View Single Post
Old 18th April 2017, 22:17
#29  
relusi
Registered Member
relusi is offline

Join Date: Apr 2017
Posts: 6
relusi is a new comer

Default SEMPATI, MENYOAL POLITIK JAKARTA

Prolog
Dalam wiracarita Ramayana, Sempati adalah nama burung raksasa, putera Sang Garuda, yang memiliki penglihatan tajam dan membantu Rama untuk menaklukkan Kerajaan Alengka. Namun, ini bukan kisah wayang. Meski mengambil karakter pewayangan, tulisan ini bertujuan mengurai pergulatan politik yang kian keruh di Indonesia. Garuda adalah simbol persatuan negara Indonesia dalam meraih kedaulatannya dari tangan penjajah, namun akhir-akhir ini kekacauan politik cenderung mengancam persatuan Indonesia; rakyat disekat-sekat dalam kepentingan politik; kedaulatan Indonesia sedang terancam. Maka, tugas putera Sang Garuda, yang benama Sempati—tentu saja setelah menjelma jadi manusia, untuk mengamati, menelusuri dan mengurai kekusutan politik, serta mendatangi penduduk yang saling membenci karena kepentingan politik, demi menenun kembali kedaulatan Indonesia.

Saat ini, Pilkada Jakarta menjadi sorotan banyak orang; bukan hanya karena posisinya sebagai ibu kota, tetapi karena pertarungan politik berlangsung sangat sengit; bahkan, beberapa hari yang lalu, pendukung paslon dipukuli hingga babak belur oleh pendukung paslon lainnya. Pertarungan politik Jakarta sudah mengarah tidak sehat! Apa penyebabnya? Sempati menelusuri ruas-ruas Jakarta untuk mencari tahu.

Menemui Pembenci Ahok
Suatu pagi yang cerah, Sempati masuk ke sebuah warung kopi. Di pojok warung, sekelompok orang sedang ngobrol tentang gubernur DKI Jakarta, dengan nada tinggi dan penuh kemarahan. "Ahok itu tidak tahu diri, tidak pantas jadi gubernur; udah berasal dari etnis Tionghoa, beragama kristen, suka marah-marah pula, tuh lihat tayangan-tayangan videonya di televisi," ujar salah satu dari mereka dengan lantang. Teman-teman di sekelilingnya mengamini pernyataan temannya itu.

“Tapi yang lebih parah, Ahok itu melecehkan Ulama. Dia telah menginjak-injak surat al-Maida. Aneh ya, kok masih ada umat Islam yang milih dia,” ungkap pria yang memakai peci.

“Betul itu, para pendukung Ahok yang beragama Islam itu harus diberi pelajaran. Sudah tahu Ahok itu orang Kristen yang melecehkan ulama, masih aja didukung. Itu gara-gara dirasuki paham libera l tuh, mereka jadi sesat,” jelas pria yang bertubuh besar dengan geram.

Tidak tahan mencium bau permusuhan, Sempati menghampiri sekelompok orang tersebut. “Assalamualaikum, boleh saya ikut gabung ngobrol sama kalian?” Sempati menyapa orang-orang itu dengan sopan.

“Waalaikum salam. Boleh saja, asal kau bukan pendukung Ahok,” jawab pria yang memakai peci.

“Oh, nggak kok. Saya gak dukung siapa-siapa. Saya cuma mengharap kebaikan buat semua penduduk Jakarta,” ungkap Sempati.

“Terus, kamu beragama Islam bukan? Kalau Islam, harusnya kau benci Ahok,” ungkap pria yang bertubuh besar.

“Iya, saya emang gak suka sama Ahok karena dia sering tidak bisa menahan kemarahannya. Tapi,kayaknya dia tidak pernah menghina ulama, bukannya dia sering membantu masjid sejak dulu. Bahkan tiap tahun dia memberangkat marbut, si pelayan masjid itu, untuk naik haji ke mekah. Emang benar dia melecehkan Islam?” sanggah Sempati.

“Loh, emang kau gak lihat gimana dia melecehkan surat al-Maidah?” tanya pria yang bertubuh besar.

“Saya udah nonton, tapi saya bukan ahli tafsir, dan gak bisa mutusin. Saoalnya kan ada juga tokoh Islam yang bilang Ahok itu tidak melecehkan surat al-Maidah, misalnya Buya Syafii Maarif atau Nasaruddin Umar sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal. Ya, gak salah juga dong kalo ada umat Islam di Jakarta yang mengikuti pandangan tokoh-tokoh Islam itu,” jawab Sempati.

“Oke deh kalau kau emang ngikut pandangan Imam Istiqlal itu, tapi Ahok emang gak layak jadi gubernur Jakarta. Dia itu suka marah-marah gak jelas. Masa’ kita punya gubernur yang temperamental dan gak punya sopan santun?” tanya pria yang memakai peci.

“Iya, saya juga tidak suka sama sikapnya yang kurang santun. Tapi, emang benar dia selalu marah-marah sama semua orang yang ditemuinya? Bukannya marahnya Ahok itu sama bawahannya ya, karena dia pingin kerja birokrasi lebih cepat, gak lamban kayak dulu? Emang Ahok pernah marah-marah sama orang yang gak ada hubungannya dengan kerja pemerintahan?” ungkap Sempati.

Mereka diam. Situasi berubah hening. Namun, tiba-tiba orang yang bertubuh besar berujar dengan nada tinggi, “Kau jangan membenarkan sikap Ahok ya. Dia itu cuma mau menguasai Jakarta, supaya teman-teman cinanya gampang ngumpulin kekayaan di Jakarta, sementara orang-orang muslim akan disingkirkan.”

“Maaf, kau tahu dari mana? Siapa pengusaha cina yang difasilitasi oleh Ahok? Orang muslim mana yang disingkirkan? Saya kira program-program unggulan yang diterapkan Ahok, misalnya KJS (Kartu Jakarta Sehat) dan KJP (Kartu Jakarta Pintar) atau bantuan untuk usaha kecil dan menengah, itu tidak membeda-bedakan identitas. Malah kebanyakan penerimanya beragama Islam, karena mayoritas penduduk Jakarta memang muslim,” ujar Sempati.

“Ah sudahlah, yang jelas kita tidak mau Jakarta dipimpin oleh gubernur non-muslim,” ungkap pria yang memakai peci.

Silakan tidak suka sama salah satu calon, tapi jangan pernah membenci pendukungnya!

Di tengah pembicaraan, seorang pria berbaju kotak-kotak masuk ke warung dan mendengar apa yang dibicarakan. Lalu orang itu berkata lantang, “Hei, Ahok itu pantas jadi gubernur, ketimbang Anies yang kerjanya gak jelas.” Ternyata, pria berbaju kotak-kotak itu adalah pendukung Ahok.

Mendengar pernyataan pria berbaju kotak-kotak itu, pria yang bertubuh besar bangkit dari duduknya dan menudingkan telunjuk jarinya sambil berkata geram, “Sialan kau pendukung Ahok! Gak tahu apa, semua orang di warung ini membenci Ahok. Kau ingin mati di sini apa?”

Tiba-tiba tiga pria bertubuh kekar, yang sebelumnya duduk di depan warung, menerobos masuk dan mengitari pria berbaju kotak-kotak dengan posisi siap menyerang. “Di sini kawasan pendukung Anies. Coba ulangi perkataanmu, nanti saya bikin remuk tulangmu,” ungkap salah satu dari mereka sambil menarik kerah baju pendukung Ahok.

Beruntung, pemilik dan pelayan warung datang melerai ketegangan di antara pendukung Anies. “Hei, jangan berantem di warungku! Kalau mau berantem silakan pergi jauh dari sini!” ungkap pemilik warung. “Ya, semua orang yang datang ke warung ini ingin bersantai dan menikmati suasana pagi, gak perlu bersitegang tentang politik di warung ini,” kata pelayan warung.

“Tapi orang ini sudah keterlaluan, bang. Dia yang mulai duluan, dengan menyatakan lantang dukungannya kepada Ahok. Seolah dia kampanye Ahok di sini,” ujar pria pendukung Anies.

“Iya, diusir aja itu pendukung Ahok, orang Cina yang suka marah-marah itu,” ungkap pria yang memakai peci.

Sempati mendekat. “Kita memang tidak suka sama Ahok yang gayanya sering marah-marah, tapi kita juga perlu tahu dulu kenapa pria ini mendukung Ahok, sebelum menghakimi dia. Hei, kenapa Anda mendukung Ahok?” tanya Sempati kepada pria berbaju kotak-kotak.

“Ya, jelas saya mendukung Ahok. Anak saya menerima KJP (Kartu Jakarta Pintar). Saya gak bingung lagi untuk membiayai pendidikan anak saya. Terus, kenapa saya tidak boleh mendukung Ahok!?” ujar pria berbaju kotak-kotak.

“Nah, itu dia punya alasannya sendiri. Tidak perlu lagi kita saling berantem di sini. Semua orang berhak minum kopi di warung ini,” ungkap pemilik warung.

“Tapi bang, dia kampanye Ahok di sini tadi,” sanggah pendukung Anies.

Lalu, Sempati menengahi, “Mungkin, cuma caranya aja yang menimbulkan salah paham. Pendukung Ahok hanya terbawa emosi setelah mendengar pembicaraan kami, hingga dia berbicara lantang. Kalian para pendukung Anies juga terbawa emosi setelah mendengar pernyataannya. Padahal, kita punya alasan masing-masing untuk mendukung salah satu calon, dan tidak perlu berujung bentrok. Tidak perlu ada kejadian lagi tentang pendukung Ahok yang dipukuli hingga babak belur, seperti yang terjadi pada Widodo di Tanjung Duren atau Iwan di Tambora. Jadi, ya harusnya kita tidak perlu terbawa emosi.”

“Itu lebih jelas, kita boleh mendukung atau tidak suka sama salah satu calon. Tapi, kita tidak boleh mengungkapkan atau mengejek para pendukung lainnya pake emosi. Di sini, bebas ngobrol dan santai. Sudahlah, silakan kembali ke tempat duduk masing-masing!” seru pemilik warung.

Sekelompok orang yang bersitegang pun kembali ke tempatnya masing-masing. Sambil berjalan ke arah dapur, pemilik warung menggerutu dengan suara lirih, “Bahaya juga nih politik, hampir aja saya kehilangan pelanggan. Terserah mau milih calon yang mana, yang penting tetap minum kopi di sini. Bodoh amat dah sama politik.”
Reply With Quote