HOT TOPICS :
Gosip | COVID-19 | Ayo Vaksin
|
Thread Terpopuler
-
Rabu, 2024/04/26 11:29 WIB
Momen Azizah Salsha Peluk Pratama Arhan Usai Indonesia Kalahkan Korsel
-
Rabu, 2024/04/26 14:08 WIB
Penampakan 2 Ferrari dan 1 Mercy Harvey Moeis yang Disita Kejagung
-
Selasa, 2024/04/25 11:31 WIB
Pengacara Ungkap Ada Perjanjian Pisah Harta Harvey Moeis dan Sandra Dewi
-
Rabu, 2024/04/26 11:36 WIB
Akhirnya Ivan Gunawan Lihat dan Resmikan Langsung Masjidnya di Uganda
-
Rabu, 2024/04/26 15:19 WIB
Eko Ungkap Kondisi Terkini Parto Usai Operasi Batu Ginjal
-
Rabu, 2024/04/26 17:30 WIB
Reaksi Pamela Safitri Usai Dikaitkan Sebagai Artis P Terlibat Pencucian Uang Rp 4,4 T
|
Thread Tools |
19th April 2020, 13:00 |
#4571
|
Mania Member
|
DI BALIK TELEVISI: 9 JUNI 1990 MALAM Pkl: 18.15,MAHARDI DAN HENDRO DLM INSTRUMENTALIA
9 JUNI 1990 malam, pukul 18.15, TVRI Surabaya menayangkan acara Instrumentalia dengan pemain-pemain yang sudah tak asing lagi, Mahardi dan Endro. Kedua musisi yang biasa memainkan irama jazz itu dengan santai melantunkan lagu-lagu Layu Sebelum Berkembang, Esok Kan Masih Ada, dan Acuh. Meskipun sudah sering tampil di kaca televisi, Mahardi mengakui bahwa kali ini agak lain dari biasanya. Kelainan itu sebabkan oleh persiapkan yang mendadak.
Mahardi yang (waktu itu) tinggal di Jl. Simpang Dukuh 17, Surabaya itu, mengatakan bahwa sebenarnya ia (waktu itu) akan tampil berasma grupnya dengan masa persiapan 10 hari. "Tapi ternyata teman-teman saya menempuh ujian di sekolah sehingga hanya saya dan Endro yang bisa tampil," tutur Mahardi, yang buru-buru menambahkan bahwa kenyataan yang mendadak itu masih bisa diatasinya. Ia mengakui bahwa instrumen keyboard (saat itu) baru pertama kali itu dimainkan di acara televisi, sehingga terasa kaku dan kurang pas. "Tapi saya jamin tidak akan mengecewakan," lanjutnya. Dengan pengalaman tersebut, Mahardi berjanji (saat itu) akan meningkatkan kemampuannya. Dok. Jawa Pos, 8 Juni 1990, dengan sedikit perubahan |
19th April 2020, 13:01 |
#4572
|
Mania Member
|
KINCIR BAMBU BERAIR (27 JUNI 1990 PUKUL 17.30 WIB - TVRI SURABAYA)
ACARA Menapak Hari Esok (TVRI Surabaya), 27 Juni 1990 petang pukul 17.30, meliput sekilas kegiatan yang ada di Desa Kasiyan, kecamatan Baleng, Jember.
Desa Kasiyan adalah daerah pertanian yang asngat membutuhkan pengairan secukupnya. untuk mendapatkan air yang cukup untuk sawah dan ladang, para petani di desa itu harus memikul air dari sungai ke sawah-sawah, di samping ada pula yang membuat sumur-sumur dengan senggotan atau bahkan dengan menggunakan diesel. Kegiatan yang berlangsung dari tahun ke tahun itu tak luput dari pengamatan Drs. Hendro Wibowo, seorang staf pengajar Pusat Pengabdian Masyarakat (PPM) Universitas Jember. Dengan didorong keinginan untuk membantu masyarakat desa tersebut, Hendro Wibowo berhasil membuat suatu alat kincir berair. Alat itu terbuat dari bambu yang memang bisa diperoleh di daerah tersebut, tanpa harus mengeluarkan biaya yang mahal. Hasil karya Hendro itulah yang menjadi topik acara Menapak Hari Esok, yang setiap Rabu minggu ke-4 ditayangkan TVRI Surabaya. Kincir berair itu berfungsi untuk mengairi sawah atau ladang, sehingga para petani tidak perlu berlelah-lelah mengairi lahannya. Sumbangsih Hendro itu tentu saja mendapat sambutan hangat dari masyarakat desa setempat, yang saat itu tak perlu lagi memikul air dari sungai yang jaraknya cukup jauh itu. Petani di desa itu waktu itu tampak makmur, karena lebih bis memusatkan perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan, karena kebutuhan air sudah tak jadi masalah. Kincir berair itu juga tidak memerlukan tenaga manusia, karena dengan hembusan angin, alat yang diciptakan secara sederhana itu bisa berjalan sendiri sambil mengairi sawah. Dok. Jawa Pos, 27 Juni 1990, dengan sedikit perubahan |
19th April 2020, 13:01 |
#4573
|
Mania Member
|
DI BALIK TELEVISI: SDN JIWAN XI MADIUN BERHAK KE SEMIFINAL-22 JUNI 1990 PUKUL 17.30)
ACARA Cerdas Cermat tingkat sekolah dasar (SD), 22 Juni 1990 petang pukul 17.30 WIB kembali ditayangkan TVRI Surabaya. Pesertanya berasal dari Madiun, Kediri, dan Gresik yang bertanding dalam babak penyisihan kedua, berakhir dengan kemenangan SDN Jiwan XI Madiun. Peserta dari Madiun menyisihkan lawan-lawannya dengan merebut nilai 1.100, menyusul SDN Randu Agung I Gresik dengan nilai 950. Dan urutan ketiga ditempati SDN Ngronggo Kediri dengan nilai 675.
Dengan kemenangan itu dipastikan SDN Jiwan XI ini berhasil merebut satu tempat dari sembilan peserta yang (saat itu) bakal bertarung di babak semifinal. Setelah itu, (saat itu) akan dipilih tiga terbaik untuk bertanding di babak final yang (saat itu) direncanakan berlangsung akhir Juli 1990 yang saat itu akan datang. Pengarah acara Djakirman mengatakan, pada babak semifinal nantinya, materi pertanyaan yang dilombakan (waktu itu) akan dibuat lebih mudah. Artinya kualitas soal tidak lagi seperti babak-babak penyisihan. Di sini pihaknya (saat itu) akan bekerjasama dengan Depdikbud untuk menggarap soal-soal. "Pada babak semifinal pesertanya khan pintar-pintar. Sehingga kami pun harus menyesuaikan soal-soalnya," katanya. Menurut Djakirman, jumlah peserta yang ikut pada putaran 1989/1990 sebanyak 27 peserta. Mereka berdatangan dari sekolah-sekolah tergolong baik dari Dati II se-Jawa Timur. Sebelum sebuah sekolah itu mendaftar, ujar Djakirman, TVRI Surabaya terlebih dahulu meminta rekomendasi dari Depdikbud setempat. "Jadi jangan dikira sekolah mana saja bisa ikut, asal telah mendaftar."Soal-soal yang dipertandingkan nantinya, terlebih dahulu sudah dicek oleh para pengamat dari masing-masing sekolah. Dok. Jawa Pos, 22 Juni 1990, dengan sedikit perubahan |
19th April 2020, 13:03 |
#4574
|
Mania Member
|
ANEKA - EDDY SUD: “TV SWASTA JANGAN HANYA SIARKAN BUDAYA IMPOR”
TELEVISI swasta yang (waktu itu) akan ada di Surabaya jangan semata-mata menyiarkan materi budaya impor. "Pemda Jawa Timur harus mewaspadainya sejak saat ini (Maret 1990)," kata Eddy Sud selaku anggota Komisi IX DPR RI, di Gedung Rahadi Surabaya, 12 Maret 1990. "Lembaga-lembaga kontrol lainnya pun harus sedini mungkin mengawasi itu," tegasnya.
Pemda Jatim harus bertindak tegas sejak awal terhadap penyelenggaraan siaran TV swasta itu. Pemda harus mengusulkan kepada penyelenggara siaran TV swasta agar budaya dan kesenian daerah, khususnya dari Jatim sendiri, tetap mendapatkan tempat. "Tidak tergusur oleh siaran-siaran budaya asing," ucapnya. Eddy Sud mengatakan demikian, ketika diminta kesannya atas penyelenggaraan TV swasta saat itu. "Saya menilai, TV swasta di Indonesia masih belum mewakili nilai-nilai budaya bangsa. Sebagian besar materi siaran hanya menonjolkan kesenian asing dan film-film impor," ujarnya. Sehingga lanjutnya, timbul kesan dari sebagian wakil rakyat bahwa penyelenggaraan siaran TV swasta itu tak ubahnya hanya menyiarkan rekaman kegiatan dan kesenian negara-negara asing. "Kalau nonton TV swasta saat ini (1990) seperti nonton TV di Chicago saja," ujarnya tertawa. Menurut dia, fungsi mengemban budaya nasional yang juga menjadi beban tanggung jawab TV swasta, (saat itu) masih belum tampak. "Terlalu banyak siaran impor," kata Eddy yang sehari-hari menjabat ketua koordinator Artis Safari Pusat itu. Warga Surabaya atau bahkan warga Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan), - saat itu - akan menikmati siaran TV swasta, SCTV (Surabaya Centra Televisi), rencananya (saat itu) mulai 'on air' Juli 1990 yang waktu itu akan datang, dengan menggunakan dekoder. Sama dengan TV swasta yang ada di Jakarta, RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), misi penyelenggaraan SCTV Surabaya dititikberatkan pada segi hiburan. Kedatangan Eddy Sud ke Jatim berkaitan dengan tugas yang diembannya sebagai wakil rakyat. Dia bersama-sama dengan pimpinan dan anggota DPR RI lainnya, melakukan kunjungan kerja selama beberapa hari ke Jatim. Sebelum terjun ke lapangan, mereka diterima Gubernur Sularso. Ditanya kemungkinan pemirsa yang menghendaki penyelenggaraan siaran kesenian dan budaya asing itu, Eddy Sud mengatakan, selayaknya pengelola TV swasta itu tahu akan kewajiban yang diembannya. "Dia khan harus sadar bahwa dia berusaha di negeri ini, sehingga sudah sewajarnya kalau dia juga menyiarkan materi siaran yang dimiliki negeri ini. Itu wajar sekali khan," ucap dia. Ditanya apakah anggota dewan tidak pernah mengajukan keberatan atas penyelenggaraan siaran TV swasta, Eddy mengaku hal itu sudah dilakukan. Tapi ternyata tidak ada tindak lanjutnya. "Oleh karena itulah saya wanti-wanti kepada Pemda Jatim agar sedini mungkin melakukan 'warning' kepada TV swasta Surabaya (SCTV) terhadap penyelenggaraan siarannya," kata Eddy (waktu itu). Dok. Jawa Pos, 13 Maret 1990, dengan sedikit perubahan |
19th April 2020, 13:06 |
#4575
|
Mania Member
|
SURABAYA KITA: SELESAI, MENARA ANTENA SCTV SETINGGI 150 METER
PEMBANGUNAN antena SCTV (Surabaya Centra Televisi) setinggi 150 meter, Juni 1990 sudah selesai dikerjakan. Bangunan menara antena yang dicat merah putih ini merupakan antena tertinggi di Surabaya (waktu itu).
