HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Minggu, 2024/04/18 11:55 WIB
Klarifikasi Idham Masse Soal Mobil Untuk Ibu Catherine Wilson Mau Ditarik Leasing
-
Minggu, 2024/04/18 11:48 WIB
Ogah Disebut Nganggur, Ferry Irawan Ngaku Ada Proyek Film dan Dicalonkan Jadi Bupati
-
Selasa, 2024/04/14 11:47 WIB
Sandra Dewi Hilang di Instagram, Keluarga Lakukan Hal Ini
-
Sabtu, 2024/04/17 14:39 WIB
Melody Prima Baru Ungkap Alasan Bercerai Setelah Setahun Berlalu
-
Jumat, 2024/04/16 14:20 WIB
Olivia Nathania, Anak Nia Daniaty Bebas dari Penjara Kasus CPNS Bodong
-
Selasa, 2024/04/14 11:42 WIB
Soal Kabar Adopsi Bayi Perempuan, Ini Kata Raffi Ahmad
|
Thread Tools |
27th May 2016, 23:21 |
#4061
|
Mania Member
|
BATASI WAJIB RELAI
KELUHAN pengusaha radio swasta itu tak ubahnya bagai keluhan korban penggusuran. Dalam rapat dengar pendapat dengan Fraksi Karya Pembangunan (FKP) di DPR, pertengahan Mei 1996 lalu, mula-mula mereka mengeluhkan hadirnya televisi swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANteve, dan Indosiar) yang menyebabkan pendapatan iklan mereka anjlok sebesar 70%.
Lalu, mereka pun meminta perlindungan kepada para wakil rakyat. "Agar dalam membahas RUU penyiaran," ujar ketua pelaksana harian Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI) Purnomo. "Masalah porsi iklan diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada pihak yang dirugikan." Bandingkan saja, lima televisi swasta bisa meraup hampir separuh pangsa iklan, sementara sekitar 700 radio siaran cuma bisa mencicip 5,1%-nya. Bukan cuma itu yang menjadi sorotan mereka. Melihat RUU penyiaran, merek apun kaget melihat klausul mengenai perizinan: setiap pemilik radio swasta harus mengantongi tiga buah perizinan: yakni izin penggunaan frekuensi, izin penyiaran, dan izin pemberitaan. "Yang kita mau seperti media cetak, cukup dengan SIUPP. Tak perlu izin lainnya. Apalagi untuk mendapatkan izin itu prosesnya sangat panjang," kata Purnomo. Belum lagi kewajiban merelai berita RRI, seperti yang termaktub dalam pasal 34 RUU itu. Jumlah siaran wajib relai itu, kalau dihitung bisa sampai 13 kali seharinya. "Kalau bisa, kami minta wajib relai itu hanya lima kali," ujar Purnomo. Selama itu, di bidang radio belum ada perangkat hukum yang kuat. Paling ada Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 1970 dan beberapa SK Menteri Penerangan. Tak mengherankan bila kemudian muncul berbagai penafsiran, misalnya mengenai siaran berita. Dirjen RTF yang sebelumnya, Alex Leo Zulkarnaen, tiga tahun sebelum itu (1993) pernah menyatakan bahwa media penyiaran swasta tetap dilarang membuat berita atau 'hard news'. Namun sejumlah radio siaran ada saja yang menyelenggarakan berita yang dibungkus dengan pelbagai istilah. Bagi Errol Jonathans, pengelola Radio Suara Surabaya, justru peraturan yang ada selama itu memungkinkan stasiun radio menyajikan informasi atau berita bikinan sendiri. "Jelas disebut dalam PP Nomor 55 tahun 1970 itu, salah satu fungsi radio siaran swasta adalah fungsi informasi atau penerangan," kata Errol. Maka, Suara Surabaya yang berdiri sejak 1978 langsung ambil peran dalam menyajikan informasi buat para pendengarnya di Kota Buaya itu. Sekitar 45% porsi siaran mereka berisi penyajian informasi. "Sampai sejauh ini khan tidak ada yang ditindak pemerintah," ujar Errol. Di mata Laila Mirza (saat itu 37 tahun), manajer umum Radio Mara Bandung, radio swasta memang punya keleluasasaan dalam menyiarkan berita atua program acara. Karena katanya, acuan main mereka hanya Kode Etik PRSSNI yang tidak punya konsekuensi berat, misalnya pencabutan izin siaran. "Paling banter pelarangan siaran terhadap satu program penyiaran, seperti yang dialami Radio Trijaya," kata Laila. Acara Jakarta Progress di Trijaya, yang berisi wawancara langsung dengan berbagai tokoh, beberapa waktu sebelumnya dihentikan siarannya. Dalam RUU penyiaran, soal pemberitaan itu ada aturan mainnya. Memang banyak juga yang khawatir, pemerintah bisa-bisa menerapkan hal yang sama seperti kepada media cetak: pembredelan. "Jadi, jelas, siapa yang menembak, siapa yang ditembak," ungkap Sutomo, anggota dewan pengawas Kode Etik PRSSNI Jawa Barat. Dok. FORUM Keadilan - No. 5 Tahun V, 17 Juni 1996, dengan sedikit perubahan |
27th May 2016, 23:22 |
#4062
|
Mania Member
|
FORUM UTAMA: INFORMASI SWASTA SEBELUM ADA BERITA
STASIUN televisi swasta menurut RUU penyiaran, boleh membuat siaran berita sendiri. Selama itu pun mereka sudah memproduksi berita. Salah satu yang menarik pada rancangan undang-undang (RUU) tentang penyiaran adalah soal dibolehkannya televisi swasta memproduksi dan menyiarkan berita sendiri. Pasal 27 RUU ini disambut positif banyak pihak. "Memang sudah selayaknya stasiun televisi swasta membuat berita sendiri," ujar DR. Alwi Dahlan, pakar komunikasi lulusan University of America, Washington DC.
