View Single Post
Old 31st March 2011, 20:10
#9  
a215_tea
Addict Member
Malea215_tea is offline

a215_tea's Avatar

Join Date: Jul 2010
Location: Negeri Singa
Posts: 449
a215_tea is a star wannabea215_tea is a star wannabea215_tea is a star wannabe

Default

Episode 5


Mobil merapat ke halaman rumah yang sebenarnya luas—namun terasa sempit dengan pemandangan yang ada. Dua mobil taktis polisi terparkir, beberapa mobil lain yang entah milik siapa, ditambah dengan satu mobil ambulans yang merapat persis di depan pintu masuk. Belasan polisi berdiri mengawasi siapa saja yang keluar masuk pintu depan, dengan senjata lengkap di tangan. Aku mengeluh dalam hati, terlepas dari bisnis mereka yang menggurita, penghuni rumah ini hanya pasangan sepuh yang tinggal dengan pembantu. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak ada penjaga bayaran. Mereka tidak akan melawan.

Beberapa perawat terlihat sibuk menurunkan sesuatu dari ambulans.

Aku melintasi ruang tamu, langsung menuju ruangan yang biasa digunakan Om Liem dan Tante beristirahat. Satu-dua petinggi bank dan perusahaan milik Om Liem duduk di ruang tengah, wajah kalut, berbicara pelan satu sama lain. Empat petugas polisi sedang mengeluarkan perangkat komputer dan dokumen dari ruangan yang biasa digunakan Om Liem bekerja di rumah, petugas mengenakan seragam seolah ada bom di dalam kardus-kardus dokumen serta bukti lain yang mereka gotong keluar.

Aku menghela nafas pendek, ada yang lebih mendesak, Tante Liem.

Pintu kamar langsung ditutup saat aku masuk.

Pemandangan yang suram.

Tetapi kabar Tante tidak seburuk yang kubayangkan. Tante terbaring di ranjang besar, Dokter berdiri di sebelahnya, dibantu dua perawat, berusaha memasangkan infus dan belalai selang lainnya.

“Akhirnya kau datang juga.” Suara serak Om Liem lebih dulu menyapa sebelum aku menyapa Tante.

Aku mengangguk—membiarkan dia memelukku.

“Duduk dekatku, Tommi.” Itu suara Tante, memanggilku.

“Kapan Tante siuman?” Aku menelan ludah, menatap wajah yang dulu terlihat segar dan menyenangkan berubah jadi pucat dan cekung hanya dalam waktu sebulan sejak kasus Bank Semesta menggelinding.

“Lima belas menit lalu.” Dokter yang menjawab.

Aku mengangguk, meraih tangan Tante Liem.

“Semua sudah berakhir, Tommi.” Tante menatapku lamat-lamat, “Situasi tidak akan mungkin lebih buruk lagi, bukan? Jadi aku tidak akan pingsan lagi, Nak. Itu kabar baiknya.”

Aku menatap getir wajah Tante, matanya berkaca-kaca.

“Mereka hanya memberikan waktu sebentar.” Om Liem menjelaskan perlahan, berdiri di sebelahku, “Jika Tante kau sudah membaik, sudah siuman, mereka akan membawa orang tua ini pergi ke penjara. Itu berarti hanya tinggal beberapa menit lagi.”

“Apakah tidak ada lagi orang yang bisa membantu?” Aku menoleh. Meski aku selama ini membencinya, melihat wajah kuyu Om Liem di hadapanku itu, sambil menyentuh tangan Tante yang dingin, aku banyak berubah pikiran.

Om Liem menggeleng, tertawa suram.

“Bukankah Om teman dekat dengan pejabat partai yang berkuasa? Menteri-menteri? Atau bahkan Presiden? Atau kolega bisnis, bukankah mereka bisa bantu menyelamatkan Bank Semesta?” Aku menyebut daftar kemungkinan.

“Kau tidak mendengarkan Tante kau, semua sudah berakhir, Tommi. Tidak ada yang mau dekat-dekat dengan situasi buruk seperti ini. Alih-alih, kau yang dituduh bersekongkol. Perintah penangkapan sudah efektif, polisi yang berjaga di ruang depan membawa surat perintah.”

Ruangan lengang, semua kepala tertunduk.

Aku menelan ludah, “Bagaimana dengan Shinpei, rekan bisnis selama puluhan tahun? Bukankah dia akan senang hati membantu?”

Om Liem menggeleng, “Group mereka juga dalam kesulitan, aku sudah menelepon Shinpei, bilang situasi buruk ini, dia hanya bisa ikut prihatin, tidak bisa membantu.”

Aku menghembuskan nafas. Menatap wajah empat perawat yang menunggu perintah. Dokter yang berdiri takjim, prihatin, dan beberapa petinggi perusahaan Om Liem yang balas menatap kalut, tidak bersuara, tidak punya ide harus bagaimana.

“Aku tahu kau tidak akan pernah mau mendengarkan orang tua ini, Tommi. Tetapi kali ini, tolong urus Tante kau, adik-adik sepupu kau selama aku di penjara. Pastikan mereka baik-baik saja.” Suara serak Om Liem memecah lengang.

Astaga? Aku menelan ludah.

“Sayangnya kami tidak punya anak laki-laki. Kaulah satu-satunya anak laki-laki di keluarga besar kita. Apapun yang tersisa dari bisnis ini, kaulah yang paling pantas melanjutkan. Senin, otoritas bank sentral akan menutup operasi seluruh cabang Bank Semesta. Senin pula, aku akan menanda-tangani surat pernyataan akan mengganti seluruh uang nasabah, tidak sepeser pun uang mereka akan dimakan orang-tua ini. Bahkan jika itu termasuk melego bisnis properti, otomotif, seluruh perusahaan kita.” Om Liem menyentuh tanganku.

Ruangan semakin senyap.

“Kau pernah masuk penjara, Ram?” Om Liem menoleh pada orang yang menjemputku di hotel, orang kepercayaannya di induk perusahaan, tertawa getir, “Aku pernah, Ram. Saat usiaku dua puluhan. Aku masuk penjara selama enam bulan. Bukan masuk penjaranya yang membuatku berkecil hati, melainkan saat aku di penjara, Papa dan Mamanya Thomas meninggal, dan sejak hari itu, Thomas membenciku.”

“Hentikan!” Aku menyergah kasar, mataku panas.

Semua kepala di ruangan terangkat, Tante menatapku.

“Hentikan omong-kosong ini.” Aku tersengal, berusaha mengendalikan nafas, “Tidak akan ada yang masuk penjara malam ini.”

“Ini bukan omong-kosong, Tom. Tidak ada lagi jalan keluar.” Om Liem menatapku datar.

“Kau diam! Biarkan aku berpikir sebentar.” Aku meremas rambutku, berusaha mencerna banyak hal yang terjadi sejak konferensi di London, klub bertarung, dan rumah besar Om Liem.

“Apakah polisi di luar tahu kalau Tante sudah siuman?” Aku bertanya pada orang-orang di dalam kamar.

Dokter menggeleng, “Belum ada yang memberitahu mereka.”

Itu kabar bagus, aku mengepalkan tinju.

“Apakah kondisi Tante stabil?” Aku mendesak memastikan, waktuku terbatas.

Dokter mengangguk.

“Baik, dengarkan aku!” Aku meminta perhatian seluruh orang yang berada di dalam kamar, mataku menatap tajam ke setiap orang, “Kalian semua akan menutup mulut hingga semua urusan selesai.”

Wajah-wajah bingung.

“Kau, ya, kau segera ambil ranjang darurat dari ambulans!” Aku mengacungkan telunjuk pada salah-satu perawat.

“Buat apa?” Dokter memotong perintahku, bingung.

“Segera lakukan, Dok. Suruh dua perawat kau bergegas.” Aku berseru, “Bukankah kau sudah hampir dua puluh tahun menjadi dokter keluarga ini? Bukankah kau dulu salah-satu anak-anak yang disekolahkan Om Liem? Demi semua itu, laksanakan perintahku.”

Dokter menelan ludah. Patah-patah menyuruh dua perawatnya.

“Bilang ke polisi di luar, kondisi Tante Liem semakin parah.” Aku menarik salah-satu perawat itu sebelum keluar dari ruangan, “Kalau mereka bertanya detail, jangan dijawab, dan jangan pernah biarkan mereka mendekati pintu kamar ini. Kau mengerti?”

Perawat itu mengangguk—meski masih dengan wajah bingung.

“Apa, apa yang sedang kau lakukan, Tom?” Om Liem bertanya gugup.

“Menyelamatkan seluruh keluarga ini. Apalagi?” Aku berseru cepat, “Kau, ya kau bantu melepas infus dari Tante Liem. Segera.” Aku meneriaki dua perawat yang tersisa di kamar.

“Apa yang kau rencanakan, Tom?” Om Liem bertanya untuk kedua kali.

“Kita tidak punya waktu untuk penjelasan, tapi jika semua berjalan lancar, setengah jam dari sekarang kita sudah ribuan kilometer dari kota sialan ini.” Aku berkata cepat pada Om Liem, “Dua hari, kita punya waktu dua hari hingga Senin untuk membereskan semua kekacauan. Bank Semesta akan diselamatkan, percayalah, tidak ada selembar pun saham milik perusahaan yang akan dijual. Dan sebelum itu terjadi, kau harus kabur dari mereka. Lari.”

“Aku, aku tidak akan melakukannya, Tommi.” Suara Om Liem terdengar bergetar.

“Tidak ada pilihan. Kau harus lari.” Aku berseru gemas.

“Aku tidak mau jadi buronan, Tom.” Om Liem menggeleng, reflek melangkah mundur.

“Kau harus mau. Astaga, sekarang bukan saatnya membahas prinsip-prinsip basi.” Aku membentaknya, “Turuti semua perintahku, dan semua akan baik-baik saja.” Aku menoleh ke sisi lain , “Ram, siapa nama petinggi kejaksaan dan bintang tiga di kepolisian yang memimpin kasus ini?”

Ram dengan wajah tidak mengerti menyebut dua nama yang sudah ia sebutkan di mobil yang menjemputku dari hotel.

“Nah, bukankah dua nama itu berarti buat keluarga ini?” Aku kembali menoleh pada Om Liem, menyebut nama itu kencang-kencang, “Mereka tidak akan berhenti, percayalah, kau tidak akan dipenjara enam bulan seperti masa lalu, kalau bisa, dua orang ini akan membuat kau dipenjara selamanya, agar tidak ada jejak yang tersisa.”

Pintu kamar didorong dari luar, dua perawat sudah kembali, terburu-buru mendorong ranjang darurat, diikuti beberapa petugas polisi yang ingin tahu.

Aku segera melesat ke depan pintu, menahan petugas yang hendak masuk.

“Kalian tidak boleh masuk.”

“Kami harus tahu apa yang terjadi?” Komandan polisi memaksa.

Milan Forever,
Reply With Quote