Sepertinya... umm, gimana ya, ceritanya? Akan agak-agak mengernyitkan dahi
Tapi, memang ini faktanya! Saat ini... aku lagi jatuh cinta sama Erik.
Erik sayangku, aku cinta sama kamu. Kenapa kamu ga menoleh padaku saja jikalau Christine enggan denganmu?
Kau bisa ajari aku bernyanyi pa-so-la-si-dooooooooooo sampai suaraku bak puluh perindu.
Dan jikalau suaraku tetap seperti kaleng rombeng, maka terus saja latih aku! Aku pasti bisa mengucapkan do-re-mi dengan lembut dan syahdu -- tak lagi hanya guk-guk-guk macam guguk menyalak iseng.
Oh, Erik....
(Aku habis baca ulang The Phantom of the Opera, dan masih jatuh cinta pada Erik. Walaupun dia fiktif, aku cinta, cinta, cinta!).
Erik membuatku terus bernyanyi -- bersenandung tenang sekligus nyalang walaupun di tengah buang air besar.
Dan...
Aku jatuh cinta sama dua, tiga, mungkin empat! Ah, engga tahu!!!
Yg kedua, pertama? Bukan!
Spoiler
Erik sepertinya cinta keduaku, sedangkan Grenouille itu cinta pertamaku
Aktivitasku dimulai dari sekarang, jadi... soal cintaku terhadap Grenouille, nanti-nanti -- lain kali saja aku kisahkan. Itu pun jika ingat bahwa aku pernah ungkapin cinta terhadap mereka di sini
Hidupku sungguh menyenangkan
Tuhan terima kasih,
dan...,
pagi ini aku kurang segar, karena semalam tidurku kuncup kurang mekar. Akibat jatuh cinta berkepanjangan membuat adiktif dan lupa daratan
Semalam, bukan malam sih, lebih tepatnya sore -- sekitar Magrib.
Aku berjumpa mantan di swalayan. Saat di lorong bagian makanan instan, dan aku mau beli Korean Ramyun, karena lapar dan ngidam makan itu. Tiba-tiba aku lihat seseorang yg familiar rasanya. Ga salting, ga sedih, seneng juga engga. Papasan cuma saling melirik, lalu berlalu gitu aja. Lucu, ya... iya -- kehidupan itu lucu. Dari asing menjadi lekat, sangat dekat bagai tanah dan lapisan mineralnya, kemudian menjadi sejauh rambut dan telapak kaki.
Lucunya, dia memakai sepatu yang pernah kuberikan. Awet benar itu sepatu!
(Sedikit intermezo: katanya, kalau pacaran jangan memberikan hadiah ke pasangan berupa sepatu. Karena mitosnya, dia akan pergi jauh; putus! Dan, yup! Benerrrr)
Dan aku? Apa yang kupakai saat tak sengaja berjumpa dengannya?
Aku memakai mahkota pemberiannya. Mahkota tanda kemenanganku sebagai wanita yang berhasil ga jadi bunuh diri karena galau
Dulu... aku berhasil melewati masa-masa itu: ingin melenyapkan diri sendiri akibat kehilangan orang yang dicintai (lagi dan lagi).
Aku kontemplasi kemudian. Meski tak selalu berhasil, tapi faktanya setiap gagal dalam urusan romansa, toh aku masih berdiri tegak di atas muka bumi ini. Malah semakin fabulous *tsaaahhh!*
Jam berikutnya aku balik dari swalayan.
Melewati jalan tikus; semacam gang biar cepat sampai ketimbang jalanan besar.
Di ujung jalan, aku lihat seseorang tertidur di tanah. Hanya beralaskan karung dan ada karung berisi entah apa di sebelahnya. Mungkin beliau ini pemulung. Tidurnya dalam posisi miring, satu tangan jadi bantalnya, dan satu laginya dikepit di antara dua pahanya. Tidurnya agak tersenyum. Mungkin karena bibirnya tipis, jadi kesannya beliau itu tidur seperti tersenyum.
Dibilang nyenyak, engga juga sepertinya. Dibilang terjaga, juga tidak. Tapi matanya terpejam tenang. Berapa usianya? Kurang pasti. Karena pernah ada suatu penelitian, karena jika orang miskin, maka wajahnya akan lebih cepat menua dari usia sebenarnya. Dan beliau ini tampak muda. Mungkin masih remaja? Lalu, kata siapa miskin? Mungkin. Hanya menerka. Karena tidak ada orang kaya yang mau jadi pemulung, kan? Itu hanya ada dalam konten orang rakus uang.
Tuhan menamparku lembut di malam kemarin.
Apa yang kukeluhkan? Sehingga selalu terlintas -- sering ingin mati? Karena menjadi alkoholik? Karena selalu mengulang pola yg sama dalam membina hubungan cinta? Karena lelah dengan rutinitas? Karena kesal terhadap sebagian orang namun tak bisa mengungkapkannya? Karena membenci sesuatu dari diri orang-orang tetapi kerap menyembunyikannya? Karena muak dengan sistem kehidupan? Karena jengkel dengan diri sendiri yang kerap diam enggan meminta hak? Karena apa? Karena apa!? Karena apa, kau -- aku -- diriku menangis sesenggukan sendiri sampai hilang nafsu makan kemudiannya setelah melewatkan beberapa kejadian?
Aku menangis karena tak tahu diri, Tuhan.
Aku tak tahu diri....
Last edited by luntzpandis; 29th June 2020 at 08:07..
Semalam aku tidur.... (Ya, iyalah tidur! Lu pikir main skydiving?)
Dalam tidur itu, aku merasa resah dan gelisah susah enyah pikiranku lelah! *tarik napas
Aku ingin memeluk sesuatu, kehangatan serupa gelenyar rasa gembira.
Namun, hanya ada bantal buluk bernoda air liurku yang mujarab. Aku ini kan titisan burung walet, jadi air liurku mujarab sebagai obat.
Tolong catat itu, Dayang! Siapa saja meminum air liurku, maka segenap raganya akan terberkati dengan kemuliaan.
*berdiri dari singgasana dengan tongkat Mak Erot, eh, Mak Lampir maksudnya.
Distraksi sial!
Lanjoet....
Aku ingin memeluk sesuatu.
Kemudian aku berbalik menyamping bergiliran. Makin tak enak hati, meskipun mata terpejam. Kurasa ini hanyalah mimpi. Mimpi buruk, bukan nyata bahwa aku ingin memeluk sesuatu.
Nyatanya, bukan....
Bagian terbaik dari hidup adalah, menerima kenyataan. Ini kenyataan, bahwa aku kesepian. Sungguh.
Tak pelak kunantikan fajar semoga menyingsing cepat. Daku berlaku tak ubahnya Roro Jonggrang yang tak sudi jika harus berkawin dengan Bandung Bondowoso! Maunya sama Jakarta Jondowoso!
Karena tak ada yang memelihara ayam di sekitar sini, maka kutirukan saja suaraku bagai ayam.
"Mbeeeeeeeekkkkkk," begitulah daku menirukan suara ayam.
Kuharap, aku bisa memanipulasi waktu. Ini sudah pagiiiiii! Sudah pagiiiiii! Waktunya berpetualang. Tak ada rasa sepi lagi. Berhasil, berhasil!
Namun, sayang sungguh sayang....
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Oh! Ah! Ih! Uuuuuuh! Akulah makhluk Tuhan, yang tercipta yang paling gilaaaaa aawwwawwww uuuuhhhiihhhh~
Malam larut tarasa lama. Tidurku tetap gelisah dengan bunyi grrr~grrrr~grrrrr jam lantaiku.
(Jam punyaku emang beda. Bunyinya kayak gledek, dan dipaku dilantai. Biar aku ingat menunduk di setiap waktu, ga sombong getooooo #Eaaaaa).
Itulah rasa kesepianku semalam.
Apakah kalian pernah merasa kesepian? Jika iya, minum saja Topi Miring. Lelap datang, nyawa pun bisa melayang!
(Astaga! Aku berbakat jadi bintang iklan )
Aku ingin dipeluk.
Peluk aku, please
Pelukan selama dua puluh detik pun, itu berharga bagi seseorang dalam menjalani harinya di hari itu.
So, peluklah orang-orang tersayang kalian di pagi hari, gais....
Tak ada yang lebih menyenangkan dan membahagiakan selain senyum hangat dan pelukan sayang untuk memulai hari
Itu salah satu mimpi terbesarku: memeluk seseorang yang ada bersamaku setiap pagi.
Dan bisikku padanya kelak, "Aku di sini -- setiap saat menemani suka-dukamu. Semangat!" kukatakan itu sembari menyentuh jantung hatinya berada; di dada kirinya tanganku berlabuh dengan kapal bernama muara cinta....
(Anjaaayyyy! Sangat berbakat diri ini jadi aktreeeess booookkk!) ~
Last edited by luntzpandis; 4th July 2020 at 09:03..
Kuanggap kau sebagai kekasih hatiku; bermukim tak hanya di sudut relung hatiku saja, namun pula di kelapangan rimbunnya tumbuhan cintaku yang menjulang subur, setelah sekian lama kutanam benihnya dimulai bahkan dari aku berbentuk segumpal daging dalam rahim ibuku.
Hatiku -- engkau yang kusapa begitu...,
hari ini aku taklukkan emosi membabi butaku yang ingin mengumpat serapah pada kenyataan hidupku. Itu kutahan karenamu. Karena berucap tak beradab membuatku merasa melukai sisi lembut kelelakianmu. Aku tahu -- terlalu tahu, bahwasanya apa yang tak bisa ditarik kembali, selain waktu adalah, ucapan; ucapan tak bisa kita tarik lagi jika itu sudah meluncur begitu saja melalui mulut. Untuk itu... terima kasihku diri ini sampaikan melalui partikel tak kasat mata -- ruang maya yang bahkan kau tak akan pernah tahu aku menuliskan ini di sini.
Terima kasih, karena cintamu -- karena aku jatuh cinta sangat gamblang dan terlalu dramatis terhadapmu, aku mampu meredam setiap momentum tak mengenakkan di hidupku, untuk kusimpan sendiri; tak berpengaruh jikalaupun burung gagak menggaok keras tepat di telingaku, atau bahkan sampai mematuk lubangnya hingga berdarah tak berkesudahan perihnya, aku akan tetap diam dan memejamkan mata: bertahan dalam situasi genting seperti apa pun.
Hatiku -- engkau yang bermuara di gersangnya tandus ladang harapanku...,
tidaklah sama hari ini dan kemarin, esok, atau bahkan dua hari lagi, atau mungkin seminggu, sebulan, setahun... seabad! Tidaklah sama aku yang begini dengan nantinya. Karena setiap hari adalah belajar; mempelajari ini dan itu, di sini dan di sana, ke sini dan ke situ. Di setiap hari, kita pasti akan menemukan sesuatu yang baru -- hal menyenangkan yang membuat kita girang, tertawa renyah. Atau bahkan hal memuakkan yang menjadikan kita marah dan pusing tujuh keliling. Namun begitu, kuharapkan ini tetap ada padamu dan padaku (terlebih pada diriku) -- kuharap, doaku -- dalam keadaan suciku setelah berhadast kecil ataupun tak sedang suci dalam melakukan keseharianku, semoga ini tetap ada pada hati bersih kita masih-masing: Tak saling membenci dan merasa kehilangan.
Hatiku -- engkau sejumput asa yang kutemukan di pucuk tumbuhan surgawi...,
mungkin kau pernah mendengar pepatah ini: Hal yang paling menakutkan dari memiliki adalah kehilangan. Pernahkah kaumendengar kalimat tersebut selain dariku? Pahamkah akan isi dan maksudnya?
Yah... bagian terburuk dari menjadi seorang pemilik adalah merelakan -- melepaskan entah itu karena paksaan manusia dan segala kompleksitasnya, ataupun karena sudah ketentuan semesta akan hal tersebut.
Aku takut. Jujur saja. Meskipun tak pelak aku bukanlah pemilikmu, namun ketakutan itu merayap bagaikan bayangan tangan menyerupai makhluk berbisa di tembok suram dan lembap. Tak mematikan jika bayangan itu menerjang, akan tetapi cukuplah sudah membuat jantungan!
Aku menjadi ketergantungan akan kebahagiaan yang diakibatkan olehmu. Sepatutnya, aku bahagia karena diriku sendiri: tertawa karena hal konyol yang kusaksikan sendiri, menangis karena hal bodoh yang kulakukan sendiri, tersenyum karena hal indah yang kuciptakan sendiri, terlelap karena aku yang memang mengantuk, terjaga karena aku sudah cukup beristirahat, makan karena aku lapar, minum karena aku haus bukan main, mandi karena aku ingin kesegaran, jalan ke depan menatap awan karena aku suka kelapangan yang ada padanya, terpejam merasai desiran angin karena aku suka mendengar deru merdu angin -- karena aku; aku ingin melakukannya semua karena aku! Aku, aku dan aku! Namun apa daya? Cinta mengharuskan seseorang menjadi subjek dan objek. Itulah mengapa Jean-Sartre menohok cinta dengan sebuah satir: Pada dasarnya manusia itu makhluk yang ingin menjadi dominan -- tak ingin diatur, dan cinta itu pengatur -- hanya dua pilihan: tidak sama sekali menyerahkan diri untuk cinta, atau menjadi objek dari cinta itu sendiri.
Baiklah... aku sudah kalah sejak jabang bayi. Kalah oleh egoisme seorang induk semangnya. Dan untuk itu, aku meluruhkan -- melucuti titelku sebagai manusia untuk sekali lagi; yang memiliki hak dan ingin mengendalikan hidupnya sendiri, kepadamu. Kuasai aku. Rantai aku. Belenggu aku. Terlentangkan aku pada hukum adat kemanusiaan yang kaumiliki. Apa itu? Menyakitkan? Terlalu brutal? Apa adat hukum kemanusiaanmu, kasihku? Masukkan aku dalam daftar budak terbaik yang seyogianya pernah kau gempur jiwa lugunya. Larungkan tapak jiwaku di samudera bersamaan dengan kekuasaanmu sebagai subjekku.
Russian seagull berkaok di cakrawala. Perlahan, mendarat di batu karang dan menatap di kejauhan danau luas nan menenangkan. Airnya berwarna emas, hasil pantulan dari lembayung senja. Aku berkaca, di ruang kosong -- hamparan luas lapang berbau pengap sisa mentari hari musim panas tahun ini.
Teronggok di sana bekal makan. Sebulir nasi lupa tersumpit sepertinya. Dan kupungut dengan jari tak tercuci. Jorok! Ah, biarlah. Ini hari yang panas, begitu pikirku. Semuanya terasa basah. Jorok di setiap jengkal tubuh -- lengket!
Minumanku habis. Soda enak dan dingin tak cukup hanya sebotol. Jadi kutelan air liur dengan rasa asin kecut sisa kelembapan pagi hari sejuk. Mungkin bibir ini tercampur debu? Atau kotoran tak kasat mata yang menempel tak sengaja? Rasanya, bibirku hangat namun kurang bersih. Ataukah sisa bumbu dari kari? Tak pedulilah. Kenapa harus berpikir sampai sejauh ini? Kotor atau tidak, hangat atau dingin, kotoran atau kesucian, apa peduliku? Aku ingin melihat burung camar. Dan ia -- burung itu terbang kembali -- berkaok tak henti hingga suaranya terdengar seperti seruan seseorang dari jauh.
"Harapan apa yang Paman gumamkan di kuil itu?"
"Paman?" tawanya, "Panggil nama saja," dengan wajah datar letih khas pria pekerja, Paman seperti tokoh bernama, Robot.
"Tidakkah Paman ingin membonceng seseorang di belakang sana selain aku?" tanyaku antusias, "Seseorang spesial." Mataku membulat, kurasa Paman mengerti betapa girangnya aku membayangkan kisah dua insan dalam novel picisan. Atau seperti Layla & Majnun -- sejoli yang mabuk kepayang.
"Tidak ada," ujar Paman. "Kita akan ke Shizouka."
"Eh?" aku tak mengerti, sungguh. Apa maksud Paman? Aku membatin.
"Kita akan melihat Gunung Fuji," cetus Paman. "Muat tidak di belakang sini?" Paman menurunkan box berisi banyak perkakas dari jok belakang. Ada bento box -- tersusun rapi tapi berdebu.
Siapa yang terakhir kali membuatkan bento untuk Paman? Cantikkah istri Paman? Aku membayangkan, Bibi -- istri Paman ialah seorang yang lemah-lembut. Aku tertawa geli. Merasa aneh, karena aku sendiri yang membayangkan menjadi istri Paman. Hi-hi-hi-hi -- menggelikan!
"Coba duduk," pinta Paman, dan..., "tidak bagus, ya," Paman mendesah panjang. "Motor ini tidak begitu bagus, tapi kecepatannya luar biasa!" Paman memuja Yamaha kesayangannya bak memuja Dewa Kesuburan!
Aku mengangguk dan duduk bagaikan Candi Borobudur yang sengaja diboyong Paman dan didudukkan di belakang jok. Sangat tidak pantas, tubuh maskulinku duduk seperti gadis keibuan.
"Harus ubah posisi," aku menyarankan. "Nah, begini lebih enak."
Paman tertawa. Kata Paman, "Kau memang pandai membuat diri sendiri nyaman."
Ya... aku memang pandai membuat diri sendiri nyaman. Nyaman bersama Paman....
"Doa apa yang Paman minta?" tanyaku di tengah perjalanan. "Bolehkah aku tahu?" mataku yang berbinar, kurasa Paman tak akan mampu menangkapnya jelas, karena senja membuat kilau bola mataku meredup seketika.
"Paman percaya Tuhan?" pertanyaanku membuat desir angin menembus gendang telinga.
Paman menjawab agak lama, lalu, "Tentu," kata Paman. "Tentu percaya. Wajahmu yang manis dan tubuhmu yang sehat dan bagus, itu karena Tuhan yang menciptakan. Banyak bersyukurlah dirimu."
Jawaban Paman, cukup membuatku bergeming. Dalam artian baik, aku mengabutkan kenyataan bahwa Paman mungkin memperhatikan fisikku, karakterku, dan juga... mmh, dan juga... adakah Paman pernah membayangkan tidur denganku? Apakah Paman pernah tebersit ingin memelukku dalam keadaan penuh nafsu sebagai pria dewasa? Pernahkah, Paman? Oh, tidak. Kekacauan pikiranku selalu memukul rata semua subjek bernama lelaki. Maaf, Paman.
"Bagaimana?"
Aku turun, dan kuminta sesuatu. "Takoyaki," gumamku, "Aku lapar, Paman. Aku mau takoyaki."
Paman tertawa, "Tidak ada Osaka untuk sementara hari-hari ke depan," seru Paman. "Ada kudapan lebih enak. Ayo!"
Terkadang, aku ingin amnesia saja, Paman. Aku ingin lupa semuanya, termasuk namaku dan siapa aku ini. Aku ingin setiap hari, ketika pergi tidur dan kembali terjaga di pagi buta, aku adalah bayi kecil yang polos -- agak dungu dan naif. Dan satu yang kubutuhkan, rasanya cukup Paman saja. Akan tetapi, aku memiliki ruh orang dewasa. Aku menitikberatkan hidup pada mana yang baik dan mana yang buruk. Sedangkan mauku -- keinginanku, aku tak kenal mana baik dan buruk; aku menjalani saja kehidupan bagaikan binatang. Bercinta kapan pun, di mana pun, makan ini dan itu sampai perut menjadi kram dan muntah atau meledak sekalipun, tidur di jerami atau pinggiran parit, menatap masa bodoh pada masa depan.
"Semoga kamu bahagia," ujar Paman, "Aduh! Kenapa hari ini tidak enak?" gerutu Paman.
Aku suka unagi. Tidak mau membeli sendiri, mahal! Tapi unagiku tak memiliki harga di hari ini -- priceless!
"Terima kasih, Paman."
Paman terus berceloteh betapa tidak enaknya unagi yang kami makan. Rasanya, unagi itu ikut menangis mewakili hati remuk redamku. Tangisan -- kesedihan kadang membuat makanan menjadi tidak enak.
Jadi begitu cara Paman menangis. Menggerutu -- berceloteh tak keruan soal makanan. Padahal sesuap demi sesuap, makanan pun habis dan Paman terus menggerutu.
"Lain kali, saat mengunjungi kuil, jangan tanya apa pintaku, oke?"
Aku mengangguk, dan tersenyum kecil sisa keharuan. "Maaf...." Tundukku lemas.
"Sudah malam," Paman memandangi Yamaha butut berkilau bersih. "Kenapa kamu suka berkendara seperti orang gila bersamaku?"
Aku menyelubungi tubuhku dengan jaket dan menyampirkan tas kanvas di pundak, lalu ujarku, "Momen." Kunaiki jok, duduk seperti pengembara yang siap menerjang hantaman badai dan indah pelangi di depan kehidupan. "Aku senang membangun momen bersama Paman."
Kuharap, Paman mampu menghargai waktu bersamaku. Sama halnya aku, menyimpan sekeping, dua keping momentum, kesempatan waktu kita.
"Kenapa selalu memanggil Paman? Emang aku setua itu?"
"Iya," cetusku jujur.
"Astaga! Tapi aku merasa awet muda."
Aku berpegangan. Hari sudah malam. Tak ada hantu gentayangan. Tapi tawa kami bergentayangan sepanjang jalanan kecil yang meninggalkan jejak ban.
"Paman, kenapa aku jadi wanita?"
"Eh?"
"Kenapa aku jadi wanita? Kenapa bukan laki-laki?"
"Kalau kamu laki-laki, aku tidak akan peduli padamu,"
"Oh, begitu...."
"Kalau kamu laki-laki, aku mungkin seorang perempuan."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena jika sesama laki-laki atau perempuan, tidak akan ada ketertarikan."
"Jadi?"
"Eh?"
"Berarti Paman tertarik padaku karena aku perempuan?"
"Eh?"
Aku tersenyum nakal di belakang Paman, kugoda saja dirinya. "Paman tahu kenapa futon sangat hangat?"
"Eh?"
"Futon hangat karena untuk berbagi," begitu godaku. "Mau berbagi futon?"
"Eeehhhh?"
"Tidak usah! Lagi pula, Paman sudah tua! Hideki tua!"
"Ehhh? Aku awet muda!"
"Tua!"
"Oyasumiiii!"
"Aku awet muda,"