Kalau pasal ini gol, secara otomatis menghapus SK Menpen No. 111 tahun 1990, yang menyatakan bahwa televisi swasta dilarang membuat berita sendiri. Alasannya, sering lembaga penyiaran swasta - baik itu televisi maupun radio - menyimpulkan berita berbeda-beda. Ini (waktu itu) akan membingungkan masyarakat, padahal tujuan utama lembaga penyiaran adalah untuk memberikan informasi secara akurat. Untuk menyiarkan berita, televisi swasta harus merelai dari TVRI, yakni Siaran Berita TVRI (pukul 17.00 dan 19.00) dan Dunia Dalam Berita (pukul 21.00). Tapi pada prakteknya, televisi swasta sudah membuat dan menyiarkan berita, meskipun pihak televisi berkilah bahwa yang mereka sajikan bukan berita tapi informasi. Yang pertama kali memprakarsai pembuatan tayangan informasi ini adalah PT Sindo (Seputar Indonesia) pada 1992, patungan antara RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) dan SCTV (Surya Citra Televisi). Saat itu, pihak RCTI dan SCTV melihat bahwa informasi ini layak dijual, karena memang menjadi kebutuhan dasar pemirsa. Dengan investasi sekitar Rp 10 milyar, Sindo mula-mula memproduksi acara Seputar Indonesia saja. Tapi belakangan, tayangan ini bertambah dengan Nuansa Pagi, Buletin Siang, dan Buletin Malam. Antisipasi PT Sindo ini memang tepat, karena tayangan informasi ini ternyata disukai pemirsa. Bahkan menurut penelitian lembaga riset SRI, Seputar Indonesia meraih rating yang bagus. Alhasil, iklan pun mewarnai tayangan informasi ini. Langkah ini lantas diikuti oleh stasiun televisi lainnya, SCTV, setelah berpisah dengan RCTI dalam bidang pemberitaan, menggebrak dengan Liputan 6 yang mengangkat lima pokok bahasan: yakni Derap Hukum, Di Balik Berita, Usaha Anda, Visi Warta, dan Wakil Kita. Tayangan ini dikembangkan sejak Mei 1996 dengan Liputan 6 Petang. Dalam acara yang (waktu itu) baru ini, SCTV membuat gebrakan dengan menempatkan Riza Primadi sebagai 'anchor'. "Dia bukan 'newsreader' (pembaca berita), tapi pengendali berita karena terlibat sejak berita itu disiapkan," kata Sumita Tobing, arsitek Liputan 6 bersama Riza Primadi. Stasiun lain pun tak mau kalah, meski tidak terlalu banyak porsinya, ANteve (Andalas Televisi) punya acara Cakrawala, yang disiarkan tiap petang, Indosiar dengan Horison-nya, dan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) menyiarkan Selamat Pagi Indonesia, Lintas Siang, dan Lintas Sore. Semuanya selama setengah jam penayangan. Itu pun masih ditambah dengan berita pendek semacam Sekilas Info di RCTI dan Aktualita ANteve. Masih sedikitnya tayangan informasi di Indosiar, ANteve, dan TPI ini karena mereka belum menyiapkan sumber daya manusianya secara optimal (kala itu). Untuk itu beberapa stasiun televisi menggandeng griya produksi untuk memasok tayangan informasi. TPI bekerjasama dengan MGP News Network membuat tayangan Jurnal Bisnis Indonesia dan Monitor Bisnis. Lalu, Indosiar menggandeng Grup Gramedia dan membentuk PT Indomedia Wartatama, dengan investasi sekitar Rp 10 milyar. Semula, tayangan informasi ini lebih menjurus kepada 'feature' atau 'softnews'. Itu karena pengelola tayangan informasi ini (waktu itu) masih berpegang pada SK Menpen No. 111 tahun 1990, yang tak boleh menayangkan berita. Berita kriminal dan berita 'human interest' bisa dibilang mendominasi tayangan tersebut. Sementara itu berita berbau politik boleh dibilang jarang. Penayangan berita kekerasan ini, selain aman, ternyata disukai. Judul acara pun dijauhkan dari kesan berita. ANteve yang semula memakai judul Laporan ANteve, mengganti nama tayangan itu menjadi Cakrawala, yang kesannya lebih netral. Tapi belakangan, trend ini berubah. Informasi yang ditayangkan televisi swasta tidak lagi sepenuhnya 'feature' atau 'softnews'. Berita-berita yang "keras" dan berbau politik pun muncul, mulai dari demonstrasi buruh sampai rapat dengar pendapat pejabat tinggi di DPR. Bahkan tak jarang, materi berita yang disiarkan TVRI lewat Siaran Berita dan Dunia Dalam Berita, sudah lebih dahulu nongol di Seputar Indonesia, Liputan 6, Cakrawala, atau Lintas Sore. Reporter dan juru kamera televisi swasta kerap berbaur dengan wartawan cetak dalam berbagai acara. Banyak pemirsa yang mencari berita aktual lewat Cakrawala (ANteve), disambung Seputar Indonesia (RCTI), lalu mematikan teve karena Siaran Berita TVRI hanya mengulang. Tak mengherankan bila kemudian muncul polemik tentang hal ini. Niat awal pemerintah - seperti yang tertuang dalam SK Menpen No. 111 tahun 1990 - untuk menghindari munculnya berita dalam berbagai versi akhirnya hanya sebatas SK ompong. Buktinya tak ada tindakan dari pemerintah terhadap stasiun televisi yang terang-terangan membuat dan menayangkan berita meski tidak meneybutkan tayangan informasi itu sebagai berita. Jadi, munculnya pasal 27 dalam RUU penyiaran hanyalah semacam pengesahan langkah stasiun televisi swasta membuat berita. Sayangnya, pasal ini ada embel-embelnya, disebutkan bahwa lembaga penyiaran swasta dapat melaksanakan siaran berita berdasarkan izin dari pemerintah, dan griya produksi dan TV langganan dilarang membuat berita. Apakah izin ini serupa SIUPP bagi penerbitan pers, (waktu itu) masih belum jelas. Maka wajar saja ada kekhawatiran. Semestinya, kata Sophan Sophiaan, anggota DPR dari F-PDI, harus ada jaminan dalam RUU itu bahwa tidak akan jadi pembredelan atau pencabutan izin siaran televisi swasta, demi terjaminnya kebebasan pers dalam menyiarkan informasi. Rambu-rambu mata acara siaran berita juga tidak disebutkan dengan jelas. Cuma berdasarkan butir 2 pasal 27 disebutkan bahwa tayangan berita ini, selain harus berpedoman pada kode etik siaran, wajib menaati kode etik jurnalistik (KEJ) dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun kode etik siaran dan dewan kehormatan kode etik siaran, hingga Juni 1996 belum dibentuk. Soal tanggung jawab keredaksian dipaparkan dalam pasal 17. Salah satu penanggung jawab siaran adalah penanggung jawab pemberitaan. Dialah yang bertanggung jawab terhadap materi pemberitaan. Tanggung jawab ini bisa dilimpahkan ke pengasuh mata acara yang bersangkutan. Stasiun televisi swasta pun harus menyiarkan ralat, apabila ada sanggahan terhadap berita tersebut. "Bila ada stasiun televisi yang berbuat kesalahan, tentunya akan ada peringatan dan sanksi," kata Dirjen Radio, Televisi, dan Film (RTF), Dewabarata. Tapi, apakah sanksi itu berupa pencabutan SIUPP atau pembredelan, kata Dewabarata, DPR yang (waktu itu) akan menurunkannya. "Kita belum ke arah itu," katanya. Meski sudah bisa memproduksi berita sendiri, stasiun televisi swasta (waktu itu) masih ahrus merelai siaran sentral dari TVRI. Mata acara yang wajib direlai ini antara lain berita, acara kenegaraan, dan acara pengumuman penting yang harus diketahui masyarakat. Farid Poniman, kahumas TPI, berpendapat bahwa adanya kewajiban relai menghilangkan semangat bersaing antar televisi. "Tidak ada lagi kompetisi untuk menyajikan berita terbaik," katanya. Ia juga mempertanyakan mutu Siaran Berita TVRI - terutama pukul 17.00 dan 19.00 - yang dinilainya mubazir. Karena tidak bis disangkal, sebagian besar penonton mematikan TV karena materi berita hanya seputar gunting pita dan acara seremoni lainnya. Sumita Tobing juga sependapat dengan hal itu. "TVRI mesti meningkatkan kualitas mutu siaran," katanya. Dok. FORUM Keadilan, No. 5 Tahun V, 17 Juni 1996, dengan sedikit perubahan |
27th May 2016, 23:23 |
#4063
|
Mania Member
|
FORUM UTAMA: PERDEBATAN DEMOKRASI LEWAT LAYAR KACA
RUU penyiaran yang dibahas di DPR pekan-pekan itu (pekan-pekan awal Juni 1996), di beberapa kalangan terlalu represif dan anti-keterbukaan. Itu kesempatan DPR berinisiatif dalam pembentukan undang-undang. Barang yang lama dinanti-nanti kehadirannya, belum tentu bisa memuaskan khalayak ramai. Satu buktinya adalah RUU penyiaran, yang diserahkan Menteri Penerangan Harmoko ke DPR, 6 Mei 1996 lalu. Ia bernasib seperti halnya RUU peradilan belum lama (waktu itu) ini, mengundang perdebatan di kalangan luas.
Betul, yang namanya RUU penyiaran itu digarap sejak lama, sejak 18 tahun sebelumnya (1978). Itu jauh sebelum datangnya era televisi swasta. Rancangan itu sebagai naskah akademis dibahas atas kerjasama Biro Hukum Departemen Penerangan dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Lalu digodok lagi di Dewan Siaran Nasional pada 1988. Memang, banyak perkembangan baru (waktu itu) yang merasuk di dunia penyiaran. Munculnya stasiun-stasiun televisi swasta, berbagai siaran asing yang gampang diterima satelit, masuknya biro CNN (Cable News Network) di Jakarta, dan akhir-akhir itu era perang informasi di internet. Maka pemerintah pun acap berubah pikiran. Sebutlah soal televisi swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANteve, dan Indosiar), mula-mula hanya boleh siaran lokal, lalu bisa menasional. Juga soal siaran pemberitaan, yang dulunya dilarang keras, belakangan diperlonggar asal tidak menyebut kata berita dan kemudian dalam RUU itu diperbolehkan - tentu dengan embel-embel prosedur perizinan. "Sifat RUU penyiaran melindungi kepentingan umum," kata Dirjen Radio, Televisi, dan Film (RTF), Dewabarata. Setelah dua tahun lamanya (1994-1996) RUU itu ngendon di Sekretariat Negara, akhirnya diserahkan juga ke DPR apa adanya. Di DPR sendiri, pembahasan RUU itu memasuki tahap pemandangan fraksi-fraksi pada pekan-pekan itu. Itu adalah sebuah rangkaian proses yang masih panjang (kala itu), sebelum nantinya terwujud sebagai UU yang mengikat umum. RUU penyiaran memuat 58 pasal. Di sana, penyiaran radio dan televisi diatur dalam satu sistem penyiaran nasional, yang penyelenggaranya adalah lembaga penyiaran pemerintah dan swasta. Ada pembahasan soal iklan untuk TVRI, sulih suara, wajib relai berita, berita penyiaran swasta, larangan bagi organisasi keagamaan dan politik untuk mendirikan stasiun penyiaran sendiri, larangan pemindahtanganan pengelolaan lembaga penyiaran di bawah tangan, dan sebagainya. Namun sebagai naskah pertama, ternyata banyak lubang di RUU itu yang menjadi sorotan berbagai kalangan, seperti terungkap dalam diskusi panel yang diselenggarakan Muhammadiyah, Rabu, 29 Mei 1996 lalu. Para pembahas menyimpulkan, muatan RUU penyiaran dinilai mengandung pertentangan antara pasal satu dan lainnya. Dengan kata lain, "RUU penyiaran terlalu represif, paradoks, dan amivalen," kata ahli komunikasi FISIP UI, Bachtiar Aly. Adalah pasal 9 ayat 3 yang menjadi sorotan. Pasal itu melarang didirikannya lembaga penyiaran swasta yang khusus untuk kepentingan sesuatu aliran politik, ideologi, agama, siaran, atau golongan tertentu. Bagi banyak kalangan agamawan, juga politisi, larangan seperti itu bisa berarti pemasangan terhadap hak-hak warga negara, seperti dijamin dalam pasal 27 dan pasal 28 UUD 1945. Menurut Bachtiar Aly, dalam RUU itu, hak untuk menyampaikan pendapat terlalu dibatasi. Itu tidak seimbang dengan kontrol pemerintah yang begitu ketat. "Dalam RUU penyiaran, tampak kontrol pemerintah overdosis," ujar Bachtiar, yang aktivis ICMI itu. Sikap senada juga ditunjukkan kalangan praktisi penyiaran, pakar komunikasi, juga wakil rakyat di DPR. "Kalau RUU seperti itu, disahkan, pemerintah bakal terlalu mengendalikan, secara eksplisit bahkan," kata anggota DPR, Sophan Sophiaan. Reaksi itu sebetulnya menunjukkan betapa pentingnya kehadiran aturan main yang jelas buat lembaga penyiaran. Sudah saatnya (waktu itu) di Indonesia ini berlaku UU penyiaran, mengingat lalu lintas komunikasi massa elektronika yang begitu pesatnya. Namun ada juga yang melihatnya sebagai ketergesa-gesaan pemerintah untuk segera menyerahkan naskah RUU itu ke DPR. "Apakah itu tidak ada latar belakang politisnya karena menjelang pemilihan umum?", kata konsultan hukum pertelekomunikasian, Profesor Dimyati Hartono. Pendapat Dimyati itu mungkin bisa dipahami. Dalam RUU itu, pasal 43, memang disebut wewenang pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengarahan kepada lembaga penyiaran "...untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan menguntungkan masyarakat..." Nah, menurut Dimyati, dengan disebut-sebutnya "dibina" dan "diarahkan" itu, semua media elektronika bisa ditentukan dan diarahkan pemerintah. Dimyati bahkan melihat bahwa RUU itu, meski punya cantolan ke UUD 1945, ternyata tidak diuraikan secara jelas. Padahal, menurut Dimyati, kalau kita bicara mengenai informasi, itu merupakan wujud dari ekspresi pemikiran, ucapan, kata-kata. Jadi, ada hal yang prinsipil: masalah kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. "Unsur keterbukaan harus mewarnai RUU itu. Kalau terlalu banyak yang diatur, ditentukan pemerintah, itu sudah bukan zamannya lagi," kata Dimyati. Pemerintah, menurut RUU itu, memang berwenang membatasi jumlah lembaga penyiaran yang beroperasi. Memang, konsideran RUU itu mengarahkan lembaga penyiaran kepada dukungan terhadap pembangunan nasional dan pengamalan Pancasila. Tapi, "Bagaimana sebuah UU akan mendukung suatu pembangunan nasional kalau UU itu justru membatasi kegiatan, lalu tidak memberi ruang gerak yang cukup kepada unsur-unsur yang mendukungnya," ujar Dimyati. Akan halnya Sophan, ia melihat dari banyaknya pasal yang tidak tuntas dan mesti dijabarkan ke dalam peraturan pemerintah (PP). Dari 58 pasal yang ada, RUU itu perlu 22 PP yang bakal disusun pemerintah tanpa campur tangan DPR. "Itu terlalu banyak. Seharusnya, segala sesuatunya ditetapkan dalam UU itu