HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Jumat, 2024/06/07 16:16 WIB
Selain Ayu Ting Ting, Artis Indonesia Ini Masuk 100 Wanita Tercantik Dunia 2024
-
Jumat, 2024/06/07 16:23 WIB
Deretan Selebritas Tunaikan Haji Tahun Ini
-
Jumat, 2024/06/07 17:23 WIB
Adam Blak-blakan Soal Riders Sheila On 7, Wajib Ada Ini!
-
Jumat, 2024/06/07 17:05 WIB
Jaja Miharja Harus Suntik Kaki 40 Hari Sekali Agar Bisa Jalan
-
Kamis, 2024/06/06 12:42 WIB
Hadiri Sidang Cerai Perdana, Anji dan Wina Kompak Hitam-hitam
-
Jumat, 2024/06/07 17:55 WIB
Artis Hong Kong Sammi Cheng Pamer Hasil Kerokan, Penampakannya Bikin Kaget
|
Thread Tools |
21st May 2020, 17:32 |
#5091
|
Mania Member
|
TPI SERAHKAN TELEVISI UNTUK SMP TERPENCIL
SEKOLAH menengah pertama (SMP) yang lokasinya terpencil di pedalaman Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan secara bertahap menerima subsidi pesawat televisi dari PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI), pengelola Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), sejak Januari 1992. Penyerahan itu (waktu itu) akan berakhir Rabu (2/6/92).
50 unit pesawat televisi berwarna terakhir (waktu itu) akan diserahkan PT CTPI secara simbolis atas nama Mbak Tutut - panggilan akrab Ny. Siti Hardiyanti Rukmana - selaku direktur PT CTPI, kepada Gubernur Kaltim. Penyerahan tersebut direncanakan (waktu itu) Selasa (1/6/92) di Samarinda. Sama dengan dua provinsi sebelumnya yang menerima hadiah tersebut, 50 unit pesawat televisi warna dan hitam putih bagi seluruh SMP di tempat terpencil di Kaltim berukuran 14 inci. Staf humas PT CTPI, Ajeng Retnowati, kepada Jawa Pos mengatakan, pemberian tersebut untuk menunjang program pendidikan yang dipancarkan TPI setiap pagi bagi seluruh pelajar di seluruh Indonesia. Termasuk pelajar SMP di tempat terpencil sebagaimana di Kaltim, Kalsel, dan Sulsel. Hadiah tersebut merupakan realisasi dari janji Mbak Tutut sejak awal April 1992 lalu, bahwa PT CTPI akan memajukan pendidikan lewat sarana televisi di daerah terpencil di seluruh tanah air. Pesawat-pesawat televisi tersebut menurut Ajeng, sumbangan dari GINSI (Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia) DKI Jakarta 200 unit ke PT CTPI, dan diteruskan pihak PT CTPI untuk dibagi-baigkan ke seluruh SMP di tempat terpencil itu. Kalsel sudah menerima 30 unit pesawat televisi pada 16 Januari 1992 lalu, sedangkan Sulsel menerima 50 unit pada 27 Mei 1992 lalu. Pemberian hadiah pesawat televisi bagi Kalsel dan Sulsel dilakukan secara simbolis oleh kabag humas PT CTPI, Ny. Henny Elvandari, kepada kedua gubernurnya di ibukota provinsi masing-masing. Sedangkan 50 unit pesawat televisi lainnya bagi Kaltim hari Selasa (2/6/92), terdiri atas 25 pesawat berwarna dan 25 hitam putih, diserahkan secara simbolis oleh staf humas PT CTPI, Slamet Mulyono, kepada Gubernur Kaltim, HM Ardans, SH. Ardans yang dihubungi secara terpisah, menyatakan terkejut mendengar berita tersebut. "Kalau begitu, saya akan kembali secepatnya ke Samarinda. Sebab, bagaimanapun saya khan harus menerimanya secara langsung," katanya gembira. Orang pertama di Pemda Kaltim ini, mengakui provinsinya sangat memerlukan bantuan tersebut. "Sebab, wilayah Kaltim sangat luas dan terpencar-pencar," kata Ardans. Sementara itu, PT TPI sampai saat itu sudah menerima pesawat televisi hitam putih dan berwarna dari GINSI DKI sebanyak 200 unit, terhitung tahun 1991 lalu 100 unit. Seratus unit pesawat televisi terakhir (waktu itu) diterima Mbak Tutut pada 5 Maret 1992 lalu, dari ketua GINSI DKI, H. Amirudin Saud, di Hotel Indonesia. Mengenai sumbangan itu, Amiruddin secara terpisah mengatakan, "Sumbangan ini hanya spontanitas dari kami. Tentu saja tujuannya untuk membantu anak-anak yang pendidikannya masih sangat terbelakang di daerah-daerah," jelas Amirudin, ketika ditemui usai penyerahan 100 unit pesawat televisi terakhir (waktu itu) kepada Mbak Tutut. Sedangkan menurut Ajeng (waktu itu), "Bantuan yang sama bagi Maluku, Jatim, Jateng, DKI dan provinsi lain yang perlu dibantu, akan segera menyusul. Dan khusus tentang 50 unit pesawat televisi bagi Kaltim, memang belum semuanya dikirim. Sebab, biaya transportasi untuk membawanya belum tersedia." Dok. Jawa Pos, 2 Juni 1992, dengan sedikit perubahan |
21st May 2020, 17:35 |
#5092
|
Mania Member
|
SURABAYA KITA: SASARAN UTAMA TPI BUKAN HANYA SISWA
SASARAN utama Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) adalah masyarakat dan orangtua. "Mereka agar dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan, khususnya pendidikan," kata Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bambang Tri Artono di kampus ITS Sukolilo Surabaya, 25 Januari 1991.