Untuk menandai penyelesaian pekerjaan tersebut, hari Rabu (27/6/90) rencananya (waktu itu) diadakan selamatan yang dialkukan pengelola SCTV. "Acara selamatan itu sederhana saja. Cuma tumpengan," kata DR. Agus Mulyanto, 'general manager' SCTV, kepada Jawa Pos, 26 Juni 1990. Dengan diselesaikannya pembangunan tena ini, kata Agus, diharapkan (saat itu) siaran uji coba SCTV dapat dinikmati masyarakat Surabaya dan sekitarnya pada Sabtu malam, 14 Juli 1990 yang waktu itu akan datang. "Mudah-mudahan, rencana ini dapat terlaksana," tambahnya. Dengan adanya penetapan jadwal waktu siaran uji coba ('trial') itu, pelaksanaan SCTV berjalan sesuai dengan rencana. Dan sebagaimana yang pernah dikemukakan Moch. Noer, preskomnya, siaran percobaan ini (waktu itu) akan beralngsung sekitar tiga bulan tanpa menggunakan dekoder untuk merelainya. Agus mengatakan, setelah pemasangan menara antena ini, tahapan berikutnya yang (saat itu) akan dikerjakan adalah pembangunan bangunan-bangunan lainnya. Misalnya saja studio dan lainnya. Tapi kalaupun ruangan itu belum selesai, SCTV (waktu itu) tetap akan bisa mengudara. Agus menyatakan, bangunan yang (saat itu) sudah terselesaikan dalam proyek ini baru menara dan antena. "Sambil menunggu terselesaikannya fasilitas-fasilitas lain, siaran uji coba dapat kita laksanakan," katanya. Sampai 26 Juni 1990 sore terlihat kesibukan penting di lokasi proyek pembangunan staisun SCTV di kawasan Darmo Permai. Ini dilakukan untuk mempersiapkan kegiatan pemasangan bagian terakhir ('top section') yang (saat itu) akan dipasang 27 Juni 1990 pagi. Untuk memasang rangkaian terakhir dari 20 'section' yang direncanakan (waktu itu) ini, kata Agus, hanya membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Penyelenggaraan siaran TV swasta ini sebagaimana diketahui (waktu itu) akan bekerjasama dengan Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) Jakarta. Untuk tahap pertama, misalnya, SCTV (waktu itu) akan memanfaatkan paket-paket siaran yang telah diselenggarakan TV swasta pertama di Indonesia itu. Sementara itu, dia juga (saat itu) akan menyelenggarakan stok siaran sendiri. SCTV mempunyai radius siaran sejauh 60 kilometer. Rencananya (saat itu), dalam siaran definitifnya (waktu itu) akan digunakan dekoder sebagaimana yang saat itu dilaksanakan RCTI. Tapi ada selentingan (kala itu), bahwa kemungkinan relai siaran TV swasta itu tanpa harus menggunakan dekoder. Soal ini, M. Noer kala itu mengatakan masih menunggu petunjuk dari pusat. "Kalau memang tanpa dekoder, siaran TV swasta akan lebih memasyarakat," ucapnya. Dok. Jawa Pos, 27 Juni 1990, dengan sedikit perubahan |
19th April 2020, 13:07 |
#4576
|
Mania Member
|
AZIZ: “TIDAK ADA UNSUR PERSAINGAN”
SETELAH RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), sebuah stasiun televisi swasta muncul di Surabaya (SCTV). Beberapa hari sebelumnya, Menpen Harmoko mengatakan bahwa dalam waktu dekat (setelah itu) ini, (waktu itu) akan muncul stasiun televisi swasta yang baru di Bandung (RCTI Bandung) yang kemudian disusul sebuah lagi di Denpasar (SCTV Bali). Ancamankah kehadirannya bagi TVRI?
"Oh, sama sekali tidak. Kami tidak menganggap ini sebagai satu ancaman. Karena tidak ada unsur persaingan di sini. Cuma tentu saja kami harus menata diri, mengikuti perkembangan yang ada," kata kepala TVRI Stasiun Pusat Jakarta, H. Aziz Husein, kepada Jawa Pos. Tidak adanya persaingan, menurut Aziz, karena dalam beberapa hal terdapat perjanjian kerjasama TVRI dan TV swasta yang (waktu itu) baru akan didirikan tersebut. "Kita ambil contoh saja, RCTI khan dalam beberapa mata acaranya tetap harus bergabung dengan TVRI Stasiun Pusat Jakarta atau sebaliknya," kata Aziz. Contoh ini mungkin seperti penyiaran final Piala Thomas 1990 dari Tokyo. Keterangan dari kepala bagian pemberitaan TVRI, Adi Kasno mengatakan, hak siaran sepenuhnya di tangan RCTI. Namun karena adanya "koordinasi" tadi, TVRI juga dapat menyiarkan pertandingan tersebut secara langsung, tanpa membayar kepada RCTI. Aziz memang tidak merinci di bidang apa saja perjanjian kerjasama TVRI dan TV swasta yang (waktu itu) bakal bermunculan nantinya. "Hanya yang pasti, TVRI tidak menganggap pemunculan ini sebagai saingan atau ancaman," tegas Aziz lagi. Mengenai dampak yang (saat itu) bakal timbul setelah munculnya TV swasta, menurut Aziz, hal itu pasti ada. "hanya yang kita harapkan tentu saja dampak yang positif," kilahnya. Lalu, ia memberikan contoh bahwa sebagian besar siaran yang ditayangkan TV swasta, seperti halnya pendahulunya RCTI atau sebuah TV swasta yang (waktu itu) baru muncul di Surabaya (SCTV), berbeda dengan siaran yang ditayangkan TVRI. Memang, kata Aziz, ciri siaran TV swasta adalah lebih condong ke hiburan, paket siaran dari luar atau sejenisnya seperti halnya RCTI. Dan dengan adanya berbagai stasiun TV yang tentu menu penayangannya berbeda, pemirsa dapat memilih apa yang diminatinya. "Jadi sekali lagi, dalam hal ini tidak ada persaingan, melainkan saling melengkapi," tutur Aziz diplomatis. Hal yang sama juga pernah disampaikan Direktur Televisi, Drs. Ishadi, ketika diwawancarai Jawa Pos di DPR RI belum lama (waktu itu) ini. Menurut dia, kehadiran TV swasta di tanah air (waktu itu) akan merupakan satu penunjang komunikasi yang (ketika itu) diharapkan akan menjadi mitra bagi TVRI. "Sama sekali tidak ada anggapan bahwa TV swasta itu merupakan ancaman atau saingan TVRI," kata Ishadi ketika ditanyakan apakah kehadiran TV swasta itu akan menimbulkan rasa persaingan bagi TVRI. Namun, meski TV swasta dianggap bukan saingan atau ancaman, Ishadi mengatakan bahwa pihaknya memang harus terus menata diri, terutama dalam penampilan menu siaran. "Masyarakat tentu saja bebas memilih dan menilai apa yang kami sajikan pada mereka," kata Ishadi. "Dan TVRI memang ingin bertumbuh dan dewasa dari kritik membangun masyarakat," ujarnya sambil menambahkan bahwa masyarakat pemirsalah yang bebas menilai mutu satu tayangan. Dok. Jawa Pos, 17 Juni 1990, dengan sedikit perubahan |
19th April 2020, 13:09 |
#4577
|
Mania Member
|
INVESTIGASI GAYA TV SWASTA
SOAL kantor tabloid Monitor diserbu massa, dua orang reporter RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) sibuk mengambil berbagai 'angle' peristiwa itu. Mereka memanjat pagar untuk mendapatkan gambar kerumunan massa, membuat 'close up' poster-poster yang dibawa massa, bahkan masuk ke dalam kantor surat kabar yang beberapa waktu sebelumnya dicabut SIUPP-nya itu.
Ketika Gubernur Bank Indonesia, Adrianus Mooy menyampaikan makalah dalam seminar yang diselenggarakan di Hotel Borobudur, Jakarta, beberapa hari sebelumnya, dua reporter RCTI juga meliputnya. Bahkan, RCTI melakukan wawancara khusus dengan Mooy tentang dampak kebijaksanaan uang ketat. Sewaktu kasus Bank Duta jadi bahan pemberitaan berbagai media cetak, RCTI juga tidak ketinggalan. Dan reporter TV swasta ini meliput rapat umum luar biasa pemegang saham tersebut. Untuk melengkapinya, rumah Dicky Iskandar Di Nata, mantan wakil dirut Bank Duta, di bilangan Simprak Jakarta, juga diabadikan lewat kamera itu. "Itulah investigasi kami untuk kepentingan informasi bagi pirsawan RCTI," kata Chrys Kelana, manajer pemberitaan dan peliputan RCTI kepada Jawa Pos di Surabaya, 1 November 1990. "Bahkan sebetulnya ada keinginan untuk wawancara di kantor tahanan. Tapi itu tidak kami lakukan, karena memang tidak mungkin," katanya. Masalahnya, "Pertama karena Dicky belum divonis. Kedua jangan-jangan wawancara itu malah melahirkan kerancuan." Hasil-hasil liputan tersebut, kata Chris ditayangkan bukan dalam bentuk berita. "Hanya berupa pemberian informasi saja, seminggu empat kali. Yakni pada hari Minggu pukul 10.30-11.00 dan pada hari Senin, Rabu, dan Jumat pukul 18.30 sampai 19.00 WIB. Acara itu kami beri nama Seputar Indonesia," tutur Chrys yang 1 November 1990 tampak sibuk di SCTV (Surya Citra Televisi) Surabaya untuk mempersiapkan berbagai rencana liputan, menyongsong Hari Pahlawan 10 November 1990, kerjasama RCTI dan SCTV. Seputar Indonesia ini juga ditayangkan SCTV. Mengapa disebut diinformasikan, bukan diberitakan? "Anda tentunya mengetahui bahwa televisi swasta seperti RCTI tidak berwenang menyiarkan berita, dan itu merupakan peraturan yang dikeluarkan Departemen Penerangan," kata kahumas RCTI, Zsa Zsa Quamila yang ditemui secara terpisah di Jakarta. "Sampai saat ini (Oktober 1990) kami tetap mematuhi peraturan Departemen Penerangan bahwa berita yang kami sajikan adalah berita dari TVRI," tambahnya (waktu itu). Lantas, mengapa tim reporter RCTI demikian ngotot melakukan peliputan peristiwa-peristiwa menarik itu sedemikian lengkapnya, kalau tidak untuk diberitakan? "Pada prinsipnya, hasil liputan itu kami simpan untuk dokumentasi," jawab Zsa Zsa. Menurut dia, saat itu sudah cukup banyak dokumentasi hasil liputan reporter RCTI. "Belum dihitung jumlahnya. Tetapi sudah cukup banyak," katanya (saat itu). Sebab, sejak RCTI diresmikan tahun 1989 lalu, televisi swasta ini sudah aktif meliput berita. Ketika rombongan wartawan memasuki penampungan pengungsi Vietnam dan Kambodia di Pulau Galang, 15 Juni 1990 lalu, reporter RCTI, Budi SZ dan Helmi Johannes, juga turut serta. Mereka tampak begitu gesit membidikkan kamera ke berbagai daerah di pulau tertutup itu. Bahkan mereka tampak bekerja lebih gesit dibandingkan dua reporter TVRI yang juga ikut dalam rombongan itu. Di Pulau Galang, Budi memanggul kamera. Sedangkan Helmi mewawancarai beberapa pengungsi Vietnam dan Kambodia yang menghuni pulau tersebut. Kamera mereka membidik bagian dalam rumah-rumah kumuh di sana, dan mengadakan wawancara dengan penghuninya. "Kalau semua hasil liputan ini ditayangkan, penayangannya bisa mencapai masa putar sekitar setengah jam," kata Budi pada Jawa Pos saat itu. Tetapi, hasil liputan di Pulau Galang itu (saat itu) belum ditayangkan. "'File' hasil liputan tersebut masih kami simpan sebagai dokumentasi," ujar Zsa Zsa (waktu itu). Menurut dia, saat itu tidak kurang dari 10 reporter RCTI yang selalu siap meliput berita. "Biasanya jika ada peristiwa-peristiwa yang menarik perhatian masyarakat, kami menurunkan dua orang. Seorang kameramen, seorang reporter," katanya. "Hasil liputan mereka kami dokumentasikan," tambahnya. "Apa yang ditayangkan RCTI tetap seperti Anda saksikan selama ini, tidak menyangkut 'hard news'," kata Zsa Zsa (waktu itu). "Memang ada berbagai acara diskusi yang kami tayangkan seperti Topik, diskusi ekonomi, diskusi film. Tetapi itu bukan kategori 'hard news', dan hal itu diizinkan oleh Departemen Penerangan," tuturnya. Materi acara Seputar Indonesia tidak ditentukan jenis beritanya. "Yang jelas, objek informasi itu harus menarik dan aktual." Agar acara itu lebih menarik, dihindari liputan yang bersifat 'ceremonial'. Kegiatan di pengadilan pun kalau perlu diliput. Tentu saja, terdakwanya (saat itu) hanya akan disyut dari samping atau sengaja gambarnya dikaburkan. November 1990, produksi untuk acara yang muncul sejak 1 November tahun 1989 lalu itu sudah cukup terencana. Suatu kali - beberapa waktu sebelumnya - bahkan sampai melangkah ke Taiwan atas undangan pemerintah Taiwan. "Repotnya setelah kami dapat berbagai profil dan liputan tentang Taiwan, harus dimasukkan di rubrik apa," kata Chrys. "Akhirnya kami siasati dengan mewawancarai Pak Sanyoto (Sanyoto Sastrowardoyo, ketua BKPM, red.) kami kaitkan dengan investasi Taiwan di Indonesia. Jadilah hasil liputan itu bisa ditayangkan," ujarnya. "Tapi sungguh gara-gara soal Taiwan itu, kami sekarang (November 1990) harus berpikir, apakah perlu ada lagi rubrik serupa untuk urusan luar negeri," tambahnya (waktu itu). Dok. Jawa Pos, 2 November 1990, dengan sedikit perubahan |
19th April 2020, 13:12 |
#4578
|
Mania Member
|
SBY KITA: SCTV MULAI COBA FILM PEMBUKAAN, 26 JULI 1990 MALAM GUNAKAN PERALATAN BARU
SETELAH beberapa hari "absen", SCTV (Surabaya Centra Televisi) tampil 26 Juli 1990 malam kembali mengudara dan membuat kejutan. "Kami menayangkan Indonesia Raya selama tiga menit," ujar Gina Raliana, humas SCTV kepada Jawa Pos, 26 Juli 1990 malam. Selama tiga menit tadi, SCTV menayangkan gambar hidup (bukan gambar pola teknik, red.) tentang pemandangan Indonesia dengan diiringi lagu Indonesia Raya. "Gambarnya bagus," ujar Gina.
Selama itu, gambar yang diiringi lagu kebangsaan kita tersebut digunakan oleh RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) sebagai pembuka acara. "Dan untuk sementara juga akan kita gunakan untuk pembuka acara nantinya," ujar Gina. "Dan membuatnya bersama-sama RCTI," tambah Rachmat yang bertugas di bagian operasi. Suara lagu Indonesia Raya, 26 Juli 1990 malam, menurut Gina belum ditayangkan secara stereo. "Masih mono," ujarnya. SCTV mengudara dengan pola teknik pukul 19.30. Sepuluh menit kemudian menayangkan gambar pembuka Indonesia Raya. Gambar ini hanya ditayangkan selama sekitar tiga menit. Setelah itu kembali ke pola teknik lagi. Tepat pukul 20.30 muncul tulisan bergerak yang berbunyi: "Sampai di sini percobaan teknis perdana SCTV hari ini." Tulisan tersebut berputar beberapa kali, lantas menghilang bersama gambar dan suaranya. Mengenai uji coba pola teknik 27 Juli 1990 sore, Gina (saat itu) belum bisa memastikan pukul berapa akan dimulai. Dan juga (saat itu) belum bisa dipastikan apakah juga akan menayangkan Indonesia Raya lagi. "Sebetulnya kita ini baru mencoba beberapa peralatan teknik saja kok," ujarnya (saat itu). Sementara itu, direktur SCTV, Henry Pribadi yang 26 Juli 1990 ke Surabaya, membantah kalau tertundanya siaran perdana televisi swasta ini diakibatkan kurang terjalinnya koordinasi dengan pemerintah pusat. "Itu tak benar. Kita tak perlu mencari kambing hitam," katanya. Henry hanya menyebut satu di antara penyebab tertundanya siaran uji coba SCTV, yaitu adanya suatu alat yang belum siap. Kalau dipaksakan, risikonya cukup besar. Menurut dia, kepastian siaran resmi SCTV pada 24 Agustus 1990 merupakan waktu yang ideal. Pada siaran itu, SCTV (saat itu) langsung akan menayangkan iklan. "Sekarang (Juli 1990) ini beberapa produk iklan sedang diracik," katanya (waktu itu). Pada saat siaran perdana nantinya, SCTV langsung muncul secara mendadak. Kira-kira seminggu sebelum siaran, SCTV (saat itu) akan melakukan beberapa siaran uji coba. "Itu kami rencanakan. Dan pada setiap hari kami usahakan akan ada penayangan telop-telop untuk pengujian 'color bar'." Henry mengatakan, SCTV merupakan salah satu industri baru (waktu itu) yang besar dan mengelolanya pun harus profesional. Pada satu atau dua tahun yang saat itu akan datang (1991/1992), ia mengatakan bahwa siaran SCTV belum bisa optimal, apakah dalam penyajian maupun kontinuitas siaran. Menurut dia, pada masa itu SCTV masih dalam tahap penyempurnaan, sehingga ia meminta waktu agar bisa menyajikan yang terbaik bagi pemirsa. Di Surabaya, ia mengatakan bahwa SCTV (waktu itu) bisa dikonsumsi 700.000 sampai 800.000 pesawat televisi. Itu memang cukup baik bagi SCTV. Sebagai perbandingan, pada beberapa televisi negara tetangga seperti TV3 (Malaysia), di Hongkong, dan Thailand, jumlah pesawatnya hampir sama, dan mereka ternyata bisa sukses. Henry mengaku SCTV sudah melakukan studi perbandingan ketiga negara itu. Dok. Jawa Pos, 27 Juli 1990, dengan sedikit perubahan |
19th April 2020, 16:46 |
#4579
|
Mania Member
|
SCTV MUNCUL, SUDAH BANYAK YANG MINTA LAGU
MESKI (waktu itu) baru menayangkan "telop" dan "pola teknik" SCTV (stasiun televisi swasta pertama di Surabaya) sudah menerima banyak telepon. "Ketika kami memutar irama klasik dari 'compact disc', ada pemirsa yang meminta musik tadi diganti irama 'slow rock'. Rupanya mereka sudah menemukan siaran kami," ujar DR. Ir. Agus Mulyanto, M.Sc, 'general manager' SCTV kepada Jawa Pos, 21 Juli 1990.
Memang, sejak Jumat malam (20/7/90) lalu, SCTV sudah "siaran", meski yang tampak di layar baru kata-kata "SCTV TESTING" atau "Selamat Malam, PT Surabaya Centra Televisi". Kalau toh ada yang tetap membuka televisinya di 'channel' SCTV, itu lantaran ada lagu-lagu yang enak didengar. "Itu lagu yang kami comot dari kaset di mobil," gurau Agus. Karena yang bisa dinikmati memang baru musik dari audio, tak ayal bila pemirsa minta irama yang jadi kesukaan mereka. "Ada telepon yang minta diputarkan musik irama jazz. Wah, seperti minta lagu di stasiun radio FM saja," tambah Agus. Karena ini siaran percobaan, sebenarnya pemirsa jangan dulu terlalu berharap (waktu itu) bisa menikmatinya dengan serius. Sebab, bisa saja sewaktu-waktu audio (suara)-nya dimatikan, lantas dihidupkan lagi. Demikian juga materi videonya nantinya. Ini karena SCTV kadang (saat itu) masih perlu melakukan 'tuning' agar seluruh sistem bisa bekerja sempurna secara optimal. "Ketika mengudara Jumat malam (20/7/90) itu, pemancar I yang dipergunakan masih belum di-'tune' sepenuhnya, dan daya pancarnya pun baru sekitar 75% dari kapasitas 60 kW yang ada. Jadi, daya pancar pada Jumat malam (20/7/90) itu baru sekitar 45 kW. Walau begitu, ternyata hampir seluruh pelosok kota Surabaya sudah bisa menangkap siaran SCTV Surabaya Centra Televisi) dengan baik. Bahkan di kompleks perumahan ITS Sukolilo Surabaya telah dicoba menangkap siaran SCTV tanpa menggunakan antena apapun. Artinya, termahal antenanya tanpa diberi 'input' apa-apa. Ternyata hasilnya sudah baik, demikian juga di daerah Tanjung Perak," ujar Agus. Namun, hasil tersebut, menurut Agus, bisa saja berubah lantaran memang (saat itu) masih terus dilakukan 'elainmen' peralatan pemancar. Kalau sampai ini terjadi, (waktu itu) jangan bingung atau resah. "Jangan dulu berpikir televisi Anda rusak. Biarkan saja, nanti toh akan kembali seperti semula," ujar Agus. Kalaupun akhirnya juga tak bisa baik, kita (saat itu) bisa menghubungi SCTV. Atau menghubungi Klinik SCTV RADEKS Jawa Pos melalui surat. Dalam rubrik ini, DR. Ir. Agus sendiri yang (saat itu) akan menjawab melalui Radeks tiap terbitan Minggu. Sabtu (21/7/90) memang ada rencana mencoba melakukan elainmen untuk pemancar 2, namun terganggu oleh putusnya aliran listrik PLN, sehingga rencana tersebut gagal terlaksana. Para teknisi asing (saat itu) baru akan mengutak-atik pemancar 2, Senin (23/7/90). Sementara itu, SCTV (saat itu) tetap akan mengudara dengan pemancar I untuk melakukan pengamatan 'field strength'-nya. Tentang gangguan PLN ketika SCTV benar-benar bekerja di udara nantinya, sudah tak banyak mengganggu lagi lantaran stasiun SCTV dicatu dengan 2 sumber jaringan PLN. Dan kalaupun kedua-duanya putus, SCTV sudah menyediakan genset yang (saat itu) akan beroperasi sekitar akhir Agustus 1990. Agar perpindahan dari listrik PLN ke genset itu tidak mengganggu kenikmatan pemirsa, stasiun SCTV juga dilengkapi dengan UPS ('uninterruptible power supply') berkapasitas 600 kVA. Jika dipakai seluruhnya, daya tersebut bisa mempertahankan siaran sekitar 15 menit. Sedangkan perangkat pemancar SCTV yang 60 kW menyerap daya hanya sekitar 300 kVA saja. Untuk smeentara 'testing' ini, materi video yang ditayangkan masih berupa karakter-karakter yang dibuat dengan 'character generator'. Untuk itu, telah disiapkan beberapa motif tampilan karakter, lantas tampilan-tampilan tersebut, termasuk gambar pola teknik, dipilih melalui 'switcher' untuk kemduian dicatu ke pemancar untuk disiarkan. Sebagian masyarakat kayaknya (saat itu) masih sulit mencari 'channel' siaran SCTV ini. Itu bukan karena pancarannya sulit ditangkap, namun karena mereka mungkin (saat itu) belum menguasai prosedur 'tuning'-nya. Sebenanrya mudah saja. Ubahlah 'tuning' TV ke daerah band UHF. Pesawat TV (warna) yang kecil biasanya mempunyai 8 'memory channel', sedangkan pesawat yang lebih besar ada yang 12 'channel', bahkan ada yang lebih dari 20 'channel'. Hati-hati dengan istilah 'channel' di sini, sebab 'channel' pada TV warna adalah 'memory channel', sedangkan 'channel' stasiun adalah 'channel' frekuensi. Setiap 'memory channel' terbagi atas 3 band frekuensi, yaitu band VHF-L(ow) 'channel'-nya 1 sampai 5, band VHF-H(igh) 'channel' 6 sampai 12, dan band UHF mulai 'channel' 24 sampai 'channel' 62. Nah, SCTV dipancarkan band UHF 'channel' 43 yan gberfrekuensi 644 MHz sampai 650 MHz. Jadi, kalau pada pesawat TV ada petunjuk lokasi 'channel' dengan bentuk BAR pada layar TV atau tombolnya, petunjuk itu berada sekitar 60% dari seluruh BAR yang ada. 21 Juli 1990 malam pun, telepon yang menanykaan cara menangkap siaran tersebut sudah 15 kali berdering. Yakni ketika SCTV memulai siaran pengujian 'signal-signal' warna batangan, 'signal bar'. Setelah bertanya ini-itu, umumnya si penelepon lantas mengucapkan selamat, mudah-mudahan cepat mengadakan siaran 'live show'. Hanya sedikit yang langsung menabrak dengan pertanyaan seperti yang diterima Gina Raliana, humas SCTV, 21 Juli 1990 malam. "Lha mana filmnya, kok hanya gambarnya aja?" Si penelepon mengaku bernama Merry. Untuk "tabrakan" seperti itu, Gina berlaku sabar. "Maaf ya Mbak. Memang untuk sementara SCTV belum menyiarkan paket. Mudah-mudahan tanggal 26 (Juli 1990-red) Anda bisa menikmati siaran percobaan kami," balas Gina supel. Sementara Gina melayani pemirsa, di ruang transmisi terlihat tiga orang kru serius mengutak-atik sebuah alat 'transmitter' yang terletak di ruang kontrol. Sedangkan di luar, terlihat empat orang tenaga asing asal Amerika mondar-mandir mengerjakan instalasi. Bahkan sejak 21 Juli 1990 petang, dua orang di antara mereka harus naik ke tiang antena untuk memperbaiki sesuatu alat. Kesibukan 21 Juli 1990 memang memuncak karena sejak pagi listrik di SCTV pdaam total, sehingga jadwal siaran uji 'signal' pukul 18.00 WIB diundur setengah jam. 21 Juli 1990 malam, siaran 'signal-signal' tes sempat terhenti 15 menit, karena ada gangguan di ruang transmisi. Dok. Jawa Pos, 22 Juli 1990, dengan sedikit perubahan |
19th April 2020, 16:49 |
#4580
|
Mania Member
|
SURABAYA KITA: 29 JULI 1990 MALAM, SCTV PANCARKAN STEREO
MULAI 29 Juli 1990 malam, SCTV (Surabaya Centra Televisi) ternyata mengudara dengan kejutan baru (waktu itu). Televisi swasta ini tampil dengan suara stereo. Pada uji coba kedua, setelah beberapa waktu sebelumnya menyiarkan tayangan 'live', stereo yang dimunculkan SCTV ternyata cukup sempurna.
Untuk mendengarkan suara stereo itu, Rahmat, salah seorang teknisi SCTV, mengatakan bahwa televisinya harus stereo juga. Dengan begitu, televisi mono mungkin tak bisa menangkap stereo SCTV melalui lagu-lagu klasik instrumentalianya. Dikatakannya, pemunculan stereo ini sebenarnya sudah sejak Kamis pekan keempat Juli 1990 (26/7/90) lalu. Tapi karena belum sempurna, stereo baru dimunculkan belakangan (29 Juli 1990 malam, red). Menurut Rahmat, sebetulnya ada alat tambahan untuk menangkap suara stereo SCTV. Alat tersebut harganya memang cukup mahal. "Sama saja dengan membeli TV stereo baru," ujarnya. SCTV yang gagal mengudara dalam memulai siaran uji cobanya, tampaknya (saat itu) terus berbenah diri. Pembenahan ini, termasuk merekrut tenaga-tenaga kerja baru untuk mengoperasikan SCTV. Seperti yang dikatakan direktur SCTV, Henry Pribadi, beberapa waktu sebelumnya, "SCTV masih butuh banyak tenaga," katanya kepada Jawa Pos. Jumlah tenaga yang (saat itu) dibutuhkan untuk mengoperasikan SCTV, kata Henry, diperkirakan (saat itu) 200 orang. "Sekarang (Juli 1990) ini SCTV baru punya 50-an tenaga, berarti masih 150 tenaga yang dibutuhkan," jelasnya. Ia mengharapkan (saat itu), tenaga-tenaga yang dipakai SCTV berdomisili di daerah ini. SCTV, 29 Juli 1990 malam, mulai mengudara pukul 18.00 sampai 20.30 WIB dengan pola teknik. Di layar televisi terdapat tulisan: "Mulai hari ini SCTV siaran stereo." Dalam siaran itu, warna dari televisi ini kelihatan lebih sempurna dibandingkan dengan siaran pola teknik pada hari sebelumnya. Dok. Jawa Pos, 30 Juli 1990, dengan sedikit perubahan |
detikHot
- detikNews · Berita · Internasional · Kolom · Wawancara · Lapsus · Tokoh · Pro Kontra · Profil · Indeks
- detikSport · Basket · MotoGP · F1 · Raket · Sepakbola · Sport Lain · Galeri · Profil · Fans Area · Indeks
- Sepakbola · Italia · Inggris · Spanyol · Jerman · Indonesia · Uefa · Bola Dunia · Fans Area · Indeks
- detikOto · Mobil · Motor · Modifikasi · Tips & Trik · Konsultasi · Komunitas · OtoTest · Galeri · Video · Forum · Indeks
- detikHot · Celebs · Music · Movie · Art · Gallery · Profile · KPOP · Forum · Indeks
- detikInet · News · Gadget · Games · Fotostop · Klinik IT · Ngopi · Produk Pilihan · Forum · Indeks
- detikFinance · Ekonomi Bisnis · Finansial · Properti · Energi · Industri · Sosok · Peluang Usaha · Pajak · Konsultasi · Foto · TV · Indeks
- detikHealth · Health News · Sexual Health · Diet · Ibu & Anak · Konsultasi · Health Calculator · Foto Balita · Bank Nama Bayi
- detikTravel · Travel News · Destinations · Photos · d'Trips · Hotels · Flights · ACI · d'Travelers Stories
- Wolipop · Fashion · Photos · Beauty · Love & Sex · Home & Family · Wedding · Entertainment · Sale & Shop · Hot Guide · d'Lounge · Indeks
- detikFood · Resep · Tempat Makan · Kabar Kuliner · Halal · Komunitas · Forum · Konsultasi · Galeri · Indeks
- detikSurabaya · Berita · Bisnis · Society · Foto · TV · Indeks
- detikBandung · News · Sosok · Info · Pengalaman Anda · Lifestyle · Iklan Baris · Foto · TV · Info Iklan · Forum · Indeks
Iklan Baris · Blog · Forum · adPoint · Seremonia · Sindikasi · Info Iklan · Suara Pembaca · Surat dari Buncit · detikTV · Cari Alamat
Copyright © 2019 detikcom, All Rights Reserved · Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Info Iklan · Disclaimer