sendiri. Kecuali ada hal yang sangat teknis," kata Sophan. Sebetulnya, sebuah UU memang seharusnya memberi arah yang sifatnya umum. Kemudian, hal yang teknis dijabarkan ke dalam PP. Menurut ahli komunikasi dari Universitas Indonesia, Alwi Dahlan, berapa pun PP yang muncul, itu tak masalah asalkan dalam UU terlihat arah PP itu seperti apa. "Jangan pada PP yang dibuat pemerintah itu isinya adalah hal baru, yang sebelumnya tidak pernah dibicarkaan dalam pembahasan UU penyiaran," kata Alwi Dahlan. Itulah masalahnya. Ada pengalaman di dunia media cetak. UU Pokok Pers 1982 pun menjamin tidak bakal ada pembredelan. Namun, justru dengan Peraturan Menteri Penerangan yang menjabarkan dari pasal mengenai perusahaan pers, pemerintah bisa membatalkan SIUPP media itu dengan alasan substansi berita. Dalam RUU penyiaran pun disebut-sebut soal pemberitaan. Bahkan ada yang namanya penanggung jawab berita, di samping pemimpin umum dan penanggung jawab siaran. Namun ketentuan lebih lanjut mengenai susunan penanggung jawab siaran, juga bagaimana pelaksanaan siarannya, itu (waktu itu) bakal diatur lebih lanjut dengan PP. Anggota DPR dari Fraksi ABRI, Theo Syafei, tidak setuju dengan pengaturan seperti itu. Menurut pengamatannya, ada pernyataan di RUU itu mengenai sanksi administrasi, di samping sanksi pidana, yang kemudian diatur dalam PP. Itu tercantum dalam pasal 56 ayat 2. Theo was-was, jangan-jangan nantinya PP itu mengatur begini: sanksinya berupa pencabutan badan hukum, seperti yang terjadi pada media cetak. Karena itu, bekas komandan Sesko ABRI itu menginginkan kejelasan, klausul sanksi itu diperjelas dan diatur secara eksplisit dalam UU. "Di penyiaran swasta itu ada personil yang bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dibuat. Penanggung jawabnya saja - misalnya kepala bagian pemberitaan - yang diadili, bukan lembaganya dihabiskan," kata Theo, yang berbintang dua itu. Baru-baru itu pun Jaksa Agung Singgih mengingatkan, Peraturan Menpen 01 tahun 1984, yang bisa membatalkan SIUPP itu, perlu disempurnakan. Soalnya, ketentuan itu bertentangan dengan UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas bahwa kejaksaanlah yang dapat membubarkan atau melikuidasi suatu PT yang melakukan pelanggaran kepentingan umum. Yang berarti, pembubaran suatu perseroan itu harus melalui penetapan pengadilan, lepas dari independensi pengadilan itu sendiri. Nah berkaca dari pengalaman di media cetak, agaknya wajar bila dalam RUU penyiaran harus diperjelas, bagaimana tentang pertanggungjawaban terhadap berita yang dianggap melanggar hukum. |
27th May 2016, 23:24 |
#4064
|
Mania Member
|
FORUM UTAMA: MENGATUR AGAMA DAN POLITIK LEMBAGA PENYIARAN (Bag. 2)
Rambu lainnya yang (saat itu) bakal menghadang para penyelenggara penyiaran adalah perizinan yang berlapis-lapis. Sekilas memang terasa lebih berat ketimbang media cetak yang hanya perlu satu izin: SIUPP. Bagi pengusaha penyiaran swasta, ia mesti menembus tiga berkas izin pemerintah, izin penyelenggaraan penyiaran, izin penggunaan frekuensi, dan izin melaksanakan siaran berita - prosedur yang panjang dan berkelok-kelok.
Bagi para pengamat, pengendalian pemerintah tentu bertentangan dengan semangat keterbukaan, iklim deregulasi, dan perkembangan lingkungan yang makin global. Begitukah? "Itu bukan pembatasan demokrasi tapi pembatasan untuk menuju ke arah keselamatan," kata Dirjen Radio, Televisi, dan Film (RTF), Dewabarata. Di samping itu, masih banyak klausul lainnya yang juga mengundang perdebatan ramai. Misalnya saja soal pembiayaan, yang diatur dalam pasal 8, terlibat proteksi yang besar terhadap lembaga penyiaran pemerintah (TVRI dan RRI). Jadi, selain mendapatkan dana dari APBN, TVRI masih bisa menggaet pemasukan dari siaran iklan, bagian pendapatan iklan televisi swasta, juga iuran masyarakat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam dengar pendapat di DPR, 28 Mei 1996 lalu, kontan mendukung TVRI beriklan. Namun sebelum itu, YLKI meminta agar status TVRI diperjelas dulu, menjadi BUMN persero. Bukan lagi yayasan seperti 1996 ini. Dengan demikian, TVRI bisa meningkatkan daya saingnya. "Dengan status BUMN, TVRI diperlakukan sama dengan televisi swasta. Tidak menerima dana dari pemerintah melalui APBN," ujar ketua YLKI, Tini Hadad. Kebetulan, Programa 2, anak TVRI yang berudara di wilayah Jakarta, (waktu itu) bakal dikelola perusahaan swasta dari kelompok usaha Gunung Sewu, dengan modal sekitar Rp 215 milyar. Masih banyak lagi persoalan yang (waktu itu) mengundang sorotan tajam, misalnya soal perkembangan teknologi siaran audiovisual pada masa yang saat itu akan datang, yang sepertinya tak terantisipasi dalam RUU itu. Taruhlah gencarnya internet dan berbagai televisi asing yang punya berbagai kiat masuk ke udara Indonesia. "RUU itu hanya membicarakan masa kini (1996)," ujar Sophan (waktu itu). Adapun kalangan ulama rupanya juga melihat kelemahan RUU itu, yang kurang mengatur soal pornografi, adegan kumpul kebo, dan sadisme. "Sepertinya ada perlombaan menampilkan yang "begituan" di layar televisi," kata sejumlah ulama. "Masalah siaran agama diawasi. Tapi tayangan seks dan kekerasan kok seakan-akan dibiarkan?", ujar wakil ketua Muhammadiyah, Sutrisno Muhdara. Belum lagi soal sulih suara alias 'dubbing', soal larangan buat permodalan asing, dan sebagainya. Maka tidaklah berlebihan bila Alwi Dahlan, pakar komunikasi lulusan University of