Dia menolak adanya anggapan kalau dikatakan penayangan TPI yang pagi hari itu tidak efisien, karena pelajar masih sekolah. Sebab, TPI memang sasaran utamanya bukan hanya pelajar (siswa) saja. "Namun hal ini jangan diartikan materi penayangannya kurang bermanfaat bagi pelajar," jelas Bambang. Untuk mata pelajaran yang membutuhkan peragaan visual misalnya, penayangan lewat TPI (waktu itu) akan memperkuat pemahaman. "Karena siswa tidak hanya mendapat informasi dari penjelasan guru, melainkan juga melihat lewat TPI," tambahnya. Bambang menjelaskan, tahap awal (waktu itu) akan ditayangkan materi-materi pelajaran SMTP umum. "Mudah-mudahan pertengahan tahun 1991 sudah bisa ditayangkan materi-materi pengajaran SMTA umum," tambahnya (waktu itu). Ditemui Jawa Pos seusai melantik rektor ITS untuk masa jabatan 1990-1994, lebih jauh Bambang menjelaskan, keterlibatan Depdikbud selain sumbangan materi acara yang 30% tersebut, juga masalah penayangan iklim sesuai dengan iklim dunia pendidikan. "Keterlibatan Depdikbud tentang masalah iklan hanya bersifat mendampingi, bukan sebagai kontrol yang ikut menyeleksi iklan-iklan yang layak ditampilkan," jelasnya. Masalahkontrol dan seleksi iklan yang (waktu itu) akan ditayangkan ini, Depdikbud percaya sepenuhnya pada pengelola TPI. "Sebab bagaimanapun juga akan tidak etis, dan terkesan membatasi kreativitas, jika Depdikbud terlibat terlalu jauh, sampai masalah kontrol," tambah Bambang lagi. Mengenai orangtua dan masyarakat sebagai sasaran utama program TPI, kata Bambang, acara-acara yang ditayangkan lebih banyak pada masalah pendidikan luar sekolah. Dok. Jawa Pos, 26 Januari 1991, dengan sedikit perubahan |
21st May 2020, 17:37 |
#5093
|
Mania Member
|
SI KOMO (TPI) KEBANJIRAN SURAT
TELEVISI Pendidikan Indonesia (TPI) kewalahan permintaan kaos, foto, dan kaset Si Komo dari pemirsa di 27 provinsi. "Permintaan paling banyak datang dari Sulawesi Selatan dan Jawa Timur," kata staf humas TPI, Slamet Mulyono kepada Jawa Pos, 25 Januari 1992.
Banjir surat tersebut mencapai puncaknya pada Oktober tahun 1991 lalu. TPI dalam sehari menerima 500 lembar surat. "Sejak September 1991 sampai Januari tahun ini (1992), kami rata-rata menerima surat yang jumlahnya berkisar antara 25 sampai 50 pucuk per hari," lanjut Slamet (waktu itu). Meski demikian, pihak TPI (waktu itu) masih terbentur masalah dana, sehingga belum dapat mengabulkan seluruh permintaan pemirsanya dari seluruh provinsi. Karena itu, permintaan foto dan kaset diberikan secara gratis, sedangkan kaos bergambar Si Komo harus dibeli. Khusus mengenai kaos, menurut Slamet, jumlahnya terbatas dibandingkan foto dan kaset tentang Si Komo. Si Komo adalah salah satu acara unggulan TPI yang (waktu itu) paling banyak digemari anak-anak. Para boneka di layar gelas TPI tersebut membawwakan cerita disertai unsur pendidikan. Sedangkan acara yang paling banyak mendapat kritik adalah Among Tani. "Tetapi, kami menampung semua kritik. Sebab, kritik para pemirsa semuanya bagus, konstruktif, disertai kiat-kiat yang bagus untuk lebih mengembangkan acara ini. Kritik paling banyak datang dari kalangan petani dari luar pulau Jawa. Dan beberapa di antara yang mengkritik, disertai permintaan brosur. Sebab, selama ini acara Among Tani memang lebih banyak mengandalkan foto-foto daripada gambar bergerak," tambah Slamet. Acara-acara baru TPI (waktu itu) bakal menayangkan sejumlah acara baru, di antaranya film cerita berjudul Whatever Happened To (WHET) pukul 09.30-10.00 WIB pada 4-6 Februari 1992 yang waktu itu akan datang. WEHT yang disutradarai David Greene dan Barry Bernardi, dibintangi Venessa Redgrave, Lynn Redgrave, Bruce A Young, Amy Steel, John Scott Glough, dan John Glover. Film produksi 1991 ini, diangkat dari novel karya Henry Farrel. Judul aslinya, Whatever Happened to Baby Jane. Dikisahkan tentang Redgrave bersaudara yang pernah menjadi pemain film. Namun, Jane, adik Blanche Hudson merasa selalu dinomorduakan, meski Blanche tidak menyadarinya. Pada masa tua, keduanya tinggal bersama. Namun, Jane harus melawat Blanche. Rasa dendam di masa kanak-kanak bangkit kembali, ketika Blanche merasa hidupnya terikat oleh Jane. Blanche memiliki segala rencana yang dapat mencelakakan Jane. Film lainnya berjudul Josua's Heart, ditayangkan pada 18-20 Februari 1992 yang waktu itu akan datang. Film produksi 1990 ini bertema drama percintaan. Dikisahkan mengenai wanita muda yang memberontak terhadap kekasihnya. Namun, sang wanita tidak dapat lepas dari bayang-bayang anak lelakinya. Dok. Jawa Pos, 26 Januari 1992, dengan sedikit perubahan |
21st May 2020, 17:38 |
#5094
|
Mania Member
|
HIBURAN: TPI TIDAK MERATA DI SULUT
MESKIPUN sudah sekitar dua pekan (waktu itu) TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) siaran setiap pagi, sebagian besar daerah di Sulawesi Utara (ketika itu) belum bisa menangkap siaran tersebut. Hal ini disebabkan kondisi peralatan relai yang rapuh. Demikian dikemukakan kepala TVRI Stasiun Manado, Suwanto Suwandi, dan kepala stasiun transmisi TVRI, Wilson Robert Kombaitan kepada Jawa Pos secara terpisah.
