalau dari masa kanak-kanak kita dijejali dengan budaya asing, akan melunturlah kebudayaan nasional. Apalagi sebentar lagi ada delapan saluran televisi masuk Indonesia: CNN, HBO, masuk tanpa dekoder. Kalau kita tidak siap-siap membendung arus budaya asing ini, hancur kita."

F: "Tapi sejauh mana misi itu bisa dilaksanakan. Sebagai anggota MPR, anda cuma bekerja lima tahun sekali?"

RK: "Bukan berarti misi itu hanya saya salurkan saat saya jadi anggota MPR. Toh saya juga aktif di Golkar di Tim Asistensi Seni dan Budaya. Program yang dibawa Golkar khan berangkat dari sana.

Anggota DPR juga khan ada yang berasal dari tim ini. Saya khan tidak kerja sendiri. Kebetulan sekarang (1996) ini saya diberi kepercayaan untuk menjadi calon anggota MPR. Bagi saya, ini sebuah pelajaran. Bagaimana kita berembuk bersama-sama dengan dua organisasi politik lainnya, bagaimana mengambil suatu keputusan. Semua itu pelajaran.

Rano dilahirkan sebagai anak ketiga dari enam bersaudar adari pasangan Sukarno M Noor yang asli Padang dan Istiarti Rawinali dari Madiun, Jawa Timur. Ketika itu Sukarno masih tinggal di daerah kumuh Kemayoran, Jakarta Pusat. Masa kecilnya diakui sangat sulit. Sang ayah yang cuma seniman Senen, tak mampu menyediakan fasilitas berlebihan bagi keluarganya. Rano pun akrab dengan segala kesusahan, bahkan semasa kecil ia pernah jadi pengasong di Planet Senen.

Namun, bakat sang ayah mengalir deras di tubuh Rano. Tahun 1971, Rano terlibat dalam film Tengah Malam, yang disutradarai Syumanjaya. Memang baru jadi figuran. Tahun berikutnya (1972), Rano beroleh penghargaan aktor pendukung terbaik. Tapi suksesnya baru diperolehnya setelah ia bermain dalam Si Doel Anak Betawi, lagi-lagi dengan Syumanjaya (1972). Rano pun sukses dengan film anak-anak Rio Anakku dan Dimanakah Ibu. Pada saat itu pula bakat menyanyi Rano muncul. Kaset lagu-lagu yang ada di film itu pun beredar di pasar, dan laris.
Reply With Quote