View Single Post
Old 15th June 2012, 09:59
#2  
hed3rut
Registered Member
hed3rut is offline

Join Date: Apr 2010
Posts: 4
hed3rut is a new comer

Default Perda Zakat Salah Kaprah

Perda Zakat Salah Kaprah

KH. MASDAR F. MAS'UDI

AWAL bulan Desember lalu, halaman Pendopo Kabupaten Lombok Timur (Lotim), NTB, penuh sesak oleh ratusan orang berseragam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kehadiran mereka ke pendopo bukan untuk upacara Hari Guru Nasional. Melainkan untuk mendemo Bupati Lotim, H. Moh. Ali bin Dahlan, SH, MBA. Para PNS, utamanya meraka yang tergabung dalam PGRI, menuntut pemungutan 2,5 persen sebagai zakat profesi dari gaji mereka segera dihentikan. “Jika tidak dihentikan, kami akan mogok,” kata Masih, juru bicara demonstran (TEMPO, 11 Desember 2005).

Apa komentar bupati yang dilantik September dua tahun lalu itu? “Yang menolak itu tidak mengerti agama. Tahunya kalau membayar zakat akan semakin miskin. Padahal nanti Allah mengganti 1.000 kali lipat dari yang mereka keluarkan,” papar H. Ali sebagaimana dilansir Bali Post, 5 Desember 2005.

Kontroversi mengenai pemungutan zakat profesi tidak hanya terjadi di Lotim, kasus serupa juga terjadi di beberapa daerah, seperti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dll. Untuk mengupas masalah kontroversi zakat, Buletin Jumat Al-Ikhtilaf edisi ini menurunkan wawancara Hamzah Sahal dengan KH. Masdar F. Mas’di, pakar hukum Islam dari Jakarta. Berikut petikan wawancara yang dilakukan di Yogyakarta, 13 Desember 2005.

Pak Masdar, di Lombok Timur, NTB, ada Peraturan Daerah Nomor 9/2002 tentang pengelolaan zakat. Salah satunya berisi tentang pemotongan 2,5 persen dari gaji Pegawai Negeri Sipil sebagai zakat propesi. Apa pendapat Anda tentang Perda itu?

Konsep saya itu kan begini, setiap muslim yang sudah membayar pajak, itu tidak ada tagihan lain yang bisa dipaksakan atau diwajibkan. Bagaimana dengan zakat? Zakatnya ya pajak itu. Zakat, bagi umat Islam itu, ya pajak. Niatkan saja pajaknya sebagai zakat. Selesai.

Bisa dijalaskan lebih detail?

Nabi tidak pernah memungut pajak pada umat Islam. Pajaknya umat Islam pada waktu itu namanya zakat. Zakat adalah pajak, pajak adalah zakat. Bagi umat nonmuslim, zakat atau pajak itu bernama Jizyah. Jizyah itu kontra prestasi sebagai imbalan negara dan fasilitas publik yang telah dinikmati warga nonmuslim. Apa bedanya zakat atau pajak dengan jizyah? Pajaknya, zakat, umat Islam itu memiliki nilai ukhrawi, sedangkan pajaknya nonmuslim, jizyah, itu tidak. Di sinilah bedanya. Spirit ukhrawi-nya sebagai ibadah: dapat “pahala”. sedangkan spirit sosialnya, baik zakat ataupun jizyah, mewajibkan orang muslim dan nonmuslim untuk mengontrol negara. Jangan biarkan uang satu rupiah Anda yang dititipkan kepada negara disalahgunakan. Mengontrol bagaimana? Mengontrol tasharuf atau pembelanjaannya. Tasharuf-nya negara di mana? Di undang-undang pembelanjaan negara.

Bagaimana dengan dengan acuan mustahik (penerima zakat) delapan yang disebutkan dalam surat at-Taubah ayat 60?

Nah begini. Mustahik delapan itu harus diterjemahkan sebagai acuan undang-undang pembelanjaan negara. Kalau kita baca, delapan golongan yang menerima zakat itu lima di antaranya (fakir, miskin, riqab/budak, ibnu sabil/anak jalanan, dan gharimin/penghutang) adalah kategori rakyat yang terpinggirkan, orang miskin. Sedangkan sisanya (amiliin/panitia, sabilliah/pejaung, dan muallaf qulubuhum/muslim baru) bisa kita terjemahkan sebagai belanja rutin negara. Dengan kata lain, sudah bukan zamannya menerjemahkan ayat itu secara harfiyah. Kita harus membacanya secara kreatif. Sekarang masalahnya, menurut saya, adalah acuan moral. Moral para pengelola negara.

Di Lotim, yang dipersoalkan adalah 2,5 persen zakat propesi. Menurut fiqh bagaimana?

Zakat itu obyeknya ijtihady atau zdanny: tidak ada yang pasti, semuanya bisa dikembangkan sesuai dengan perubahan zaman dan kebutuhan. Nabi selalu meny-ebut-nyebut onta, kurma, gandum, anggur, dll., karena adanya cuma itu. Dan juga tidak ada yang qath’i mengenai tarif. Tarif Nabi 2,5 persen adalah tarif minimal. Tarif mak-simalnya, Anda harus mengkalkulasinya, negara ini butuh anggaran berapa sih? Di dalam Al-Qur’an, yang Qath’i atau pasti, adalah pembelanjaannya. Jadi, semua penghasilan dan jenis kekayaan pada dasarnya bisa dikenai zakat, entah itu unggas, telur, jualan buku atau mebel, itu dikenai zakat. Nah, rinciannya bagaimana? Ya, sepakatilah lewat syura`, musyawarah.

KH. Masdar F. Mas’di lahir di Purwokerto 1954. Pendidikan agamanya digembleng di PP. Tegalrejo Magelang (1966-1969), PP. Krapyak Yogyakarta (1969-1975), dan Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, selesai tahun 1979. Kiai muda yang sekarang menjabat salah satu Ketua di PBNU (2004-2009) dan Direktur Perhimpun-an Pengembangan Pesantren dan Masya-rakat (P3M) Jakarta ini aktif menulis di berbagai media massa. Bukunya yang berjudul “Agama Keadilan”, merupakan buku yang paling orisinil dan propokatif di bidangnya, yaitu soal zakat. Ijtihadnya mengenai waktu pelaksanaan ibadah haji ibadah haji menuai banyak kritik, selain pujian. Ia mengatakan ibadah haji boleh dilaksanakan pada bulan Syawal dan Dzulqa’dah, tidah hanya Dzulhijjah.

Pak Masdar, Perda Zakat sudah kadung diterapkan dan kadung ribut. Bahkan Bupati Lotim me-nuduh penentangnya tidak paham agama. Apa solusi Anda?

Dia yang tidak mengerti agama! Kalau dia mengaku paham agama, yang seharusnya dia pikirkan adalah bagaimana angaran belanja daerah ter-sebut, apakah memihak rakyat atau membela konglomerat? Itu saja. Perda Zakat itu salah kedaden, salah kaprah. Itu kan bermula dari asumsi bahwa ada dua entitas. Ada negara, ada agama. Negara butuh dana: pakai pajak, agama perlu biaya: pakai zakat. Pajak butuh undang-undang, zakat juga. Pajak butuh direktorat, demikian juga zakat. Ini kan negara dalam negara. Ini sekularisme yang sejati! Mereka selalu berkhatbah antisekularisme, tapi kelakunya sangat sekuler.

Bagaiman relasi agama-negara Menurut Anda?

Bagi saya, agama itu untuk kehidupan. Jadi, jangan membuat kehidu-pan lain di luar orbit di dunia ini. Agama itu harus memberi spirit kehidupan, jangan membangun dunia lain. Untuk spirit kehidupan negara itu apa? Zakat. Zakat itulah spirit. Itu ruh dari Islam untuk menata kehidupan bernegara. Agama tidak memikirkan label untuk negara. Yang penting bagi agama adalah, sejauh mana kebijakan publiknya itu membela rakyat lemah, sejauh mana keadilan itu ditata. Nah, di wilayah kebijakan inilah Islam harus mengintervensi. Agama tidak ngurusi warna bendera, tidak peduli dengan jenis kelamin pemimpinnya, juga bentuk atau model undang-undangnya.

Apakah Perda itu harus dicabut?

Itu Perda anomali, penyimpangan! Sudah saya katakan tadi, itu salah kaprah! Saya ulangi lagi ya. Pajak bagi umat Islam itu ya zakat. Bahwa bagi mereka yang belum terkena pajak, silahkan membayar kewajiban infaknya sebagai zakat kepada siapa pun, terserah. Tapi, menurut saya, sebaiknya kepada ‘amil yang mudah dikontrol. Sekarang, yang harus ditata itu adalah langkah politik dan kesadaran politik setiap muslim yang sudah membayar pajak atau zalat. Kita, setiap muslim, wajib mengawal kebijakan pemerintah. inilah misi sosial dari zakat atau pajak.[]
Reply With Quote