Pagi ini pagi yang biasa. sama halnya dengan pagi-pagi yang kemarin. namun yang tidak biasa adalah sikap Ibu.
Ibu terlihat lesu saat ketiga buah hatinya dengan riuh rendah berebut meminta dilayani lebih dulu. Si sulung Cwiti Kiti sibuk dengan tas dan perbekalannya, membuat bahunya terlihat miring sebelah karena keberatan beban tas dibandingkan tubuh mungilnya. Dengan sabar Sang Ayah
mengambil alih beban itu dan menyampirkan tas Si Sulung ke pundaknya sendiri. Lain lagi ulah si Hani Banni yang ingin segera naik di motor bagian paling depan. Tanpa celana! Tentu saja Ibu yang sudah siap dengan celana panjang dan jaket segera menurunkan jagoannya dari motor.
Tidak seperti biasa, Ibu tidak mengeluarkan sepatah kata pun saat memakaikan celana dan jaket ke tubuh si Tengah, dan kemudian dibantu Ayah kembali menaikkan Si Tengah ini ke atas motor. Tempatnya sudah baku, bagian paling depan. Lalu si bungsu Lopi-Lopi yang ceriwis dengan
kerudungnya yang menurutnya tidak pas, sudah merengek-rengek minta dinaikkan ke atas motor. Hmmm, Revo yang tidak seberapa besar itu kembali lagi harus menunaikan tugas rutinnya setiap pagi, mengantar si Cwiti Kiti ke sekolah lengkap dengan pasukan pengawalnya. Hani Banni di bagian depan, lalu Lopi-Lopi yang diapit Ayah, dan kemudian Cwiti Kiti di bagian belakang.
Salam cium tangan dan cipika cipiki dari ketiga buah hatinya pun tak membuat raut sang wajah sang Ibu sumringah. Masih terlihat sendu. Apalagi saat Ayah menyodorkan tangannya dan pipinya pada Ibu. Kalau hari biasa Ibu mencium tangan dan pipi Ayah dengan mesra, kali ini dilakukan Ibu dengan sekedarnya saja. Pun saat membalas lambaian tangan si Cwiti Kiti yang masih teriak-teriak, "I love u, Bun!" dari atas motor yang melaju meninggalkan pagar depan, sang Ibu hanya membalas dengan senyuman setengah hati. Padahal biasanya dia selalu menjawab, "Love you too, honey," pada putri kecilnya itu. Dan si Cwiti Kiti akan protes kembali padanya, "Bunda, aku bukan Honey. Aku Sweety Kitty. Yang Honey itu khan Abang!" lalu Ibu akan mengoreksi panggilan kesayangan untuk tiap-tiap belahan hatinya itu.
Tapi kali ini berat bagi bibir Ibu untuk sekedar menjawab ungkapan kasih sayang putrinya. Namun tetap saja matanya memandang lajunya motor yang membawa seluruh belahan jiwanya itu sampai menghilang dari pandangan matanya.
Sigh.. Si Ibu menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan sekali hembusan. Rutinitas sudah menanti. Saat memasuki pintu belakang, matanya tertumbuk pada remah-remah nasi goreng yang bertaburan di mana-mana. Hmmm, ini pastilah ulah si Hani Banni. Belum lagi tumpukan cucian piring dan perkakas dapur yang kotor. Lalu pandangannya beralih ke mesin cuci. Sama saja. Pakaian kotor pun menunggu jadwalnya. Sama halnya dengan kasur yang bantal-bantalnya berserakan di sana sini, lantai yang kotor dan ah, kepala si Ibu cenut-cenut memikirkan semua hal itu yg harus dikerjakannya. Beruntung dia tidak harus masak lagi setidaknya sampai menjelang sore nanti, karena untuk hal itu sudah selesai dikerjakannya sejak jam 4 pagi sampai menjelang si Cwiti Kiti berangkat sekolah.
Hari ini semua perkerjaan rutin yang biasanya dikerjakan dengan iklash dan ringan hati, terasa berat karena mendung tebal yang bergayut di hatinya.
Bukannya membereskan semua kekacauan itu, si Ibu malah memilih menyeduh sebungkus kopi instan dan duduk di depan komputer.
Pun di depan komputer si Ibu hanya duduk termangu. Jari-jari yang harusnya mengetik rangkaian hurup yang membentuk kata, seterusnya kalimat, seterusnya paragrap, dan seterusnya..seterusnya malah hanya mengetuk-ngetuk meja komputer dengan irama yang tidak beraturan. Sementara pandangan matanya menatap ke dinding kaca di depannya, yang membatasi ruang kerja sekaligus ruang tamu itu dengan taman samping. Dan sampai uap panas dari gelas kopi yang diseduhnya tadi berangsur menipis, si Ibu tidak juga mengetikkan bahkan satu huruf pun!
"Gumbrang!!!"
Akhirnya tersentak juga si Ibu dari lamunan tak bertepinya. Suara riuh itu
datangnya dari dapur. Si Ibu bangkit dengan kesal. Kucing tetangga yang tak
terurus itu pasti membuat ulah lagi, mencari-cari sisa makanan di atas basin
cuci piring. Sampai di dapur, pandangan matanya membuktikan dugaannya.
Si kucing hitam tanpa wajah bersalah memandangnya dari atas meja dapur. Tentu saja si hitam rakus ini tidak menemukan apa yang dicarinya. Si Ibu seperti menemukan alasan untuk menumpahkan galau hatinya. Di ambilnya sapu dan dipukul-pukulkannya gagang sapu itu ke lantai (sebab si Ibu walau tidak suka kucing, bukan pula suka menyiksa hewan).
"Hush, hush, pergi sana. Hari ini aku tidak masak ikan, tau! Awas ya
kalau ada perkakasku yang pecah lagi kau buat!"
Keluar juga logat daerah si Ibu walau sudah hampir 8 tahun dia tinggal di
sebrang pulau dari kota asalnya. Jurus andalannya itu(selain gaya bahasa hiperbolanya; itu menurut Ayah) selalu dia keluarkan kalau si Hitam sudah datang. Entah sudah berapa ekor ikan berhasil dilahapnya dalam kurun waktu 1 bulan ini. Belum lagi hampir setengah lusin gelas kotor yang dimasukkan dalam baskom di atas meja cuci piring yang pecah karena ulah si Hitam.
Eh sudah begitupun si Hitam sepertinya menantang. Walau sudah turun dari
meja cuci piring, tetapi dia tetap bertahan di dapur. Hmmm, Si Ibu masih punya senjata andalan lainnya, segayung air! Kali ini ancaman itu terbukti ampuh. Si Hitam terbirit-birit kabur memanjat tembok belakang begitu melihat gayung. Soalnya ini bukan yang pertama, dan kiranya si Hitam sudah hafal tindakan apa yang selanjutnya akan dilakukan si Ibu pada dirinya.
Si Ibu menarik nafas dan menghembuskannya dengan sekali hentakan. Eh dia tercekat, dan berfikir. Agaknya, pagi ini dia sudah dua kali menarik nafas
panjang dan menghembuskannya keras-keras. Yang pertama penyebabnya adalah suaminya, yang kedua karena si Kucing Hitam pencuri ikan! (Padahal Si Hitam itu sering dikasih makan lho sama Si Ibu Ingatan yang lain menyeruak masuk ke benaknya. Kopi yang sudah hampir dingin!
Kembali lagi ke meja kerja dengan komputer yang masih menyala di depannya. Tentu saja sebelumnya Si Ibu menutup pintu dapur, tidak memberikan kesempatan gratis lagi buat Si Hitam mengobrak-abrik dapur tanpa sepengetahuannya.
Kali ini tangan Si Ibu sudah memegang gelas kopi yg tdk lagi panas, dan langsung meneguknya dengan sekali tegukan. Begitulah cara Si Ibu minum kopi kalau pikirannya lagi ruwet.
Bosan dengan komputer yang menyala tanpa aktivitas, si Ibu mulai membuka program VLC Player. Untunglah ada You Tube, jadi dia bisa down load lagu-lagu jadul yang dulu dia sukai. Kali ini pilihannya adalah "I Need to Know"-nya Marc Anthony. Kalau lagi moody Si Ibu memang tidak akan memilih lagu-lagu yang mellow, justru sebaliknya. Pilihannya ini membuat semangatnya naik kembali.
Musiknya yang asyik membuatnya serasa ingin bergoyang. Kalau saja ada si
Lopi-Lopi, pastilah sudah diajaknya berjoget. Kalau di dalam rumah, dan
dengan anak sendiri, enggak apa-apa khan menghibur hati dengan berjoget-joget. Dengan catatan bukan joget goyang Pantura pastinya.
Lagi asyik membayangkan menari dengan Lopi-Lopi, tiba-tiba,
"Gubraaakkk!!!"
"Ya Allah, apalagi nih," keluh si Ibu kesal sembari beranjak ke
dapur. Tidak ada yang aneh dengan suasana dapur. Masih berantakan seperti
semula saat ditinggalkan. Tetapi suara kucing yang menggeram sahut menyahut begitu jelas. Datangnya dari kamar mandi.
Begitu pintu kamar mandi di buka, pemandangan tak elok langsung menyergap matanya. Salah satu bagian atap plafon sudah terlihat menjuntai di langit-langit kamar mandi. Runtuhan dan serpihan kayu bertebaran di lantai kamar mandi. Selain mengotori lantai, juga menimbulkan bau debu yang memenuhi udara. Terasa pengap. Belum lagi suara 2 ekor kucing pejantan yang lagi saling mengancam. Kali ini emosi si Ibu sampai
ke puncaknya. Kembali gagang sapu jadi andalannya. Kalau sudah marah besar, Si Ibu justru tidak mengeluarkan suara. Mulutnya terkunci rapat. Hanya tangannya yang sibuk menghentak-hentak gagang sapu itu ke dinding kamar mandi. Dua kucing pejantan itu pun akhirnya terbirit-birit kabur sebelum kena sabetan gagang sapu!
Kali yang ketiga si Ibu menarik nafas panjang dan mengeluarkanya dengan
sekali hentakan. Matanya menatap keseantero ruangan. Rumah mungil yang luasnya hanya 60m2 itu terasa sangat sumpek dan kotor. Piring dan perkakas dapur yang memenuhi basin, baju-baju yang menumpuk di mesin cuci, lantai kotor dan kamar-kamar yang berantakan. Mata si ibu beralih ke jam dinding di ruang keluarga. Astaghfirullah!! Tak terasa hampir satu jam berlalu sejak keberangkatan ayah dan anak-anaknya ke sekolah si Cwiti Kiti.
Dalam hitungan menit, Ayah, Hani Bani, dan Lopi-Lopi akan segera tiba kembali di rumah. Dan Si Ibu belum ada melakukan tugas rutinnya. Walau Ayah tidak pernah marah kalau moody Si Ibu lagi kumat, tetapi Ibu selalu tahu diri dengan tanggung jawabnya.
Ada perasaaan bersalah mengalir di hati si Ibu karena telah melalaikan waktu untuk hal yang sia-sia.
Istighfar, Si Ibu menguatkan tekad. Target ditetapkan, semua beres dalam 2 jam. Seperti yang selalu biasa dilakukannya. Walau tanpa pembantu, everything under control. Begitu semboyan si Ibu sejak pembantu terakhirnya berhenti dengan tidak hormat 2 bulan yang lalu.
"Benar-benar pagi yang sempurna," kata Si Ibu sembari beranjak mulai berbenah.
End.
Suka..
Awalnya aku bingung..
Di bagian:
Tak terasa hampir satu jam berlalu... (dst sampai tanda titik)
Trus sambungannya:
Dalam hitungan menit, Ayah, Hani Bani, dan Lopi-Lopi akan segera tiba kembali di rumah.
Maksud aku, kan sekolah biasanya lbh dari satu jam jd aku ndak expect dlm hitungan menit (stlh tempo satu jam) hani bani n lopi-lopi udah pulang.. eh trus aku baca lagi baru ngeh.. hani bani dan lopi cuma ngantar cwiti..
Btw nama panggilannya imut semua.. cwiti kiti, hani bani n lopi-lopi...
Bunyi tulang remuk itu terdengar jelas di telingaku, tepat saat tumitku seperti menginjak sesuatu. Dan sosok imut lucu itu kemudian terbanting ke tanah. Lehernya meliuk ke samping sedangkan kaki-kakinya meregang. Matanya terbeliak menorehkan kesakitan yang luar biasa, namun tak ada suara yang keluar dari mulutnyam, kecuali seperti nafas yang tercekik. Tapi, akulah yang berteriak kemudiannya...
"Adek, Ai...Kutam-Kutam...!!!"
Airmata seketika bercucuran mengalir di kedua mataku, sedangkan mahluk imut yang kupanggil Kutam itu masih berkutat dengan rasa sakit yang pasti luar biasa di deritanya, mengingat bagaimana tubuhnya sampai terputar-putar dengan kaki-kaki yang menegang dan mata yang membeliak.
Dua anakku, yang baru saja mau berangkat ke sekolah, berbalik mendengar teriakanku. Melihat keadaan Kutam, mereka kaget dan hampir menangis.
"Bunda tidak sengaja menginjak Kutam. Lehernya patah!" isakku.
Adek terisak, begitu juga Ai. Aku mencoba berpikir tenang walau ditengah cucuran airmata bahwasanya kondisi Kutam yang sekarat tidak boleh dilihat anak-anakku berlama-lama.
Kututup ke dua mata Adek, dan kusuruh mereka berdua melanjutkan perjalanan ke sekolah. Aku tahu mereka bersedih, tapi pemandangan yang masih terhampar di depan mata, tidak boleh terlalu lama mengendap di benak mereka. Bisa jadi trauma.
Begitu anak-anak berbalik kembali melanjutkan perjalan ke sekolahnya, aku kembali menghadapi teror di depan mataku, Kutam yang masih berputar-putar dengan leher yang sengkleh, dan matanya terbeliak lebar.
"Kutam, maafkan aku, maafkan aku, " kataku sambil menangis, tapi juga bingung melihat keadaan Kutam yang seperti itu. Aku tidak tahu harus berbuat apa menghadapi sakratul mautnya hewan mungil ini. Terbesit ingin segera membawanya ke dokter hewan, tapi keadaanku saat itu tidak memungkinkan.cuma aku berdua yang tinggal di rumah dengan Abang, dan tidak mungkin aku meninggalkan abang di rumah sendirian, karena dia sendiri butuh diawasi. Dan alasan kedua, aku tidak tahu dimana dokter hewan yang terdekat dengan tempat tinggalku.
Kuangkat Kutam pelan-pelan, dan kudekap seperti mendekap bayi. Dia agak tenang walau matanya masih melotot penuh derita. Aku coba posisikan lehernya senyaman mungkin dalam dekapanku, dan itu seperti membantu. Nafasnya terdengar seperti hewan yang lagi tersedak, tapi tubuhnya tidak lagi melengkung-lengkung seperti tadi.
Aku masih mendekap Kutam di dadaku sembari terus menangis. Tuhan.., ampunkan aku. Kutam maafkan aku, maafkan aku, bisikku berung-ulang. Air mata bercucuran tak mampu kutahan. ada sekitar 15 menitan aku duduk di bawah pohon alpukat sembari mendekap Kutam. Tubuhku sudah berbau kucing, pastinya. tapi aku tak peduli. Aku berdoa pada Tuhan, kalaulah Dia mengijinkan Kutam hidup, agar dia bisa bertahan sampai kedua anakku pulang sekolah, karena aku bertekad akan membawanya ke dokter hewan (aku berniat cari di Google tempat dokter hewan yg terdekat dengan lokasi rumah). Namun kalau Kutam tak diijinkan berumur panjang, agar disegerakan kepergiannya, supaya Kutam tidak menderita seperti itu.
Kucari tempat dimana aku bisa meletakkan Kutam senyaman mungkin. Bawah pohon alpukat ini kering, sekaligus sejuk. Perlahan-lahan kurebahkan badannya dengan memberi alas gombal di bagian lehernya. Dia terlihat tenang, walau tetap penuh penderitaan, karena matanya masih terbeliak dan kedua rahangnya mengatup rapat. Bergegas aku membuka komputer, mencari data tempat dokter hewan di sekitaran rumah. Sesekali aku melirik ke arah Kutam (karena laptopku dekat jendela pondok, di samping pohon alpukat, sehingga aku bisa mengawasinya).
Google tak banyak membantu, karena waktu tak berpihak padaku. memang ada dokter hewan yang berlokasi sekitar 6 km dari tempat tinggalku. Tapi bagaimana aku ke sana, meninggalkan abang sendirian? menunggu anak-anak pulang, berartii sekitar 6-7 jam lagi.Sementara keadaan Kutam, sangat parah. Rahangnya mengatup erat, dan ada bercak darah di sisi kiri mulutnya.
Kudengar lagi suara tercekik itu, dan ketika kulihat ke arah tempat Kutam berada, tubuhnya kembali melengkung-lengkung penuh derita.
Aku bergegas keluar pondok, mengangkat lembut tubuhnya dan mendekapnya erat di dadaku dengan memposisikan lehernya senyaman mungkin. Airmata kembali menderas. Perasaan bersalah menggelayut di hati. Kutam begini tersiksa karenaku. kubelai-belai kepalanya sembari berkali-kali minta maaf padanya. Walaupun dia hewan, dia tetap makhlukNya, dan aku telah bersalah menginjak lehernya walau tak sengaja.
Duh..., saat ini aku tak sanggup menuliskan rincian kejadiannya. nanti akan kusambung lagi...
Kejadian itu terjadi, hari ini.., 21 Oktober 2019, sekitar pukul 6.15 pagi tadi.
Dan kini, tadi jam 9.56, Kutam mennghembuskan nafas terakhirnya dengan penuh penderitaan.
Hari ini, aku telah menjadi pembunuh! Pembunuh tak sengaja dari salah seekor anak kucing yang menjadi peliharaan kami. Maafkan aku Kutam. Sungguh aku tak sengaja.
Pada Allah aku berkali-kali minta ampunanNya karena menjadi penyebab matinya anak kucing lucu itu
RIP my dearest Kutam. Semoga Allah menngampuni ketaksengajaanku menginjak dirimu saat turun dari tangga pondok...
Be patient. For what was written for you, was written by the Greatest of Writers
Bunyi tulang remuk itu terdengar jelas di telingaku, tepat saat tumitku seperti menginjak sesuatu. Dan sosok imut lucu itu kemudian terbanting ke tanah. Lehernya meliuk ke samping sedangkan kaki-kakinya meregang. Matanya terbeliak menorehkan kesakitan yang luar biasa, namun tak ada suara yang keluar dari mulutnyam, kecuali seperti nafas yang tercekik. Tapi, akulah yang berteriak kemudiannya...
"Adek, Ai...Kutam-Kutam...!!!"
Airmata seketika bercucuran mengalir di kedua mataku, sedangkan mahluk imut yang kupanggil Kutam itu masih berkutat dengan rasa sakit yang pasti luar biasa di deritanya, mengingat bagaimana tubuhnya sampai terputar-putar dengan kaki-kaki yang menegang dan mata yang membeliak.
Dua anakku, yang baru saja mau berangkat ke sekolah, berbalik mendengar teriakanku. Melihat keadaan Kutam, mereka kaget dan hampir menangis.
"Bunda tidak sengaja menginjak Kutam. Lehernya patah!" isakku.
Adek terisak, begitu juga Ai. Aku mencoba berpikir tenang walau ditengah cucuran airmata bahwasanya kondisi Kutam yang sekarat tidak boleh dilihat anak-anakku berlama-lama.
Kututup ke dua mata Adek, dan kusuruh mereka berdua melanjutkan perjalanan ke sekolah. Aku tahu mereka bersedih, tapi pemandangan yang masih terhampar di depan mata, tidak boleh terlalu lama mengendap di benak mereka. Bisa jadi trauma.
Begitu anak-anak berbalik kembali melanjutkan perjalan ke sekolahnya, aku kembali menghadapi teror di depan mataku, Kutam yang masih berputar-putar dengan leher yang sengkleh, dan matanya terbeliak lebar.
"Kutam, maafkan aku, maafkan aku, " kataku sambil menangis, tapi juga bingung melihat keadaan Kutam yang seperti itu. Aku tidak tahu harus berbuat apa menghadapi sakratul mautnya hewan mungil ini. Terbesit ingin segera membawanya ke dokter hewan, tapi keadaanku saat itu tidak memungkinkan.cuma aku berdua yang tinggal di rumah dengan Abang, dan tidak mungkin aku meninggalkan abang di rumah sendirian, karena dia sendiri butuh diawasi. Dan alasan kedua, aku tidak tahu dimana dokter hewan yang terdekat dengan tempat tinggalku.
Kuangkat Kutam pelan-pelan, dan kudekap seperti mendekap bayi. Dia agak tenang walau matanya masih melotot penuh derita. Aku coba posisikan lehernya senyaman mungkin dalam dekapanku, dan itu seperti membantu. Nafasnya terdengar seperti hewan yang lagi tersedak, tapi tubuhnya tidak lagi melengkung-lengkung seperti tadi.
Aku masih mendekap Kutam di dadaku sembari terus menangis. Tuhan.., ampunkan aku. Kutam maafkan aku, maafkan aku, bisikku berung-ulang. Air mata bercucuran tak mampu kutahan. ada sekitar 15 menitan aku duduk di bawah pohon alpukat sembari mendekap Kutam. Tubuhku sudah berbau kucing, pastinya. tapi aku tak peduli. Aku berdoa pada Tuhan, kalaulah Dia mengijinkan Kutam hidup, agar dia bisa bertahan sampai kedua anakku pulang sekolah, karena aku bertekad akan membawanya ke dokter hewan (aku berniat cari di Google tempat dokter hewan yg terdekat dengan lokasi rumah). Namun kalau Kutam tak diijinkan berumur panjang, agar disegerakan kepergiannya, supaya Kutam tidak menderita seperti itu.
Kucari tempat dimana aku bisa meletakkan Kutam senyaman mungkin. Bawah pohon alpukat ini kering, sekaligus sejuk. Perlahan-lahan kurebahkan badannya dengan memberi alas gombal di bagian lehernya. Dia terlihat tenang, walau tetap penuh penderitaan, karena matanya masih terbeliak dan kedua rahangnya mengatup rapat. Bergegas aku membuka komputer, mencari data tempat dokter hewan di sekitaran rumah. Sesekali aku melirik ke arah Kutam (karena laptopku dekat jendela pondok, di samping pohon alpukat, sehingga aku bisa mengawasinya).
Google tak banyak membantu, karena waktu tak berpihak padaku. memang ada dokter hewan yang berlokasi sekitar 6 km dari tempat tinggalku. Tapi bagaimana aku ke sana, meninggalkan abang sendirian? menunggu anak-anak pulang, berartii sekitar 6-7 jam lagi.Sementara keadaan Kutam, sangat parah. Rahangnya mengatup erat, dan ada bercak darah di sisi kiri mulutnya.
Kudengar lagi suara tercekik itu, dan ketika kulihat ke arah tempat Kutam berada, tubuhnya kembali melengkung-lengkung penuh derita.
Aku bergegas keluar pondok, mengangkat lembut tubuhnya dan mendekapnya erat di dadaku dengan memposisikan lehernya senyaman mungkin. Airmata kembali menderas. Perasaan bersalah menggelayut di hati. Kutam begini tersiksa karenaku. kubelai-belai kepalanya sembari berkali-kali minta maaf padanya. Walaupun dia hewan, dia tetap makhlukNya, dan aku telah bersalah menginjak lehernya walau tak sengaja.
Duh..., saat ini aku tak sanggup menuliskan rincian kejadiannya. nanti akan kusambung lagi...
Kejadian itu terjadi, hari ini.., 21 Oktober 2019, sekitar pukul 6.15 pagi tadi.
Dan kini, tadi jam 9.56, Kutam mennghembuskan nafas terakhirnya dengan penuh penderitaan.
Hari ini, aku telah menjadi pembunuh! Pembunuh tak sengaja dari salah seekor anak kucing yang menjadi peliharaan kami. Maafkan aku Kutam. Sungguh aku tak sengaja.
Pada Allah aku berkali-kali minta ampunanNya karena menjadi penyebab matinya anak kucing lucu itu
RIP my dearest Kutam. Semoga Allah menngampuni ketaksengajaanku menginjak dirimu saat turun dari tangga pondok...