America, Washington DC itu, menyayangkan langkah pemerintah yang tidak mengundang para ahli komunikasi - tergabung dalam Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) - dalam penyusunan RUU itu. "Bila pakar komunikasi atau praktisi komunikasi dilibatkan, saya yakin peluncuran RUU itu tidak akan ramai seperti sekarang (1996) ini," kata Alwi yang juga wakil ketua BP-7 Pusat itu. Kalangan pengusaha radio swasta juga berpendapat senada. "Mestinya, para profesional turut dilibatkan dalam pembuatan rancangan itu," ungkap Fachry Muhammad, direktur RAL Radio dan Smart FM Radio Manado kepada wartawan FORUM, Mustopa. Mereka inginnya memang punya UU Radio, yang terpisah dari televisi. Kendati banyak lubangnya tentu sayang sekali, bila RUU itu harus dikembalikan kepada pemerintah. Karena itu, anggota DPR, Sophan Sophiaan berpendapat, itulah kesempatan bagi DPR memainkan fungsinya sebagai legislatif. "Kita bisa mengambil inisiatif yang besar dalam pembahasan RUU itu," kata Sophan. Apalagi DPR - seperti yang sudah dilakukan selama itu- bisa mengundang para pakar, praktisi di bidang penyiaran, dan berbagai kalangan yang berkompeten dengan pembahasan RUU penyiaran. Maka orang pun berharap penuh pada kalangan DPR, sebagaimana bunyi iklan di televisi, "Ayo, kamu bisa!" Dok. FORUM Keadilan - No. 5 Tahun V, 17 Juni 1996, dengan sedikit perubahan |
28th May 2016, 22:23 |
#4065
|
Mania Member
|
TAMARA GERALDINE: PROYEK IDEALISTIS
ADA seorang wanita lain yang bernama Tamara. Lengkapnya, Tamara Maria Geraldine Tambunan. Umurnya (waktu itu) 22 tahun. Dara (waktu itu) berdarah Batak ini saat itu menjadi pembawa acara Musikmania di televisi Indosiar. Nama Tamara pertama kali muncul pada 1993 saat gadis (kala itu) mungil 1,55 meter ini terpilih sebagai model iklan terbaik versi Putri Pertiwi. Saat itu, nama Tamara makin meroket, apalagi setelah gadis (waktu itu) yang fasih berbahasa Inggris ini membawakan berbagai acara musik di stasiun televisi bungsu (ketika itu) ini.
Tama memang gadis yang tidak bisa diam. Selain menjadi presenter berbagai acara musik di Indosiar, seperti Pesta, Ekspresi, dan Musikmania, Tamara juga menjadi model iklan BCA Cash, Teh Kita, dan Starlet. Belakangan itu, seperti juga banyak selebriti lain, Tama pun mulai melirik sinetron. Toh ia mengaku itu dilakukan bukan karena aji mumpung. "Sudah dua tahun ini (1994-1996), saya menjadi penyiar. Sudah percaya diri tampil di depan kamera," kata Tama yang saat itu sibuk syuting Kerinduan (Indosiar) bersama Rudy Salam dan Andika Koeswoyo ini. Bisa jadi obsesi itu mungkin terlalu muluk bagi gadis sebelia Tama (waktu itu). Apalagi, ia sengaja mencari karyawan dari kalangan bawah, bukan dari yang sudah mapan. "Siapa lagi yang mau memperhatikan mereka kalau bukan kita?", kata Tama yang mengaku suka diejek sok idealistis oleh teman-temannya ini. "Integra itu proyek masa depan saya kalau saya sudah enggak laku lagi," katanya sambil tertawa. Dok. FORUM Keadilan - No. 3 Tahun V, 20 Mei 1996, dengan sedikit perubahan |
28th May 2016, 22:23 |
#4066
|
Mania Member
|
EVIE TAMALA: PROYEK ALTERNATIF
TAK selamanya penyanyi dangdut itu mesti seksi, norak, dan seronok. Itu kata Evie Tamala. Rupanya sudah lama pedangdut papan atas ini risi dengan citra tersebut. Makanya, beberapa waktu sebelum itu, Evie ngotot menyelesaikan album terakhirnya yang disebutnya dangdut alternatif itu. Ia juga menggarap klip video secara serius di kawasan Gunung Bromo, yang menghabiskan biaya sampai Rp 20 juta. "Dengan kostum sederhana dan gaya ekspresif, musik dangdut itu bisa indah dan menarik," kata penyanyi yang semula bersama Cucu Suryaningsih ini.
Istilah musik dangdut alternatif itu memang belum sepopuler musik alternatif lainnya (kala itu). "Musik itu aransemennya rada ngepop, tapi tidak meninggalkan kekhasan dangdut," kata penyanyi kelahiran kota "dangdut", Tasikmalaya, 27 tahun sebelumnya (1969) ini. Usahanya itu memang tidak sia-sia. Lagunya, Selamat Malam, laku keras dan belakangan itu terjual sekitar 400 ribu kopi, apalagi setelah klip video lagu itu ditayangkan secara rutin di MTV Asia. Tak cuma itu, lagu itu juga kemudian diangkat menjadi salah satu judul sinetron yang (saat itu) sebentar lagi akan ditayangkan di layar TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). Pemeran utamanya siapa lagi kalau bukan si penyanyi. "Cuma coba-coba kok," kata istri Heru Waluyo ini. Evie memang tidak keberatan ikut dalam sinetron itu karena 75% isi dari syair lagu tersebut - yang memang ciptaannya - menjadi isi cerita sinetron. "Dunia akting itu ternyata menantang, ya," ujar Evie yang sekali manggung kabarnya mematok honor di atas Rp 1 juta ini. Toh Evie mengaku belum ingin sepenuhnya terjun ke dunia akting (kala itu). Soalnya, ia (saat itu) masih ingin serius menggeluti musik dangdut. "Saya ingin mempunyai radio sendiri, biar bisa bebas bereksperimen," ujar peraih enam piala HDX ini. Dok. FORUM Keadilan - No. 3 Tahun V, 20 Mei 1996, dengan sedikit perubahan |
28th May 2016, 22:27 |
#4067
|
Mania Member
|
(ALM) BASUKI, PROYEK BANJIR
SIAPA bilang pelawak tidak bakal menjadi pengusaha? Basuki (alm), pelawak lulusan Srimulat ini, setidaknya membuktikan hal itu. Belum lama (waktu itu) ini, pelawak yang saat itu beken dengan julukan Mas Karyo - sesuai perannya dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan (RCTI) - ini membuka restoran plus diskotek di Labuan, Bali.
Nama restorannya El Bona, seperti nama dari bahasa Spanyol. Padahal kata Basuki, "itu bahasa Sansekerta, artinya banjir," ujarnya serius. Lho kok banjir? "Soalnya lokasinya dekat pelabuhan, banyak turis. Jadi biar banjir pengunjung gitu," tuturnya. Saat itu, karena masih sibuk syuting Si Doel, pria (waktu itu) 38 tahun ini belum bisa sepenuhnya mengelola El Bona (ketika itu). Tugas itu diserahkan kepada salah seorang teman dekatnya. "Saya tidak takut ditipu, pokoknya saling percaya," ujar ayah 3 anak yang hobi memancing ini. Meski resminya tempat itu untuk berdisko-ria, El Bona menyajikan pula kesenian tradisional. Bahkan pada Juni dan Juli tahun 1996 ini, Srimulat (waktu itu) akan manggung di situ. "Jadi turis khan bisa berhemat, selain berdisko mereka juga dapat menyaksikan kesenian tradisional," ujarnya. Seperti pengusaha betulan, Basuki pun enggan menyebutkan besarnya investasi di bisnis hiburan. "Pokoknya besar. Tapi kami setia bayar pajak lho," ujarnya. Serius. Dok. FORUM Keadilan - No. 3 Tahun V, 20 Mei 1996, dengan sedikit perubahan |
28th May 2016, 22:29 |
#4068
|
Mania Member
|
DIRJEN RTF DEWABARATA: “BUKAN PEMBATASAN DEMOKRASI”
BEGITU disampaikan di DPR pada 6 Mei 1996 lalu, RUU penyiaran bagi tak putus dirundung kritik. Berbagai kalangan menilai, RUU itu akan membatasi kebebasan pendapat dan memperoleh informasi. Bahkan, para pemuka agama menilai, RUU itu bakal memberangus kebebasan berdakwah. Namun itu dibantah Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film (Dirjen RTF) Deppen, Ir. Dewabarata. "Itu seperti pengaturan lalu lintas saja," katanya.
Bagaimana pokok pikiran dalam RUU itu, berikut ini pandangan Dewabarata yang diwawancarai wartawan FORUM, Hanibal WY Wijayanta pada Selasa, 28 Mei 1996 lalu. FORUM (F): "Bagaimana pendapat Anda dengan tanggapan berbagai kalangan terhadap RUU penyiaran?" Dewabarata (D): "Setelah diserahkan ke DPR, RUU penyiaran sepenuhnya menjadi wewenang DPR. Pemerintah tidak ingin memaksakan kehendak. Kalau pemerintah membuat 'statement-statement', nanti malah bisa dinilai memaksakan kehendak. Gagasan RUU itu sebenarnya sejak 1978. Tapi, khan ada perkembangan-perkembangan baru karena bidang elektronika itu cepat sekali perkembangannya." F: "Urusan 'dubbing' juga menjadi masalah. Menurut beberapa pihak, terlalu banyak 'dubbing' akan mempercepat terserapnya budaya asing." D: "Ya, kalau itu diartikan sulih suara (mengganti percakapan asing dengan percakapan Indonesia). Kalau alih suara (menerjemahkan percakapan) yang kita maksudkan itu bisa 'dubbing', bisa juga teks. Jadi, kita masih memberikan keleluasaan. Nah, seberapa jauh keinginan DPR, apakah sulih suara atau alih suara atau yang lainnya, itu terserah setelah menerima masukan dari masyarakat." F: "Beberapa lembaga keagamaan memprotes pasal 9 RUU itu yang membatasi ruang gerak mereka untuk mendirikan lembaga penyiaran. Bagaimana menurut Anda?" D: "Sesungguhnya, setiap warga negara berhak berpartisipasi dalam bidang penyiaran. Tapi melalui suatu badan hukum. Nah, kalau lembaga keagamaan mau berpartisipasi dalam dunia penyiaran, itu harus melalui badan hukum penyiaran. Badan hukum itu yang nanti mengajukan usul untuk bisa berpartisipasi. Tentu yang menguji bukan hanya Departemen Penerangan. Departemen Parpostel juga menentukan, apakah frekuensinya sudah penuh atau belum dan sebagainya." F: "Jadi, itu bukan pembatasan seperti tak boleh ada radio Asy-Syafiiyah atau Attahiriyah?" D: "Bukan, bukan. Kalau mereka mau berpartisipasi, harus membentuk badan hkum dulu, yang memenuhi persyaratan itu." F: "Kalau suatu partai atau ormas membentuk badan hukum, kemudian mendirikan radio atau televisi bagaimana?" D: "Kalau media massa atas nama partai politik, pada zaman Orde Lama, kita sudah punya pengalaman dengan banyak partai. Kemudian, dalam Orde Baru dijadikan tiga partai. Kita khawatir kalau terjadi suatu situasi yang mirip dengan waktu itu. Bahwa ada kelompok orang lalu mereka mendirikan badan hukum, memenuhi semua persyaratan, lalu di antara mereka ternyata simpatisan partai tertentu atau ormas apa, itu lain lagi. Itu tidak dilarang." F: "Kalau soal siaran berita, bagaimana? Apa dimonopoli TVRI dan RRI saja?" D: "Tidak. Yang swasta (seperti RCTI, SCTV, TPI, ANteve, dan Indosiar maksudnya) juga kita usulkan untuk bisa mempunyai siaran berita. Tapi siaran berita dari pemerintah memang harus direlai, karena di situ mungkin ada siaran-siaran penting dan sebagainya." F: "Apakah untuk TV atau radio akan ada semacam lembaga peringatan seperti pencabutan SIUPP seperti pada media cetak?" D: "Peringatan dan sanksi, iya. Tapi apa ada semacam pencabutan SIUPP dan sebagainya, itu nanti DPR yang akan menentukan. Kami belum ke arah itu." F: "Namun dalam RUU itu khan ada klausul mengenai sanksi itu?" D: "Ya sanksi ada, misalnya untuk masalah berbau SARA, itu ada." F: "Ada yang berpendapat, RUU itu akan mengungkung kebebasan masyarakat, padahal sekarang (1996) adalah era globalisasi." D: "Sesungguhnya penataan itu hampir di semua negara dilakukan. Di Amerika Serikat pun, mereka menata secara keras. Memang kebetulan tidak ada film atau penyiaran yang menyerbu Amerika. Jadi tidak kentara mereka membuat restriksi. Tapi sesungguhnya keras sekali peraturan di Amerika Serikat itu. Justru merekalah yang menyerbu dengan film dan informasi. Mereka bebas dari tuduhan membatasi informasi, karena mereka yang berkepentingan. Tapi coba suatu ketika ada negara saingan Amerika yang secara bebas ingin dibebaskan masuk ke Amerika seperti dari Libya atau dari Kuba, mereka tentu tak akan mengizinkan. Mereka keras sekali memproteksi kedaulatan dan budayanya." F: "Bagaimana kita sendiri menghadapi serbuan siaran lewat parabola?" D: "Itu memang sulit dihindari. Seperti juga melalui internet. Kita terpaksa menerima juga informasi yang tidak berguna." F: "Apa ada aturan khusus yang memperketat?" D: "Pengetatan itu bisa saja dilakukan. Cuma, kita juga harus melihat kemampuan teknologi untuk mengaturnya. Kalau secara teknologi itu sesuatu yang tidak mungkin, ya percuma juga." F: "Berarti pembatasan itu untuk siaran dari Indonesia sendiri?" D: "Ya, kita memang tidak melaksanakan pembatasan. Jangan mendengarkan radio Australia, radio Nederland, misalnya. Itu tidak kita lakukan. Itu khan berdasarkan kesadaran kita masing-masing." F: "Pengaturan dalam RUU itu bukannya membatasi demokrasi?" D: "Seperti dalam pengaturan lalu lintas, itu khan bukan pembatasan demokrasi, tapi pembatasan untuk menuju ke keselamatan." Dok. FORUM Keadilan - No. 5 Tahun V, 17 Juni 1996, dengan sedikit perubahan |
28th May 2016, 22:30 |
#4069
|
Mania Member
|
TELEVISI: BABAK BARU TONTONAN PERDEBATAN TERBUKA
ACARA tayang bincang di televisi mulai lebih seru, berani dan demokratis. Tapi, penayangan Latief-Sutjipto di SCTV (Surya Citra Televisi) tertunda. Ada kendala budaya? Acara tayang bincang ('talkshow') di Indonesia mulai memasuki babak baru (waktu itu). Sebelumnya, acara jenis ini cenderung monoton dan searah, tapi saat itu, seiring dengan perkembangan zaman, penampilan acara ini sudah berbeda sekali. Tayang bincang sudah mulai menjadi tontonan menarik. Para panelis tak lagi berbasa-basi dan bebas bicara.
Mau contoh? Dua tokoh partai PDI (Partai Demokrasi Indonesia) Jawa Timur yang berseteru, Latief Pudjosakti dan Sutjipto umpamanya, dipertemukan dalam acara Di Balik Berita SCTV (Surya Citra Televisi). Keduanya dipersilakan berdebat secara bebas dalam topik, "Mencari solusi terbaik untuk penyelesaian PDI Jawa Timur." Tentu ini acara menarik. Namun, tayangan "seur" ini yang seyogyanya diprioritaskan awal bulan April 1996 ini, sampai medio April 1996 ini masih tertahan alias belum bisa ditonton. Memang, acara tayang bincang yang dipandu Riza Primadi itu sudah sejak awal memperlihatkan potensi menarik. Acara ini dimulai dengan perdebatan terbatas di antara sesama wartawan yang mempunyai pandangan berbeda ihwal suatu berita yang sedang hangat di masyarakat. Sehingga acara jadi "seru" dan berimbang. Belakangan acara menjadi lebih "panas" karena tokoh yang dihadirkan termasuk orang-orang yang terlibat langsung dengan persoalan. Misalnya, ketika tengah terjadi konflik di tubuh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), masalah ini segera dimunculkan. Tokoh yang dipilih tampil langsung berhadapan adalah direktur eksekutif YLBHI, Mulyana W Kusuma, yang membelot membentuk Federasi LBH, dan "lawannya", Frans Hendra Winarta, yang satu suara dengan Dewan Penyantun. Mereka ditemani pengamat LSM, Kartasius Sinaga. Dua orang yang sedang berseteru itu dipandang Reza dengan pernyataan menarik. Selain itu, Reza terkadang membiarkan para tokohnya saling menyela dan memotong. Cara ini memang membuat diskusi menjadi tampak lebih hidup, bahkan "panas". Walaupun bukan siaran langsung, acara ini tidak disensor alias hanya penyiarannya yang ditunda ('live on tape'). Acara tayang bincang yang juga mulai dikemas secara lebih maju adalah Bincang-Bincang dan Debat Terbuka di ANteve (Andalas Televisi). Bincang-Bincang, yang dipandu Eki Syachrudin, dalam beberapa tayangan terakhir (waktu itu) juga tampak lebih hidup dan mengejutkan. Eki yang bekas demonstran itu, selain pandai bertanya dan mendebat, juga jago mengejar para tamunya. Pada mulanya dalam acara ini hanya muncul satu tamu, tapi belakangan sering pula tampil dua tamu yang diperdebatkan langsung. Misalnya pernah tampil Aisyah Amini (FPP) dan Andi Matalatta (FKP) dalam tema Peran DPR. Contoh lain, ketua DPP Golkar, Abdul Gafur langsung "diadu" dengan pakar politik dari UI, Arbi Sanit, soal KIPP. Antara lain dipersoalkan apakah KIPP merupakan gerakan moral ataukah sudah masuk dalam kegiatan politik. Di sinilah terjadi perbedaan pandangan antara Gafur dan Arbi. Dan Eki mencoba menjadi moderator. Sedangkan konsep acara Debat Terbuka yang dibawakan pengusaha Fahmi Idris lebih banyak melibatkan tokoh (dari pelbagai profesi) dan memberi kesempatan kepada penonton di studio untuk mengemukakan pendapat atau pertanyaan. Sama seperti yang lainnya, acara ini juga tidak "diarahkan" lebih dulu. "Kami sama sekali tidak mengatur pembicaraan, kami memberi kebebasan kepada pembicara untuk berdebat sengit," kata produser acara ini, Harry Wiryawan, kepada Lukas Luwarso dari FORUM. Sebetulnya, selama itu juga sudah ada acara semacam itu, baik di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), Indosiar, maupun TVRI. Kendati demikian, acara-acara itu belum menarik karena masih memakai pendekatan "kuno", lambat, tidak langsung ke inti persoalan, dan cenderung dilingkupi budaya "ewuh-pakewuh". Walhasil, tidak terjadi dialog yang terbuka dan transparan. Nah, justru tradisi semacam itulah yang saat itu ditinggalkan. Para perancang acara perbincangan belakangan mulai menyadari, pertama-tama acara semacam ini harus dikemas dan disuguhkan sebagai tontonan yang menarik. Dan itu hanya mungkin kalau ada keterbukaan. Model seperti ini pulalah yang membuat acara tayang bincang, memperoleh peringkat yang baik di Amerika Serikat. Namun, budaya Indonesia yang lain dan cara itu sendiri yang masih baru bukannya tanpa risiko: dicekal, baik oleh pemilik studio maupun atas anjuran pemerintah. Kalau sudah demikian, pengelolanya bukan saja harus menghadapi reaksi masyarakat, tapi juga para panelis yang sudah diundang. Umpamanya saja, baik Latief maupun Sutjipto menyatakan kecewa dengan penundaan debat mereka dalam acara Di Balik Berita SCTV. Bagi mereka, penundaan itu alasannya tak jelas. Padahal Latief sudah berharap dengan penayangan acara itu, masyarakat bisa mendapat informasi yang benar berkaitan dengan kemelut PDI Jatim. Sutjipto malah bicara lebih keras, "Bila tak ditayangkan itu berarti suatu bentuk pelecehan kepada organisasi sosial politik," ujarnya. Menurut produser pelaksana Di Balik Berita SCTV, Edi Elison, penundaan siaran itu hanya karena persoalan waktu. "Belum saja. Nanti kalau situasinya tepat pasti akan ditayangkan," katanya. Tampaknya, SCTV mengalami persoalan di luar teknis keredaksian. Setelah itu, memang masalah seperti inilah yang (kala itu) bakal melingkupi acara tayang bincang yang terbuka. Dok. FORUM Keadilan - No. 2 Tahun V, 6 Mei 1996, dengan sedikit perubahan |
28th May 2016, 22:32 |
#4070
|
Mania Member
|
FILM: ENAM FILM MENCARI INDONESIA
MENYAMBUT Hari Film Nasional 30 Maret 1996, enam film Indonesia ditayangkan di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) dan diulas para pengamat. Upaya menggugah kebangkitan film kita? Walau saat itu perfilman naisonal bisa dikatakan ambruk dan koma, setidaknya kita punya kenangan tentang film-film bagus karya para sutradara yang sarat idealisme.
Film semacam Darah dan Doa (1950) misalnya, yang dinyatakan sebagai produksi nasional pertama, bukan saja bernilai karena faktor sejarah, tetapi juga terasa memiliki daya tarik yang khas saat dinikmati 45 tahun setelah film itu dibikin. Lebih dari itu, jika ditarik semacam standar kualitas, film Indonesia, sejak kelahirannya, telah memiliki mutu yang tidak rendah-rendah banget. Bersama lima film lainnya, Darah dan Doa ditayangkan RCTI dalam paket Mutiara Anak Bangsa, untuk memperingati Hari Film Nasional pada 30 Maret 1996 ini. Khusus Darah dan Doa, penayangannya menempati slot istimewa Mega Emas, pada Sabtu malam, yang biasanya diisi film barat. Sedangkan lima film lainnya, yakni Pagar Kawat Berduri (1961) karya Asrul Sani (1927-2004), Si Doel Anak Modern (1976) karya Sjuman Djaja (1933-1985), Cintaku di Rumah Susun (1987) karya Nya Abbas Akup (1932-1991), Putri Seorang Jenderal (1981) karya Wim Umboh (1933-1996), dan Taksi (1990) karya Arifin C Noer (1941-1995), ditayangkan pada siang hari. Selama sepekan, mulai 24 Maret hingga 30 Maret 1996 ini, RCTI menayangkan film tersebut bekerjasama dengan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Namun tak seperti biasanya, yang agak istimewa pada rangkaian acara itu, sebelum dan di sela-sela penayangan keenam film itu, muncul ulasan seorang pengamat, yang menyampaikan pandangan dan pengetahuannya mengenai film tersebut, berikut profil sutradara serta posisinya dalam sejarah film nasional. Ditampilkannya para pengamat itu tampaknya juga ingin mengingatkan bahwa perkembangan film 1996, termasuk sinetron di televisi, merupakan jejak dari perjalanan panjang sejumlah tokoh pada masa lalu. Pada Darah dan Doa, misalnya pengamat DR. Salim Said menjelaskan siapa Usmar Ismail, kenapa kemudian ia disebut sebagai Bapak Perfilman, ciri-ciri karyanya, dan bagaimana upayanya memperjuangkan industri perfilman, di tengah prinsip berkesenian dan kenyataan pasar pada masa itu. Kemudian, untuk menonjolkan Wim Umboh, walau terasa kurang tepat, ditampilkan film Putri Seorang Jenderal. Padahal, justru dalam film Pengantin Remaja (1971) atau Pengemis dan Tukang Becak (1978), seperti kata pengulas JB Kristanto, Wim meletakkan dasar-dasar film melodrama serta film humanistik, ekspresi yang kemudian banyak diikuti para sutradara Indonesia generasi berikutnya. Film hitam putih Pagar Kawat Berduri kiranya bisa dianggap karya terbaik Asrul Sani, selain Lima Sahabat. Menurut Misbach Yusa Biran (1933-2012) yang tampil sebagai pengulas, Asrul telah ikut memberikan jejaknya pada melalui ekspresi perjuangan yang dituangkannya lewat film. Film Si Doel Anak Modern ditayangkan untuk menggambarkan bagaimana kesenjangan sosial dan budaya, yang tersirat tegas dalam film itu, telah menjadi ciri dari semua karya Sjuman. Pengamat Wina Armada, dalam ulasannya kemudian menjelaskan karakteristik karya Sjuman, yang dinilainya cenderung "keras" dan berbau pertentangan kelas itu. Pada penayangan film Taksi yang dianggap paling mewakili sosok Arifin C Noer, dalam ulasannya, pengamat Noorca M Massardi menyatakan, sumbangan terbesar dan kekuatan Arifin dalam perfilman Indonesia adalah terutama dalam penulisan skenario. Dan peran Arifin menjadi penting dalam sejarah film nasional, karena ia ikut meletakkan dasar-dasar film Indonesia, yang benar-benar "berwajah Indonesia". Dan sutradara lainnya yang dibahas adalah Nya Abbas Akup, melalui karyanya Cintaku di Rumah Susun, yang diulas oleh Salim Said. Selain keenam sutradara dan keenam film yang ditayangkan RCTI itu, tentu saja masih ada sutradara dan karya lain yang patut dikenang, seperti Alam Surawijaya (1924-1980), Djadoeg Djajakusuma (1918-1987), atau Wahyu Sihombing (1933-1989). Namun supaya tidak pesimistis melihat hari esok, baik juga diingat bahwa kita (waktu itu) masih punya Teguh Karya (1937-2001), Slamet Rahardjo, Garin Nugroho, dan seterusnya. Dan paket "Mutiara Anak Bangsa" dari RCTI itu memang bukan dimaksud untuk sekadar nostalgia, melainkan untuk menggugah semua anak bangsa 1996 ini, betapa kita tidak boleh tinggal diam. Dok. FORUM Keadilan - No. 26 Tahun IV, 8 April 1996, dengan sedikit perubahan |
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer