HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Senin, 2024/03/27 13:00 WIB
Klarifikasi Pihak Teuku Ryan soal Minta Nafkah Anak pada Ria Ricis
-
Rabu, 2024/03/28 12:03 WIB
Harvey Moeis Suami Sandra Dewi Tersangka Korupsi Timah, Pakai Rompi Pink
-
Selasa, 2024/03/22 11:14 WIB
Stevie Agnecya Meninggal Dunia, Selebritas Berduka dan Tak Percaya
-
Senin, 2024/03/27 11:39 WIB
Raffi Ahmad Rela Nggak Dibayar untuk Jadi MC Pernikahan Rizky Febian dan Mahalini
-
Senin, 2024/03/27 13:46 WIB
Crazy Rich PIK, Helena Lim Tampil Branded Pakai Rompi Tahanan, Bikin Salfok
-
Rabu, 2024/03/28 12:33 WIB
Penampilan Ammar Zoni Berjenggot Saat Tiba di Kejari Jakarta Barat
|
Thread Tools |
31st March 2011, 20:13 |
#11
|
Addict Member
|
Episode 6 Mobil ambulans yang kukemudikan menerobos gerbang halaman rumah Om Liem, sirenenya meraung, belum cukup, aku menambahinya dengan menekan klakson berkali-kali dan berteriak, meninggalkan belasan polisi yang memaki-maki karena mereka terpaksa loncat menghindar. Aku membanting kemudi, berbelok menaiki fly over, lampu ambulans segera hilang di jalanan lengang. Rencana menukar Om Liem dan Tante sejauh ini berhasil. Tadi, nyaris saja ketahuan, selimut Om Liem tersingkap, memperlihatkan lutut hingga sandal, salah-satu polisi yang curiga menahan, hendak memeriksa, aku segera membentaknya, mencoba mengalihkan perhatian dengan menceracau situasi darurat. Polisi itu menelan ludah, kehilangan fokus beberapa detik—bahkan satu detik amat berharga untuk rencana kabur ini. Ranjang darurat terburu-buru dinaikkan di belakang ambulans, empat perawat dan dokter ikut naik. Aku menyuruh menyingkir sopir ambulans, mengambil alih kemudi. Mobil segera melesat, pergi secepat mungkin dari rumah Om Liem. Dua menit, aku kembali membanting kemudi, ambulans meliuk menuju pintu tol. Waktuku sempit, paling lama lima belas menit, petugas polisi tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi. Sekali mereka tahu, maka proses pengejaran dimulai. Aku teringat sesuatu, mengambil telepon genggam dari saku. “Angkatlah, ayo angkat.” Aku mendesis, tidak sabaran untuk dua hal, nada panggil dan dua truk yang berjalan di depanku, lupakan safety driving, satu tanganku memegang setir, satu tangan lain memegang telepon genggam. “Maggie, maaf membangunkan kau malam-malam.” Aku langsung berseru, sambil menekan klakson panjang, dua truk di depanku santai sekali di jalur cepat, apa mereka tidak mendengar sireneku. “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan, Maggie. Situasi darurat. Aku tahu, tentu saja aku tahu sekarang pukul dua dini hari, dan aku tidak sedang mabuk. Kau segera berkemas, aku butuh kau berada di kantor saat ini, ada banyak yang harus dikerjakan. Kau dengar aku, Maggie? Segera, bergegas, atau promosi kau minggu lalu kubatalkan.” Satu tanganku memutus pembicaraan, satu tanganku segera membanting setir, sialan, ternyata ada mobil lain yang bergerak santai di depan dua truk yang baru saja kusalip. Ambulans yang kukemudikan menyerempet pembatas jalan, membuat baret panjang di sisi ambulans. Aku mendengus, ambulans kembali stabil, ngebut. Telepon genggamku berbunyi, dari Ram, aku mengangkatnya. “Mereka sudah tahu, Thom.” Suara di seberang sana terdengar tercekat. Astaga, aku berseru, sekaligus menekan klakson, alangkah banyaknya truk kontainer di jalan tol. “Kami sudah berusaha menahan mereka, Thom, tetapi mereka mendobrak kamar, kau sekarang ada di mana? Masih jauh dari bandara?” Aku mengumpat dalam hati, baru lima menit, tentu saja masih jauh, yang dekat itu adalah rumah Om Liem di belakangku. “Kabar baiknya mereka tidak tahu kemana tujuan ambulans, Thom. Semua orang di kamar kompak bilang kau telah mengancam, lantas pergi begitu saja melarikan Om Liem, tidak tahu kau hendak kemana. Polisi mulai menyebar informasi ke seluruh patroli, melakukan pengejaran.” “Tiket, Ram. Bagaimana dengan tiket dan dokumen perjalanan kami?” Aku memotong. “Salah-satu staf perusahaan sedang menuju bandara. Semua tiket, paspor dalam perjalanan. Kau tinggal ambil di meeting point pintu keberangkatan.” “Bagaimana, Tante?” “Komandan polisi yang jengkel hendak menahan Tante Liem. Mereka juga sempat memukul beberapa orang di rumah. Tetapi tidak usah kau cemaskan, mereka akan bermasalah dengan belasan pasal dalam hukum pidana jika berani menahan Tante Liem. Dia baik-baik saja, dokter lain sedang menuju ke rumah. Yang tidak baik itu polisi, mereka terlihat marah sekali.” Aku menghela nafas, setidaknya Tante baik. “Kau suruh salah-satu staf lainnya mengubungi rumah sakit, klinik, apa saja yang buka dua puluh empat jam.” Aku berseru, teringat sesuatu. “Eh, buat apa?” “Lakukan saja, Ram. Telepon sebanyak mungkin rumah sakit, laporkan situasi palsu, bilang ada keadaan darurat di sembarang tempat, suruh mereka mengirim ambulans. Aku ingin satu menit lagi, ada belasan ambulans berkeliaran di jalanan kota, itu akan mengelabui polisi yang sedang melakukan pengejaran. Waktuku bukan menit, Ram, tapi detik, jadi bergegaslah.” Telepon genggam kumatikan. Aku juga harus mematikan sirene ambulans agar tidak menarik perhatian, membanting setir ke kanan, ambulans segera menaiki jalur tol menuju bandara, berpisah dengan barisan truk kontainer menuju pelabuhan peti kemas. Aku melirik penanda kilometer di pembatas jalan tol, bandara masih 20km lagi. Aku menekan pedal gas sedalam mungkin, dengan kecepatan 140km/jam, itu hanya delapan menit. Sekali ini, jalan tol lengang, menyisakan pendar cahaya lampu di aspal. Aku menghela nafas, mengusap keringat di pelipis. Baru beberapa hari lalu aku ceramah panjang lebar tentang sistem keuangan dunia yang jahat dan merusak, tapi sekarang, aku melarikan seorang tersangka kejahatan keuangan. Baru beberapa menit yang lalu aku masih terdaftar sebagai warga negara yang baik, bertingkah baik-baik dan selalu taat membayar pajak, tapi sekarang aku menjadi otak pelarian buronan besar. Aku menepuk dahi, teringat sesuatu, dengan cepat menekan kembali meraih telepon genggam. Hingga habis nada panggil, tetap tidak diangkat. Aku mendengus, mencoba nomor kedua, tetap sia-sia, tidak aktif. Masih ada nomor ketiga. Dua kali nada panggil, ayolah diangkat, aku mendesis, lima kali nada panggil, hanya ini satu-satunya harapanku, ayo diangkat. “Malam, Thom. Kau tidak tahu ini jam berapa? Atau jangan-jangan kau sengaja hendak mengolok-olokku lagi, mengangguku tidurku. Harus berapa kali lagi kubilang agar kau puas? Yang Mulia Thomas adalah petarung terhebat klub, tidak ada yang bisa mengalahkan Yang Mulia Thomas.” “Bukan soal itu, Randy.” Aku memotong suara mengantuk Randy. “Lantas hoaaaem apa lagi, Sobat?” Aku mengutuk Randy yang terdengar amat santai. Dengan cepat menjelaskan situasi, aku butuh akses untuk melewati gerbang imigrasi bandara. Tadi di rumah Om Liem bilang surat penangkapannya efektif sejak kemarin siang, untuk kasus besar, itu berarti seluruh gerbang imigrasi sudah menerima notifikasi pencekalan. Komandan polisi di rumah saat ini juga pasti sedang menghubungi bandara, pelabuhan, terminal, stasiun apa saja yang terpikirkan olehnya sebagai titik melarikan diri. “Aku tidak bisa melakukannya, Thom.” Randy akhirnya berkata pelan setelah terdiam. “Kau akan melakukannya, Randy.” Aku berseru galak. “Ini bisa membahayakan karirku.” Suara Randy ragu-ragu. “Omong-kosong, kau pernah melakukannya, belasan kali boleh jadi. Sudah berapa banyak buronan yang kalian loloskan ke luar negeri, hah? Bukankah dengan mudah kalian bisa mengarang-ngarang alasan.” “Yang ini berbeda, Thom.” “Apa bedanya, Randy.” Aku mulai jengkel, pintu keluar tol sudah terlihat, jarakku dengan bandara tinggal dua kilometer, jika Randy tidak bisa membantu, melewati pintu imigrasi bandara sama saja dengan menyerahkan diri. “Setidaknya berikan aku waktu setengah jam berkoordinasi dengan petugas imigrasi—“ “Astaga, Randy. Aku butuh sekarang.” “Aku harus koordinasi dulu, Thom.” “Segera, Randy. Detik ini juga. Kau sudah berjanji di klub bertarung, jika aku mengalahkan Rudi, maka kau akan melakukan apa saja, termasuk meloloskan buronan negara. Janji seorang petarung, Randy.” Randy terdiam sejenak di seberang sana, “Baik, Sobat. Berikan aku satu menit, aku akan memberikan kau akses melintasi petugas imigrasi.” Aku menutup telepon, menerobos pintu tol keluar. Penjaganya berteriak, bilang aku belum membayar, aku hanya bergumam pendek, tidak pernahkah dia melihat ambulans yang terburu-buru? Darurat. Aku menghentikan ambulans lima belas detik sebelum memasuki gerbang bandara, menyuruh empat perawat dan dokter turun, “Kalian pulang ke rumah masing-masing dengan taksi, tidur, beristirahat, lupakan kejadian ini. Jika nanti ada polisi yang menginterogasi, kalian bilang kalian diancam olehku, di luar itu, tidak tahu dan tidak berkomentar, paham?” Dokter dan empat perawat mengangguk. Aku menyuruh Om Liem pindah ke bangku depan, infus, belalai selang dan masker yang pura-pura dipasangkan telah dilepas sepanjang perjalanan tol. Om Liem meringis, tubuh tuanya kelelahan, aku sudah menekan pedan gas, memasuki area bandara. Telepon genggamku berbunyi saat ambulans sudah terparkir di depan pintu gerbang keberangkatan, aku menuntun Om Liem agara bergegas menuju meeting point. Itu Randy, dia memberikan nomor loket imigrasi yang harus kutuju. “Terima kasih, Sobat.” Aku tertawa pelan—akhirnya aku tertawa setelah semua ketegangan, “Aku berjanji, demi bantuan ini, lain kali jika bertarung dengan kau, aku tidak akan menghajar kau habis-habisan.” Randy terdengar mengeluarkan sumpah-serapah. Aku sudah menutup telepon. Salah-satu staf perusahaan sudah menunggu di meeting point, menyerahkan amplop cokelat besar. “Semua tiket, paspor Tuan Liem, ada di dalamnya.” “Kau tidak kesulitan ke sini?” Aku basa-basi bertanya, menghela nafas lega melihat isi amplop. “Aku manajer hotel bandara, Pak. Sekaligus membawahi loket travel agent. Jadwalku berjaga malam ini. Hotel dan travel agent juga milik Tuan Liem, kami selama ini yang menyiapkan dokumen perjalanan, termasuk menyimpan paspor keluarga Tuan Liem. Jadi sama sekali tidak ada kesulitan.” Aku mengangguk, menuntun Om Liem memasuki ruangan check-in. Meski tidak seramai siang hari, aktivitas dini hari bandara tetap sibuk. Cahaya lampu. Calon penumpang mendorong trolley berisi koper. Meja check-in dengan antrian. Aku mengangguk lega. Sekali Om Liem duduk rapi di pesawat yang menuju Frankurt, maka butuh berhari-hari bagi polisi untuk mengembalikannya ke Jakarta. Itu lebih dari cukup memberikan aku waktu untuk membereskan PR lain. *** |
Milan Forever,
|
31st March 2011, 20:14 |
#12
|
Addict Member
|
Dalam teori ekonomi modern, tingkat suku bunga bank sentral (sering dikenal dengan istilah suku bunga SBI, Sertifikat Bank Indonesia) memegang peranan penting sebagai instrumen pengendali. SBI adalah bunga bebas resiko suatu negara, disebut bebas resiko, karena tidak mungkin simpanan dalam bentuk SBI akan gagal bayar—berbeda dengan tabungan atau deposito bank umum, yang bisa default kapan saja dengan beragam alasan.
Jika bank sentral menetapkan suku bunga SBI, misalnya 8 persen, maka itu menjadi patokan seluruh bank umum dalam menetapkan berapa besar bunga kredit yang akan mereka berikan, juga termasuk patokan bagi leasing, asuransi, dan berbagai perusahaan keuangan lainnya. Coba cek berapa bunga tabungan kalian saat ini? Paling tinggi hanya 4 persen per tahun. Nah, coba pikirkan logika sederhana ini, bank x menyimpan uang kalian hanya diberikan bunga 4 persen, tapi dia bisa menggunakan uang kalian untuk membeli SBI (menyimpan uang itu di Pemerintah) dengan bunga 8 persen. Jika bank x punya dana tabungan nasabah 100 triliun, kalikan saja dengan selisih bunga 4 persen, maka sambil ongkang-ongkang kaki, mereka bisa untung 4 triliun setiap tahun. Maka jangan pernah aneh dengan berita rasio penyaluran kredit perbankan rendah, fungsi intermediasi perbankan memble, jumlah simpanan SBI terus meroket, come on, kenapa pula kalian harus repot menyalurkan kredit (yang bisa saja macet, menjadi Non Performing Loan), kalau ada cara mudah mendapatkan untung selisih bunga? Bahkan jika anak SD dijadikan direktur utama bank x tersebut, maka bank x tetap akan untung. Siapa yang membayar 4 triliun itu? Pemerintah. Dari mana uangnya? Dari pajak rakyat. Tetapi ada yang lebih ajaib lagi. Pertanyaannya, bagaimana bank sentral bisa tiba-tiba memutuskan SBI 8 persen? Padahal mereka tahu selisih dengan bunga tabungan bank umum begitu lebar? Karena mereka diamanahkan oleh undang-undang menjaga stabilitas perekonomian. Stabilitas itu salah-satunya tercermin dari angka inflasi. Misalnya, ketika harga-harga diperkirakan naik, perekonomian tumbuh terlalu cepat, overheating, maka bank sentral mengantisipasinya dengan ikut menaikkan suku bunga SBI. Naiknya suku bunga, secara teoritis, akan membuat orang yang punya banyak uang memilih menabung dibandingkan belanja. Dus, uang beredar berkurang, aktivitas jual-beli menurun, harga-harga jadi turun. Juga sebaliknya, ketika harga-harga diperkirakan terlalu turun, perekonomian melambat, maka bank sentral akan mengantisipasinya dengan menurunkan SBI. Turunnya suku bunga SBI, otomatis akan membuat suku bunga pinjaman bank turun, dana murah, orang-orang berbondong pinjam uang, aktivitas jual-beli naik, perekonomian kembali bergairah. Dari penjelasan satu paragraf di atas, catat kata pentingnya: perkiraan. Inilah ajaibnya ilmu ekonomi, inflasi adalah fungsi dari ekspektasi (perkiraan, persepsi). Berapa tingkat inflasi tahun depan? 8 persen? 10 persen? Semua hasil dari perkiraan, antisipasi. Berapa inflasi bulan depan? 0,5 persen? 1 persen? Semua keluar dari kalkulasi erkiraan, eskpektasi. Ajaib bukan? Kita ternyata selama ini mempercayakan nasib perekonomian dunia, nasib periuk nasi banyak orang, kepada orang-orang yang di kelas diajarkan tentang: ekspektasi. Bukankah itu tidak beda dengan para penyihir, dukun, juru ramal, atau profesi dunia ghaib lain? Sialnya, jika kalian bisa menimpuk tukang ramal jika ramalannya salah (atau malah memilih tidak percaya sama sekali), kalian tidak bisa menimpuk menteri ekonomi atau petinggi bank sentral jika mereka salah mengambil kebijakan, “Ternyata variabelnya lebih banyak dari dugaan kami. Ini bukan salah kami. Siapapun pengambil keputusannya, pasti keliru memprediksi turbulensi ekonomi yang ada.” Omong-kosong. Profesor penerima nobel ekonomi yang adalah salah-satu dosenku sekaligus menjadi lawan debatku di sekolah bisnis ternama, hanya tertawa mendengar komentarku—dia pastilah terlatih menghadapi mahasiswa model aku. “Itulah menariknya ilmu ini, Thomas. Sejak jaman Nabi Adam, kita selalu tertarik dengan masa depan, berusaha mengintip rahasia langit, berusaha menjelaskan apa yang akan terjadi esok hari. Nah, dengan pendekatan ilmiah, ilmu ekonomi mengumpulkan bukti-bukti empiris yang ada. Pemegang kebijakan ekonomi bisa menyesuaikan akibat yang terjadi dari kontrol yang mereka punya. Bukan urusanku jika ternyata pemegang kontrol itu ternyata orang yang pengecut, korup dan lebih mementingkan pihak tertentu.” Diskusi ditutup tanpa kesimpulan. Aku menghembuskan nafas panjang. Aku dan Om Liem sudah duduk rapi di dalam pesawat. Lima menit lalu, petugas imigrasi menatapku datar, layar komputernya pastilah mengeluarkan alarm setelah proses scan paspor Om Liem, kode merah. Tetapi dia tanpa banyak bicara, menekan tombol, mematikan alarm. Seperti tidak ada yang terjadi, menyerahkan paspor kami, berseru, “Berikutnya.” Proses boarding hampir selesai, sebagian besar penumpang sudah duduk. Pramugari bahkan sudah menutup bagasi di atas kepala. Persepsi? Aku tiba-tiba memikirkan sesuatu. Apa yang sedang dilakukan polisi saat ini? Mereka pastilah telah menghubungi interpol, mengontak seluruh jaringan yang mereka punya di seluruh dunia. Ekspektasi? Kepalaku terus mengingat diskusi di kelas saat itu. Apa yang sedang dilakukan polisi untuk memburu buronan besar mereka sepuluh tahun terakhir? Tersangka kejahatan keuangan yang sudah mereka pegang tengkuknya, ternyata berhasil kabur dengan mudah. Aku menghela nafas tertahan. Meremas rambut. Memaki dalam hati. Tidak, kami bahkan tidak akan melewati loket transit Dubai. Petugas interpol pasti menunggu di sana, dan bersiap menggelandang kami kembali ke Jakarta. Jika aku dan Om Liem tertangkap, urusan semakin runyam, tidak ada celah sama sekali. Persepsi? Ekspektasi? Aku meremas jemari. Sekarang urusan tidak sesederhana membuat kamuflase Om Liem di atas ranjang darurat. Sekarang, aku harus menciptakan persepsi yang keliru di benak mereka. Kabur ke luar negeri adalah reaksi yang sesuai dengan ekspektasi mereka. Ini bukan pilihan yang baik. Aku harus membuat persepsi yang menipu. Tidak ada waktu lagi. Aku bergegas berdiri, berbisik, “Kita turun dari pesawat.” “Hah?” Dahi lelah Om Liem terlipat. “Bergegas. Mereka hampir menutup pintu pesawat.” Aku sudah membantu melepas safety belt Om Liem. |
Milan Forever,
|
31st March 2011, 20:14 |
#13
|
Addict Member
|
Episode 7 “Do you speak english or french?” Aku berdiri, mendekati pramugari yang berjaga di kabin eksekutif, dia sedang bersiap menutup pintu masuk dekat kokpit. “Both.” Gadis berambut pirang itu tersenyum menawan, gerakan tangannya terhenti. Aku mengangguk, jika begitu aku akan menggunakan bahasa Perancis. “Kami harus turun.” Aku berkata dengan intonasi sesopan mungkin, “Saya dokter profesional yang bertugas menemani Tuan ini berobat ke Frankurt. Sayangnya, menurut penilaianku beberapa menit lalu, beliau tidak cukup sehat untuk berangkat, daripada kalian terpaksa mendarat darurat, saya memilih menunda enam atau dua belas jam, penerbangan berikutnya.” Gadis itu berpikir sejenak, senyumnya masih mengembang. “Kau pastilah amat menyukai kota Merseilles?” Aku balas tersenyum, mengalihkan perhatiannya. Setidaknya biar dia tidak sempat mengingat bagaimana prosedur baku jika ada kejadian seperti ini. “Eh, bagaimana kau tahu?” Gadis itu tertarik. “Bros yang kau kenakan, kalau tidak salah, itu siluet timbul kastil yang indah. Menghadap langsung ke laut Mediterania, bukan? Kau pastilah pernah bermimpi suatu saat menghabiskan bulan madu, atau sekadar berwisata bersama seseorang yang spesial di sana.” Gadis itu tertawa renyah, malu-malu mengangguk. “Tetapi kenapa kau hanya memasang bros seindah ini di ujung kerah? Sedikit tersembunyi?” “Eh, sebenarnya kami dilarang mengenakan aksesoris di luar seragam resmi. Itu pelanggaran.” Dia malu-malu mengaku. Aku mengangguk, memasang wajah bersimpati, bagaimana mungkin hanya sekadar bros tidak boleh—sambil bergumam dalam hati, tipikal pemberontak peraturan, urusan ini lebih mudah lagi, “Bagaimana mungkin bros seindah ini sebuah pelanggaran?” Gadis itu memasang wajah setuju. Aku tersenyum, “Maaf, apakah kami bisa turun?” “Ohiya. Silahkan, aku pikir sepertinya tidak masalah kalian turun.” Gadis itu memberikan jalan. Aku mengangguk untuk kedua kalianya, “Terima kasih banyak.” Om Liem patah-patah dengan tongkat melangkah melewati bingkai pintu pesawat. “Maaf, saya lupa satu lagi.” Dua langkah dari pintu pesawat, aku dengan perhitungan waktu yang terencana kembali menoleh. “Eh?” Gadis itu menatapku, gerakan tangannya terhenti. “Kau bisa menolongku sekali lagi?” “Iya?” “Istri Tuan ini amat pemarah dan selalu curiga.” Aku berbisik, pura-pura merendahkan suara, menunjuk dengan ujung siku Om Liem yang terus berjalan di lorong garbarata, “Kalau saja istrinya tahu kami tertunda enam jam, apalagi dua belas jam, orang tua malang itu habis diomeli. Astaga, kau tidak bisa membayangkan bagaimana istrinya marah,” Aku meniru ekspresi galak seorang wanita tua, “Jadi demi istrinya yang pemarah itu, tolong catat di manifes penerbangan kalau kami tetap berangkat.” Gadis di hadapanku tertawa. “Kau bisa melakukannya?” Dia mengangguk. Aku ikut mengangguk takjim. Melambaikan tangan. Pintu pesawat ditutup dari dalam. Beberapa petugas ground handling sibuk membantu persiapan take off, aku menjawab pendek saat salah-satu dari mereka bertanya kenapa kami tiba-tiba turun, “Double seat, sialan, sistem buruk kalian membuat kami malu.” Petugas itu bingung, sedikit gugup memeriksa daftar penumpang di tangannya. *** Sebelum meninggalkan bandara, aku membeli belasan lembar penerbangan ke luar negeri sepanjang siang nanti, sengaja kudaftarkan atas nama Om Liem. Jika ada polisi yang memeriksa seluruh maskapai, maka mereka setidaknya akan menemukan sembilan kemungkinan tujuan kami. Pukul setengah empat pagi, setelah merobek seluruh tiket, melemparkannya ke dalam tong sampah, aku menyuruh Om Liem kembali naik ke atas ambulans. Tidak, kabur ke luar negeri bukan pilihan terbaik. Lagipula aku harus berada di Jakarta untuk menyelesaikan masalah ini, aku harus menemui banyak orang. Mobil ambulans melesat meninggalkan bandara, dengan kecepatan tinggi. Aku tahu tempat terbaik menyembunyikan Om Liem. *** Jalan tol keluar kota lengang. Ambulans yang kukemudikan melesat dengan kecepatan 140km/jam. “Jika ini tidak penting, hanya salah-satu lelucon kau, besok-lusa aku akan membalasnya, Thom.” Maggie, stafku yang paling gesit, paling supel, dan paling setia melapor sudah siap di kantor. Mungkin ini rekor paling pagi dia masuk kantor. Kalian pernah masuk kantor pukul setengah lima pagi? “Kau segera telepon enam-tujuh wartawan suratkabar, majalah, televisi, berita online, yang sering memintaku menjadi narasumber, kolega pers kita.” Aku mengabaikan keluhan Maggie, mulai mendikte apa yang harus segera dia lakukan, “Kau sertakan juga tiga-empat pengamat ekonomi, kawan dekat, yang sering sependapat dengan kita. Minta mereka berkumpul di salah-satu restoran hotel dekat kantor, bilang, kita punya rilis paling rahasia, paling gress tentang kasus Bank Semesta.” “Jangan tanya detail siapa saja yang harus diundang, Maggie. Ayolah, kau tahu persis harus mengundang siapa. Aku membutuhkan kaki tangan untuk membentuk opini di media massa—meskipun mereka sama sekali tidak merasa telah digunakan.” Terdengar suara coretan pulpen di seberang sana. “Aku tadi sudah menelepon Ram, salah-satu stafnya akan mengantarkan setumpuk laporan paling baru tentang Bank Semesta, kau pastikan menyimpan dokumen itu, aku akan mampir ke kantor. Aku juga butuh working paper audit Bank Semesta, harus sudah ada di mejaku sebelum pukul dua belas siang.” “Mana aku tahu caranya.” Aku sekali lagi mengabaikan keluhan Maggie, “Hubungi kantor auditor, cari partner, manajer atau auditornya, mereka pasti lembur hari Sabtu. Aku tahu itu dokumen confidential, astaga, kau ingin mengajariku soal itu? Nah, kalau tidak, pastikan seluruh working paper audit, terutama tentang debitor, rekening deposito, dan aset Bank Semesta tersedia. Kau juga kumpulkan semua berita, artikel, komentar, bahkan jika ada berita sopir taksi bergumam tentang Bank Semesta selama enam tahun terakhir, catat. Cari di internet, suratkabar, database media massa, gunakan seluruh resources yang ada, termasuk jika informasi itu harus dibeli.” Maggie mengeluh lagi, bilang dia tidak bisa melakukannya sendirian dan secepat itu. “Kau bisa, Maggie. Dan inilah poin terpentingnya, kau tidak boleh bilang siapapun. Kau paham?” “Nah, sekali urusan ini beres, aku berjanji akan memberikan kau dua lembar tiket berlibur. Terserah kau mau kemana dan mengajak siapa.” Aku memutus pembicaraan, mengabaikan seruan riang Maggie, kembali konsentrasi pada kemudi. Semburat merah muncul dibalik gunung. Pemandangan indah dari balik jendela ambulans yang melesat cepat, tapi aku tidak memperhatikan. Kami sudah puluhan kilometer meninggalkan kota Jakarta. “Orang tua ini benar-benar keliru selama ini.” Aku menoleh, Om Liem sedang menatapku datar. Aku pikir dia tertidur, hanya desis pendingin dan suaraku menelepon banyak orang sejak kami meninggalkan bandara tadi yang terdengar di kabin depan ambulans. “Dua puluh tahun aku berpikir kau membenciku karena kejadian itu, Tommi. Ternyata aku keliru.” Om Liem menghela nafas perlahan, antara terdengar dan tidak. “Kau sesungguhnya membenci diri sendiri, bukan?” Om Liem menatapku lamat-lamat. “Itu benar sekali, lihatlah kejadian sejak pukul dua dini hari tadi. Kau adalah pemikir sekaligus eksekutor yang hebat, Tommi. Pintar, berani, dan pandai mempengaruhi orang. Tidak pernah terbayangkan akan jadi apa group bisnis keluarga kita jika kau yang menjalankannya. Dia akan menjadi raksasa mengerikan di tangan seseorang seperti kau. Karena itulah kau membenci diri sendiri.” Om Liem menatap semburat merah yang semakin terang. “Dua puluh tahun kau pergi dari rumah, berusaha menjauhi kami, tidak ingin terlibat, tapi nyatanya kau belajar di sekolah bisnis terbaik, belajar langsung dari muasal kemunafikan. Kau membenci trik, rekayasa, tipu-tipu tingkat tinggi pemilik konglomerasi, eksekutif puncak perusahaan, nyatanya kau mempelajari itu semua, bahkan menjadi penasehat terbaik mereka. Kau berusaha menjadi anak muda yang idealis, dibasuh suci dengan kematian Papa dan Mama kau, nyatanya kau justeru terlahirkan menjadi seorang yang licin bagai belut, penari hebat dalam pertunjukan rekayasa keuangan modern. Orang tua ini keliru, Tommi, kau tidak pernah membenciku, kau selama ini sebenarnya membenci diri sendiri, berusaha mati-matian menjaga jarak, mengendalikan diri agar tidak menjadi sepertiku. Bukankah begitu, Nak?” Mata Om Liem menerawang jauh. Aku tidak menjawab, melambaikan tangan, “Sudah ceramahnya?” Om Liem kembali menoleh padaku. “Kalau sudah, kau seharusnya sekarang tidur, beristirahat.” Om Liem menggeleng, “Orang tua ini tidak mengantuk, Tommi.” “Kalau begitu lebih baik tutup mulut, diam. Aku sedang mengemudi.” Om Liem tertawa pelan, “Kau mirip sekali dengan Papa kau, Tommi. Selalu terus terang dan jujur meski itu kasar dan menyakitkan. Baiklah, bangunkan aku jika sudah dekat di rumah peristirahatan Opa kau.” Aku tidak mengangguk, kembali menatap jalan tol yang lengang. Hanya segelintir orang yang tahu tujuan kami, itu tentu termasuk Om Liem—meski aku tidak memberitahukannya sejak tadi. |
Milan Forever,
|
31st March 2011, 20:56 |
#15
|
Addict Member
|
Ijin menyimak gan,, sambil ngantuk2 dikit ..
|
31st March 2011, 21:07 |
#16
|
|
Addict Member
|
Quote:
Silahkan, |
|
Milan Forever,
|
31st March 2011, 21:19 |
#17
|
|
Groupie Member
|
Quote:
btw darwis udah ga di depok ya? |
|
|
31st March 2011, 21:24 |
#18
|
Addict Member
|
Ada di FB nya dia, baca aja. Katanya Beliau skr tinggal di Bandung. Info ini di dapet dari toko buku onlinenya dia, katanya klo mau novelnya di tanda tangan harus dikirim ke Bandung dulu.
|
Milan Forever,
|
31st March 2011, 21:28 |
#19
|
|
Groupie Member
|
Quote:
sering ketemu di kampus nih dulu |
|
|
1st April 2011, 20:31 |
#20
|
Addict Member
|
Episode 8 Bendungan Tiga Ngarai, atau Three Gorges Dam yang membendung aliran sungai Yangtze, China, luasnya lebih dari 1.000 km persegi, itu berarti jika lebarnya 10 km, maka panjangnya 100km, bayangkan besarnya. Dibangun sejak tahun 1994, bendungan ini membuat 1,3 juta penduduk tergusur. Terlepas dari dana pembangunan yang ratusan triliun rupiah, proyek ini juga harus dibayar dengan ribuan desa, ratusan kota, besar-kecil, kuburan leluhur, lahan pertanian, situs arkeologi, hutan, binatang, semuanya terendam oleh proyek bendungan paling besar dan paling ambisius seluruh dunia. Itu semua untuk 20.000 MW listrik, jutaan hektare irigasi persawahan, kontrol atas banjir tahunan di sungai Yangtze, dan simbol dari pembangunan ekonomi dan peradaban besar negara China. Dalam skala yang lebih kecil, seperduabelas dari Bendungan Tiga Ngarai, adalah Waduk Jatiluhur (secara harfiah waduk berarti kolam). Luas ‘kolam’ ini hanya kurang lebih 83 km persegi. Dibangun sejak tahun 1957, waduk ini adalah yang terbesar di Indonesia. Berapa jumlah penduduk yang harus digusur selama proses pembangunanya? Bayangkanlah sendiri, mengingat lokasi waduk ini termasuk salah-satu lahan subur, area pertanian, dengan penduduk yang padat, itu setara menggusur penduduk seluruh kota Palangkaraya, atau Ambon, atau Palu. Aku tidak peduli soal penggusuran—toh, penguasa saat itu mungkin sambil mengupil menandatangani surat perintah penggusuran. Yang aku peduli, kalian pernah datang ke Waduk Jatiluhur? Rekayasa tangan manusia membuat lembah itu berubah banyak, dan kabar baiknya, dengan hamparan air luas, Waduk Jatiluhur terlihat indah bukan kepalang. Mobil ambulans yang kukemudikan memasuki jalan lengang menuju rumah peristirahatan Opa ketika semburat merah matahari memenuhi ufuk timur, kabut masih mengambang di pebukitan, dan permukaan waduk terlihat begitu mengkilat memesona. Aktivitas pegawai bungalow, hotel, bar, restoran, perkemahan, water park, lapangan tenis mulai menyeruak. Nelayan keramba, petani, pekerja, anak-anak sekolah dan penduduk setempat juga mulai terlihat sibuk. Mobilku terus melaju ke salah satu tepi waduk. Lima belas tahun lalu, Opa memutuskan membeli tanah seluas dua puluh hektar disudut paling eksotis waduk, lantas membangun rumah kecil yang nyaman dan menyenangkan. Seperti kastil negeri-negeri Eropa yang bukan saja memiliki halaman rumput luas terpangkas rapi, tapi juga halaman belakang berupa danau yang luas. Seperti ranch peternakan, seperti kebun anggur. Waktu aku masih belasan tahun, aku sering datang ke sini, berkemah, memancing, berburu, ngebut dengan speed boat, atau sekadar bengong duduk di beranda dermaga, menatap senja bersama Opa yang pat-pet-pot memainkan alat musik. Lantas Opa akan mulai bercerita, yang ceritanya itu-itu saja, seperti kaset rusak. Aku pelan menjawil lengan Om Liem, membangunkan, ambulans yang kukemudikan persis memasuki gerbang halaman. Lengang, hanya beberapa tukang kebun yang adalah tetangga sekitar waduk terlihat sibuk menyalakan mesin penyiram otomatis, belasan jumlah selangnya, muncrat tinggi-tinggi, membuat halaman seperti dipenuhi hujan lokal. “Kita sudah sampai?” Om Liem membuka mata. Aku tidak menjawab, memarkirkan ambulans di halaman belakang yang menghadap waduk. Sepagi ini, Opa pasti sedang duduk menghabiskan secangkir teh hijau sambil berkutat dengan not-not balok. *** “Kau tidak sarapan sebentar, Tommi?” Opa menatapku arif, tersenyum. “Ada banyak yang harus kubereskan.” Aku hanya mengantar Om Liem memasuki halaman belakang, langsung bersiap balik kanan, “Mobilku yang lama masih ada?” “Tentu saja masih,” Opa tertawa, “Tidak ada yang jahil belajar mengemudi dengan mobil itu, lantas tidak sengaja justeru menenggelamkannya ke waduk.” Aku ikut tertawa. Opa suka sekali mengenang kejadian lama. “Opa taruh di garasi, tanyakan pada bujang kuncinya. Ayolah, kita minum teh sebentar, mobil kau itu setidaknya perlu dipanaskan.” Aku menggeleng, mengangkat pergelangan tangan, “Waktuku tinggal 49 jam 45 menit hingga bank dan kantor-kantor buka pukul 8 hari senin lusa, Opa. Aku harus bergegas kembali ke Jakarta. Titip dia, sudah terlalu banyak kekacauan yang dia buat, pastikan dia tidak menambahkannya lagi satu.” Opa tertawa lagi, “Baiklah, Tommi. Terlepas dari aku belum tahu apa yang telah terjadi, aku sebenarnya senang sekali melihat kalian berdua beriringan memasuki halaman rumah beberapa menit lalu, terlihat kompak. Kalian bahkan sudah lama tidak bertemu. Hati-hati, Nak, jangan lupa makan.” Aku mengangguk, balik kanan menuju garasi mobil yang terpisah dari bangunan induk. Saatnya berganti kendaraan yang lebih memadai, aku butuh mobil tercepat untuk kembali ke Jakarta. Opa adalah kolektor mobil yang baik—meski tampilannya bersahaja. Koleksinya tidak banyak, tapi berkelas. Opa paling suka mobil Eropa, salah-satu koleksinya adalah seri merk mobil yang memenangkan Grand Prix Monaco untuk pertama kali. Salah-satu bujang mengantarkan kunci. Aku melepas cover mobilku, bersiul. Ini mobil seri kesekian dari merk yang sama, Opa mengoleksinya karena legenda hidup formula satu juga punya, mobil kesayangan Opa, saking sayangnya, dia jadikan hadiah ulang tahunku yang ke-17 lima belas tahun silam—perayaan yang justeru tidak kuhadiri, ada ujian sekolah. Setengah menit, mobil bertenaga itu sudah melesat meninggalkan garasi, melintasi halaman belakang, Opa melambaikan tangan. Aku hanya mengangguk, menyeringai menatap kasihan Om Liem. Satu jam ke depan, selama menemani Opa sarapan, pastilah Om Liem terpaksa mendengar Opa bercerita sambil manggut-manggut sopan. *** “Kau tahu Tommi, usia Opa baru lima belas saat datang dari pesisir China, menumpang perahu penuh tambalan, berlayar seadanya, bersama puluhan perantau yang mencari dunia baru, mencari kehidupan terjanjikan. Kami nyaris tenggelam di perairan Malaka jika tidak ditolong kapal nelayan, hingga akhirnya berhasil merapat di negeri yang sedang mengalami perang revolusi. Di radio-radio terdengar ceramah bersemangat pemuda bernama Soekarno. Dentuman granat dan suara tembakan memenuhi langit-langit kota. Opa bagai lepas dari mulut macan, masuk perangkap buaya.” “Tetapi Opa benar, Tommi, ini tanah yang dijanjikan. Lima belas tahun berlalu, umur Opa tiga puluh saat menikah dengan Oma, malam pengantin kami dihiasi dengan pidato tentang dekrit presiden, saat itu Opa baru menjejak kehidupan yang baik. Setelah bertahun-tahun menjadi pedagang keliling, buruh seadanya, pembantu juragan besar, Opa akhirnya punya toko tepung terigu kecil di pojokan jalan. Tidak ramai, cukup untuk menghidupi dua anakku. Papa kau, Edward dan paman kau Om Liem.” Ini dua paragraf standar pembuka cerita Opa. Dan aku yang masih berusia belasan tahun bergegas memasang wajah tertarik—karena setiap selesai cerita, kalau Opa merasa kau telah menjadi pendengar yang baik, dia biasanya memberikan hadiah. Mobil yang kukemudikan sudah melesat melewati jalanan yang semakin ramai. Opa bukan pebisnis yang baik. Dia (mengakunya) adalah pemusik yang baik. Suatu ketika Opa pernah tertawa lebar bilang kepadaku, yang masih bocah 6 tahun, “Kau lihat, aku baru menyentuh klarinet ini dua minggu, tapi sudah menguasai sepuluh lagu. Indah sekali bukan? Tidak kalah merdu dibandingkan Opera Peking.” Paaat-pooot-peeet, “Andaikata Opa punya uang membeli alat musik semasa muda, dan tidak harus bekerja keras, boleh jadi Opa menjadi pemusik China terbesar abad ini.” Opa menepuk dadanya, menunjuk poster opera-operas China yang terpajang di ruang tamu kami. Bagiku suara klarinet Opa berisik, tidak ada indah-indahnya, apalagi dia suka membangunkanku pagi-pagi dengan meniup klarinet kencang-kencang di telinga. Adalah Papa Edward dan Om Liem pebisnis yang baik. Mereka memiliki garis tangan yang hebat. Umur mereka baru dua puluh tahun saat mengambil alih toko tepung terigu dari Opa. Saat itu, Papa Edward dan Om Liem dengan yakinnya bilang ke Opa, “Kalau hanya menjual bungkusan sekilo-dua kilo tepung terigu, sampai negeri ini mendaratkan pesawat ke bulan, toko ini hanya begini-begini saja. Kami sudah belajar banyak. Sudah tahu banyak. Biarkan kami mengembangkannya.” Opa Liem menatap mereka berdua lamat-lamat, lantas mengangguk. Maka sejak hari itu Papa dan Om Liem penuh semangat mulai memutuskan berkongsi dengan tengkulak, petugas dan penguasa. Mereka membeli dan menjual tepung terigu setahun dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan selama ini toko tepung terigu Opa bisa menjualnya. Maju pesatlah toko di pojok jalanan itu. |
Milan Forever,
|
detikNews
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer