View Single Post
Old 25th September 2018, 18:30
#1  
dkala
Addict Member
dkala is offline

Join Date: Jan 2018
Posts: 113
dkala is a new comer

Default Emosi dan Urusan Psikis yang Belum Selesai



Edi Rahmayadi jadi viral setelah Ketua Umum PSSI itu menolak menjawab pertanyaan wartawan di sebuah sesi wawancara. “Apa hak Anda bertanya pada saya”, begitu kata Edy yang juga menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.

Yang perlu kamu garis bawahi adalah kalimat “apa hak Anda”, yang sedikit banyak menunjukkan emosi Edy. Nah, yang mau kita bicarakan di sini adalah emosi sebagai urusan yang nggak jauh-jauh amat dari urusan psikis.

Rasanya tak mungkin ada manusia yang tidak punya emosi, karena bagian psikis itu jadi sebuah bagian vital dari kehidupan sehari-hari. Entah itu kamu tertawa ngakak ketika membaca pesan WA, atau merasa frustasi karena kemacetan berjam-jam, perasaan apapun yang keluar dari dalam psikis kita berpengaruh besar pada kondisi kejiwaan.

Selayaknya keran di kamar mandi, emosi pun perlu dikontrol. Nah, kemampuan mengontrol emosi itulah yang berefek pada bagaimana orang lain merespon dalam situasi spesifik.

Pandangan mata akan mengarah padamu ketika kamu tertawa keras di dalam suasana rapat serius. Dalam sisi mata uang yang sama, kamu akan memancing perhatian yang tidak diinginkan bila kamu berteriak-teriak marah pada pengemudi yang memotong jalan di kemacetan.



Ada banyak situasi dimana kita seakan kesulitan mengendalikan emosi. Tapi reaksi emosi juga belum jelas cara kerjanya. Apakah emosi berasal dari koneksi antara tubuh dan pikiran? Tidak ada yang tahu. Para psikolog masih berdebat soal itu.

Bisakah kita tetap tenang dalam situasi yang menekan psikis? Lebih mudah bagi kita mengucapkannya, dibanding melakukannya. Tapi bila kita cenderung agresif, sekaligus mengekspresikan emosi dengan kemarahan meluap-luap, justru malah akan merusak hubungan asmara, hubungan di kantor, dan bahkan merusak kesehatan pribadi.

Kalau kita kaitkan lagi dengan Edy Rahmayadi, citra dia sebagai pejabat publik rasanya ikut turun setelah dia mengeluarkan pernyataan “apa hak Anda.”

Urusan psikis memang nggak pernah selesai. Selalu ada momen dimana kita semua bisa lepas kontrol dan menampakkan emosi tertentu begitu saja - meski sebetulnya kita bisa mengontrolnya.

Kecerdasan Emosional bisa Dilatih



Karena soal emosi jadi satu hal yang belum selesai, kecerdasan emosional jadi hal penting. Seberapa banyak sih dari kita yang bisa secara cerdas mengontrol emosi dalam setiap situasi yang menekan, maupun di suasana yang penuh keseriusan?

Rumusnya begini: orang cerdas sekalipun belum tentu bisa mengontrol emosinya dengan baik. Nggak ada kaitan khusus antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional. Tapi jangan salah, kecerdasan emosional bisa dilatih.
  • Menjauh kalau mulai naik darah
: kalau kamu tipikal yang mudah marah atau naik darah, bahkan dalam situasi sepele, lebih baik kamu menghindar sebentar dari situasi macam itu. Pergilah ke tempat sepi (toilet, misalnya), lalu tarik nafas sejenak selama lima menit sampai detak jantung normal. Setelahnya kamu bisa melakukan apapun dengan normal.
Bayangkan gambaran keseluruhan: Kalau mulai marah di situasi yang menekan, misalnya, coba bayangkan apa akibatnya. Mulai latih pikiranmu untuk cepat membayangkan, sekaligus memprediksi akibat-akibat yang mungkin muncul ketika kamu bereaksi dengan tipe emosi tertentu.
  • Tersenyumlah
: Senyum adalah obat paling baik, untuk situasi yang paling buruk sekalipun. Paksa dirimu untuk tetap tersenyum, bahkan ketika kamu marah, sedih, kecewa, patah hati, dan lain sebagainya. Senyum akan membuat dirimu lebih baik.

Begitulah emosi. Dia adalah urusan psikis yang tidak pernah selesai. Karena tidak pernah selesai, jadinya setiap orang mesti melatih diri supaya cerdas secara emosional.

Sumber
Reply With Quote