Keadaan dan kondisi tersebut diharap (waktu itu) bisa dimengerti semua warga di daerah Sulawesi utara yang memang kecewa tidak bisa ikut menikmati siaran pagi TPI tersebut. Memang, sejak TV swasta ketiga di Indonesia ini mulai mengudara 23 Januari 1991 lalu, hingga saat itu sebagian besar warga di daerah-daerah di Sulawesi Utara tidak bisa menangkap siaran TPI. Beberapa masyarakat di daerah Gorontalo yang ditemui Jawa Pos mengungkapkan rasa kecewanya. "Kami merasa sangat kecewa dan merasa dianaktirikan dengan daerah-daerah lainnya," ujar Madi. Menurut bapak empat orang anak ini, ia mengetahui adanya siaran TPI itu melihat beberapa media cetak yang beredar di daerahnya, beberapa hari sebelum TPI dioperasikan. "Saya senang, karena selama ini daerah Gorontalo hanya bisa menikmati siaran TVRI," kata warga kelurahan Limjba U1 ini mengungkapkan awal kegembiraannya. Namun, kata Madi lagi, keinginan untuk bisa menikmati suguhan siaran "lain" lewat TPI itu rupanya hanya menjadi harapan saja, karena sewaktu ia menyetel televisinya pada saat TPI siaran perdana, ternyata tidak dapat diterima. "Pada waktu itu saya menduga saya waktu TV saya yang mengalami kerusakan. Walaupun 'channel' sudah saya pindah-pindah, tetap tidak bisa menangkap siaran TPI. Dan ternyata, beberapa tetangga saya juga mengalami hal sama," kata Madi. Namun demikian, mereka belum putus asa dengan pertimbangan mungkin saja saat itu ada gangguan teknis karena siaran perdana, serta mencoba lagi pada keesokan harinya. Pada hari kedua, siaran TPI tetap tidak bisa ditangkap, demikian juga dengan hari-hari selanjutnya hingga akhirnya mereka berhenti dan pasrah. "Padahal, menurut apa yang saya baca di surat kabar, TPI menyajikan siaran yang agak lain dibanding TV swasta lainnya (RCTI/SCTV). Dan katanya, lebih menitikberatkan pada pendidikan," ujar Kasman Taha, warga Gorontalo lainnya sambil menekankan pada kata "konon" yang baru diucapkannya. "Iya, karena selama ini saya belum pernah melihatnya," alasannya. Adanya porsi pendidikan yang lebih besar pada siaran TPI itu, baik Madi maupun Kasman Taha (waktu itu) sudah berharap anak-anak mereka akan mendapat tambahan pelajaran melalui media itu. "Di dalam surat kabar dikatakan kalau cara penyajian pelajarannya dibuat sedemikian rupa sehingga anak-anak mudah menangkap. Malah katanya, dengan penyajian itu ibu-ibu pun bisa membantu anaknya belajar," kata Taha yang ditemui di rumahnya. Keluhan yang sama juga diutarakan oleh beberapa warga masyarakat yang tinggal di kota Limboto, Telaga, dan beberapa daerah lainnya. "Betul ya Mas, kalau di TPI ada siaran iklannya. Wah, asyik juga kalau bisa melihat siaran iklan lagi," tanya Tirta, siswi kelas II SMA Negeri I Gorontalo (waktu itu), yang didampingi Aty, rekannya dari SMA Negeri III. Demikian juga sejumlah siswi SMP yang ditemui terpisah. Seperti Dewi Abdul, siswi SMP Negeri II Gorontalo, yang katanya sangat mendambakan siaran TPI itu dapat ditangkap di daerahnya. Kepala stasiun transmisi TVRI di Gorontalo, Wilson Robert Kombaitan, yang dihubungi membenarkan kalau sebagian besar daerah di Gorontalo (waktu itu) belum bisa menerima siaran TPI. Ini menurut Wilson Kombaitan, karena kondisi peralatan relai di daerah itu sudah tua dan terbatas penggunaannya. "Lagipula stasiun transmisi Gorontalo termasuk satu di antara 255 stasiun transmisi yang tidak diwajibkan menyiarkan siaran TPI. Hanya 150 stasiun saja yang wajib siar," jelasnya. Pemancar transmisi TVRI di Gorontalo ini menggunakan peralatan buatan Lembaga Elektronik Nasional (LEN) tahun 1980 dan telah mulai dioperasikan sejak 1983. Di daerah ini hanya masyarakat di kecamatan Paguyaman dan Marisa saja yang bisa menikmati siaran TPI, karena di dua daerah tersebut memiliki pemancar yang (waktu itu) masih baru. Demikian juga di masyarakat di Manado, Tahuna (Satal) bisa menikmatinya. Menurut kepala stasiun TVRI Manado, Suwanto Suwandi, beberapa waktu sebelumnya, ada empat stasiun relai di Sulut, yang (saat itu) sudah tua dan terbatas pemakaiannya, sehingga tidak dapat memancarkan siaran TPI. yaitu di Makawembong (Tondano hingga sebagian besar daerah di Minahasa tidak bisa menikmati siaran TPI), Gorontalo, Lurung (Satal), dan di Kootamobagu (Belaang Mongondow). "Kondisinya tinggal 50% bisa digunakan hingga kalau dipaksakan merelai TPI, nanti bisa lebih parah lagi. Bisa-bisa siaran malam (TVRI) pun tidak dapat dipancarkan lagi," jelasnya (waktu itu). Dok. Jawa Pos, 8 Februari 1991, dengan sedikit perubahan |
21st May 2020, 17:40 |
#5095
|
Mania Member
|
SURABAYA KITA: BULAN PUASA 1991, TPI AKAN MENGUDARA LEBIH PAGI
TELEVISI Pendidikan Indonesia (TPI) pada bulan puasa 1991 yang waktu itu akan datang, (waktu itu) akan menayangkan Kuliah Subuh, dengan penambahan jam siaran. "Ini berarti TPI lebih maju daripada rencana semula," kata konsultan program TPI, Prof. DR. Yusufhadi Miarso, M.Sc, kepada Jawa Pos di sela-sela seminar tentang TPI di Garden Palace, 23 Februari 1991.
Dijelaskannya, rencana TPI mengudara 10 jam sehari pada akhir 1991, anntinya akan direalisasikan secara bertahap. Untuk tiga bulan pertama, telah dilakukan empat jam siaran pukul 06.00 sampai dengan pukul 10.00 seperti saat itu. Pada triwulan berikutnya enam jam (mulai Mei 1991), delapan jam (September 1991), dan akhir tahun 1991 10 jam (Desember 1991). "Sedangkan untuk tahun ketiga (1994) kami akan mengudara 12 jam penuh," katanya (ketika itu). Khusus untuk bulan puasa 1991, TPI (waktu itu) akan menambah siaran 30 menit lebih pagi untuk acara Kuliah Subuh. "Penayangan ini nantinya akan diproduksi TPI sendiri," tambah Yusufhadi. Sementara itu, 'manager public relations' TPI, Henny Elvandari mengatakan, dengan tambahan jam siar tersebut, program-program yang ditayangkan saat itu, akan memiliki durasi yang lebih lama. "Selain memperpanjang durasi program yang sudah. TPI juga telah menyiapkan program-program baru untuk mengisi jam siar yang lebih panjang tersebut," jelasnya. Misalnya, kalau selama itu hanya bidang-bidang studi SMTP yang ditayangkan, dengan jam siar yang lebih lama ini (waktu itu) akan juga ditayangkan bidang studi-bidang studi yang lain untuk SMTA. "Berdasarkan rencana pengembangan penayangan program untuk SMTA tersebut akan dimulai jika kita sudah sampai pola acara siaran enam jam sehari, Mei mendatang (1991)," kata Henny (waktu itu). Pada pola acara siaran enam jam tersebut, TPI juga (waktu itu) akan menayangkan program-program yang apresiatif. Yaitu apresiasi seni, yang menurut rencana (waktu itu) akan ditayangkan tiap Rabu. "Acara yang berdurasi 30 menit tersebut akan mencakup semua bidang seni, meliputi seni rupa, seni sastra, dan seni suara," tambah Henny. Secara keseluruhan, sejak penerapan pola acara siaran enam jam sehari, acara-acara yang ditayangkan TPI (waktu itu) akan lebih semarak dan variatif. Acara musik pun yang selama itu hanya ditayangkan sekali seminggu dan lebih banyak sebagai pengisi waktu, sejak Mei 1991 (waktu itu) akan ditayangkan acara musik tiga kali seminggu berselingan dengan penayangan dunia flora dan fauna serta pendidikan olahraga. "Bahkan kami juga berencana menayangkan sinetron produksi sendiri," tambahnya (waktu itu). Kesemarakkan dan variasi acara yang ditayangkan itu, (waktu itu) tidak akan mengubah dan mempengaruhi komposisi program acara yang telah ditetapkan. Persentase terbesar adalah acara pendidikan, yaitu 33,2%, diikuti acara hiburan, 31,9%, siaran niaga (iklan) 20%, serta siaran berita, penerangan, dan informasi 12,5%, sementara acara penunjang lainnya 2,4%. Untuk menghindari tumpang tindih antara berakhirnya siaran TPI dan awal jam siaran TVRI, pada pola siaran 10 jam, nantinya TPI (waktu itu) akan mengudara lebih awal, yaitu sejak pukul 04.30. Dengan demikian, program-program acara yang ditayangkan TPI (waktu itu) akan berakhir pada pukul 14.30. Satu jam lebih awal dari pembukaan TVRI. Tetapi, pada tahun ketiga (1994), TPI (waktu itu) akan mengudara 12 jam penuh, yang (ketika itu) akan dimuali pukul 04.30 hingga sekitar pukul 23.00. "Ini pun akan kami sigi dulu, terutama bagaimana penerimaan di wilayah Indonesia Timur," tambah Yusufhadi. Pada tahun ketiga (1994), TPI (waktu itu) akan membangun stasiun pemancar di samping memiliki studio sendiri. Sebab, TPI selama itu masih menggunakan saluran yang sama dengan TVRI. Bahkan, studionya pun (waktu itu) masih menyewa Studio 12 TVRI. "Dengan pembangunan studio tersebut dan penggunaan saluran yang berbeda, target mandiri sesudah berumur tiga tahun (1994) sejak peresmiannya akan terwujud," kata Yenny. Menurut Yusufhadi, pemancarnya nantinya (waktu itu) akan menggunakan 'network transmission system'. Yaitu, TPI (waktu itu) akan memancarkan siarannya langsung ke Palapa B2P (Palapa yang waktu itu baru B2). Dari satelit itu, (waktu itu) akan dipancarkan ke stasiun pemancar TPI di daerah, kemudian masyarakat (kala itu) akan menerima siaran TPI dari pemancar daerah itu. Sedangkan Henny mengatakan, stasiun dan studionya nantinya, yang diharapkan (waktu itu) selesai 25 bulan sejak peresmian TPI, 23 Januari 1991 lalu, (kala itu) akan didirikan di dekat Taman Mini. "Yang pasti, tanahnya sudah ada, hanya pembangunannya yang belum kami miliki," tambah Henny (waktu itu). Dok. Jawa Pos, 24 Februari 1991, dengan sedikit perubahan |
21st May 2020, 17:41 |
#5096
|
Mania Member
|
NUSANTARA: SIARAN TPI JANGAN SAMPAI MENCEKOKI
KEHADIRAN Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sebagai suatu ide dalam dunia pendidikan Indonesia merupakan hal yang bagus. Tetapi dalam pelaksanaan siarannya, banyak ditemui hal yang tidak sesuai dengan dunia pendidikan, terutama pada saat pembukaan. Banyak materi siaran yang disampaikan TPI kepada pemirsanya tidak ada sangkut pautnya dengan pendidikan.
Pernyataan itu disampaikan budayawan dan tokoh pendidikan YB Mangunwijaya sesuai memberikan ceramah pada seminar pendidikan prasekolah di UKSW, 25 Januari 1991. "Yang perlu diperhatikan pengelola TPI adalah pengaruh siaran TV sangat besar bagi masyarakat," kata tokoh yang akrab dipanggil Romo Mangun itu. Menurut Mangun, sebenarnya terlalu dini (waktu itu) untuk membuat penilaian terhadap kiprah TPI, karena baru dua hari melakukan siaran (waktu itu). Tapi dari dua hari siaran itu, paling tidak sudah dapat dinilai, apa sebenarnya yang (waktu itu) akan dilakukan TV swasta pertama yang mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia itu. Kehadiran TPI memang harus disambut gembira sebagai wahana untuk mencerdaskan bangsa, tapi dari beberapa materi siaran yang ditayangkan oleh TPI cenderung menekankan indoktrinasi daripada pendidikan. "Yang saya lihat pada siaran TPI lebih banyak materi siaran yang berisi indoktrinasi daripada pendidikan," ujarnya. Faktor indoktrinasi dalam siaran TPI, menurut Romo, kondisi siswa yang pasif dalam menerima pelajaran. Terkesan anak-anak hanya dicekoki materi pelajaran, tanpa mereka ketahui apa yang dimaksud pemberi pelajaran di TPI. Idealnya, sebuah TV pendidikan harus dilengkapi dengan guru yang bertugas memberi penjelasan masalah yang tidak dimengerti siswa. Dia setuju, dengan pidato Presiden Suharto ketika membuka TPI. Waktu itu Presiden Suharto menekankan, pendidikan yang paling baik adalah di dalam kelas. Pernyataan ini dapat dijabarkan sebagai pentingnya interaksi antara guru dan murid dalam sautu kelas. Selain itu, untuk meningkatkan interaksi siswa terhadap materi pelajaran dari TPI, perlu alat perekam yang mampu mengulang bagian yang dianggap penting. Untuk itu, diperlukan video yang mampu merekam dan mengulangi materi pelajaran dari TPI. Untuk itu memang diperlukan biaya besar, yang menjadi pertanyaan mampukah orangtua atau sekolah menyediakan alat bantu TPI itu. Romo juga melihat adanya beberapa keanehan dalam penyampaian siaran TPI. Salah satu contoh, Romo Mangun menunjuk waktu siaran TPI pada pagi hari - waktu mayoritas anak Indonesia melaksanakan pendidikan di sekolah. Dengan waktu siaran pagi hari, dikhawatirkan akan mempengaruhi anak-anak untuk pergi ke sekolah. "Dikhawatirkan nantinya anak-anak lebih senang duduk melihat TPI daripada pergi ke sekolah. Kalau sudah begini, tujuan TPI sebagai wahana pendidikan akan hilang," ujarnya. Dia juga mempertanyakan ditayangkannya iklan sebagai bagian dari siaran TPI. Romo Mangun tidak melihat adanya manfaat dari adanya iklan dalam TPI. Malah lebih dari itu, iklan bertentangan dengan pendidikan. Kalau penyelenggara TPI (Siti Hardiyanti Rukmana) mengatakan TV itu akan menyiarkan iklan yang mendidik, itu mustahil, misalnya iklan rokok atau minuman keras. "'Nonsense', iklan di TPI itu tidak tepat. 'Not on the right place'," tegasnya. Sejak dari awalnya, iklan tidak pernah cocok dengan pendidikan. Sebab pada dasarnya iklan itu hanya berisi bualan dan rayuan terhadap konsumen. Karena pada umumnya, pemasang iklan menginginkan produknya laku di pasaran, segala cara untuk itu harus ditempuh, sekalipun dengan menipu. Hal itu jelas kontradiktif dengan dunia pendidikan yang menekankan pembinaan terhadap siswa secara utuh. Dia tidak pernah melihat iklan yang ada kaitannya dengan ilmu pasti, misalnya. "Sebab, iklan itu tidak ada yang pasti." Walaupun demikian, Romo Mangun agak maklum terhadap 'policy' iklan dalam TPI, karena sejak semula TV itu sudah dirancang untuk kegiatan komersial. Hal itu terlihat dari 'person' yang mengendalikan TV itu yang sudah dalam dunia bisnis. Lain halnya kalau TV pendidikan itu idenya datang dari tokoh pendidikan atau Mendikbud, aspek pendidikan akan benar-benar diperhatikan. Dok. Jawa Pos, 26 Januari 1991, dengan sedikit perubahan |
21st May 2020, 18:23 |
#5097
|
Mania Member
|
CONNIE SIBUK, TAYANGAN 3A (TPI) DUA KALI
RENCANA peningkatan frekuensi tayangan Kuis 3A (TPI) dari sekali seminggu menjadi dua kali menyebabkan Connie Suteja semakin sibuk. Maklum, Connie yang sempat dijuluki Ibu Hebring ini adalah koordinator produksi kuis itu sekaligus bertanggung jawab untuk mengatur artis dan bandnya. "Bagaimana tidak sibuk kalau dulu (1991-1993) sekali, sekarang (September 1993) menjadi dua?", katanya kepada Jawa Pos.
