HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Sabtu, 2024/04/23 12:57 WIB
Pacari Putri Nikita Mirzani, Vadel Badjideh Akui Banyak Hujatan
-
Sabtu, 2024/04/23 13:07 WIB
Kabar Calonkan Diri Jadi Bupati Bantul Soimah Beri Klarifikasi
-
Sabtu, 2024/04/23 13:02 WIB
Reaksi Nassar Diminta Jadian dengan Irish Bella Saat Hadir di Acara Ultah
-
Sabtu, 2024/04/23 14:26 WIB
Rumah Via Vallen Digeruduk Massa Aliansi Arek Sidoarjo
-
Sabtu, 2024/04/23 13:13 WIB
CSB Divonis 2,5 Tahun Atas Penipuan Terhadap Jessica Iskandar
-
Jumat, 2024/04/22 15:00 WIB
Unggahan Natasha Rizki di Hari Anniversary Pernikahan dengan Desta Jadi Sorotan
|
Thread Tools |
15th April 2020, 23:25 |
#4481
|
Mania Member
|
SCTV, MULAI 25 AGUSTUS 1993 TAMPIL MANDIRI, 24 AGUSTUS 1993 MALAM BERPISAH DGN RCTI
KALAU selama itu para penonton Surya Citra Televisi Indonesia (SCTV) seakan hanya menonton "RCTI Surabaya", mulai 25 Agustus 1993 masyarakat (waktu itu) akan menyaksikan SCTV yang "asli". Betapa tidak, siaran yang (waktu itu) akan ditonton atas nama SCTV, 25 Agustus 1993, bukan lagi "pemberian" RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) seperti yang terjadi selama itu, tetapi merupakan siaran "milik" SCTV sendiri.
Kalau ada tayangan lokal, itu tentu produk yang lahir dari inisiatif orang-orang SCTV. Dari sisi ini, terbukalah kesempatan bagi para seniman, khususnya yang berada di Jawa Timur (Surabaya) untuk mengembangkan kreasi seninya. Atau mungkin saja akan bisa berkembang, seperti layaknya sejumlah grup seni "asal-asalan" yang berhasil mencapai tingkat komersial gara-gara RCTI. Contohnya, Lenong Rumpi. Grup "lawak" Betawi pimpinan Harry de Fretes ini, sampai saat itu sudah menelurkan "anak", seperti kelompok Rubby Tumewu, Sion, Jimmy Gideon yang akhirnya memang lebih komersial. Dengan contoh ini, tentu saja terbuka kesempatan bagi para seniman di kota Surabaya dan sekitarnya untuk melakukan hal yang sama seperti Lenong Rumpi (tentu dalam bentuk yang berbeda). Tentang SCTV SCTV didirikan dengan niat luhur, ingin mendukung program pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Niat ini diwujudkan dengan memperluas wawasan dan cakrawala masyarakat lewat sajian informasi dan hiburan yang disampaikan. Setelah keluar izin prinsip pendirian SCTV dari depan, SCTV resmi didirikan. SCTV yang (waktu itu) terletak di Jalan Darmo Permai III Surabaya, peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Menpen Harmoko paa 1 Februari 1990 di atas tanah seluas 4 ha, dengan luas bangunan sekitar 6.500 m2. Pada 24 Agustus 1990, SCTV resmi mengudara dengan siaran percobaan. Saat itu, SCTV sudah beroperasi penuh dengan jam siaran: Senin-Jumat 12.00 hingga 01.00 WIB, Sabtu, Minggu dan hari libur: 07.00-02.00 WIB. Sesuai SK Menpen, persentase program untuk televisi swasta pada umumnya (termasuk SCTV) adalah hiburan, olahraga, iklan layanan masyarakat 50%, pendidikan, kebudayaan, agama 20%, siaran niaga (iklan) 20%, siaran berita, penerangan, dan informasi 10%. Dari sigi yang dilakukan, produksi lokal ternyata mampu menyedot banyak pemirsa. Diprediksi, salah satu sebabnya produksi lokal lebih mudah dimengerti dan lebih dekat dengan pemirsa. Meskipun persentase acara SCTV masih lebih banyak produk impor (70%, data 1991), SCTV (waktu itu) akan terus meningkatkan mutu dan jumlah produksinya, terutama produksi lokal. Sejak pertama kali, SCTV mengudara dengan sistem stereo 'bilingual'. Penambahan jam siaran juga terus disesuaikan dengan keinginan masyarakat. Saat itu, SCTV mengudara sekitar 105 jam per minggu. Pada 14 September 1991, SCTV Denpasar mulai mengudara dengan program acara selama sekitar 57 jam per minggu. Dan SCTV Denpasar (waktu itu) dapat ditangkap dalam radius 80 km. Dok. Jawa Pos, 24 Agustus 1993, dengan sedikit perubahan |
15th April 2020, 23:35 |
#4482
|
Mania Member
|
STASTIKA ACARA SCTV (1): “TAK PERLU TAKUT BUDAYA BARAT”
SATU minggu sudah (waktu itu), SCTV (Surabaya Centra Televisi) 'on air' dengan berbagai tayangan acaranya. Selama itu pula masyarakat telah menikmatinya. Tentu banyak kesan dan komentar, seperti yang dijaring lewat pol pendapat Jawa Pos kali ini. Yang dimintai pendapat sebanyak 249 orang, terdiri atas guru, dosen, pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, pegawai negeri, dan ABRI serta praktisi hukum.
Gebrakan SCTV sejak Jumat, 24 Agustus 1990, disambut masyarakat penuh sukacita. Tayangan acara yang dititikberatkan pada musik dan film membuktikan perusahaan TV swasta kedua setelah RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) di Jakarta ini, mengutamakan program siarannya pada dimensi 'entertainment'. Barangkali karena itu, ketika ditanyakan siapa yang paling senang dengan acara-acara SCTV. 111 orang (44,58%) menjawab para penggemar musik. Jumlah itu hampir sama dengan yang menjawab para penggemar film. Responden yang menjawab demikian sebanyak 106 orang (42,57%). Ini saja menunjukkan bahwa sebagian besar responden menilai bahwa acara-acara SCTV adalah acara yang bersifat menghibur. Sementara itu, yang menjawab peminat ilmu pengetahuan hanya 15 orang (6,02%). Yang menjawab para peminat olahraga ternyata juga cukup kecil, 10 orang (4,02%). Sedangkan tiga orang (1,21%) memutuskan bahwa yang paling senang adalah peminat politik. Sisanya, empat orang (1,6%) tidak menjawab. Banyak musik - dalam berbagai jenisnya - dan film dalam blantika hiburan kita yang berkepala barat, meski kaki dan selimutnya telah berbau nusantara. Di SCTV, bahkan telah kelihatan banyak musik dan film barat ditayangkan. Sudah barang tentu itu ada dampaknya, meski sekecil apapun baik positif maupun negatif. Walau demikian, ketika ditanyakan apakah responden punya perasaan cemas akan cadanya dampak negatif dengan tayangan acara musik dan film di SCTV, ternyata 110 orang (44,18%), menjawab kurang begitu cemas. Bahkan, 97 orang (38,95%) mengatakan sama sekali tidak cemas dengan tayangan acara SCTV yang berbau barat itu. Yang cemas hanya 35 orang (14,06%), yang sangat cemas lebih sedikit lagi, 7 orang (2,81%). Dampak negatif yang dicemaskan itu memang sangat sulit dicari asumsinya yang tepat. Karena di tengah arus globalisasi budaya seperti 1990, batas-batas antara varian positif dan negatif semakin kabur. Barangkali, jalan perspektif yang sementara itu bisa kita prediksi dengan statistika jawaban responden adalah adanya kedewasaan atau pematangan mental. Paling tidak, masyarakat telah bisa menilai dan mencari serbuksari inovasi budaya yang dianggap cocok dan relevan dengan kebutuhan budaya sendiri. Tidak kecuali, dampak nilai-nilai budaya baru (waktu itu) yang mungkin menyebar dari tayangan acara musik adn film SCTV. Sebagai bukti bahwa kian matangnya mental masyarakat adalah penolakan terhadap asumsi bahwa tayangan acara musik dan film lebih cocok dengan kebutuhan orang-orang muda yang dianggap masih dalam proses pembentukan kepribadian. Ternyata, ketika ditanyakan tentang penilaian bahwa acara SCTV hanya cocok dengan selera kawula muda, 129 responden (51,81%) menjawab itu tidak benar. Artinya, bisa disimpulkan bahwa acara-acara SCTV tidak hanya milik orang muda, tapi milik semua orang dan seluruh kelompok umur, baik pria maupun wanita. Sebaliknya, mereka yang setuju jumlahnya hanya 29 orang (11,65%). Jumlah ini lebih sedikit daripada mereka yang masih samar-samar. Mereka yang menjawab mungkin jumlahnya mencapai 91 orang (36,51%). Singkatnya, responden tidak sependapat dengan pandangan sejumlah ahli yang mencemaskan dampak acara SCTV yang dianggap sekuler. Apalagi, responden adalah kelompok terpelajar yang sebagian berasal dari kelas menengah. Dok. Jawa Pos, 31 Agustus 1990, dengan sedikit perubahan |
16th April 2020, 00:57 |
#4483
|
Mania Member
|
PANDANGAN PERTAMA: MOMENTUM TELEVISI
Sidang Pembaca,
BULAN Agustus tahun 1991 rasanya begitu penting, bahkan mungkin jadi momentum. Bukan karena ada peringatan Hari Kemerdekaan, ditandatanganinya 'START', atau bakal pindahnya kantor Vista FMTV ke gedungnya yang (saat itu) baru di kawasan Kebon Jeruk. Namun lebih khusus dari itu, di bulan Agustus 1991, empat dari lima stasiun televisi di negeri ini (TVRI, RCTI Jakarta, RCTI Bandung, SCTV) berulang tahun. Bahkan, jika Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) menggunakan tanggal surat ijin operasinya, 16 Agustus 1990, maka bulan Agustus 1991, semua stasiun TV di Indonesia bisa sewa gedung bersama untuk menyanyikan lagu Panjang Umurnya. Nilainya, tentu lebih dari sekadar rekonsiliasi umat pertelevisian negeri ini. Tapi itulah momentum, di mana salah satu wajah kebudayaan - khususnya di bidang 'audiovisual broadcasting' - kita bisa ditentukan. Sebuah momentum yang sayang jika mesti dilewatkan. Mengingat dunia (juga bisa dalam arti industri) pertelevisian Indonesia di masa (yang saat itu akan datang) bakal begitu semarak. Tak sampai satu dasawarsa setelah parabola diperbolehkan, atau tak sampai satu "pelita" (pembangunan lima tahun-red) sejak SK Menpen No. 190A/Kep/Menpen/1987 tentang stasiun siaran terbatas, kita langsung memiliki empat stasiun TV swasta (RCTI Jakarta, RCTI Bandung, TPI dan SCTV). Dan tak lama lagi (ketika itu), Yogya (saat itu) akan memiliki TV swasta lewat Corkindo Citra-nya (kalau ijin keluar-red). Begitu pun sederet nama sudah menawar berbagai ibukota provinsi menjadi basis stasiun TV swasta yang (saat itu) akan didirikannya. Belum lagi Dirjen RTF (Alex Leo Zulkarnaen-red), kemudian ditegaskan Menpen (Harmoko-red), menyatakan kesediaan pemerintah memberi ijin bagi TV swasta melakukan "siaran nasional" lewat satelit. Sidang Pembaca, Ini artinya, (saat itu) akan terjadi semacam "'rush'" televisi dalam masyarakat. Dengan intensitas cukup tinggi. Bukan hanya karena meningkatnya jumlah stasiun dan luberan siaran asing, tapi juga peningkatan jumlah jam siaran yang pesat. Agustus 1991, tinggal sekitar 5-6 jam tersisa tanpa televisi menyala. Diperkirakan (saat itu), tahun 1992, Anda yang insomnia atau tak punya kelopak mata, bisa terus melotot nonton televisi, 24 jam sehari. Tak lama lagi (waktu itu), ya... begitu sebentarnya, hidup kita benar-benar tak bisa dilepaskan lagi dari televisi. Dan ini bukan tak ada dampaknya. Di Maluku, jadwal ibadah mesti diubah hanya agar sesuai dengan jadwal siar TVRI. Ditolak atau tidak, sebagaimana sudah terjadi di banyak negara, televisi (saat itu) akan menjadi bagian yang 'inherent' dalam hidup kita sehari-hari. Sebagaimana makan, kantor, sembahyang atau mencuci badan. Dan bulan Agustus 1991, bisa jadi momentum. Sidang Pembaca, Tentunya bukan "salah" olahraga, kalau kiat bisa menikmati televisi saat ini, dan... kenapa Agustus menjadi penting? Tapi memang lantaran pada 24 Agustus 1962, saat pesta olahraga se-Asia alias Asian Games kelima dimulai, TVRI resmi berdiri. Dan bukan "salah" siapa-siapa -- hanya... entah kenapa -- dua stasiun penyiaran televisi swasta umum (SPTSU) pertama -- RCTI dan SCTV -- juga memiliki tanggal yang tepat sama untuk peringatan hari jadinya. Tentu saja, bukan cuma karena TVRI termasuk "aset nasional" utama, bukan karena tiga stasiun (TVRI, RCTI, SCTV) "'happy birthday'" bersama, bukan juga cuma lantaran kata Agustus jadi begitu "keramat" di negeri ini, maka muncul usulan untuk lebih memberi arti pada tanggal hari jadi itu. Namun lebih dari itu, keberadaan televisi, yang dahulu disebut sebagai "revolusi dinding kelima", memang mesti diakui eksistensi, posisi dan fungsi yang dimilikinya. Sebagaimana tema, entitas, atau peristiwa lain yang dianggap memberi pengaruh besar bagi perkembangan bangsa dan negara ke depan, pantas diberi penghargaan - yang bisa berarti dilestarikan semangatnya - begitu juga dengan televisi. Kalau sudah ada - apa yang kita sebut dan peringati sebagai: Hari Kereta Api Nasional, Hari Film Nasional, Hari Radio Nasional, dan hari-hari lainnya... lalu emngapa tak dengan Hari Televisi Nasional? Dan kalaupun itu mungkin, juga mengapa tak kalau 24 Agustus diakui sebagai tanggalnya? 24 Agustus 1991 ini momentumnya. Dok. Vista - No. 122, 1 September 1991, dengan sedikit perubahan |
16th April 2020, 01:05 |
#4484
|
Mania Member
|
DI BALIK TELEVISI: PENGGANTI OSHIN (TVRI) MULAI ISI SUARA
FILM seri Rin, pengganti Oshin yang masa tayangannya (waktu itu) akan habis Juli 1990 yang saat itu akan datang, ketika itu sudah memasuki tahap pengisian suara ('dubbing'). Film ini sebagaimana telah diberitakan Jawa Pos, (saat itu) akan ditayangkan dengan suara bahasa Indonesia.
Irwinsyah, kepala seksi produksi acara drama TVRI, yang juga penanggung jawab proses pengisian suara mengatakan, saat itu sudah sembilan judul yang telah rampung diisi suaranya dalam bahasa Indonesia. Sedang jumlah seluruhnya sebanyak 156 judul. "Pengisian suaranya harus kita kebut mulai dari sekarang (1990)," kata Irwin (waktu itu). Hampir 32 orang nantinya, yang (saat itu) akan terlibat secara tetap sebagai pengisi suara film seri ini. Mengenai dana, Irwin menolak menjelaskan lebih jauh. "Itu bukan wewenang saya," katanya. Sementara itu, Pipit Sandra, salah seorang pengisi acara yang juga koordinator para 'dubber' itu, membenarkan bahwa proses pengisian suara baru selesai sembilan judul. Namun Pipit, seperti juga Irwin mengelak ketika ditanya tentang honorarium para 'dubber'. "Direktur TV (Ishadi) sendiri yang akan menjelaskan tentang itu," katanya. Pipit bahkan menolak ketika ditanya apakah sampai saat itu proses pengisian suara masih berlangsung. Sumber-sumber Jawa Pos mengungkapkan, proses pengisian suara untuk serial Rin yang sudah dilakukan sejak bulan puasa 1990 lalu itu, sempat terhenti. Sebab, masalah honor pada 'dubber' (waktu itu) belum selesai. "Istilahnya memang sedang 'break'. Tetapi apa yang terjadi sesungguhnya adalah para 'dubber' mengistirahatkan diri dulu sebelum masalah honor itu selesai," kata salah seorang 'dubber'. Pengisi suara yang menolak disebut namanya ini mengatakan, rekan-rekannya merasa di-"pingpong" oleh oknum yang mestinya bertanggung jawab tentang masalah honor itu. "Kalau teman-teman masih merahasiakan hal ini, justru karena kami masih percaya TVRI akan menyelesaikan masalah ini," ujarnya (kala itu). "Tersendatnya" pengisian suara serial Rin ini, diakui oleh para 'dubber' tidak akan berpengaruh pada rencana penayangannya. "Besok malam pun sudah bisa ditayangkan karena memang sudah ada 'stock'," kata sumber tadi. Yang dimaksud 'stock' tidak lain adalah sembilan judul yang sudah diisi tadi. Tentang yang (saat itu) belum "diisi", itu diyakini bisa dikerjakan setiap saat dan bahkan oleh 'dubber' yang lain yang tidak atau belum termasuk 'dubber' yang mengisi sembilan judul itu. Meski mengungkapkan ada masalah honor yang belum selesai (waktu itu), sumber ini juga menolak untuk mengatakan jumlah haknya atau teman-temannya yang belum dibayarkan. "Pokoknya belum selesai," tegas 'dubber' yang juga banyak mengisi film-film nasional itu. Dok. Jawa Pos, 13 Juni 1990, dengan sedikit perubahan |
16th April 2020, 01:06 |
#4485
|
Mania Member
|
SURABAYA KITA: BUKAN AKAN BERSAING, SCTV MITRA TVRI
H. MOCH. Noer, preskom PT Surabaya Centra Televisi (SCTV), mengatakan penyelenggaraan siaran SCTV adalah sebagai mitra TVRI, untuk menyampaikan informasi dan hiburan kepada masyarakat. "Sama sekali tidak bersaing, tapi sebagai mitra," katanya kepada Jawa Pos, 27 Januari 1990.
Usaha menyelenggarakan siaran televisi swasta yang pertama di Jatim, lanjutnya, memang merupakan rintisan untuk memberikan alternatif lain dari masyarakat Surabaya, dalam mendapatkan hiburan maupun informasi tambahan. "Kebetulan rintisan ini dipercayakan kepada saya, sama seperti rintisan penyelenggaraan siaran TVRI Surabaya beberapa waktu lalu," katanya (waktu itu). Moch. Noer, mantan gubernur Jatim ini lantas menceritakan sejarah berdirinya TVRI Surabaya. Meski penduduk Jatim paling banyak dibanding dengan provinsi lain di Jawa, soal penyelenggaraan siaran TVRI ternyata paling 'buncit'. "Setelah DKI Jakarta, kemudian Bandung dan belakangan menyusul Semarang mendapat anggaran pemerintah pusat untuk penyelenggaraan siaran TVRI," katanya. Ditunggu-tunggu, jatah penyelenggaraan TVRI di Jatim tidak juga turun. padahal, keinginan untuk itu sudah sering dilontarkan daerah kepada pusat. "Akhirnya jawaban muncul juga, tapi isinya pemerintah pusat tidak mempunyai dana untuk "membangunkan" TVRI Stasiun Surabaya," ujarnya. Akhirnya, lanjutnya, dengan bergotong royong dengan masyarakat, staisun TVRI Surabaya itu dibangun. "Sekarang (1990) saya rintis TV swasta yang sebetulnya memang sudah waktunya ada di Jatim," katanya (ketika itu). SCTV (rencananya saat itu) akan mulai mengudara sekitar Agustus 1990 yang waktu itu akan datang, dengan menggunakan dekoder. Pada 1 Februari 1990 yang waktu itu akan datang, Menpen Harmoko (saat itu) akan meletakkan batu pertama pembangunan SCTV yang terletak di Darmo Permai Surabaya. Dok. Jawa Pos, 28 Januari 1990, dengan sedikit perubahan |
16th April 2020, 01:13 |
#4486
|
Mania Member
|
SURABAYA KITA: BUKAN AKAN BERSAING, SCTV MITRA TVRI
H. MOCH. Noer, preskom PT Surabaya Centra Televisi (SCTV), mengatakan penyelenggaraan siaran SCTV adalah sebagai mitra TVRI, untuk menyampaikan informasi dan hiburan kepada masyarakat. "Sama sekali tidak bersaing, tapi sebagai mitra," katanya kepada Jawa Pos, 27 Januari 1990.
Usaha menyelenggarakan siaran televisi swasta yang pertama di Jatim, lanjutnya, memang merupakan rintisan untuk memberikan alternatif lain dari masyarakat Surabaya, dalam mendapatkan hiburan maupun informasi tambahan. "Kebetulan rintisan ini dipercayakan kepada saya, sama seperti rintisan penyelenggaraan siaran TVRI Surabaya beberapa waktu lalu," katanya (waktu itu). Moch. Noer, mantan gubernur Jatim ini lantas menceritakan sejarah berdirinya TVRI Surabaya. Meski penduduk Jatim paling banyak dibanding dengan provinsi lain di Jawa, soal penyelenggaraan siaran TVRI ternyata paling 'buncit'. "Setelah DKI Jakarta, kemudian Bandung dan belakangan menyusul Semarang mendapat anggaran pemerintah pusat untuk penyelenggaraan siaran TVRI," katanya. Ditunggu-tunggu, jatah penyelenggaraan TVRI di Jatim tidak juga turun. padahal, keinginan untuk itu sudah sering dilontarkan daerah kepada pusat. "Akhirnya jawaban muncul juga, tapi isinya pemerintah pusat tidak mempunyai dana untuk "membangunkan" TVRI Stasiun Surabaya," ujarnya. Akhirnya, lanjutnya, dengan bergotong royong dengan masyarakat, staisun TVRI Surabaya itu dibangun. "Sekarang (1990) saya rintis TV swasta yang sebetulnya memang sudah waktunya ada di Jatim," katanya (ketika itu). SCTV (rencananya saat itu) akan mulai mengudara sekitar Agustus 1990 yang waktu itu akan datang, dengan menggunakan dekoder. Pada 1 Februari 1990 yang waktu itu akan datang, Menpen Harmoko (saat itu) akan meletakkan batu pertama pembangunan SCTV yang terletak di Darmo Permai Surabaya. Dok. Jawa Pos, 28 Januari 1990, dengan sedikit perubahan |
16th April 2020, 01:15 |
#4487
|
Mania Member
|
ANEKA: NONTON KITA DAN KITA (TVRI SURABAYA), EMIL SANOSA TERSERANG STRES
EMIL Sanosa, penulis skenario Kita dan Kita, menyatakan stres berat gara-gara karyanya itu. Sinetron bertema pembauran yang ditayangkan bersambung oleh TVRI Stasiun Surabaya itu, oleh masyarakat dianggap sebagai sinetron terjelek.
"Tulis saja bahwa saya sekarang (Januari 1990) stres berat gara-gara itu," ujarnya kepada Jawa Pos, 11 Januari 1990 petang. Penulis skenario kondang bernama asli Emil Abdilla itu tidak ingin memberi komentar atas "kejelekan" sinetron yang (saat itu) sudah ditayangkan 3 episode itu. "Saya tidak mau memberikan komentar. Semuanya terserah masyarakat. Kalau masyarakat bilang jelek, terserah," katanya berulang-ulang. Dia seolah-olah ingin menegaskan sikapnya bahwa dirinya pasrah pada penilaian masyarakat. Walaupun ada kesan bahwa "kejelekan" sinetron ini bukan hanya karena skenario yang digarapnya. Emil tetap tak tergugah untuk memberikan tanggapannya ketika dipancing bahwa banyak pemirsa yang mengirim surat ke Jawa Pos yang antara lain menganggap Emil sudah tidak serius menulis skenario. "Sudahlah, jangan tulis komentar saya. Tulis saja saya stres berat," tangkis seniman yang saat itu menekuni Islam dan tahun 1990 (waktu itu) akan menunaikan ibadah haji itu. Di dalam proses suatu produksi TVRI, seorang penulis skenario memang tidak bertanggung jawab atas karyanya yang telah ditayangkan. Karena sang penulis memang tidak terlibat dalam produksi. Prosedur yang biasa terjadi adalah skenario diserahkan pada TVRI. Barulah kemudian TVRI memeriksa layak tidaknya naskah itu untuk dilayarkacakan. Jika TVRI menganggap tidak layak tayang, skenario tersebut ditolak. Jika skenario dia dianggap bisa diperbaiki, TVRI mengubah atau menyempurnakannya, dengan atau tanpa memberitahu sang penulis skenario. Syuting bisa dimulai setelah skenario dianggap sudah layak tayang. Dalam syuting itu penulis skenario sudah tidak punya hak untuk "turut campur", termasuk menentukan pemain. Sebab, haknya sudah dibeli oleh TVRI. Prosedur Kita dan Kita agaknya merupakan kasus khusus. Skenario ini direncanakan (saat itu) 12 episode dalam satu tema pembauran. Skenarionya tidak langsung diterima oleh TVRI Surabaya, melainkan diteliti oleh sebuah tim yang dibentuk atas SK Gubernur Jatim. Sumber Jawa Pos di TVRI Surabaya mengatakan, lucunya (kalau boleh dianggap lucu) TVRI Stasiun Surabaya tidak diikutsertakan dalam tim yang dipimpin oleh Direktorat Sosial Politik (Ditsospol) Tk. I Jatim. TVRI juga tidak "membayar" skenario karya penulis asal Lumajang itu. Konon yang membeli naskah sinetron itu suatu badan pembauran dengan koordinasi Ditsospol Jatim. Harga setiap episode Rp 750 ribu. Setelah kerja tim skenario itu usai, TVRI Surabaya tinggal syuting dengan sutradara (pengarah acara) Asmayadi, seorang pengarah acara TV yang sering menerima penghargaan nasional. Sampai saat itu, Kita dan Kita sudah ditayangkan hingga episode ke-3. 11 Januari 1990, episode ke-4 disyuting. Masyarakat pemirsa rupanya merasa kecewa. Minimal, banyak surat pembaca yang "mengumpat" sinetron yang direncanakan diikutkan sepekan sinetron Indonesia itu. Bahkan beberapa wakil rakyat di DPRD Tk. I Jatim Komisi A minta agar produksi Kita dan Kita ditinjau kembali. Permintaan untuk meninjau kembali dititikberatkan pada segi penyutradaraan, permainan, dan skenario. Apakah ketiga hal itu memang jelek? Yang jelas, Asmayadi bukan sutradara "kemarin pagi". Lieke Loho, si pemain utama (Susanti) sudah lama berkecimpung di teater, sedangkan Emil Sanosa selama itu merupakan penulis skenario yang berbobot. Barangkali lantaran prosedur produksi Kita dan Kita yang merupakan kasus khusus, sehingga menimbulkan persoalan khusus pula. Banyak yang belum jelas (saat itu), memang. Yang sudah jelas, Emil (saat itu) stres berat. Dok. Jawa Pos, 12 Januari 1990, dengan sedikit perubahan |
16th April 2020, 01:16 |
#4488
|
Mania Member
|
ANEKA: LUSSIE DAN NUNING DUKUNG TELSTARAMA (TVRI SURABAYA)
LUSSIE Baya, Nuning Hariono, Yunita Hemawati, Lita Wahab, dan Yanti Sudarto mengisi acara Telstarama TVRI Stasiun Surabaya, 24 Februari 1990 sekitar pukul 21.35. Suara mereka (saat itu) telah direkam, begitu pula rekaman gambarnya. Menurut Nuning, yang dihubungi Jawa Pos, 20 Februari 1990, syuting acara itu di kompleks Armada Laut, Tanjung Perak, Surabaya.
"Saya akan membawakan lagu milik penyanyi beken ibukota. Entar kalau ditujukin lagunya, nggak ada 'surprise' buat penonton dong," kata Nuning, adik kandung Rini Hartono, penyanyi asuhan almarhum Gombloh. Suara Nuning tidak kalah dibanding suara Rini, yang belakangan itu rekaman bersama Doel Sumbang itu. Dia pun akhirnya tampil mengikuti jejak kakaknya. Meski Nuning juga tetap membentuk vokal grup bersama Rini dan saudaranya yang lain, Yetty, dengan nama Trio Ryn. "Kalau ingin tahu penampilan saya, tunggu saja penampilan saya di TVRI malam Minggu mendatang (24/2/90), bersama rekan-rekan yang lain," katanya (saat itu). Sementara itu, Lussie Baya mengatakan, dia (saat itu) tidak akan menunjukkan lagu apa yang akan dinyanyikan nantinya dalam acara Telstarama yang ditangani oleh pengarah acara Mas'ud itu. "Pokoknya lihat saja deh nanti. pasti penonton TVRI akan terhibur bermalam Minggu bersama kami. Soal lagu apa yang bakal kami bawakan, bisa dinikmati dalam penayangan nanti," kata penyanyi yang nama aslinya Lusiana Waspaningdyah yang lahir 11 Desember 1971 ini. Lussie Baya adalah penyanyi yang cukup berpotensi. Seringkali tampil di TVRI. Album perdananya yang sempat melejitkan namanya di blantika penyanyi pop cukup bisa dibanggakan. Salah satu lagu dalam album itu, tidak asing lagi bagi pemirsa televisi, yakni Waktu Pacaran. "Para pemirsa TVRI silakan menebak, akan membawakan lagu apa saya nanti. Pokoknya kita akan sayik dengan suguhan lagu-lagu dari artis lokal ini di malam Minggu mendatang (24/2/90)," kata gadis centil (waktu itu) yang (kala itu) tinggal di Tambak Gringsing Baru Blok II/Gang VII/15, Surabaya itu. Dok. Jawa Pos, 21 Februari 1990, dengan sedikit perubahan |
16th April 2020, 01:21 |
#4489
|
Mania Member
|
NUSANTARA: LIMA TERDAKWA KORUPTOR AKAN DITAYANGKAN TVRI
LIMA terdakwa korupsi yang perkaranya disidangkan di Jawa Tengah (saat itu) diusulkan untuk ditayangkan di TVRI. Data mereka (saat itu) sudah diusulkan ke Kejaksaan Agung, dan saat itu dalam proses persetujuan. Kelima terdakwa itu ada yang berasal dari Semarang, Solo, dan Purwokerto.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jateng, H. Ridwan Sani, SH, ketika ditemui Jawa Pos, 22 Januari 1990, belum bisa memberikan nama-nama tersangka tersebut. "Nanti kalau sudah jelas akan ditayangkan, akan kami berikan kepada pers," tandas Ridwan yang didampingi humasnya, Edwin P Sitomorang. Seperti yang diberitakan harian ini (Jawa Pos) sebelumnya, Kejati Jateng merencanakan (saat itu) untuk menayangkan tersangka korupsi di daerahnya di TVRI Yogyakarta. Pembicaraan dengan TVRI Yogyakarta itu (saat itu) sudah dilakukan. Ketika itu tinggal menunggu persetujuan dari Kejaksaan Agung. Menurut rencana (ketika itu), penayangan itu bersifat liputan proses pengadilan. Menurut Ridwan, sebelumnya ada 24 orang yang menurut rencana (saat itu), ditayangkan di TVRI. Namun setelah diseleksi, hanya lima orang yang memenuhi syarat untuk disiarkan TVRI. Meski demikian, jumlah itu bisa saja berkembang. Lima tersangka yang (saat itu) bakal ditayangkan TVRI itu, perkaranya (saat itu) sedang diproses di pengadilan. Sampai detik itu, ada yang baru dalam tahap pemeriksaan saksi dan pemeriksaan terdakwa. Namun Ridwan (saat itu) belum mau menyebutkan di mana perkara tersebut disidangkan. Ridwan juga (saat itu) belum bisa memastikan kapan penayangan itu bisa dilaksanakan. Di samping menunggu izin dari Kejagung, pelaksanaannya juga menunggu proses peradilan itu sendiri. "Jadi kapan tepatnya ditayangkan, kami tidak dapat menjanjikan," katanya. Kajakti Jateng juga menyebutkan bahwa dari lima tersangka tersebut di antaranya ada oknum dari swasta dan negeri. Namun, ia sendiri (saat itu) masih keberatan menyebutkannya secara rinci. "Kalau saya menyebutkan secara rinci, tetapi yang ditayangkan itu ternyata meleset dari yang kami katakan, jelas akan berdampak kurang baik. Karena itu bersabarlah, pasti semuanya akan kami berikan kepada Anda," ujar Ridwan (saat itu). Dok. Jawa Pos, 23 Januari 1990, dengan sedikit perubahan |
16th April 2020, 01:24 |
#4490
|
Mania Member
|
HIBURAN & TV: HINGGA JULI 1990, DBT (TVRI PROGRAMA 1) MASIH 40%
SYUTING sinetron Di Balik Tobong (saat itu) baru mencapai 40%. "Seharusnya capaiannya lebih dari itu. Padahal, skedul sudah kita jalankan seketat mungkin," kata Ananto Widodo, sutradaranya. Sinetron produksi TVRI Jakarta itu mengambil lokasi di seputar Yogyakarta. Tobong memang kesenian tradisional Kota Gudeg.
Beberapa syuting lakon ini ternyata ditujukan ke anak-anak loper koran. Dan yang diteriakkan para loper itu adalah "Jawa Pos... Primadona ketoprak diperkosa...!!!" Jawa Pos memang terlibat dalam penyuksesan sinetron ini. Seperti yang pernah diberitakan harian ini, Di Balik Tobong berkisah tentang seorang primadona tobong (sejenis ketoprak) yang diperkosa. Tokoh primadona itu diperankan Anneke Putri. Ananto Widodo, pejabat bapersi TVRI Jakarta khususnya bidang drama, baru mulai menggarap sinetron sejak setahun sebelumnya (1989), lewat lakon Sepasang Kebenaran. Menurut Ananto, dunia sutradara telah dia geluti sejak dia masih bertugas di TVRI Stasiun Yogyakarta. Pada 1979, dia pindah ke Jakarta. "Menggarap sinetron di Yogyakarta, saya senang sekali. Sebab itu berarti sambang mertua, sekaligus menengok anak saya yang bersekolah di Yogya," kata Ananto yang rambutnya sudah mulai ubanan (saat itu) itu. Sampai hari kelima, pengambilan gambar masih berkisar di lokasi tobong ketoprak Gito-Gati. "Pengambilan gambar di sana paling banyak dan paling menyita waktu. Wah, pokoknya paling bikin stres deh. Setelah itu barulah bisa melaksanakan syuting-syuting yang gampang," ujarnya. Dok. Jawa Pos, 24 Juli 1990, dengan sedikit perubahan |
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer