|
|
18th April 2021, 17:09
|
|
Mania Member
Join Date: Mar 2015
Posts: 1,849
|
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Karena testing di Indonesia sangat jomplang antara kota dan desa. Antara Jakarta dan luar Jakarta. Belum lagi tracing yang kurang, gak ada inisiatif dari pemerintah untuk testing.
Jadi orang baru tau positif Covid-19 setelah testing mandiri, yang tentunya bayar sendiri.
Makanya di Indonesia orang miskin dan orang desa kecil kemungkinannya positif Covid-19. Bukan karena tidak tertular, tapi karena tidak mampu bayar tes Covid-19.
|
Si PKB ini dari dulu sampe sekarang masih juga testing yang diomongin. Masih belum ada kemajuan.
Emang masif testing yang dilakukan negara-negara dibawah ini, yang jumlah testingnya bahkan ada yang beberapa kali lipat jumlah populasinya bisa membantu mereka mengontrol penyebaran COVID-19...??
Based On April 17 2021 Data
Sekitar 1 tahun yang lalu sudah saya posting yang kira-kira begini bunyinya:
Pilih mana:
A. Negara Kategori 1 yang melakukan testing sangat banyak dan masif tetapi penduduknya ogah menerapkan social-distancing, masking mandate dan preventive personal hygiene.
B. Negara Kategori 2 yang melakukan testing hanya untuk keperluan diagnostik tetapi berhasil membuat penduduknya melakukan social distancing, masking mandate dan preventive personal hygiene.
Kalau nalar anda terpakai, tentu jawaban anda yang dulu dan yang sekarang masih sama yaitu memilih yang B.
USA adalah contoh sebuah negara di kategori 1. Dengan penduduk yang 332 juta tapi sudah melakukan 428 juta PCR testing, hampir seratus juta diatas jumlah penduduknya. Kira-kira 83 kali lipat dari tes rasio di Indonesia. Dan hasilnya apa? Karena sebagian politisi maupun penduduknya tidak mempercayai "science", mau jumlah test nya melebihi 1 milyar pun, belum tentu COVID-19 nya terkendali.
Updated 17 April 2021
Padahal sekarang seperempat populasi USA sudah divaksinasi penuh, tetapi kasusnya masih belum juga terkendali. Karena Prokes pandemi masih sering diabaikan di sebagian wilayah di USA.
Di sisi lain, Taiwan adalah contoh ekstrem negara Kategori 2. Dengan penduduk yang berjumlah 24 juta jiwa, sampai sekarang hanya perlu melakukan 513,000 PCR testing, yang kurang dari 1/2 tes rasio di Indonesia. Tapi karena Taiwan belajar dari pandemi sebelumnya dan mereka waspada karena dekat dengan China, mereka tanggap dan dari sejak awal sudah menerapkan prokes pandemi COVID-19.
Testing untuk pengontrolan wabah pada awal penyebaran MEMANG MUNGKIN DILAKUKAN karena yang terkena baru sedikit, sebarannyapun belum meluas dan karena belum banyak, maka hasil tes nya bisa didapat dalam waktu kurang dari sehari. Anehnya, testing malah di-generalisir oleh sebagian epidemiolog sebagai cara untuk mencegah penyebaran wabah.
Seperti yang dikatakan oleh Bill Gates, hampir semua testing yang dilakukan saat ini adalah sampah. Mengapa? Karena hasil test PCR-nya baru ketahuan beberapa hari kemudian [malah kalau kasusnya membeludak bisa-bisa hasilnya baru keluar semingguan kemudian].
Neh, kita tanyakan ke si PKB, katakanlah hasil PCR seseorang baru bisa keluar 3 hari kemudian, dan ternyata hasilnya negatif. Apakah orang tersebut DIJAMIN NEGATIF pada saat hasil tes nya keluar?? Jawabannya: TIDAK. Karena bisa saja dia tertular sesaat sesudah dia di tes, atau di hari sesudahnya, atau di hari sesudahnya lagi atau di hari ketiga ketika dia mendapatkan hasil test PCR nya. Itulah yang
dinamakan sebagai hasil tes PCR itu sampah kalau hasil nya baru bisa keluar sekian hari kemudian.
Yang dilakukan oleh Indonesia ternyata cukup cerdik. Karena ketimbang duitnya habis untuk dipakai men-tes PCR yang kegunaannya sangat marginal, lebih baik duitnya digunakan untuk hal lain. Mungkin mencari dan coba mengontrak produsen-produsen vaksin lain ditengah ketidak pastian embargo vaksin, seperti yang asal Eropa/India yang sedang terjadi pada saat ini.
Jadi apa yang paling penting di dalam masa wabah yang berkepanjangan karena antara lain disebabkan oleh kelangkaan vaksin. Tidak ada cara lain, lebih bersabar lagi untuk terus melakukan dan lebih mengetatkan lagi PROKES karena hanya itulah dan vaksin yang sejauh ini masih mungkin bisa membawa kita semua keluar dari wabah ini.
Yang ditakutkan adalah dengan jumlah kasus aktif di Indonesia yang jumlahnya cukup signifikan sehingga akan lebih memungkinkan terjadinya mutasi yang menghasilkan varian-varian lokal yang mirip dengan varian Inggris yang SANGAT MENULAR, varian Afrika Selatan yang SANGAT LIHAI MENEROBOS sistem imun dan varian Brazil PENYERANG YANG BERUSIA MUDA. Kalau itu terjadi, Indonesia akan berada didalam keadaan yang sangat berbahaya. Karena tingkah laku penduduknya hampir 11-12 dengan penduduk India.
|
|
Last edited by theflyingblade; 18th April 2021 at 17:13..
|
18th April 2021, 19:14
|
|
Mania Member
Join Date: Nov 2018
Location: TWICE - JYP
Entertainment -
Korea
Posts: 5,441
|
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Sekitar 1 tahun yang lalu sudah saya posting yang kira-kira begini bunyinya:
Pilih mana:
A. Negara Kategori 1 yang melakukan testing sangat banyak dan masif tetapi penduduknya ogah menerapkan social-distancing, masking mandate dan preventive personal hygiene.
B. Negara Kategori 2 yang melakukan testing hanya untuk keperluan diagnostik tetapi berhasil membuat penduduknya melakukan social distancing, masking mandate dan preventive personal hygiene.
Kalau nalar anda terpakai, tentu jawaban anda yang dulu dan yang sekarang masih sama yaitu memilih yang B.
|
Anda melupakan negara yang bisa melakukan dua-duanya. Saya kasih contoh 3 saja negara yang sudah cukup berhasil mengendalikan pandemi, yaitu Australia, New Zealand, dan Singapore. Singapore walaupun masih ada penambahan kasus belasan atau puluhan per hari tapi mayoritasnya adalah KASUS IMPOR. Sementara kasus lokal sudah NOL selama beberapa minggu.
Australia yang sekarang sudah enak, Masker tidak wajib lagi, acara-acara sudah mulai dibuka walaupun belum bisa penuh 100%. Tapi pengawasan mereka tetap tidak kendor. Lihat, testing mereka masih lebih masif dibanding negara ini.
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Testing untuk pengontrolan wabah pada awal penyebaran MEMANG MUNGKIN DILAKUKAN karena yang terkena baru sedikit, sebarannyapun belum meluas dan karena belum banyak, maka hasil tes nya bisa didapat dalam waktu kurang dari sehari. Anehnya, testing malah di-generalisir oleh sebagian epidemiolog sebagai cara untuk mencegah penyebaran wabah.
Seperti yang dikatakan oleh Bill Gates, hampir semua testing yang dilakukan saat ini adalah sampah. Mengapa? Karena hasil test PCR-nya baru ketahuan beberapa hari kemudian [malah kalau kasusnya membeludak bisa-bisa hasilnya baru keluar semingguan kemudian].
Neh, kita tanyakan ke si PKB, katakanlah hasil PCR seseorang baru bisa keluar 3 hari kemudian, dan ternyata hasilnya negatif. Apakah orang tersebut DIJAMIN NEGATIF pada saat hasil tes nya keluar?? Jawabannya: TIDAK. Karena bisa saja dia tertular sesaat sesudah dia di tes, atau di hari sesudahnya, atau di hari sesudahnya lagi atau di hari ketiga ketika dia mendapatkan hasil test PCR nya. Itulah yang
dinamakan sebagai hasil tes PCR itu sampah kalau hasil nya baru bisa keluar sekian hari kemudian.
|
Masalahnya adalah:
- screening sebelum tes PCR ini sudah salah, kita menggunakan rapid antigen tapi yang lanjut ke tes PCR adalah yang hasil antigennya positif, padahal salah, kalau antigen positif ya berarti dia positif Covid-19, kalau antigen negatif baru harus lanjut ke PCR
- testing tanpa tindakan lanjut sama saja bohong, setelah positif ya sudah kalau tanpa gejala tinggal isolasi di rumah, padahal harusnya dilanjut dengan tracing dan lockdown 1 kampung tempat tinggalnya
Kalau testing tidak penting, kenapa kita tidak lupakan saja testing-testing ini??? Kenapa kita tidak sampaikan ke WHO, supaya WHO memerintahkan negara-negara untuk menghentikan tes yang ternyata sampah itu??? Itu kalau betulan yang namanya testing ternyata sampah.
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Yang dilakukan oleh Indonesia ternyata cukup cerdik. Karena ketimbang duitnya habis untuk dipakai men-tes PCR yang kegunaannya sangat marginal, lebih baik duitnya digunakan untuk hal lain. Mungkin mencari dan coba mengontrak produsen-produsen vaksin lain ditengah ketidak pastian embargo vaksin, seperti yang asal Eropa/India yang sedang terjadi pada saat ini.
|
Cerdik apanya??? Kalau cerdik, harusnya penambahan kasusnya gak sampai 5.000-an per hari.
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Jadi apa yang paling penting di dalam masa wabah yang berkepanjangan karena antara lain disebabkan oleh kelangkaan vaksin. Tidak ada cara lain, lebih bersabar lagi untuk terus melakukan dan lebih mengetatkan lagi PROKES karena hanya itulah dan vaksin yang sejauh ini masih mungkin bisa membawa kita semua keluar dari wabah ini.
Yang ditakutkan adalah dengan jumlah kasus aktif di Indonesia yang jumlahnya cukup signifikan sehingga akan lebih memungkinkan terjadinya mutasi yang menghasilkan varian-varian lokal yang mirip dengan varian Inggris yang SANGAT MENULAR, varian Afrika Selatan yang SANGAT LIHAI MENEROBOS sistem imun dan varian Brazil PENYERANG YANG BERUSIA MUDA. Kalau itu terjadi, Indonesia akan berada didalam keadaan yang sangat berbahaya. Karena tingkah laku penduduknya hampir 11-12 dengan penduduk India.
|
Nah itu anda tau sendiri, pengetatan prokes, tapi sayangnya pemerintah udah makin gak peduli dengan ini. Kecuali larangan mudik yang sudah terlambat. Padahal harusnya dari awal Covid-19 sampai sekarang, yang namanya perpindahan antar wilayah harus dilarang, kenapa cuma pas musim mudik lebaran saja??? Itu pun kemarin polisi malah bilang "silakan mudik sebelum tanggal 6", mereka-mereka ini maunya apa sih???
|
|
|
18th April 2021, 20:57
|
|
Groupie Member
Join Date: Feb 2016
Location: Kampung Keling
Posts: 24,386
|
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Anda melupakan negara yang bisa melakukan dua-duanya. Saya kasih contoh 3 saja negara yang sudah cukup berhasil mengendalikan pandemi, yaitu Australia, New Zealand, dan Singapore. Singapore walaupun masih ada penambahan kasus belasan atau puluhan per hari tapi mayoritasnya adalah KASUS IMPOR. Sementara kasus lokal sudah NOL selama beberapa minggu.
|
Penduduk Singapore sekitar 5,7 juta orang.
Penduduk Australia sekitar 25,4 juta orang.
Penduduk Selandia Baru sekitar 5 juta orang.
Penduduk Indonesia sekitar 270 juta orang.
Sudah jelas perbedaannya?
|
|
King of Losers
|
18th April 2021, 21:28
|
|
Mania Member
Join Date: Nov 2018
Location: TWICE - JYP
Entertainment -
Korea
Posts: 5,441
|
Quote:
Originally Posted by kumalraj
Penduduk Singapore sekitar 5,7 juta orang.
Penduduk Australia sekitar 25,4 juta orang.
Penduduk Selandia Baru sekitar 5 juta orang.
Penduduk Indonesia sekitar 270 juta orang.
Sudah jelas perbedaannya?
|
Kenapa sih jumlah penduduk selalu dijadikan alasan negara ini tidak mau berbenah???
Kita ini anggota G-20 loh. GDP total kita salah satu yang terbesar di dunia. Tapi penanganan Covid-19 di negara ini kok ecek-ecek.
|
|
|
18th April 2021, 21:38
|
|
Groupie Member
Join Date: Feb 2016
Location: Kampung Keling
Posts: 24,386
|
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Kenapa sih jumlah penduduk selalu dijadikan alasan negara ini tidak mau berbenah???
Kita ini anggota G-20 loh. GDP total kita salah satu yang terbesar di dunia. Tapi penanganan Covid-19 di negara ini kok ecek-ecek.
|
Bukan tidak mau berbenah tapi lebih sulit kalau penduduknya jauh lebih banyak.
Mau jumlah tes yang cukup secara persentasi dibanding jumlah penduduk? Makin kecil jumlah penduduknya ya lebih mudah, makin banyak jumlah penduduk ya lebih susah.
|
|
King of Losers
|
18th April 2021, 22:49
|
|
Mania Member
Join Date: Mar 2015
Posts: 1,849
|
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Anda melupakan negara yang bisa melakukan dua-duanya. Saya kasih contoh 3 saja negara yang sudah cukup berhasil mengendalikan pandemi, yaitu Australia, New Zealand, dan Singapore. Singapore walaupun masih ada penambahan kasus belasan atau puluhan per hari tapi mayoritasnya adalah KASUS IMPOR. Sementara kasus lokal sudah NOL selama beberapa minggu.
|
Selandia Baru tidak masuk hitungan ITU NEGARA TERPENCIL BERPENDUDUK CUMA 5 juta orang? Gampang buat mereka untuk sementara hidup sebagai hermit, selama mereka masih bisa mengekspor wine dan hasil pertanian. Tetapi kalau pandemi terus berlangsung 2 tahun lagi, seluruh Selandia Baru akan bangkrut.
Kan sudah dibilang negara-negara dengan penduduk secuil, seperti New Zealand dan Singapore akan MATI DULUAN kalau pandemi terus berkepanjangan.
Demikian juga Singapura yang penduduknya CUMA 5.5 juta. Penduduk Indonesia itu 50X lipat penduduk Singapura. Elo bisa berhitung tidak seh? Cukup 1 kasus di Sinagpura itu sudah sama dengan 50 kasus di Indonesia. Kalau ada 100 kasus di Singapura? Coba elo hitung sendiri itu sama dengan berapa kasus di Indonesia??
Sejauh ini kasus COVID-19 di singapura itu 10,330 per sejuta penduduk. Indonesa cuma sekitar setengahnya di 5,800 per sejuta penduduk. Lebih aman berjalan-jalan di pulau-pulau di Indonesia dariapada berjalan-jalan di sebuah pulau kecil yang namanya Singapura.
Australia juga sekarang sedang kelimpungan. Dosis untuk Vaksinasi tidak cukup, perbatasan LAUT/UDARA MASIH HARUS DITUTUP. Emang mereka nekad mau buka perbatasan kalau program vaksinasinya mandek?? Program vaksinasi mereka sebagian besar bergantung kepada vaksin dari AstraZeneca yang sedang mengalami embargo ekspor dan vaksin Janssen. Tetapi kedua vaksin jenis viral-vector ini sedang menghadapi permasalahan "adverse reactions" blood-clotting yang harus di studi lebih jauh. Padahal sekitar 3.5% ekonomi Australia bergantung kepada turisme yang tidak akan bisa berjalan tanpa lancarnya program vaksinasi terlebih dahulu.
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Australia yang sekarang sudah enak, Masker tidak wajib lagi, acara-acara sudah mulai dibuka walaupun belum bisa penuh 100%. Tapi pengawasan mereka tetap tidak kendor. Lihat, testing mereka masih lebih masif dibanding negara ini.
|
Testing di australia yang cuma 15 juta itu sudah masif?? Elo bloon apa guoblok?? Mau tau yang namanya masif? Penduduk Uni Emirat Arab itu cuma 10 juta, tetapi testingnya sudah 41.5 juta. Itu artinya jumlah testingnya sudah lebih dari 4 kali lipat jumlah penduduknya. Nah itu baru namanya masif.
Dalam tempo 2.5 bulan saja, angka testing Indonesia AKAN MELEBIHI angka testing Australia. Mengapa? Karena Indonesia melakukan testing sekitar 400,000 perminggu. Australia? Pada saat ini paling banter cuma seratusan ribu perminggu.
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Masalahnya adalah:
- screening sebelum tes PCR ini sudah salah, kita menggunakan rapid antigen tapi yang lanjut ke tes PCR adalah yang hasil antigennya positif, padahal salah, kalau antigen positif ya berarti dia positif Covid-19, kalau antigen negatif baru harus lanjut ke PCR
- testing tanpa tindakan lanjut sama saja bohong, setelah positif ya sudah kalau tanpa gejala tinggal isolasi di rumah, padahal harusnya dilanjut dengan tracing dan lockdown 1 kampung tempat tinggalnya
|
Nah makin kelihatan blo'on nya si tenggen...
Sejak kapan kalau positif "rapid tes antigen" itu artinya sudah pasti positif terkena COVID-19? Mengerti konsep yang namanya "FALSE POSITIVE"? Berapa besar "FALSE POSITIVE" untuk "rapid tes antigen"? Coba elo baca dulu baik-baik brosurnya...
Dengan keadaan wabah COVID-19 yang sudah mendekati fase endemik di Indonesia, lantas orang-orang bengal di Indonesia mau di tracing...?? Terus kemudian satu kampung harus langsung di lockdown...?? Elo dapat ilmu dari mana seh?? Dari lapo tuak juga kah??
daripada elo suntuk numpang di rumah sodara elo... Bagusan cari pekerjaan di luar rumah aja deh. Jadi kenek bis ALS kale...?? Elo bisa jalan-jalan gratis sambil di gaji lagi...
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Kalau testing tidak penting, kenapa kita tidak lupakan saja testing-testing ini??? Kenapa kita tidak sampaikan ke WHO, supaya WHO memerintahkan negara-negara untuk menghentikan tes yang ternyata sampah itu??? Itu kalau betulan yang namanya testing ternyata sampah.
|
Coba dalam benak elo elo pikir, kalau test PCR baru bisa keluar 3 hari ataupun seminggu kemudian, apa gunanya hasilnya buat orang yang lagi dites apalagi buat pemetaan penyebaran kasus COVID-19??
Makanya elo dengerin omongan si Bill Gates, yang pinter, 5 besar terkaya di dunia yang juga seorang philantropist, yayasannya Nill & Melinda Gates Foundation adalah yang mendanai CEPI, GAVI dan COVAX. Sedangkan elo cuma kere tenggen, yang setahunan lebih masih numpang di sodara elo...
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Cerdik apanya??? Kalau cerdik, harusnya penambahan kasusnya gak sampai 5.000-an per hari.
|
Makanya pandai-pandai berhitung. 5000 per 275,000,000 populasi itu berapa persen seh?? Bandingkan dengan Brazil 65,000 kasus baru per populasi 215,000,000, atau Uni Arab Emirate yang penduduknya cuma 10 juta dan sudah melakukan 41.5 juta PCR testing TETAPI KASUS BARUNYA MASIH SELALU SEKITAR 2,000-an PERHARI, dan itu setara dengan 54,000 kasus baru perhari kalau di Indonesia.
Coba pelajari sekali lagi tabel diatas..., sepertinya elo masih kebingungan... Kan gw udah sarankan dari sejak dulu..., kalau ketemu sesuatu yang banyak angka-angka -nya, elo cepet cepet kabur...
Karena orang tenggen paling bingung kalo ngelihat angka-angka...
.
.
|
|
Last edited by theflyingblade; 18th April 2021 at 22:52..
|
19th April 2021, 00:11
|
|
Mania Member
Join Date: Nov 2018
Location: TWICE - JYP
Entertainment -
Korea
Posts: 5,441
|
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Selandia Baru tidak masuk hitungan ITU NEGARA TERPENCIL BERPENDUDUK CUMA 5 juta orang? Gampang buat mereka untuk sementara hidup sebagai hermit, selama mereka masih bisa mengekspor wine dan hasil pertanian. Tetapi kalau pandemi terus berlangsung 2 tahun lagi, seluruh Selandia Baru akan bangkrut.
Kan sudah dibilang negara-negara dengan penduduk secuil, seperti New Zealand dan Singapore akan MATI DULUAN kalau pandemi terus berkepanjangan.
Demikian juga Singapura yang penduduknya CUMA 5.5 juta. Penduduk Indonesia itu 50X lipat penduduk Singapura. Elo bisa berhitung tidak seh? Cukup 1 kasus di Sinagpura itu sudah sama dengan 50 kasus di Indonesia. Kalau ada 100 kasus di Singapura? Coba elo hitung sendiri itu sama dengan berapa kasus di Indonesia??
Sejauh ini kasus COVID-19 di singapura itu 10,330 per sejuta penduduk. Indonesa cuma sekitar setengahnya di 5,800 per sejuta penduduk. Lebih aman berjalan-jalan di pulau-pulau di Indonesia dariapada berjalan-jalan di sebuah pulau kecil yang namanya Singapura.
Australia juga sekarang sedang kelimpungan. Dosis untuk Vaksinasi tidak cukup, perbatasan LAUT/UDARA MASIH HARUS DITUTUP. Emang mereka nekad mau buka perbatasan kalau program vaksinasinya mandek?? Program vaksinasi mereka sebagian besar bergantung kepada vaksin dari AstraZeneca yang sedang mengalami embargo ekspor dan vaksin Janssen. Tetapi kedua vaksin jenis viral-vector ini sedang menghadapi permasalahan "adverse reactions" blood-clotting yang harus di studi lebih jauh. Padahal sekitar 3.5% ekonomi Australia bergantung kepada turisme yang tidak akan bisa berjalan tanpa lancarnya program vaksinasi terlebih dahulu.
Testing di australia yang cuma 15 juta itu sudah masif?? Elo bloon apa guoblok?? Mau tau yang namanya masif? Penduduk Uni Emirat Arab itu cuma 10 juta, tetapi testingnya sudah 41.5 juta. Itu artinya jumlah testingnya sudah lebih dari 4 kali lipat jumlah penduduknya. Nah itu baru namanya masif.
Dalam tempo 2.5 bulan saja, angka testing Indonesia AKAN MELEBIHI angka testing Australia. Mengapa? Karena Indonesia melakukan testing sekitar 400,000 perminggu. Australia? Pada saat ini paling banter cuma seratusan ribu perminggu.
|
Kenapa giliran ngomongin pertambahan kasus positif dibagi per jumlah penduduk, tapi giliran testing yang dibahas adalah totalnya, bukan per jumlah penduduk??? Padahal yang saya bandingkan dengan grafik itu adalah TES HARIAN PER JUMLAH PENDUDUK, Di situ kita kalah jauh dibanding Singapore, Australia dan New Zealand.
Dan soal kasus positif, mana yang lebih aman??? Jelas Singapore lah. Baca lagi kalimat saya sebelumnya. Singapore mencatat 0 KASUS DOMESTIK selama lebih dari 3 minggu. Semua kasus baru adalah KASUS IMPOR.
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Nah makin kelihatan blo'on nya si tenggen...
Sejak kapan kalau positif "rapid tes antigen" itu artinya sudah pasti positif terkena COVID-19? Mengerti konsep yang namanya "FALSE POSITIVE"? Berapa besar "FALSE POSITIVE" untuk "rapid tes antigen"? Coba elo baca dulu baik-baik brosurnya...
|
Quote:
Hal penting ketiga adalah metode testing yang digunakan. India menggunakan tes antigen sejak awal. Di India, pemeriksaan tak perlu ditingkatkan dengan PCR jika secara antigen terbukti positif.
âÂÂNah tes antigen itu kalau di mereka kalau positif tak perlu dilanjut PCR. Jadi kalau positif, sudah jelas. Kalau negatif lalu dicek lagi. Berbeda kan dengan Indonesia? Di kita terbalik. Kalau antigen hasilnya positif harus dilanjutkan pakai PCR, nah yang hasilnya negatif dibiarin. Salah,â tukasnya.
https://www.jawapos.com/internasiona...l4JSDO_NUi_P-Q
|
Saya tidak tahu false positive antigen berapa persen, tapi memang lebih baik false positive daripada false negative. False negative lebih berbahaya, karena yang dikira negatif ternyata positif, padahal dia terlanjur menyebarkan virus ke orang-orang di sekitarnya.
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Dengan keadaan wabah COVID-19 yang sudah mendekati fase endemik di Indonesia, lantas orang-orang bengal di Indonesia mau di tracing...?? Terus kemudian satu kampung harus langsung di lockdown...?? Elo dapat ilmu dari mana seh?? Dari lapo tuak juga kah??
|
Lebih baik ada tracing daripada tidak ada tracing sama sekali. Kalau modelnya kayak gini ya gak bakalan kelar pandemi di negara ini.
Quote:
Temen saya di Jakarta 2 minggu lalu cek PCR mandiri (dikarenakan indra penciuman dia hilang, walaupun enggak ada gejala lain). Hasilnya positif, lalu dikarantina di wisma salah satu BUMN pemerintah (which means karena wisma BUMN kemungkinan bantuan pempus, dimana itu gratis, dan dikasih makan 3 kali sehari). Dalam 10 hari udah disuruh keluar, dan disuruh tes PCR sendiri lagi. Hari ini baru keluar bahwa hasilnya negatif.
Pertanyaannya, siapa yang jadi target tes PCR pemerintah, kalo ujung-ujungnya yang positif pun harus PCR sendiri? Correct me if I'm wrong, perihal bantuan tes PCR dari pemerintah kalo di lapangan harusnya jadi jurisdikasi pemprov DKI (karena enggak mungkin seluruh provinsi di Indonesia pempus yang ngatur bantuan tes PCR-nya). Selama ini gembar gembor tes PCR di Jakarta banyak ke siapa aja?
Fakta menarik lainnya adalah, enggak ada tracing sama sekali dari pemprov DKI Jakarta. Enggak ada yang nanya temen saya kira-kira kenanya darimana, dalam seminggu terakhir ketemu siapa aja, dan lain-lain. Lalu buat apa memperketat PSBB kalau enggak ada tracing sama sekali kaya begitu? Konyol.
Sekarang pun saya jadi curiga jangan-jangan jumlah tes yang dilaporkan DKI Jakarta kebanyakan dari hasil tes rakyatnya sendiri, bukan bantuan pemprov. Karena enggak cuma 1 temen saya ini yang saya denger tes PCR-nya bayar sendiri.
Di sisi lain, dengan semakin banyaknya rumah sakit yang bisa melakukan tes PCR mandiri di Jakarta, semakin aneh tes PCR ini. Ada rumah sakit yang kalo bayar 1.5 juta hasil tesnya keluar dalam 2 hari, kalo 2 juta keluar dalam sehari 1x24 jam, kalo 2.5 juta 6 jam aja udah keluar. Bisnis oh bisnis.
https://www.skyscrapercity.com/goto/post?id=169751913
|
Quote:
Ini cerita temen saya di Bekasi yg adiknya dinyatakan positif Covid-19
A: Jadinya tes PCR apa ga mas?
B: nggak mas.. rapid aja.. tapi diminta isolasi mandiri 14 hari..
A: Ditracing sama dinkes bekasi apa ga mas?
B: nggak mas.. kita yang inisiatif menghubungi ke dinas kesehatan.. itu rapid juga sendiri.. karena dari dinas nggak dipanggil-panggil..
B:
iya, aku jadi paham kenapa penyebarannya cepet banget di indonesia.. ya karena sebenernya dinasnya juga gak peduli-peduli amat sama orang yang kontak erat.. orang yang lapor aja dicuekin, apalagi orang yang bodo amat.. ya wasalam.. padahal aku juga udah nyampein soal surat edaran walikota bekasi soal contact tracing tapi ya itu dientengin.. "Bapak kan kontaknya cuma sebentar aja dan gak tinggal serumah sama yang positif".. walaupun di SE-nya tertulis jelas kontak erat itu berada dalam satu tempat yang sama lebih dari 15 menit..
bisa jadi juga mereka emang overload kapasitas untuk testingnya.. jadi yang gak ada gejala nanti-nanti aja nanganinnya..
ya begitulah Indonesia mas, jadi paham begitu ngalamin sendiri.. aku tiga hari bolak balik lapor puskesmas dan dinas kesehatan.. ujungnya cuma diminta ninggalin fotokopi KK sama nomor hp untuk nanti dihubungi untuk tes.. tapi sampai detik ini masih belum juga dites..
https://www.skyscrapercity.com/threa...post-169760533
|
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
daripada elo suntuk numpang di rumah sodara elo... Bagusan cari pekerjaan di luar rumah aja deh. Jadi kenek bis ALS kale...?? Elo bisa jalan-jalan gratis sambil di gaji lagi...
|
Saya sudah bisa berdagang secara online dari dalam rumah. Jadi ngapain lagi cari pekerjaan di luar rumah??? Biar saya bisa anda tuduh sebagai penyebar virus???
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Coba dalam benak elo elo pikir, kalau test PCR baru bisa keluar 3 hari ataupun seminggu kemudian, apa gunanya hasilnya buat orang yang lagi dites apalagi buat pemetaan penyebaran kasus COVID-19??
Makanya elo dengerin omongan si Bill Gates, yang pinter, 5 besar terkaya di dunia yang juga seorang philantropist, yayasannya Nill & Melinda Gates Foundation adalah yang mendanai CEPI, GAVI dan COVAX. Sedangkan elo cuma kere tenggen, yang setahunan lebih masih numpang di sodara elo...
|
Seharusnya Bill Gates dkk ngomong ke WHO. Biar WHO yang kasih advise ke seluruh negara di dunia. Kalau ternyata testing itu tidak penting, berarti semua angka positif yang kita bahas dari awal pandemi ternyata tidak ada gunanya. Sampah semua. Berarti semua data yang beredar itu sia-sia.
|
|
|
19th April 2021, 02:49
|
|
Mania Member
Join Date: Mar 2015
Posts: 1,849
|
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Kenapa giliran ngomongin pertambahan kasus positif dibagi per jumlah penduduk, tapi giliran testing yang dibahas adalah totalnya, bukan per jumlah penduduk??? Padahal yang saya bandingkan dengan grafik itu adalah TES HARIAN PER JUMLAH PENDUDUK, Di situ kita kalah jauh dibanding Singapore, Australia dan New Zealand.
|
Bukan nya ELO yang bilang tes di Australia SUDAH MASIF?? Mungkin elo perlu buka kamus dulu arti MASIF itu apaan seh...??
Kalo negaranya cuma satu pulau atau beberapa pulau dengan jumlah penduduk yang cuma 5 jutaan mah gak usah digunakan sebagai contoh... Kalo elo punya nalar pasti udah ngeh hal simpel yang seperti itu.
Apalagi negara yang namanya "singapura", yang segala informasi yang keluar harus di-acc dulu oleh pemerintahnya kalau enggak bakalan dimasuk kan ke dalam bui.
Neh, gw ajarin ke elo: Penduduk Singapura itu ada 5.9 juta jiwa dengan luas daratan sekitar 700 KM persegi. Dengan kepadatan sekitar 8500 orang perkilometer persegi. Tetapi yang pernah tinggal di Singapura pasti tahu, di city core dan di pusat bisnis, kepadatannya berkali lipat itu. Mayoritas yang tinggal di Singapura yang mau beraktivitas di pusat kota, tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan transportasi publik, seperti MRT, LRT dan bus umum karena hanya sekitar 3.5% yang punya mobil pribadi disana. Keseharian mereka di city core dihabiskan melewati tunnel, koridor basement bersama dengan puluhan ribu orang-orang lain rata-rata setiap harinya.
Untuk Indonesia, yang luasnya mencapai 1.9 juta KM persegi, kita cukup ambil saja satu pulau. Pulau Bali yang luasnya 5780 KM persegi atau sekitar 8 kali luas Singapura. Penduduknya 4.4 juta jiwa dengan kepadatan penduduk hanya 750 orang perkilometer persegi. Itu adalah 1/11 kepadatan penduduk Singapura. Tidak ada MRT/LRT ataupun tunnel dan basement corridor di Bali. Yang ada? Pada umumnya orang-orang di Bali berjalan kaki dibawah sinar matahari, naik sepeda motor, naik angkot atau memakai mobil pribadi.
Jadi. mana yang lebih aman? Bali atau Singapura? Kalau nalar elo elo pakai, jawabannya simpel koq.
Di Indonesia itu orang punya banyak pilihan, mau hidup di pulau yang berbeda atau kota berbeda, karena tempatnya luas. Di Singapura? Cuma ada 3 pilihan: Tinggal di permukiman migran, tinggal di permukiman menengah/bawah yang disediakan pemerintah atau di permukiman menengah/atas milik pribadi. SEMUANYA DI DAERAH PADAT PENDUDUK DAN SEMUANYA BERADA DI DALAM SEBUAH PULAU YANG LUASNYA CUMA 700 KM PERSEGI. Dan, jangan lupa: SEMUA TAHU YANG NAMANYA VIRUS COVID-19 SANGAT MENCINTAI KERUMUNAN. Yang namanya Singapura, HAMPIR SELURUH PULAU BERISI KERUMUNAN, baik yang namanya apartemen, transportasi umum, fasilitas umum, tempat perbelanjaan, dll. HAMPIR TIDAK MUNGKIN UNTUK MENGHINDARI KERUMUNAN DI SINGAPURA.
Jadi, mana yang lebih aman untuk menghindari COVID-19?? Hidup di Indonesia atau di Singapura?? Sekali lagi kalau orang yang punya nalar, jawabannya simpel.
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
...
Saya tidak tahu false positive antigen berapa persen, tapi memang lebih baik false positive daripada false negative. False negative lebih berbahaya, karena yang dikira negatif ternyata positif, padahal dia terlanjur menyebarkan virus ke orang-orang di sekitarnya.
|
Lebih baik "False Positive" daripada "False Negative"?? Apa pulak yang kau omongkan tenggen?? False Positive disini mengandung artian "HARUS DIKONFIRMASI LEBIH JAUH DENGAN TES YANG LEBIH AKURAT." Koq, tuolol sekali elo?? Orang yang dapat hasil "positif" dalam rapid test antigen maka dia harus di test PCR untuk meyakinkan bahwa dia benar-benar positif atau tidak. Pada umumnya SEMAKIN KECIL PREVALENSI KASUS COVID-19 di sebuah komunitas maka AKAN SEMAKIN BESAR JUMLAH FALSE POSITIVE.
Dengan kata lain rentang angka FALSE POSITIVE bisa diantara 10%-90% tergantung prevalensi dari COVID-19 itu sendiri. Ngartos?? Kan sudah dibilang, baca dulu brosurnya baik-baik... Untuk situasi di Indonesia, dengan tngkat prevalensi di belasan persen, maka umumnya angka False Positive bisa mencapai antara 10%-20%. SEMAKIN TERKENDALI PENYEBARAN COVID-19 NYA MAKA AKAN SEMAKIN RUSAK HASIL RAPID ANTIGEN NYA.
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Lebih baik ada tracing daripada tidak ada tracing sama sekali. Kalau modelnya kayak gini ya gak bakalan kelar pandemi di negara ini.
|
Memang sudah ada yang kelar pandeminya? Emang berani Selandia Baru, Australia membuka pintu masuk mereka? Emang elo anggap pandemi di Selandia Baru, Taiwan dan Australia sudah kelar?? Emang orang di Selandia Baru dan Australia itu manusia super semua yang kebal COVID-19 tanpa terkena penyakit COVID-19 atau di vaksin lebih dahulu??
Malah sebaliknya, orang-orang Australia, Selandia Baru, Taiwan, dll adalah YANG PALING RENTAN TERKENA COVID-19 karena prevalensi COVID-19 di negara-negara tersebut sangat kecil akibatnya yang punya imunitas pun hanya segelintir. IMUNITAS PENDUDUK NEGARA-NEGARA TERSEBUT BELUM SEMPAT TERBENTUK UNTUK MELAWAN COVID-19. SATU-SATUNYA JALAN MEREKA KELUAR DARI PANDEMI ADALAH DENGAN MELAKUKAN VAKSINASI MASSAL KE HAMPIR SELURUH PENDUDUK MEREKA.
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Saya sudah bisa berdagang secara online dari dalam rumah. Jadi ngapain lagi cari pekerjaan di luar rumah??? Biar saya bisa anda tuduh sebagai penyebar virus???
|
Sebagian besar yang bekerja SUDAH BEKERJA DI TEMPAT KERJA MEREKA. Tetapi mereka menerapkan protokol kesehatan dan mengikuti peraturan yang ada, baik dengan mengurangi jumlah pegawai dengan melakukan sistem giliran, dan lain sebagainya. Semua sudah ada protokolnya. Masih ingat yang namanya "THE NEW NORMAL". Hal ini akan bertahan terus sampai ketika target vaksinasi tercapai, entah kapanpun itu.
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Seharusnya Bill Gates dkk ngomong ke WHO. Biar WHO yang kasih advise ke seluruh negara di dunia. Kalau ternyata testing itu tidak penting, berarti semua angka positif yang kita bahas dari awal pandemi ternyata tidak ada gunanya. Sampah semua. Berarti semua data yang beredar itu sia-sia.
|
ELo memang gak bisa membaca dengan baik. TESTING ITU SAMPAH KALAU HASILNYA HANYA BARU BISA DIDAPAT SEKIAN HARI KEMUDIAN.
Karena tidak akan bisa digunakan untuk melakukan pemetaan penyebaran wabah, disamping yang di tes pun hasilnya juga percuma karena dia bisa saja tertular ataupun mulai menunjukkan gejala sewaktu dia menunggu hasilnya keluar. NGARTOS? WHO mah selalu mendengarkan apa yang dibilang Bill Gates, termasuk tentang hasil testing ini, memang realitanya begitu. Ditambah lagi WHO SANGAT BERHARAP PROGRAM COVAX YANG DIDANAI BILL GATES SUKSES DALAM MENYALURKAN VAKSIN KE NEGARA-NEGARA BERKEMBANG. Elo aja yang kurang piknik. Sudah setahunan masih testing saja yang dibahas, lumayan kalo ngerti apa yang diperdebatkan... Orang lain udah kemana-mana, elo masih stuck di tempat yang sama, persis seperti keadaan elo yang masih terus stuck numpang di rumah sodara elo.
Makanya coba anda cerna tabel yang sudah bolak-balik di posting sebelumnya... Karena sepertinya elo kebingungan...
Mengertikah elo apa isi tabel diatas?? Khusus negara-negara tersebut sudah melakukan tes secara masif, dari yagn jumlah testnya mencapai 90% dari jumlah populasi mereka sampai ke yang sudah lebih dari 4 kali lipat jumlah populasi mereka. Nyatanya toh wabah COVID-19 masih tetap saja menyebar tak terkendali. Karena kunci untuk menghentikan penyebaran penyakit COVID-19 bukan pada seberapa banyak jumlah tesnya tetapi pada VAKSINASI MASSAL PENDUDUK DI PLANET BUMI.
Untuk sejenis virus yang sudah menjadi pandemi, protokol kesehatan hanya berfungsi UNTUK MEMPERLAMBAT PENYEBARAN SEHINGGA FASILITAS KESEHATAN TIDAK AMBRUK SEBELUM POPULASI MENCAPAI HI LEWAT VAKSINASI.
Ini sebuah pelajaran lama dari setahun yagn lalu, yang rupanya sudah elo lupakan.
- https://www.fda.gov/medical-devices/...cal-laboratory
|
|
|
19th April 2021, 08:29
|
|
Mania Member
Join Date: Nov 2018
Location: TWICE - JYP
Entertainment -
Korea
Posts: 5,441
|
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Bukan nya ELO yang bilang tes di Australia SUDAH MASIF?? Mungkin elo perlu buka kamus dulu arti MASIF itu apaan seh...??
|
Mungkin saya salah ambil istilah, tapi dari grafik tes harian per populasi sudah jelas, Australia melakukan lebih banyak tes per populasi.
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Kalo negaranya cuma satu pulau atau beberapa pulau dengan jumlah penduduk yang cuma 5 jutaan mah gak usah digunakan sebagai contoh... Kalo elo punya nalar pasti udah ngeh hal simpel yang seperti itu.
Apalagi negara yang namanya "singapura", yang segala informasi yang keluar harus di-acc dulu oleh pemerintahnya kalau enggak bakalan dimasuk kan ke dalam bui.
Neh, gw ajarin ke elo: Penduduk Singapura itu ada 5.9 juta jiwa dengan luas daratan sekitar 700 KM persegi. Dengan kepadatan sekitar 8500 orang perkilometer persegi. Tetapi yang pernah tinggal di Singapura pasti tahu, di city core dan di pusat bisnis, kepadatannya berkali lipat itu. Mayoritas yang tinggal di Singapura yang mau beraktivitas di pusat kota, tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan transportasi publik, seperti MRT, LRT dan bus umum karena hanya sekitar 3.5% yang punya mobil pribadi disana. Keseharian mereka di city core dihabiskan melewati tunnel, koridor basement bersama dengan puluhan ribu orang-orang lain rata-rata setiap harinya.
Untuk Indonesia, yang luasnya mencapai 1.9 juta KM persegi, kita cukup ambil saja satu pulau. Pulau Bali yang luasnya 5780 KM persegi atau sekitar 8 kali luas Singapura. Penduduknya 4.4 juta jiwa dengan kepadatan penduduk hanya 750 orang perkilometer persegi. Itu adalah 1/11 kepadatan penduduk Singapura. Tidak ada MRT/LRT ataupun tunnel dan basement corridor di Bali. Yang ada? Pada umumnya orang-orang di Bali berjalan kaki dibawah sinar matahari, naik sepeda motor, naik angkot atau memakai mobil pribadi.
Jadi. mana yang lebih aman? Bali atau Singapura? Kalau nalar elo elo pakai, jawabannya simpel koq.
Di Indonesia itu orang punya banyak pilihan, mau hidup di pulau yang berbeda atau kota berbeda, karena tempatnya luas. Di Singapura? Cuma ada 3 pilihan: Tinggal di permukiman migran, tinggal di permukiman menengah/bawah yang disediakan pemerintah atau di permukiman menengah/atas milik pribadi. SEMUANYA DI DAERAH PADAT PENDUDUK DAN SEMUANYA BERADA DI DALAM SEBUAH PULAU YANG LUASNYA CUMA 700 KM PERSEGI. Dan, jangan lupa: SEMUA TAHU YANG NAMANYA VIRUS COVID-19 SANGAT MENCINTAI KERUMUNAN. Yang namanya Singapura, HAMPIR SELURUH PULAU BERISI KERUMUNAN, baik yang namanya apartemen, transportasi umum, fasilitas umum, tempat perbelanjaan, dll. HAMPIR TIDAK MUNGKIN UNTUK MENGHINDARI KERUMUNAN DI SINGAPURA.
Jadi, mana yang lebih aman untuk menghindari COVID-19?? Hidup di Indonesia atau di Singapura?? Sekali lagi kalau orang yang punya nalar, jawabannya simpel.
|
Anda ngomong panjang lebar tapi masih mengabaikan fakta bahwa Singapura mencatat 0 KASUS DOMESTIK selama lebih dari 3 minggu. Semua kasus baru adalah KASUS IMPOR.
Justru dengan kondisi negaranya yang sepadat itu tapi bisa 0 KASUS DOMESTIK, bukankah itu sebuah kemajuan???
Sementara di Indonesia yang kepulauan ini masih saja mencatat 5.000 kasus per hari, yang sebagian besarnya adalah KASUS DOMESTIK.
Ngomongin mana yang lebih aman??? Masih lebih aman Singapore lah. Walaupun padat, tapi pemukimannya rapi. Pilihannya kalau gak rumah susun ya rumah mewah. Di sini??? Masih ada pemukiman kumuh, masih ada yang tinggal di kolong jembatan. Di kota-kota besar seperti Jakarta misalnya, sudah padat, gak beraturan lagi.
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Lebih baik "False Positive" daripada "False Negative"?? Apa pulak yang kau omongkan tenggen?? False Positive disini mengandung artian "HARUS DIKONFIRMASI LEBIH JAUH DENGAN TES YANG LEBIH AKURAT." Koq, tuolol sekali elo?? Orang yang dapat hasil "positif" dalam rapid test antigen maka dia harus di test PCR untuk meyakinkan bahwa dia benar-benar positif atau tidak. Pada umumnya SEMAKIN KECIL PREVALENSI KASUS COVID-19 di sebuah komunitas maka AKAN SEMAKIN BESAR JUMLAH FALSE POSITIVE.
Dengan kata lain rentang angka FALSE POSITIVE bisa diantara 10%-90% tergantung prevalensi dari COVID-19 itu sendiri. Ngartos?? Kan sudah dibilang, baca dulu brosurnya baik-baik... Untuk situasi di Indonesia, dengan tngkat prevalensi di belasan persen, maka umumnya angka False Positive bisa mencapai antara 10%-20%. SEMAKIN TERKENDALI PENYEBARAN COVID-19 NYA MAKA AKAN SEMAKIN RUSAK HASIL RAPID ANTIGEN NYA.
|
Di awal saya gak ngungkit soal false positive, tapi soal kelanjutan dari rapid antigen. Padahal seharusnya rapid antigen kalau sudah positif ya sudah, artinya positif. Bukankah pakem internasionalnya seperti itu, seperti India yang menggunakan metode tersebut??? Kenapa kita jadi lain sendiri???
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Memang sudah ada yang kelar pandeminya? Emang berani Selandia Baru, Australia membuka pintu masuk mereka? Emang elo anggap pandemi di Selandia Baru, Taiwan dan Australia sudah kelar?? Emang orang di Selandia Baru dan Australia itu manusia super semua yang kebal COVID-19 tanpa terkena penyakit COVID-19 atau di vaksin lebih dahulu??
Malah sebaliknya, orang-orang Australia, Selandia Baru, Taiwan, dll adalah YANG PALING RENTAN TERKENA COVID-19 karena prevalensi COVID-19 di negara-negara tersebut sangat kecil akibatnya yang punya imunitas pun hanya segelintir. IMUNITAS PENDUDUK NEGARA-NEGARA TERSEBUT BELUM SEMPAT TERBENTUK UNTUK MELAWAN COVID-19. SATU-SATUNYA JALAN MEREKA KELUAR DARI PANDEMI ADALAH DENGAN MELAKUKAN VAKSINASI MASSAL KE HAMPIR SELURUH PENDUDUK MEREKA.
|
Buktinya sekarang mereka sudah bisa beraktivitas dengan normal. Walaupun masih harus menutup perbatasan, yah jangan-jangan memang harus beginilah cara kita menghadapi masa kini dan masa depan, yang namanya bepergian antar negara mungkin sudah tidak bisa lagi seperti dulu. Kita harus menghadapi dunia baru.
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
Sebagian besar yang bekerja SUDAH BEKERJA DI TEMPAT KERJA MEREKA. Tetapi mereka menerapkan protokol kesehatan dan mengikuti peraturan yang ada, baik dengan mengurangi jumlah pegawai dengan melakukan sistem giliran, dan lain sebagainya. Semua sudah ada protokolnya. Masih ingat yang namanya "THE NEW NORMAL". Hal ini akan bertahan terus sampai ketika target vaksinasi tercapai, entah kapanpun itu.
|
Yes, new normal yang berakibat penambahan kasus 5.000-an per hari.
Quote:
Originally Posted by theflyingblade
ELo memang gak bisa membaca dengan baik. TESTING ITU SAMPAH KALAU HASILNYA HANYA BARU BISA DIDAPAT SEKIAN HARI KEMUDIAN.
Karena tidak akan bisa digunakan untuk melakukan pemetaan penyebaran wabah, disamping yang di tes pun hasilnya juga percuma karena dia bisa saja tertular ataupun mulai menunjukkan gejala sewaktu dia menunggu hasilnya keluar. NGARTOS? WHO mah selalu mendengarkan apa yang dibilang Bill Gates, termasuk tentang hasil testing ini, memang realitanya begitu. Ditambah lagi WHO SANGAT BERHARAP PROGRAM COVAX YANG DIDANAI BILL GATES SUKSES DALAM MENYALURKAN VAKSIN KE NEGARA-NEGARA BERKEMBANG. Elo aja yang kurang piknik. Sudah setahunan masih testing saja yang dibahas, lumayan kalo ngerti apa yang diperdebatkan... Orang lain udah kemana-mana, elo masih stuck di tempat yang sama, persis seperti keadaan elo yang masih terus stuck numpang di rumah sodara elo.
|
Kalau gitu kenapa tidak ada upaya skala internasional untuk menghentikan testing??? Kenapa testing masih terus berlanjut dan hasilnya masih dicatat untuk pendataan, padahal ternyata itu sampah???
|
|
|
19th April 2021, 12:53
|
|
Mania Member
Join Date: Mar 2015
Posts: 1,849
|
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Mungkin saya salah ambil istilah, tapi dari grafik tes harian per populasi sudah jelas, Australia melakukan lebih banyak tes per populasi.
Anda ngomong panjang lebar tapi masih mengabaikan fakta bahwa Singapura mencatat 0 KASUS DOMESTIK selama lebih dari 3 minggu. Semua kasus baru adalah KASUS IMPOR.
Justru dengan kondisi negaranya yang sepadat itu tapi bisa 0 KASUS DOMESTIK, bukankah itu sebuah kemajuan???
|
Jadi, negara yang secuil kayak singapura sudah berani membuka perbatasan dong karena sudah MENGALAHKAN COVID-19? Ya?? Tidak...?? Loh kenapa...?? Sekarang Singapura sedang berusaha menggenjot vaksinasi, karena penduduknya CUMA 5.8 juta mereka bisa melakukan itu selama stok vaksinnya ada. Kalau stok vaksin nya tidak ada, pigimana?? Sekarang New Zealand, Australia, dll pada kelimpungan untuk mencari stok vaksin. Karena tanpa suksesnya program vaksinasi ..., maka negara tersebut akan terisolasi. Nah itu dia end-game nya. Makanya Indonesia dari sejak dulu sudah menyadari hal itu. Stok kita cukup, walaupun tanpa 50 jutaan stok AstraZeneca yang lagi di embargo, cuma proses ini akan makan waktu untuk mem vaksinasi sekitar 75% populasi.
Lihat itu USA yang sudah punya akumulasi lebih dari 33 juta kasus COVID-19, dengan sekitar 550,000 orang telah meninggal. Sekarang dalam usaha mereka untuk mengontrol COVID-19 sudah memvaksinasi sebanyak 205 juta dosis, dan lebih dari 25% penduduk nya sudah di vaksinasi penuh. Vaksin Pfizer, Moderna dan Janssen yagn di produksi di dalam negeri sudah mereka embargo ekspor untuk mengamankan stok program vaksinasi penduduk mereka sendiri. Di sekitar bulan Juli, ambang teoritis HI akan mereka capai. Mereka malah punya beberapa puluh juta dosis vaksin Astrazeneca yang nganggur tersimpan didalam gudang.
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Ngomongin mana yang lebih aman??? Masih lebih aman Singapore lah. Walaupun padat, tapi pemukimannya rapi. Pilihannya kalau gak rumah susun ya rumah mewah. Di sini??? Masih ada pemukiman kumuh, masih ada yang tinggal di kolong jembatan. Di kota-kota besar seperti Jakarta misalnya, sudah padat, gak beraturan lagi.
|
Nah makanya anda itu blo'on. Yang namanya virus COVID-19 itu TIDAK PEDULI DENGAN YANG NAMANYA NEGARA KAYA, NEGARA MISKIN, RUMAH SUSUN, TEMPATNYA MEWAH, RAPI, SEMRAWUT, KUMUH, DI BAWAH KOLONG JEMBATAN, POKOKNYA KALAU ADA KERUMUNAN PASTI COVID-19 AKAN MENYEBAR. Dan SINGAPURA YANG CUMA SEBUAH PULAU KECIL ITU ADALAH PADA DASARNYA NEGARA KERUMUNAN.
Lagian, elo kira negara-negara USA, Kanada, Jerman, Perancis, Jepang, Inggris, dst yang sedang mengalami banjir kasus belakangan ini BUKAN NEGARA MAJU dengan fasilitas kesehatan yang mumpuni?
Negara seupil seperti Singapura BERGANTUNG PADA PENDATANG DARI LUAR NEGERI. Coba masukkan fakta itu kedalam benak anda. Pastilah kasus-kasus impor akan masuk begitu perbatasan dibuka, dan Singapura bakalan habis kena sikat karena prevalensi antibodi penduduk Singapura yang minim. Mereka SANGAT SANGAT perlu program vaksin mereka dilakukan secepatnya dibandingkan dengan negara-negara besar lain yang berpenduduk ratusan juta.
Malah COVID-19 itu pertama kali menyebar di Asia Tenggara TERUTAMA LEWAT SINGAPURA, demikian juga varian-varian awalnya, karena pendatang manca-negara pembawa virus sempat berseliweran tak terdeteksi di Changi dan di pusat kota Singapura.
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Di awal saya gak ngungkit soal false positive, tapi soal kelanjutan dari rapid antigen. Padahal seharusnya rapid antigen kalau sudah positif ya sudah, artinya positif. Bukankah pakem internasionalnya seperti itu, seperti India yang menggunakan metode tersebut??? Kenapa kita jadi lain sendiri???
|
Pakem internasional...?? Omongan nonsense apalagi ini?? Sejak kapan hasil rapid antigen adalah final... tanpa perlu di tes PCR atau di-analisa terlebih dahulu?? Atau elo memang mau mengikuti India masuk ke jurang...??
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
...Yes, new normal yang berakibat penambahan kasus 5.000-an per hari.
|
Sebagian besar orang di dunia sedang melakukan NEW NORMAL. Kecuali alo yang ngendon di rumah sodara elo 24/7.
Kan sudah ditanya berkali-kali..., 5000 kasus sehari untuk penduduk yang 275 juta itu berapa persen seh...?? Bandingkan dengan Arab Emirat yang penduduknya 10 juta, sudah dengan masif men tes PCR 41 juta kali, tapi sampai sekarang tetap saja ada 2000 kasus baru perhari. ITU SAMA DENGAN 55,000 kasus perhari KALAU berpenduduk 275 juta seperti Indonesia. Ngartos? Mosok matematika anda sejeblok itu...
Atau negara KEBANGGAAN elo Malaysia yang berpenduduk 32 juta yang sudah berminggu-minggu nyangkut di angka 2000-an kasus baru perhari, itu sama dengan sekitar 16,000 kasus baru KALAU berpenduduk 275 juta seperti Indonesia.
Atau lihat Jerman, negara yang sangat maju, berpenduduk 84 juta jiwa, dan salah satu yang terbaik fasilitas kesehatannya di dunia, sudah dari pertengahan April kasus-kasus harian nya bertambah diatas 15,000 perhari. Itu sama dengan penambahan 50,000 kasus baru perhari kalau berpenduduk sebanyak Indonesia.
Quote:
Originally Posted by yoo.jeongyeon.380
Kalau gitu kenapa tidak ada upaya skala internasional untuk menghentikan testing??? Kenapa testing masih terus berlanjut dan hasilnya masih dicatat untuk pendataan, padahal ternyata itu sampah???
|
Anda kurang banyak membaca, karena belakangan ini "GOLD STANDARD" test PCR sudah lebih ditujukan kepada diagnostik bukan untuk pemetaan kasus lagi KARENA DATA YANG DIDAPAT SEKIAN HARI KEMUDIAN DARI TEST PCR SUDAH KEBURU BASI SUDAH PADA JADI SAMPAH SEMUA DAN tidak bisa digunakan sebagai alat pemetaan lagi.
Sebagai alat "pool testing", test PCR masih relevan, seperrti yang bolak-balik dilakukan oleh China kalau ada wilayah disana yang jumlah kasus lokal nya muncul dengan jumlah yang signifikan.
Dan, rapid tes antigen lah, atau yang lainnya, yang hasilnya bisa di dapat secara cepat dab relatif akurat, yang umumnya digunakan sebagai alat pemetaan ataupun sebagai alat deteksi dini di front-line, seperti di RS, pelabuhan, airport, random testing dll. Kalau terdeteksi ada yang positif, baru di lanjutkan dengan tes PCR.
Anda sudah ketinggalan kereta dari sejak setahun yang lalu. Ibaratnya orang lain dalam perjalanannya sudah hampir sampai di Gambir, tetapi anda masih mondar-mandir mencari tiket di Stasiun Gubeng.
|
|
|
detikNews
........
|