Menurut Connie, dia tidak ingin karena frekuensi penayangannya ditingkatkan terus, kualitasnya menjadi menurun. "Saya tidak mau mengecewakan pemirsa atau orang yang mempercaya saya untuk mnegoordinasi paket ini. Mudah-mudahan peningkatan ini diikuti etos kerja yang semakin baik dari para kru dan artis yang terlibat," harapnya. Paket yang (saat itu) sudah berusia dua tahun itu ditayangkan setiap Jumat. "Bayangkan ditayangkan seminggu sekali saja syutingnya bisa 13 paket dalam seminggu. Nah, kalau kita nggak siap, bagaimana jadinya kalau tayangannya ditingkatkan dua kali seminggu?", ucapnya lagi. Apakah Connie (waktu itu) masih sanggup mengoordinasi acara tersebut mulai Januari 1994? "Pokoknya, 'hebring' deh. Pekerjaan ini cocok dengan saya. Capek sih pasti ada. Tetapi saya menikmatinya, kok. Jangankan syuting 13 kali seminggu. Siarannya ditambah saya masih mau. Memang lain lho, kalau kita bekerja sesuai dengan bidang yang disukai. Jadi, justru rasa capek itu dinikmati," tuturnya. Selama dua tahun menjadi "ketua seksi sibuk" Kuis 3A, artis yang terkenal lewat film-film horor dan saat itu mengaku tidak pernah sakit. Sambil tersenyum, Connie mengatakan, "Ini mungkin karena saya cerewet ya? Apa yang nggak saya sukai nggak pernah saya simpan. Saya memang nggak suka bekerja setengah-setengah, apalagi dalam mengkoordinasi kuis ini." Bagi Connie, jam karet hampir tidak berlaku selama paket tersebut ditanganinya. "Saya bisa stres kalau artis yang saya perlukan tidak datang. Ini sering terjadi, lho," ungkapnya. Connie sangat menyayangkan jika syuting terpaksa ditunda gara-gara artis atau personil pengiring musik tidak muncul. "Itu merugikan," katanya sambil menyebut angka-angka rupiah yang dianggap sebagai pengeluaran tak terduga bila terjadi penundaan syuting. Ada dua nama Connie yang menangani Kuis 3A ini. Pertama, Connie A Schifferling. Satunya lagi Connie Suteja. Bedanya yang pertama menjabat pemandu acara, sedangkan yang kedua koordinator. "Jadi jangan heran kalau ada orang bingung dengan dua nama Connie dalam paket yang sama," jelas Connie yang nama belakangnya Suteja ini. GAN dan PARFI Menyinggung keberadaan GAN, Connie mengatakan, "GAN ini bagus. Konseptornya memang kreatif dengan menerima anggota bukan hanya dari kalangan orang film atau sinetron. Bagi saya, GAN hanya paguyuban seniman, bukan tandingan PARFI." Connie juga merasa prihatin melihat kelesuan produksi film nasional paling drastis tahun 1993. "Tetapi syukurlah, saya bisa terjun ke televisi. Alhamdulillah, ada saja tawaran main sinetron. Ini tentu saja suatu karunia," katanya. Dibandingkan bintang iklan, Connie mengakui, "Honor sinetron lebih kecil. Tetapi, main sinetron selalu menjanjikan masa depan, terutama bagi artis." Dok. Jawa Pos, 17 September 1993, dengan sedikit perubahan |
21st May 2020, 18:25 |
#5098
|
Mania Member
|
CTPI DIRESMIKAN TEPAT HUT KE-42 MBAK TUTUT
NY. Siti Hardiyanti Rukmana - Mbak Tutut - , 19 Januari 1991 di Wisma Tugu, Jakarta, memberikan keterangan kepada wartawan berkaitan dengan mulai ditayangkan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang dikelola oleh PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI), tanggal 23 Januari 1991 yang waktu itu akan datang.
Penayangan pertama TPI ini ternyata bertepatan dengan hari ulang tahun Mbak Tutut yang ke-42. Putri Presiden Suharto ini memang dilahirkan pada 23 Januari 1949. Mbak Tutut yang juga direktur utama CTPI menjelaskan, tayangan perdana diresmikan langsung oleh Presiden Suharto di Stasiun Pusat TVRI, karena siaran CTPI ini bekerjasama dengan TVRI. Dalam peresmian tersebut, Pak Harto (waktu itu) akan melakukan pembicaraan jarak jauh dengan guru dan murid di Aceh, mewakili Indonesia Barat, Bali mewakili Indonesia Tengah, dan Dili mewakili Indonesia Timur. "Insya Allah, 25 bulan lagi (Februari 1993), kita sudah siap dengan stasiun sendiri dan stasiun relay di daerah," kata Mbak Tutut (waktu itu). Menurutnya, investasi yang ditanamkan untuk keperluan CTPI sebesar Rp 500 milyar. Jumlah tersebut termasuk untuk merenovasi stasiun relay milik TVRI yang mungkin perlu diperbaiki. CTPI yang merupakan perusahaan swasta murni hingga menjelang penayangan pertamanya, saham mayoritas dipegang oleh PT Citra Lamtoro Gung Persada. "Nah, sekarang (1991) sekitar 100% saham. Silakan siapa yang mau menanam saham, langsung menghubungi saya," kata Mbak Tutut (saat itu). "Kita secara tegas menolak siaran berupa iklan rokok dan alkohol, karena jenis produk tersebut bukan konsumsi iklan untuk anak sekolah," kata Mbak Tutut (waktu itu). Menurut Mbak Tutut, iklan yang sudah lolos pun harus melalui rekayasa, misalnya iklan mobil bukan itu mobil sendiri ataupun omongan agar anak memaksa orangtuanya membeli mobil. Tetapi, yang menayangkan bagaimana mobil mulai dibentuk dari bahan baku hingga menjadi mobil. Mbak Tutut menyebutkan karena penayangan iklan ini TPI menumpang bagi TVRI, maka iuran bagi hasil lebih tinggi dibandingkan dengan televisi swasta yang (saat itu) sudah ada (RCTI/SCTV). Dok. Jawa Pos, 20 Januari 1991, dengan sedikit perubahan |
21st May 2020, 19:08 |
#5099
|
Mania Member
|
PARTISIPASI MASYARAKAT UNTUK TPI
SEJAK 23 Januari 1991 lalu, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang murni swasta - mengudara. Dalam siaran perdananya empat jam dalam kurun waktu enam bulan (Januari-Juni 1991) ini, TPI menyediakan porsi waktu 20% untuk iklan di media itu. Hal ini menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat, yang terungkap dalam seminar yang diselenggarakan oleh TPI di Jakarta beberapa hari sebelumnya.
Untuk itu, beberapa hal perlu Yusca Ismail, ketua P3I (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) kemukakan sekitar iklan di televisi (swasta), khususnya TPI ini. Pengoperasian sebuah stasiun televisi memerlukan dana yang tidak kecil. Bisa dibayangkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan stasiun televisi itu sendiri, pembangunan transponder, pemeliharan, sumber daya manusia, pengadaan program, serta sejumlah kegiatan lainnya. Karena itu, penghimpunan dana untuk pengoperasian stasiun televisi menjadi tantangan. Dalam hal ini, kita perlu memisahkan kepentingan pendidikan itu sendiri dan kepentingan dana yang digunakan dalam operasi. Sebelum jauh membicarakan masalah komersil ini, mungkin ada baiknya kita lihat masyarakat penunjang yang selanjutnya disebut sebagai masyarakat pendukung. Masyarakat pendukung ini, tidak lain adalah para pemirsa sendiri yang terbagi dalam empat kategori, - hal ini juga berdasarkan referensi luar negeri yang dapat dihimpun. Pertama, khalayak sasaran primer. Kalangan ini adalah kepada siapa siaran ini ditujukan, terutama murid-murid sekolah atau guru-guru. Ini disesuaikan dengan cara TPI sendiri. Kedua, khalayak sasaran sekunder. Mereka adalah "orang lain" yang berminat mengikuti program-program pendidikan, terutama para orangtua atau pembimbing murid yang mengikuti program ini. Berikutnya, adalah penyandang dana primer. Golongan ini adalah sponsor yang akan membeli waktu, untuk menayangkan pesan-pesan komersilnya sebagai bagian dari paduan pasar dan promosi dalam rangka meningkatkan penjualan produknya. Terakhir, penyandang dana sekunder. Kelompok ini adalah mereka yang mempunyai kelebihan dana atau telah mengalokasikan dana untuk kepentingan layanan masyarakat. Lazimnya, dana seperti ini disebut hibah ('grant'). Dua kelompok di atas, khalayak sasaran serta penyandang dana satu sama lain, mempunyai kaitan yang sama eratnya. Lebih tinggi minat masyarakat mengikuti sebuah program, lebih mudah menghimpun dana baik itu dari sponsor maupun hibah. Karena masyarakatnya lebih cenderung mengulurkan tangan kepada sesuatu yang berhasil. Sebaliknya, adanya dana yang cukup akan menghasilkan program pendidikan yang menarik, sehingga merangsang minat dan semangat untuk mengikuti secara terus-menerus. Bila partisipasi masyarakat pemirsa berupakeikutsertaan dalam melihat program-program pendidikan, maka partisipasi penyandang dana adalah dalam bentuk dana itu sendiri. Dana ini dipergunakan baik untuk operasional stasiun televisi maupun pembuatan program-program. Setiap pembuatan program yang paling sederhana memerlukan biaya. Semakin sederhana program, semakin murah biayanya. Dan lebih sedikit pesan sponsor dalam program akan lebih baik, bahkan kalau bisa tidak ada sama sekali. Sayangnya, kita tidak berada dalam keadaan ideal. Karena itu, kita harus padukan kedua sisi dan mendapat perimbangan yang baik. Yusca (waktu itu) akan kemukakan beberapa bentuk partisipasi yang menunjang program-program yang ada. Kita mungkin pernah melihat "film" Sesame Street (RCTI/SCTV). Program ini sepenuhnya dibiayai oleh organisasi yang menyumbangkan uangnya. Program tersebut dibuat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak dikaitkan dengan stasiun televisi tertentu. Hasilnya kemudian dijual ke berbagai stasiun televisi dan dari keuntungannya, dihasilkan seri-seri berikutnya. Namun demikian, nama-nama penyandang dana seperti Departemen Pendidikan Amerika dan Ford Foundation pada bagian penutup disebut satu per satu. Mereka pun memerlukan penghargaan atas partisipasinya. Hal di atas mungkin agak berbeda dengan Mutual of Omaha's Wild Kingdom (MOWK). Di sini sudah diisi pesan sponsor, meskipun tidak langsung. MOWK adalah salah satu lembaga keuangan terbesar di Amerika dan salah satu program promosi dalam meningkatkan citra dalam hubungannya dengan masyarakat adalah lewat program-program pendidikan tidak langsung ini. Masih ada contoh lain yang dilakukan sebuah 'fast food' terbesar di Amerika. Dalam programnya, 'fast food' ini langsung menjangkau sekolah dengan menampilkan sebuah mini dokumenter yang lama penayangannya tiga menit. Isi "iklan" itu adalah menyangkut permasalahan anak remaja seperti putus sekolah, bahayanya narkotika, alkohol, dan pergaulan bebas. Dalam pencarian data, tidak Yusca terima bentuk-bentuk sponsor yang lain kecuali tiga di atas. Semua bentuk sponsor sifatnya halus dan tingkat kehalusannya berbeda. Namun, apapun bentuknya, baik itu hibah atau sponsor pemberi uang cenderung menginginkan masyarakat mengetahui serta menyadari partisipasinya (disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan TPI, di Jakarta). Dok. Jawa Pos, 1 Februari 1991, dengan sedikit perubahan |
21st May 2020, 19:12 |
#5100
|
Mania Member
|
MENGAPA HARUS MALU JADI WTS, KALAU ITU PERAN DI SINETRON
MAS Video Production House bersama Jawa Pos mengajak masyarakat Jawa Timur, yang ingin membintangi sinetron Madu, Racun, dan Anak Singkong (MRA) karya Imam Tantowi.
Sinetron yang (waktu itu) akan diproduksi dalam 3 episode itu, rencananya (waktu itu) akan ditayangkan di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) pada Januari 1993 yang waktu itu akan datang, dalam bentuk serial yang berdurasi 24 menit per episodenya. "Pak Imam ingin mengorbitkan masyarakat Jawa Timur lewat sinetron garapannya," kata Syailendra, produser pelaksana dalam sinetron tersebut. Tidak hanya berhenti sampai di sini, sutradara andal yang juga pernah menggarap film kolosal Surabaya '45 tersebut, juga (waktu itu) akan melibatkan rakyat Jatim dalam sinetron Kaca Benggala yang rencananya (waktu itu) diproduksi dalam 52 episode di TPI juga. "Jadi, para artis yang telah terseleksi untuk sinetron MRA, kemungkinan besar juga akan dilibatkan dalam sinetron berikutnya. Karena tekad besar Pak Imam yang ingin mengorbitkan artis dari Jatim," jelas Syailendra lagi. Artis yang dibutuhkan adalah anak laki-laki berusia 8-12 tahun, pria dewasa 20-55 tahun, sedangkan wanita berusia 20-50 tahun. Berdomisili di Jawa Timur atau sekitarnya, menunjukkan kartu identitas diri, serta mengisi formulir pendaftaran yang disediakan di MAS Video PH, Jalan Villa Kalijudan Indah X/20 Blok J-10, Surabaya serta menyerahkan foto ukuran kartu pos. Formulir yang telah diisi tersebut harus ditempati kupon yang disediakan di Jawa Pos, mulai terbitan 6 November 1992 pagi. Motivasi Imam Tantowi dalam melibatkan artis Jawa Timur, karena masyarakat di daerah ini punya potensi besar di dunia seni peran. Hal ini dia buktikan sendiri ketika membuat film kolosal Surabaya '45 beberapa saat sebelumnya. Ternyata film ini juga meraih penghargaan bergengsi di arena FFI 1991. "Inilah yang mendorong beliau ingin kembali melibatkan masyarakat Jatim," kata Syailendra. Selama itu, menurut penilaian Syailendra, masyarakat Jatim yang ingin terjun di bidang sinetron sangat besar. Sayangnya, mereka itu malu-malu. "Ini saya buktikan, ketika beberapa saat lalu saya juga mengetes untuk keperluan sinetron juga," tambah wakil ketua PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) Jatim itu. "Mengapa harus malu jadi WTS, misalnya. Kalau itu memang tuntutan jalan cerita di sinetron. Banyak kok, orang Jatim yang sukses dalam seni peran di Jakarta. Seperti Anneke Putri yang terorbit lewat Tatiek Maliyati, Dwi Yan, serta masih banyak lagi yang kini (1992) namanya besar karena membintangi sinetron," kata Syailendra (waktu itu). Dok. Jawa Pos, 6 November 1992, dengan sedikit perubahan |
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer