View Single Post
Old 31st March 2011, 19:58
#5  
a215_tea
Addict Member
Malea215_tea is offline

a215_tea's Avatar

Join Date: Jul 2010
Location: Negeri Singa
Posts: 449
a215_tea is a star wannabea215_tea is a star wannabea215_tea is a star wannabe

Default

“Itulah yang terjadi di kota kecil tadi. Nah, itulah yang terjadi di dunia saat ini. Sama persis. Krisis dunia akibat kredit perumahan. Masalahnya, di dunia yang sebenarnya, nilai akumulasi uang ratusan tahun sejak ditemukan jumlahnya triliunan dollar, tidak terbayangkan. Kau tahu Julia, berapa total hutang negara kita? Hanya seratus dua puluh milliar dollar, kecil sekali dibandingkan akumulasi uang dunia yang berjuta kali lipat, hanya nol, koma nol nol. Dan uang-uang itu hanya dimiliki nol koma dua persen penduduk bumi, yang terus rakus menelan sumber daya. Uang itu butuh tempat bernaung, mereka sudah punya mobil, rumah, berlian, pesawat pribadi, pulau pribadi, membeli hutan jutaan hektar di Afrika, Asia dan Amerika Selatan, maka mereka ciptakanlah berbagai produk keuangan untuk menampungnya, tidak puas mendapatkan lima persen bunga bank, mereka menyerbu ke obligasi dan saham. Tidak puas juga, mereka menyerbu ke komoditas dan transaksi derivatif yang semakin rumit, uang itu seperti ratu lebah yang beranak setiap hari, terus tumbuh, serakah. Uang itu butuh tempat untuk berkembang-biak, persis seperti mutasi genetik tidak terkendali.”

“Padahal kita lupa, semua hanya kertas, bukan? Secara riil, kekayaan dunia tidak berubah sejak uang pertama kali ditemukan, jumlah cadangan emas yang menjamin uang hanya itu-itu saja. Kau tadi bertanya apa? Julia, aku tidak peduli kemiskinan, peduli setan, karena daya rusaknya itu-itu saja, busung lapar, kurang gizi. Tetapi kekayaan, daya rusaknya mengerikan, bahkan karena di dunia ini terlalu banyak uang yang membuat orang tidak peduli wabah, kelaparan, perusakan alam, dan tragedi kemanusiaan lainnya.”

“Kau pernah kuliah ekonomi, bukan?” Aku diam sejenak, menatap wajah gadis di depanku yang matanya membulat, masih mengunyah kalimatku, “Aku pernah, lima belas tahun lalu. Salah-satu dosenku adalah profesor penerima nobel ekonomi. Kau bisa membayangkan, mahasiswa modelku seperti apa di kelas, aku pernah bilang hipotesis bodoh padanya, andaikata dunia ini tetap menggunakan barter, andaikata dunia ini tidak pernah mengenal uang dan bunga, maka dunia boleh jadi akan jauh lebih adil dan makmur. Profesorku tertawa, Thomas, bagi pialang, pengelola danareksa, eksekutif puncak, orang-orang pintar, bagi kalian mahasiswa sekolah bisnis terbaik dunia, kalian pasti akan lebih bersyukur karena uang dan bunga pernah ditemukan. Kami berdebat, sia-sia. Profesor itu ringan melambaikan tangan, kau lupa petuah bijak bapak ekonomi modern, pasar memiliki ‘tangan tuhan’, Thomas. Dia akan selalu membuat keseimbangan, bahkan meski harus meledakkan keseimbangan sebelumnya. Jadi jangan pernah menulis macam-macam di kertas ujian, atau kau tidak lulus di kelasku. Nasehat yang bagus. Sejak saat itu aku tidak peduli omong-kosong kemiskinan, Julia.”

“Apakah kau seorang sosialis?” Gadis di sebelahku akhirnya berkomentar setelah terdiam sejenak.

“Apa aku terlihat seperti sosialis, Sarah?” Aku tertawa, menunjuk sepatu mengkilat yang kukenakan.

Gadis itu tidak menggeleng apalagi mengangguk, balas menatapku datar, “Lantas apa pedulimu dengan jahatnya kekayaan. Bukankah kau sendiri hidup dari orang-orang itu. Konsultan keuangan dengan bayaran tinggi? Atau kau jangan-jangan tipikal orang berpendidikan tinggi, pintar, kaya, memiliki pengaruh, tetapi juga sekaligus paradoks dan memiliki kepribadian banyak?”

Aku menatap mata hitamnya, nah, sekarang rasa percaya diri dan harga diri gadis ini sudah sempurna kembali. Ia sepertinya bersiap berdebat banyak hal di luar daftar pertanyaan. Sayangnya aku tidak berselera, aku harus beristirahat sejenak di atas pesawat besar ini sebelum mendarat, jadwal pertarungan pentingku menunggu, rileks melambaikan tangan, “Jika kau tertarik, kita diskusikan hal itu di lain kesempatan, Julia, mungkin makan malam yang nyaman. Tetapi kita lihat dulu akan seperti apa hasil wawancara ini di majalah kalian. Semoga kemampuan menulis kau sekinyis penampilan kau sekarang. Selamat malam.”

Gadis itu tidak dapat menahan ekspresi gregetan, kesal. Boleh jadi kalau tidak sedang di kelas eksekutif penerbangan maskapai internasional, dengan pilot masih asyik beramah-tamah menyapa penumpang, ia akan menampar pipiku.

Milan Forever,
Reply With Quote