HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Sabtu, 2024/04/23 12:57 WIB
Pacari Putri Nikita Mirzani, Vadel Badjideh Akui Banyak Hujatan
-
Jumat, 2024/04/22 15:00 WIB
Unggahan Natasha Rizki di Hari Anniversary Pernikahan dengan Desta Jadi Sorotan
-
Sabtu, 2024/04/23 13:13 WIB
CSB Divonis 2,5 Tahun Atas Penipuan Terhadap Jessica Iskandar
-
Sabtu, 2024/04/23 13:02 WIB
Reaksi Nassar Diminta Jadian dengan Irish Bella Saat Hadir di Acara Ultah
-
Sabtu, 2024/04/23 13:07 WIB
Kabar Calonkan Diri Jadi Bupati Bantul Soimah Beri Klarifikasi
-
Kamis, 2024/04/21 10:26 WIB
Unang Bagito Kini Jadi Perajin Tongkat Kayu
|
Thread Tools |
1st March 2012, 16:42 |
#101
|
Mania Member
|
Irian jaya punya spk tvri bulan februari 1993
IRIAN JAYA baru dapat memproduksi paket siaran TVRI mulai Februari 1993 dengan hadirnya stasiun produksi keliling (SPK) di Jayapura. Direktur Televisi Deppen Aziz Husein, mengungkapkan itu di Jayapura, seusai acara penandatanganan naskah kerjasama Yayasan TVRI dengan BPD Irian Jaya, Sabtu (19/12/92). BPD saat itu akan giat dalam pemungutan iuran televisi di daerah itu.
Menurut Aziz, SPK ini berfungsi sebagai rumah produksi yang dapat menghasilkan paket siaran untuk ditayangkan TVRI Pusat. “Bila juga disiarkan melalui TVRI Stasiun Ambon yang akan diresmikan tahun depan (1993),” katanya waktu itu. Ia menjelaskan, SPK yang waktu itu masih baru tersebut, saat itu akan diperkuat 15 awak dengan dua mobil kerjanya. “Kira-kira biaya kerja operasional per bulannya mencapai Rp 15 jutaan,” jelasnya waktu itu. Irian Jaya merupakan provisni kedelapan yang memiliki SPK TVRI setelah Maluku, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Untuk siaran daerah, TVRI waktu itu memiliki 12 stasiun. Menanggapi kehadiran SPK di daerahnya, Gubernur Irian Jaya Barnabes Suebu mengharap TVRI waktu itu lebih banyak menayangkan berita daerah. “Kami mengharap beda dua jam penyiaran selama ini diperkecil. Dengan itu, anak-anak kita bisa istirahat lebih awal dan masuk sekolah tepat pada waktunya,” ujarnya waktu itu. Saat itu, di Irian Jaya, TVRI baru memiliki 16 stasiun transmisi. Jumlah tersebut sangat kecil dengan luas Irian Jaya yang sebesar 419.619 km persegi. “Ini berarti siaran TVRI baru menjangkau 6,79% dari luas wilayahnya. Bila ditinjau dari julah penduduk Irian Jaya yang mencapai 1.629.087 orang, maka siaran TVRI baru menjangkau 34,43% penduduknya,” Jelas Aziz Husein waktu itu. Dia juga menjelaskan, bahwa selain BPD yang bergerak aktif dalam pemungutan iuran televisi, Bank Danamon dan Bank Bumi Daya ditunjuk sebagai service point. “Artinya mereka juga bisa menerima pembayaran iuran, bila di tempat bersangkutan tidak terdapat BPDnya,” katanya waktu itu. Menurut catatan, di Irian Jaya waktu itu terdapat kurang lebih 43.000 pesawat televisi. “Bila semua pemiliknya sadar membayar iuran tepat pada waktunya, maka itu merupakan sumbangan besar bagi operasi TVRI,” tambahnya waktu itu. Kepada Kompas, Aziz Husein mengatakan, TVRI waktu itu sadar bahwa kelangsungan hidupnya tergantung dari iuran masyarakat. Karena itu, persaingan dalam programa saja yang bisa dilakukan. “Setiap saat kami terus berusaha menyajikan paket yang terbaik pada masyarakat,” tuturnya waktu itu. Dok. Kompas, 21 Desember 1992, dengan sedikit perubahan |
1st March 2012, 16:45 |
#102
|
Mania Member
|
Banjir sinetron, antara alternatif dan bom waktu
MARISSA ***** di akhir 1992 boleh bernapas lega. Artis pemilik perusahaan film PT Rana Artha Mulia (RAM) itu sempat was-was. Yang Tercinta, film kedua yang diproduksinya dengan modal sekitar Rp 400 juta, dalam peredaran ternyata hanya mampu meraup uang setengah dari modal itu.
“Perusahaan saya sudah setengah payah. Untunglah kemudian saya berani mencoba terjun ke produksi sinetron,” ujarnya. April 1992, sinetron pertamanya ditayangkan di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Hasil dari sinetron berjudul Perempuan-Perempuan itu, menurut pengakuannya sangat bermakna. “Saya jadi punya cadangan untuk menutupi biaya operasional kantor selama dua bulan,” katanya waktu itu. Saat itu, Tetanggaku Idolaku, serial 12 episode yang diproduksinya, tengah ditayangkan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), dan hari-hari itu, ia tengah disibukkan garapan terbarunya, sebuah serial 26 episode berjudul Salah Sambung yang waktu itu akan ditayangkan di RCTI mulai awal Desember 1992. PT Parkit Film (lewat anak perusahaannya Multivision Plus) juga jauh-jauh hari berancang-ancang terjun ke sinetron. Perusahaan yang dikomandani oleh Raam Punjabi ini, terkenal dengan film-film banyolan mereka. Barangkali, perusahaan film bioskop pertama tersebut, yang terjun secara serius di media sinetron itu. Mereka mengaku, ada tumpuan harapan kepada media “baru” tersebut ketika itu, di tengah-tengah anjloknya produksi film nasional. “Namun, terlibatnya kami di sini semata-mata bukan karena kelesuan dunia film. Tiga tahun lalu (1989), kami sudah berpikir untuk bergelut di sini, karena tertantang tuntutan zaman dan kemajuan teknologi televisi,” ujar Gobind Punjabi waktu itu, yang didampingi oleh Dhamoo Punjabi, mewakili Raam yang saat itu tengah berada di luar negeri, ketika berbincang dengan Kompas. Hasilnya, Gara-Gara ditayangkan RCTI dan telah memasuki episode ke-22 pada Oktober 1992, serta Ada-Ada Saja waktu itu baru ditayangkan empat episode. Ketika itu, mereka sedang mengerjakan produksi terbaru juga untuk RCTI, sebuah miniseri berdurasi satu jam yang ketika itu akan ditayangkan enam episode berjudul Pelangi Di Hatiku. Alternatif Inilah semacam “berkah” dari sinetron. Di tengah-tengah lesunya produksi film layar lebar, sinetron lantas memberi alternatif. Bukan saja bagi masyarakat pemirsa untuk mencari tontonan dan hiburan lain di samping bioskop, melainkan juga alternatif bagi para pekerja film layar lebar, sebagai saluran ekspresi maupun sebagai tumpuan ekonomi. Dengan dipelopori TVRI yang waktu itu sudah mengenal sinetron sejak bertahun-tahun sebelum ada TV swasta, kebutuhan terhadap paket sinetron lokal terus menarik sejak bermunculan stasiun-stasiun teve swasta. Kecuali TVRI (yang umumnya memproduksi dengan tenaga mereka sendiri dan rata-rata waktu itu menargetkan sekitar 300 judul sinetron setiap tahun), tidak setiap stasiun waktu itu siap memproduksi sendiri, sehingga terpaksa menjalin kerjasama dengan production house (PH) di luar mereka. TPI misalnya, rata-rata waktu itu setiap tahunnya membutuhkan 30an judul sinetron lokal, dan paling tinggi hanya sepertiganya saja yang diproduksinya sendiri. Dengan adanya siaran malam lima jam mulai 9 November 1992, menurut kepala bidang humas TPI, Heny Elvandari, kebutuhan saat itu diperkirakan naik 25%. RCTI saat itu juga sangat aktif berhubungan dengan PH-PH. Menurut wakil presiden direktur RCTI, Alex Kumara, ada 15an PH yang waktu itu kerap berhubungan dengan RCTI. Saat itu, tidak diketahui pasti berapa jumlah kebutuhan sinetron RCTI. Namun, jika dilihat dari acara-acaranya, waktu itu tampak bahwa permintaan akan paket sinetron juga terus bertambah. Lonjakan sinetron bisa terlihat lebih jelas lewat data Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Deppen, tempat setiap sinetron harus didaftar guna mendapatkan izin produksi waktu itu. Tahun 1984, jumlah produksi sinetron setahun hanya 12 judul. Tahun 1985 dan 1986 masing-masing 21 judul. Tahun 1987 hingga 1990 berkisar rata-rata 60-70 judul. Namun, tahun 1991 melonjak dahsyat menjadi 233 judul. Tahun 1992 lalu, hingga tanggal 23 Oktober, jumlah izin produksi yang telah dikeluarkan Deppen mencapai 516 judul. Menggiurkan Sepintas, bisnis sinetron ini memang tampak menggiurkan. Banyak orang yang waktu itu merasa sangat diuntungkan dalam adanya boom ini. Mulai dari keuntungan komersial, hingga ke naiknya harga diri. “Di sinetron ini, kita sebagai produser dihargai, karena kita punya posisi tenar dengan stasiun televisi. Sedangkan di film, posisi produser lemah sekali, tak jarang seperti mengemis ke pihak lain,” kata seorang produser film yang saat itu menyebrang ke sinetron teve. Dalam produksi sinetron, umumnya dikenal tiga cara kerjasama waktu itu. Pertama, sistem kontrak, stasiun teve menyediakan ongkos produksi, dan produser atau pemilik PH yang melaksanakan produksi. Cara ini seringkali waktu itu dilakukan TPI. Keuntungan didapat lewat kepandaian produser menekan biaya seminim mungkin. Sistem kedua, pengelola stasiun teve swasta menjual air-time (waktu siar) mereka kepada produser. Produser membelinya, lalu membuat paket sinetron sendiri dan keuntungannya diperoleh lewat iklan yang berhasil digaet. Sistem ketiga, pihak teve swasta menyediakan air-time secara gratis, produser yang melakukan produksi dengan biaya sendiri dan kapling untuk iklan, dibagi dua antara produser dengan teve (revenues share). Cara ini waktu itu acap dipakai RCTI, misalnya dalam tayangan Gara-Gara maupun Salah Sambung. Tidak ada produser yang waktu itu berusaha mengungkapkan besar keuntungan mereka. Namun, saat itu bisa dikira-kira, dengan sistem revenues share itu misalnya. Untuk 30 menit masa tayang per paket, umumnya 6 menit digunakan untuk iklan, berarti produser memperoleh 3 menit. Jika jatah 3 menit ini terisi penuh oleh iklan, produser bisa menempatkan sekitar Rp 30-40 juta. Biaya produksi tiap episode biasanya waktu itu antara Rp 20-25 juta, dan masih bisa ditekan jika diproduksi sekaligus beberapa episode. Sebagian besar biaya ini (atau sekitar 45%nya) menurut keterangan Marissa, ataupun H. Alfadin yang memproduksi Kedaish, dipakai untuk penyewaan peralatan. Bagi mereka yang seperti Santoso Wardjiman, pimpinan Santos Audiovisual yang punya peralatan sendiri, biaya produksi jelas bisa lebih ringan. Itu baru keuntungan resmi. Ada pemasukan lain lagi, yakni dari sponsor built-in, alias sponsor yang dihadirkan lewat shot-shot di dalam sinetron itu. Untuk satu produk yang menjadi “sponsor”, produser bisa mendapat sekitar Rp 1-2 juta. Ini adalah gejala lumrah, sehingga tidak usah heran jika banyak sinetron yang di dalamnya dihiasai dengan gambar-gambar berbagai produk. Sinetron juga menggiurkan untuk para pekerja lainnya. Pemeran penting rata-rata dibayar waktu itu Rp 400-600 ribu/episode. Jumlah ini jelas waktu itu kalah jauh dibandingkan dengan bayaran di film layar lebar. Namun, di sinetron, seorang pemain waktu itu dalam jangka hanya sebulan, bisa terlibat dalam 6-10 episode. (Alm) Hendra Cipta misalnya, yang berperan sebagai Kriyo Menak dalam sinetron Kedasih (TPI), mengaku bisa menyelesaikan 6 episode dalam 7-10 hari, dimana per episodenya dibayar Rp 500 ribu. Bom waktu Boom sinetron waktu itu tampak masih akan berlanjut hingga beberapa tahun setelah itu. Namun, ada sebuah masalah besar menghadang. Keadaan semarak ini bisa menjadi destruktif, kalau waktu itu tidak segera ditetapkan suatu mekanisme kontrol terhadap kualitas. Belakangan itu, kian banyak sinetron yang sangat tidak memenuhi standar. Itu tentu akibat dari begitu mudahnya orang menerjuni bisnis ini, kendati tidak pernah punya latar belakang profesional sama sekali. Sementara kontrol atau pengawasan mutu dan tanggung jawab profesional waktu itu belum jelas. Beberapa nama sutradara yang saat itu ikut menggarap sinetron misalnya, sebelumnya tidak pernah sama sekali menangani pekerjaan penyutradaraan. Hasilnya, sebagian besar jelas saja amburadul. “Harusnya, memang ada mekanisme pengawasan yang tegas. Saya kira sebaiknya datang dari pihak pemilik stasiun teve,” saran Imam Tantowi, sutradara film nasional yang waktu itu segera pula terjun ke sinetron, menggarap Madu, Racun, dan Anak Singkong, sebuah sinetron yang dibiayai TPI dan diproduksi salah satu PH di Surabaya. Apa yang dimaksudkan Tantowi, mungkin seperti yang waktu itu diharapkan TPI. Menurut Ali Shahab, pimpinan Sentra Fokus Audio Visual yang antara lain membuat Desaku Bumiku di TPI, TPI menjalankan kebijakan yang cukup tegas. Bagi PH yang saat itu belum punya nama, jika ingin produksinya ditayangkan di TPI, tidak diberi uang muka untuk produksi. “Setelah selesai dan produknya diserahkan ke TPI, barulah dibayar 50%. Sisanya dibayar sebulan berikutnya,” kata Ali Shahab. Untuk PH yang waktu itu sudah punya nama, sebelum produksi telah diberi uang muka 25%. “Boom ini hendaknya menyadarkan kita, bahwa kita sedang dihadapkan pada pertanyaan, akan terulang lagikah kekalahan industri film nasional kita?”, tanya Slamet Rahardjo, sutradara layar lebar yang waktu itu juga kerap menggarap sinetron. Nasib getir yang waktu itu terjadi, kita tengah menjerembabkan perfilman nasional Indonesia, bukan tidak mungkin menular pada sinetron. Boom sinetron yang waktu itu telah terjadi, bisa jadi berubah menjadi bom waktu yang siap pula menyengsarakan para pelakunya, apabila mengabaikan mutu, mengabaikan pertanggungjawaban profesi, mengabaikan masyarakat pemirsanya. Dok. Kompas, 1 November 1992, dengan sedikit perubahan |
1st March 2012, 16:48 |
#103
|
Mania Member
|
Sctv produksi serial srimulat
SURYA Citra Televisi (SCTV) di Surabaya telah memproduksi paket pertama serial Srimulat, yang menurut rencana waktu itu akan ditayangkan mulai Rabu, 2 September 1992. Serial 12 episode tersebut waktu itu akan ditayangkan setiap dua minggu sekali pukul 19.30 WIB di empat kota, yakni melalui RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) di Jakarta dan Bandung, serta SCTV di Surabaya dan Denpasar. Paket pertama yang berjudul Gossip, telah di-shoot 19 Mei 1992. Sementara shooting paket kedua yang waktu itu akan dilakukan 29 Juni 1992, ditunda.
Waktu itu belum diperoleh keterangan tentang alasan penundaan waktu itu. Ditemui di ruang kerjanya, Selasa (23/6/92), manajer humas SCTV, Gina R Soepardi, hanya mengatakan bahwa idealnya paket berdurasi 30 menit itu tidak diproduksi secara periodik per paket, melainkan beberapa paket dalam satu produksi. Namun katanya, hal itu belum bisa dilakukan ketika itu, karena menunggu sampai seluruh naskah rampung. Mengenai tujuan produksi serial dua mingguan itu, Gina menyebutkan bahwa SCTV waktu itu ingin mengangkat kembali kelompok lawak yang waktu itu mulai tenggelam ini. Selain itu, SCTV juga ingin membuat acara yang punya ciri lokal, tetapi dapat diterima di kota-kota lain, seperti yang telah dilakukan RCTI di Jakarta dengan Lenong Rumpi-nya (juga ditayangkan oleh RCTI dan SCTV tahun 1991-1992), yang berwarna Betawi. "Meskipun banyak yang mengatakan Srimulat bukan asli Jawa Timur, tapi kelompok ini pernah jaya dan jaya sekali di sini," katanya waktu itu. Disebutkan agar diterima oleh warga Jakarta, Bandung, dan Denpasar, maka Didik Mangkuprojo, Tessy, Bowo, Pete, dan anggota Srimulat Surabaya lainnya, waktu itu akan didampingi oleh bintang-bintang tamu seperti Kadir, Kiki Fatmala, Nurul Arifin, dll. Dalam satu episode, Harry Moekti waktu itu akan menjadi suami Jujuk. Biaya produksi/paket Rp 6 juta. "Mengenai nilai kontrak dengan Srimulat, sebaiknya tanya Srimulat saja," kata Gina waktu itu. Sementara itu, pimpinan Srimulat Surabaya, Sardjito, tidak bersedia mengungkapkan berapa besar nilai kontrak tersebut waktu itu. Namun, ia mengaku cukup gembira dengan kepedulian SCTV yang bersedia memproduksi drama komedi model Srimulat. Bahkan Srimulat saat itu akan berusaha semaksimal mungkin untuk tampil memikat penonton. "Kami akan berusaha dan belajar terus, agar kehadiran kami (Srimulat) di SCTV disukai masyarakat. Apalagi yang menonton siaran SCTV itu dari kalangan menengah ke atas," ujarnya waktu itu. Enam naskah Waktu itu, Srimulat sudah menyiapkan enam naskah cerita yang siap rekaman, masing-masing berjudul Kau Yang Kusukai, Ambisi, Dibajak Suami, Nurul-Nurul, Mayat Cemburu, dan Jari-Jari Asmara. Naskah tersebut hasil karya Rustam Aji, yang dikenal sebagai sutradara Srimulat, dan Sardjito sendiri. "Naskah yang sudah dan sedang dipersiapkan itu, memang cerita-cerita yang sudah pernah dihasilkan oleh Srimulat, tapi akan kami revisi dan modernisasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekarang ini," kata Sardjito waktu itu. Mengenai pemilihan judul naskah cerita yang saat itu hendak diproduksi, kata Sardjito, semuanya bergantung pada pihak SCTV. Sedangkan seluruh pemain Srimulat, yang waktu itu akan setiap malam manggung di Aneka Ria Srimulat Surabaya Mall, waktu itu akan dilibatkan. "Mereka kami libatkan semuanya secara bergiliran," kata Sardjito waktu itu. Dok. Kompas, 27 Juni 1992, dengan sedikit perubahan |
1st March 2012, 16:53 |
#104
|
Mania Member
|
Kuis di televisi bertarung dengan hadiah konsumtif
ADA kabar baik bagi pemirsa TVRI Stasiun Pusat Jakarta pada Maret 1992 silam. Mulai bulan April 1992, acara kuis di layar kaca milik pemerintah itu bertambah lagi. Ada Kuis Luar Negeri dan Aksara Bermakna, yang waktu itu akan hadir di tengah masyarakat, menyusul empat kuis sebelumnya: Berpacu Dalam Melodi, Serba Prima, Gita Remaja, dan Siapa Dia. Di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), saat itu dirancang Kuis Tak Tik Boom.
Penambahan kedua acara tersebut menyimpan suatu kesan bahwa acara kuis ini menjadi andalan bagi media layar kaca. Humas RCTI, Bobby Sael, mengutip suatu penilaian Survey Research Indonesia (SRI) mengatakan, kuis-kuis yang mereka selenggarakan seperti Berseri Mengukir Prestasi dan Kuis Keluarga Lifebuoy, menempati 10 besar dalam acara-acara yang digemari dari TV swasta pertama di Tanah Air itu. Sederhana saja jawaban Ani Sumadi, penggagas dan pelaksana kuis TVRI sejak akhir tahun 60an, tentang pertanyaan mengapa acara ini harus memakai hadiah. “Kalau dimungkinkan, mungkin saja kuis diselenggarakan, tanpa hadiah. Tapi tanpa hadiah, acara kurang semarak karena tidak ada fighting. Bertambah hebat hadiah, bertambah hebat fighting-nya,” ujarnya waktu itu. Di tempat terpisah, Kris Biantoro menempatkan soal hadiah itu sebagai salah satu penarik terselenggaranya kuis. Banyak orang Amerika misalnya, menanggapi kehadiran kuis sama dengan rezeki nomplok karena hadiahnya. Dari kenyataan tersebut, tampak acara kuis bukanlah suatu acara yang siap untuk rugi. Masyarakat bukan saja memperoleh hiburan, tetapi juga berkesempatan memperoleh hadiah. Sponsor, terlepas dari besar kecilnya peranan mereka dalam soal pendanaan, dapat pula mengibarkan publikasi produk barang-barang mereka. Tegasnya, unsur bisnis tidak dapat dihindarkan dalam kegiatan ini. “Orang Manado bilang, so pasti,” kata Kris Biantoro yang mengaku tidak tahu dan tak mau ambil tahu soal bisnis ini. Sejumlah sumber mengatakan, tidak mungkin mengadakan acara kuis tanpa ada iklan atau sponsor. Selain memang biaya produksi yang cukup tinggi, mereka juga melihat peluang waktu itu, bahwa acara yang memang digemari semacam kuis itu bisa dijual. “Kan sayang rasanya kalau tidak bisa dimanfaatkan, untuk mencari iklan, apalagi bagi sebuah acara yang setelah diteliti ternyata memiliki peringkat bagus. Dengan ini, sangat gampang untuk mencari iklan,” jelas sumber Kompas di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). Terus terang, kurang masuk akal kalau Kepala TVRI Stasiun Pusat Jakarta, Abdul Aziz Husein, walau sudah didesak, hanya mengatakan bahwa kuis-kuis yang mereka selenggarakan hanya bertujuan untuk menghibur masyarakat. Malahan dia tidak tahu berapa nilai kontrak kerjasama antara pihaknya dengan Ani Sumadi dan bertanya kepada kabid perencanaan Hardi Syofyan, waktu itu. Tetapi pejabat terakhir ini pun mengaku tidak tahu. “Tanya sama Bu Ani sana,” kata keduanya senada. Banyak orang menduga, TVRI cukup “kenyang” dengan kuis ini. Cobalah lihat sponsor kuis-kuis mereka seperti Polytron dan Sony. Ini sejalan dengan jumlah pemirsa yang jauh lebih besar dibandingkan RCTI. Tapi kata seorang pejabat di TVRI, konon untuk setiap acara kuis itu, TVRI saat itu bukannya memperoleh dana, malahan sebaliknya ikut membiayai kuis-kuis itu sampai Rp 5 juta/paket. Menurut Ani Sumadi, pada kuis-kuis tertentu, umumnya sponsor tidak sulit dicari. “Kayaknya nggak ada masalah. Kok enak benar, begitu. Saya cuma menceritakan bentuk acaranya, dan mereka setuju tanpa terlalu memasalahkan bentuk timbal balik dari kami. Misalnya apakah produk mereka akan kami visualkan atau kami ucapkan saja. Begitulah misalnya dengan Sony, yang memberi hadiah acara Berpacu Dalam Melodi,” katanya waktu itu. Tanggal 5 April 1992, ditayangkan kuis baru di TVRI waktu itu, Aksara Bermakna, dengan hadiah dari Toshiba. Kuis ini terdiri dari tiga tahap, yang kalau seorang peserta lulus ketiga-tiganya, waktu itu akan meraih total hadiah Rp 10 juta. Tapi ini bukan hadiah terbesar yang pernah diberikan pada kuis televisi di Indonesia. Sebelumnya, hadiah Serba Prima pernah lebih besar dari itu. Dari sini juga, kelihatan bahwa lonjakan nilai nominal hadiah-hadiah kuis televisi tidaklah terlalu drastis. Pada tahun 1969, kuis pertama TVRI, Silent Quiz, juga sudah berhadiah benda-benda elektronik. Kepala humas RCTI, Bobby Sael, mengatakan, mereka tentu tidak bisa melaksanakan acara yang terus merugi. “Kami tidak munafik ya, tetapi untungnya tidak besar,” katanya masih berusaha bersembunyi waktu itu. Yang jelas, katanya, setiap paket produksi lokal di RCTI selama itu menghabiskan biaya Rp 30-40 juta. Bandingkan dengan paket acara dari luar negeri yang harga hak tayangnya sekitar Rp 2,5 juta. Untuk itu mereka tetap memperlakukan acara tersebut sebagaimana ketentuan penyiaran. Misalnya, 20% dari seluruh jam siaran TV swasta, waktu itu dapat diisi oleh iklan. Dalam kuis, RCTI berhak memperoleh minimal 40% dari iklan tersiar. Hadiah-hadiah barang sendiri dicari dengan sistem soft-sale. Produsen sebuah produk tertentu menyumbangkan produk-produknya untuk dijadikan hadiah, dan imbalan yang mereka dapatkan adalah pemasangan nama produk ataupun perusahaan mereka pada credit-title acara kuis itu. Hadiah barang ini seperti paket bunga, kompor, rice-cooker, panci, dsb. “Kalau acaranya memiliki peringkat yang tinggi, tidak sulit bagi TPI mencari sponsor hadiah barang ini. Sebab, mereka sendiri yang biasa datang menawarkan produk ke TPI untuk dijadikan hadiah,” jelas sumber di TPI waktu itu. “Saya ikut kuis Pantomim TVRI. Sponsornya Djarum dengan hadiah satu set panci, satu set piring, atau lain yang sekelas dengan itu. Waktu itu modelnya kan, grup pemenang ikut terus sampai bisa dikalahkan. Nah, grup kami menang terus sampai enam kali disiarkan. Malah kemudian, dihentikan karena tidak lucu kalau muncul terus,” kata Indriati Iskak, mengenang. Tetapi pada 1992 itu, hadiah kuis sudah tidak sekadar alat dapur lagi, melainkan juga barang-barang elektronika seperti kulkas, kompo mini, dan televisi, sudah menjadi hal yang lumrah. Tapi apakah iming-iming hadiah tersebut pada gilirannya menimbulkan sikap konsumerisme berlebihan di tengah penonton? Orang dijejali hadiah ke hadiah, iming-iming yang tidak setiap orang berhasil meraihnya. Tolon gjuga perhatikan panelis setiap kuis yang umumnya berasal dari masyarakat kelas menengah ke atas dengan kegemerlapannya yang cukup memukau. Pada gilirannya, kuis menjadi sosok yang serba berkemilau. “Ah, hadiah-hadiah itu kan sudah menjadi kebutuhan kita. Setiap rumah, misalnya, rasanya membutuhkan tape,” kata Hoediono Drajat, kepaal seksi musik dan hiburan TVRI. “Lalu soal kalau kuis-kuis di TVRI misalnya, seolah-olah hanya untuk kaum menengah ke atas karena masyarakat semacam itu saja yang mendaftarkan dirinya sebagai panelis. Padahal kuis-kuis ini terbuka untuk masyarakat umum dan kita tidak memandang kelasnya.” Ani Sumadi waktu itu mengaku, kuis-kuis ini memang bisa menimbulkan konsumerisme. Namun itu terjadi andai kata peserta sebuah kuis tetap itu-itu juga. Padahal, peserta sebuah kuis berganti-ganti. Hal ini malah diharapkan waktu itu bisa memacu penonton agar bisa sepintar peserta kuis. Inilah sebenarnya misi sebuah acara kuis. Terbukti misalnya, bahwa calon-calon peserta Berpacu Dalam Melodi umumnya menguasai lagu-lagu karena mereka baru mempelajarinya saat akan mengikuti acara tersebut. Karena bisa berdampak negatiflah, kata Kris Biantoro, panelis juga harus menyadari bahwa masyarakat yang menonton penampilan mereka adalah masyarakat yang heterogen dalam berbagai bidang. Penampilan misalnya, harus dijaga baik-baik sehingga tidak menimbulkan jurang antara panelis dengan kebanyakan pemirsa. Selain itu, di belakang panggung, Kris waktu itu mengimbau panelis agar kalau mendapat banyak hadiah agar bersedia memberikan kepada pihak-pihak yang lebih membutuhkan. “Ya, ternyata panelis menhyadari hal ini dan mereka ikut imbauan saya, sehingga suasana kuis menjadi lain,” kata Kris Biantoro waktu itu. Ya, bagaimana memodifikasi acara ini untuk hal yang lebih berguna, daripada anya sekadar memberi hadiah dan menyajikan hiburan, patutlah dipikirkan terus. Dok. Kompas, 22 Maret 1992, dengan sedikit perubahan |
1st March 2012, 16:57 |
#105
|
Mania Member
|
Penonton rcti di bandung kecewa, siaran sepakbola dari london tak muncul
SEJUMLAH penonton RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) di Bandung kecewa, atas batalnya siaran langsung sepakbola Piala FA 1990/1991 dari stadion Wembley, London antara kesebelasan Nottingham Forest dengan Tottenham Hotspur, di RCTI Bandung.
Seperti diinformasikan PR hari Sabtu (18/5/91) dalam rubrik acara televisi, bahwa siaran langsung itu mulai pukul 21.00-23.00. “Tapi pada kenyataannya, RCTI Bandung malah habis siarannya, kami sebagai pecandu sepakbola kecewa,” kata seorang menelepon ke redaksi Pikiran Rakyat malam itu. Berdasarkan jadwal acara yang diperoleh Pikiran Rakyat dari RCTI Bandung sepekan sebelumnya, memang siaran langsung itu tercantum. Akan tetapi batal. Namun, menurut sumber di RCTI Bandung, batalnya siaran langsung itu, karena pihaknya waktu itu masih melakukan siaran percobaan, sehingga bisa saja acara khusus seperti itu tiba-tiba batal, karena masalah teknis. Tapi, sebagian masyarakat Bandung dan sekitarnya yang bisa menangkap RCTI Jakarta, bisa menyaksikan acara dari Stadion Wembley London, Sabtu malam itu. Dok. Pikiran Rakyat, 18 Mei 1991, dengan sedikit perubahan |
1st March 2012, 17:00 |
#106
|
Mania Member
|
Menteri penerangan harmoko resmikan siaran tvri programa 2 stasiun surabaya, produksi
MENYUSUL suksesnya tayangan sinetron Sitti Nurbaya, Departemen Penerangan pada November 1991, menargetkan setiap stasiun produksi TVRI minimal mampu memproduksi tiga sinetron setiap tahun. Dengan demikian, dari 10 stasiun penyiaran daerah yang ada, secara nasional TVRI mampu menayangkan sinetron setiap minggu kepada masyarakat.
Hal itu dikemukakan Menteri Penerangan Harmoko kepada wartawan di Surabaya, Minggu (10/11/91). Seusai meresmikan TVRI Programa 2 Stasiun Surabaya, Menpen Harmoko menilai sinetron produksi TVRI waktu itu semakin menunjukkan bobotnya dan mudah dicerna masyarakat. Volume penayangan yang lebih besar, saat itu akan semakin memperkuat keutuhan kebudayaan nasional. "Masih banyak cerita daerah yang harus diangkat dengan bobot tak kalah dari Sitti Nurbaya. Dari segi teknis, TVRI siap, hanya persiapan non-teknis yang perlu mendapat perhatian serius," ujar Menpen Harmoko ketika itu. Menurut Menpen Harmoko, penambahan volume penayangan sinetron tersebut waktu itu akan semakin menumbuhkan kreativitas penulis di daerah. Selain itu, target 80% produksi dalam negeri untuk siaran TVRI, saat itu akan semakin cepat terwujud. Mengenai beban biaya yang cukup besar untuk menghasilkan sebuah sinetron, Menpen Harmoko berpendapat pengelola TVRI dapat bekerjasama dengan pihak luar, seperti dilakukan dalam pembuatan sinetron Sitti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat. Selama itu, setiap stasiun produksi TVRI hanya mampu memproduksi 1-2 sinetron. Mulai tahun 1992, TVRI dipacu agar mampu memproduksi 3-4 sinetron. Khusus TVRI Stasiun Pusat, waktu itu ditargetkan memproduksi 12 sinetron setiap tahun, menurut Menpen Harmoko. TVRI Programa 2 Stasiun Surabaya Bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 1991, TVRI Surabaya meningkatkan mutu siarannya dengan menayangkan saluran siaran barunya waktu itu: Programa 2. Siaran tersebut sebagian besar diisi paket acara lokal dengan titik berat penayangan acara hiburan. Siaran TVRI Programa 2 Stasiun Surabaya, waktu itu mengudara setiap hari pukul 17.40-21.00 WIB dengan sasaran jangkauan wilayah Gerbangkertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan). Menpen Harmoko yang meresmikan dimulainya siaran TVRI Programa 2 Surabaya itu menilai, keberadaan TVRI Programa 2 Stasiun Surabaya merupakan perwujudan pembentukan tata informasi nasional, serta menumbuhkan kekuatan kebudayaan nasional, dan mencegah kebudayaan asing yang bersifat negatif. "Keberadaan media TV nasional maupun swasta hendaknya betul-betul menjadi corong kebudayaan nasional, bukan budaya asing," pintanya waktu itu. Dok. Kompas, 11 November 1991, dengan sedikit perubahan |
1st March 2012, 17:02 |
#108
|
Mania Member
|
Rcti bandung mulai siarkan produksi lokal
RAJAWALI Citra Televisi Indonesia (RCTI) Bandung mulai 11 November 1991, saat itu akan menyiarkan produksi lokal dan memperpanjang jam siarannya. Dua mata acara yang baru waktu itu dan akan ditampilkan adalah Wayang Golek mulai 11 November 1991, disusul sinetron Halimun mulai 25 November 1991. Kedua acara tersebut waktu itu akan ditayangkan secara berurutan setiap hari Senin pukul 21.30 WIB setelah Dunia Dalam Berita.
Demikian diungkapkan kepala RCTI Bandung Ir. Adik Mardiono, humas RCTI Bobby Sael, dan staf humas RCTI Bandung Rochsan Rudhyanto, dalam jumpa pers di Bandung, Jumat (8/11/91). Acara wayang golek terdiri dari dua cerita dengan masing-masing empat episode, yaitu Paksi Jaladara dan Kitab Wahyu Pawitra. Sedangkan sinetron Halimun yang mengisahkan tentang lika-liku anggota keluarga kaya di masa penjajahan sampai masa kemerdekaan dalam mencari identitas diri, seluruhnya enam episode. Syarat DPD Diungkapkan Adik Mardiono, penayangan kedua produksi lokal tersebut dimaksudkan untuk menambah produksi mengenai Jawa Barat sehingga masyarakat Bandung saat itu akan berasa memiliki RCTI. Saat itu, persentase produk lokal di RCTI Bandung sudah di atas 10% dari seluruh jam siarannya. Selain itu, penayangan wayang golek dan sinetron tersebut juga untuk memenuhi persyaratan yang diajukan Komisi Siaran Daerah Jabar yang mengharuskan RCTI Bandung lebih banyak menyiarkan hal mengenai Jabar. "Hingga saat ini RCTI Bandung belum diresmikan. Hal itu karena Dewan Penyiaran Daerah mensyaratkan harus ada "muatan" lokal," ungkapnya waktu itu. Oleh karena itulah, status RCTI Bandung hingga detik itu masih dalam siaran percobaan. HR Ading Affendi dari Komisi I Siaran Daerah Jabar, menilai RCTI Bandung kala itu sudah banyak melaksanakan saran-saran yang diberikan komisi. Meski demikian, RCTI Bandung diminta membuat acara yang bisa menggambarkan Bandung dan sekitarnya, dari A hingga Z. "Jangan sampai RCTI Bandung hanya dianggap sebagai stasiun siaran impor dari negara lain saja," katanya waktu itu. Dok. Kompas, 9 November 1991, dengan sedikit perubahan |
1st March 2012, 17:03 |
#109
|
Mania Member
|
Direktur televisi ishadi: Pemda jangan dikte siaran berita tvri
SALAH satu kekurangan mutu pemberitaan TVRI selama itu adalah terlalu banyaknya berita titipan dari pemerintah daerah (pemda). TVRI memang bertugas mewakili kepentingan pemerintah dalam menyimpulkan pesan, namun TVRI sebagai media massa juga tetap dibatasi oleh sikap kritis penonton terhadap mutu penyajian. Jika berita pemda tak layak siar, semestinya pemda tidak memaksakan diri.
Direktur Televisi Deppen, Drs. Ishadi SK, M.Sc mengatakan hal itu kepada wartawan dalam persiapan pembukaan TVRI Programa 2 Stasiun Surabaya, Kamis malam (8/11/91). Ia menyebutkan, kendati TV swasta waktu itu tidak bisa disebut sebagai pesaing TVRI, namun mau tidak mau program siaran keduanya ketika itu akan bersaing untuk memikat penonton. TVRI sebagai pemegang hak tunggal siaran berita waktu itu, setelah 29 tahun bertempur sendirian, harus mengakui pentingnya meningkatkan mutu isi berita. Hal itu mengingat hebatnya daya pikat TV swasta pada jam siaran berita TVRI. Ia menambahkan, pihaknya waktu itu tidak mau mengulangi pengalaman TVRI Programa 2 Stasiun Pusat Jakarta yang didikte pemda setempat, sehingga mutu Berita Ibukota & Agenda Jakarta di TVRI Programa 2 Stasiun Pusat Jakarta merosot, dan bahkan menjadi bumerang bagi siaran berita itu sendiri. "Akibatnya, karena isinya tidak layak siar, kesan pemerintah justru tidak sampai," ujarnya. Ishadi memberi contoh, demikian kuatnya kemauan pemda dalam menentukan isi berita TVRI Programa 2 Stasiun Pusat Jakarta, sehingga humas pemda setempat memiliki empat juru kamera sendiri, dan mensuplai berita ke TVRI. "Baru setelah ada pembanding dari TV swasta, mereka menyadari pentingnya memperhatikan kelayakan isi berita pemerintah, betapa pun itu mengandung pesan pembangunan," katanya saat itu. Kepala TVRI Stasiun Surabaya, Drs. Sudijanto, kepada Kompas menjelaskan, pihaknya waktu itu tidak mempunyai ikatan prinsip dengan Pemda Jatim. Khususnya, berkaitan dengan isi pemberitaan TVRI Programa 2 Stasiun Surabaya. "Namun, kami akan tetap membantu menyampaikan pesan pemda, khususnya Pemda Kodya Surabaya, sebagaimana layaknya hubungan pemda-TVRI selama ini," kata Sudijanto waktu itu. Pola siaran TVRI Programa 2 Stasiun Surabaya, menurut Ishadi, waktu itu tidak berbeda banyak dengan pola siaran TVRI Programa 2 Stasiun Pusat Jakarta. "Artinya, kultur khas Surabaya, akan mendominasi pola siaran," jelasnya waktu itu. Segmen penonton yang dipilih adalah masyarakat kota dan sekitarnya dengan komposisi produksi 80% acara buatan TVRI sendiri. Untuk itu, pihaknya saat itu telah menyediakan berbagai peralatan produksi siaran berupa pemancar berkekuatan 10 kW melalui saluran 26 UHF pada frekuensi 511,25 MHz. "Siaran Programa 2 (Stasiun Surabaya) ini akan dilengkapi sistem audio stereo, radius pancarnya 50 km, atau sekitar wilayah Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan)," kata Sudijanto waktu itu. Dengan demikian, wilayah liputannya juga sampai ke seluruh kawasan itu. Untuk sementara itu, kata Ishadi, TVRI Programa 2 Stasiun Surabaya waktu itu akan mengudara tiga jam, antara pukul 18.00 hingga 21.00 WIB. "Tergantung kemampuan personalia dan dana, Programa 2 (Stasiun Surabaya) akan berkembang mandiri," tuturnya waktu itu. Dok. Kompas, 9 November 1991, dengan sedikit perubahan |
1st March 2012, 17:04 |
#110
|
Mania Member
|
Siaran percobaan rcti bandung mulai 1 mei 1991
PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) melebarkan sayap dengan membuka siaran percobaan di Bandung mulai hari Rabu, 1 Mei 1991. Siaran percobaan yang dipancarkan dari stasiun Panyandakan-Bandung tersebut, waktu itu akan berlangsung selama empat jam sehari, mulai pukul 17.00-21.00 WIB.
Humas RCTI di Jakarta menjelaskan, khusus hari Sabtu dan Minggu, jam siaran percobaan tersebut waktu itu ada kemungkinan bertambah, karena RCTI Bandung waktu itu akan menyiarkan langsung acara olahraga tingkat internasional. Hari Sabtu dan Minggu, tanggal 4-5 Mei 1991, stasiun televisi yang waktu itu masih baru ini, ketika itu akan menayangkan pertandingan bulutangkis perebutan Piala Sudirman 1991 secara langsung dari Kopenhagen, Denmark, pukul 18.35 WIB. Kemudian, tanggal 11-12 Mei 1991, saat itu RCTI Bandung berencana menayangkan secara langsung kejuaraan dunia bulutangkis, juga dari Kopenhagen, pukul 18.35 WIB. Pertandingan sepakbola Inggris FA Cup, saat itu akan disiarkan langsung dari London pada hari Sabtu, 18 Mei 1991 pukul 21.00 WIB. Selain disiarkan RCTI Bandung, seluruh pertandingan olahraga ini waktu itu juga akan disiarkan secara langsung oleh RCTI Jakarta dan SCTV (Surya Citra Televisi) di Surabaya. Stasiun televisi Panyandakan-Bandung yang juga diresmikan Rabu (1/5/91) tersebut, waktu itu akan memancarkan siarannya melalui saluran 50 UHF. Pemilik pesawat televisi di Bandung dan sekitarnya, bisa menangkap siaran RCTI mulai hari Rabu itu, bila menambahi pesawat TV-nya dengan antena UHF. Stasiun Panyandakan juga saat itu telah disiapkan untuk memproduksi serangkaian acara lokal yang tidak tergantung dari RCTI Stasiun Pusat di Jakarta. Menurut humas RCTI Jakarta, RCTI Bandung saat itu juga akan menampilkan tokoh-tokoh Bandung sendiri untuk acara produksi lokal. Dok. Kompas, 30 April 1991, dengan sedikit perubahan |
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer